Hari-hari pun berlalu. Brian kembali pada Azzura dan Vio, dia harus bisa menerima jika dia orang ketiga dalam rumah tangga ini. Meski Azzura tetap bersikap baik padanya, tetapi Vio juga harus menjaga jarak agar hatinya tidak terluka. Bohong jika dia tidak tertarik pada Brian.
Kyra pun yang kembali melihat Azzura, menjadi bahagia. Dia begitu merindukan ibunya itu. Vio jadi seperti orang asing di sini. Dalam hati gadis itu menangis.
"Tante Vio ngapain di sini? Kenapa nggak ikut makan di ruang makan?" Kyra menghampiri Vio yang saat ini sedang melamun di depan kompor. Dia langsung mengusap air matanya saat mendengar suara Kyra.
"Ehm ... Tante Vio cuma lagi malas makan, Kyra. Nggak lapar." Vio mencoba tersenyum meski hatinya terluka. Tidak mungkin dia berkata jika dia cemburu dengan kemesraan Brian dan Azzura. Kyra tidak mengetahui tentang hubungan mereka.
Kyra berdecak. "Nanti Tante sakit kalau nggak makan. Ayo sini! Ikut Kyra!" Tiba-tiba saja Kyra menyeret l
Kedua manik mata saling bertatapan. Memancarkan sebuah perasaan yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Jantung Brian berdegup dengan kencangnya, begitu pula Vio. Dia sampai tidak bisa menelan ludahnya.Tangan Brian membingkai wajah Vio. "Layani aku malam ini.""Tapi, Mbak Zura? Dia ada di kamar, 'kan?" Masih saja Vio memikirkan tentang Azzura. Wanita yang menjadi istri pertama Brian. Dia merasa sangat bersalah jika bermesraan dengan Brian selagi ada Azzura di rumah."Dia sudah tidur.""Tapi--"Belum sempat Vio mengucapkan apa yang ada di hatinya, Brian sudah membungkam bibir gadis itu dengan bibirnya. Rasa rindu yang telah bersarang berhari-hari, tidak mampu dia bendung lagi.Vio pun hanya bisa pasrah. Di samping karena Brian adalah suaminya dan juga dia tidak bisa menolak pesona pria itu. Salahkah hatinya yang selalu kalah oleh sentuhan sang suami? Meski logikanya terus menolak, tetapi gairahnya terus mengkhianati. Kini keduany
Napas Azzura tercekat saat melihat bekas cupang itu. Dia masih bisa mengenali tanda cinta yang sering dia buat pada tubuh Brian. Percintaan antara Brian dan Vio sepertinya begitu panas. Azzura hanya bisa mendesah berat."Zura. Bajuku mana?" Brian mencoba untuk mengalihkan perhatian Azzura. Dia merasa tidak enak. Padahal dia tidak selingkuh, kenapa rasanya sama seperti orang yang tengah selingkuh? Brian tidak menyangka bakal jadi serumit ini."I-ini, Mas." Azzura mengalihkan wajahnya setelah memberikan kemeja yang akan Brian kenakan pagi ini. Dia tidak tahan melihat itu semua. Tiba-tiba saja dia teringat akan suara desahan semalam. Membayangkan Brian berada di atas tubuh Vio dengan wajah penuh kepuasan sama seperti saat bersama dengan dirinya sungguh membuat dadanya sesak.'Cukup, Zura. Saat kamu meminta suamimu menikah lagi, seharusnya kamu juga harus siap berbagi. Enyahkan perasaan cemburu itu. Mulai saat ini, kamu harus siap jika melihat mereka bermesraan.' Ha
Vio terdiam kala mendengar apa yang dikatakan oleh Azzura. Dia ingin jujur, tetapi takut melukai perasaan Azzura. Jadi, apakah dia menyukai Brian? Jawabannya mungkin iya, tetapi demi melihat wajah sedih Azzura kali ini dia akan berbohong. "Aku--" "Nggak papa, kok kalau kamu suka Mas Brian. Emang harusnya gitu, biar suasana rumah jadi lebih enak." Azzura tersenyum lembut, tetapi entah kenapa Vio bisa merasakan luka di sana. Apakah Azzura benar-benar merasa baik-baik saja dengan adanya dirinya di sekitar mereka? Kenapa dia harus terjebak di antara keluarga ini? Jadi, kayak dia adalah orang ketiga yang selalu dimusuhi oleh emak-emak. Padahal ceritanya tidak seperti itu. Setelah sarapan, Vio hendak mengantarkan Kyra ke sekolah, tetapi Azzura melarang. "Kyra akan dikawal oleh bodyguard sungguhan, Vio. Aku nggak mau nempatin kamu dalam bahaya lagi. Maafkan aku." Azzura terlihat begitu menyesal. Tidak seharusnya dia menjadikan Vio sebagai penja
Senyum Brian terus mengembang sepanjang hari. Bagaimana tidak, dia layaknya remaja yang tengah jatuh cinta. Setiap saat dan setiap waktu, hanya terbayang wajah dan senyum Vio. Apakah ini tandanya dia sedang puber kedua?"Sebentar lagi kita akan rapat dengan Tuan Mark Sutopo, Pak. Ini adalah bahasan rapat nanti." Risa meletakkan tablet miliknya ke atas meja Brian. Dahi gadis itu mengerut, kala Brian sama sekali tidak menggubrisnya."Pak ...! Pak ...!" Gadis itu mengetukkan ruas jari di meja Brian, hingga membuat lelaki itu berjingkat kaget."Eh! Ada apa, Risa?" Brian gelagapan. Dia bahkan tidak menyadari jika ada Risa di depannya. Tangan Brian mencari benda apa pun agar memperlihatkan jika dirinya sedang sibuk kini."Ini materi yang akan kita bahas dengan Tuan Mark nanti, Pak." Risa kembali menyodorkan tablet miliknya kepada Brian. Dia merasa aneh, tidak biasanya Brian tidak fokus seperti ini.'Apa Pak Brian sedang bahagia?' Risa bisa melihat
