Vio yang melihatnya hanya bisa diam membatu. Tidak ada yang salah dengan pemandangan di hadapannya. Yang salah adalah dia yang telah jatuh cinta pada Brian, suaminya.
"Mas. Kamu kenapa?" Azzura mencoba untuk bersikap biasa. Dia menyembunyikan lukanya. Dia harus mulai terbiasa dengan pemandangan seperti ini. Vio juga istri suaminya. Dia yang menyusun semua ini.
"Kamu ke mana saja? Aku nyari kamu, tetapi jejak kamu sama sekali nggak ada. Aku sampai mikir kamu nggak bakal balik lagi." Brian melerai pelukannya. Dia menatap ke arah wajah istrinya lama. Dia terlihat begitu merindukan sang istri. Begitu pula Azzura, matanya berkaca-kaca, sebagai bukti jika hanya Brian yang ada di hati.
Vio kembali merasakan sakit. Jika Azzura telah kembali, dia seolah tidak berarti lagi bagi Brian. Salahkah dia jika saat ini merasa cemburu?
'Mikir apa kamu, Vio? Kamu nggak sepantasnya cemburu. Harusnya kamu ikutan seneng karena Mbak Zura telah kembali,' rutuk Vio pada hati
Hari-hari pun berlalu. Brian kembali pada Azzura dan Vio, dia harus bisa menerima jika dia orang ketiga dalam rumah tangga ini. Meski Azzura tetap bersikap baik padanya, tetapi Vio juga harus menjaga jarak agar hatinya tidak terluka. Bohong jika dia tidak tertarik pada Brian.Kyra pun yang kembali melihat Azzura, menjadi bahagia. Dia begitu merindukan ibunya itu. Vio jadi seperti orang asing di sini. Dalam hati gadis itu menangis."Tante Vio ngapain di sini? Kenapa nggak ikut makan di ruang makan?" Kyra menghampiri Vio yang saat ini sedang melamun di depan kompor. Dia langsung mengusap air matanya saat mendengar suara Kyra."Ehm ... Tante Vio cuma lagi malas makan, Kyra. Nggak lapar." Vio mencoba tersenyum meski hatinya terluka. Tidak mungkin dia berkata jika dia cemburu dengan kemesraan Brian dan Azzura. Kyra tidak mengetahui tentang hubungan mereka.Kyra berdecak. "Nanti Tante sakit kalau nggak makan. Ayo sini! Ikut Kyra!" Tiba-tiba saja Kyra menyeret l
Kedua manik mata saling bertatapan. Memancarkan sebuah perasaan yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Jantung Brian berdegup dengan kencangnya, begitu pula Vio. Dia sampai tidak bisa menelan ludahnya.Tangan Brian membingkai wajah Vio. "Layani aku malam ini.""Tapi, Mbak Zura? Dia ada di kamar, 'kan?" Masih saja Vio memikirkan tentang Azzura. Wanita yang menjadi istri pertama Brian. Dia merasa sangat bersalah jika bermesraan dengan Brian selagi ada Azzura di rumah."Dia sudah tidur.""Tapi--"Belum sempat Vio mengucapkan apa yang ada di hatinya, Brian sudah membungkam bibir gadis itu dengan bibirnya. Rasa rindu yang telah bersarang berhari