Azzura meninggalkan Vio dan Sarah hanya berdua. Dia keluar dengan menggendong bayi Sarah. Azzura memberi waktu untuk Sarah, agar bisa bercerita semuanya pada Vio. Mungkin gadis itu merasa malu jika ada dia di sana.Vio mengelus punggung Sarah yang bergetar. Gadis malang itu hanya bisa menangis kala mengingat tentang kisah hidupnya. Semua yang awalnya indah menjadi seperti neraka untuknya.Vio masih memberi waktu pada Sarah untuk meluapkan emosinya. Vio tahu, mungkin selama ini Sarah diam karena dia tidak memiliki seseorang untuk bercerita."Hidupku hancur, Vio. Hancur." Sarah kembali menangis setelah mengucapkan kalimat itu. Bahkan, dia sangat malu untuk sekedar mengangkat wajahnya.Vio kembali teringat masa SMA dulu. Sarah adalah salah satu sahabat baiknya. Setelah lulus SMA, Sarah memutuskan untuk merantau ke kota Batam. Keadaan ekonomi keluarga mereka sama saja, tanpa kerja keras mereka tidak akan pernah makan."Apa yang sebenarnya ter
"Azzura. Kok nggak kasih kabar kalau mau ke sini?" Seorang pria langsung menyambut kedatangan Azzura. Wanita yang selalu tampak luar biasa untuknya. Meski telah bertahun-tahun, perasaan untuknya tidak pernah berubah.Azzura terkekeh. "Apa kamu sedang sibuk, Ad?" Keduanya berpelukan, sebagai sahabat tentunya. Adrian adalah sahabat terbaik dan selalu ada untuk Azzura."Tentu saja tidak. Jika untukmu, aku nggak akan sibuk." Adrian menuntun Azzura menuju ke sofa dan duduk di sana."Hm ... apa kamu bersikap tidak profesional sekarang?" Mata Azzura memicing, seolah sedang menunggu sebuah jawaban jujur dari Adrian."Kalau masalah kamu, mana bisa aku profesional, Zura.""Ya ... ya ... ya .... Terserah kamu saja." Keduanya pun terkekeh. Azzura bukannya tidak tahu perasaan Adrian, tetapi dia tidak mau sahabatnya itu terus berharap. Dia telah menikah dengan Brian dan tidak mungkin bersama dengan Adrian. Mungkin jika Adrian lebih dulu mengungkapkan perasaannya, Azzura bisa menerima, Namun, hal it
Brian: Vio bisa temui Mas di Hotel Froxy?Vio mengernyit kala membaca pesan dari suami. Untuk apa Brian memintanya bertemu di hotel? Padahal setiap hari juga mereka bertemu.Vio: Kenapa nggak di rumah saja, Mas? Memang ada apa?Brian: Aku kangen.Wajah Vio langsung memerah saat mendapat balasan dari sang suami. Dasar Brian. Ada-ada saja.Vio: Baik, Mas. Vio akan ke sana.Vio pun segera mengambil tas dan juga jaket miliknya. Bibirnya tak henti menyunggingkan senyum. Vio maklum, mungkin kalau di rumah, Brian akan merasa segan dengan keberadaan Azzura. Tapi, apa tidak apa jika mereka bertemu di belakang Azzura?Vio segera menepis pemikiran buruknya. Ini lebih baik dari pada Azzura harus melihat kemesraan mereka. Vio yakin jika hal itu akan terasa lebih menyakitkan."Kamu mau ke mana Vio?" tanya Azzura saat berpapasan di tangga bawah. Saat itu Azzura baru saja pulang, hendak naik ke kamarnya.Vio gelagapan, bingung mau jawab apa. "Ehm ... mau ketemu teman sebentar, Mbak." Teman tidur mak
Brian memijit pangkal hidungnya. Dia tidak menyangka jika Azzura akan datang ke kantor. Dia sudah seperti lelaki yang tengah berselingkuh kali ini."Aku balik bentar lagi, Risa. Bilang sama Azzura buat nunggu." Brian tidak mungkin menyuruh Azzura pulang. Wanita itu akan semakin curiga. Sungguh istrinya itu bukanlah orang yang bodoh."Baik, Pak."Brian langsung mematikan panggilan itu, dan menatap ke arah Vio. Istri keduanya itu tersenyum lembut ke arah Brian, membuat hatinya menjadi tenang."Udah sana, Mas Brian ke kantor saja. Kasihan Mbak Zura pasti udah nungguin." Brian mendesah berat. Sebenarnya dia ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama sang istri muda, terlebih mereka baru saja bermain satu ronde. Brian belum merasa puas. Akan tetapi, dia harus tetap kembali ke kantor, demi menjaga perasaan sang istri pertama."Oke. Aku mandi dulu, ya."Saat Vio hendak mengangguk, ponselnya berbunyi. Dia langsung saja meraih benda pipih yang dia letakkan di atas nakas.Matanya langsung m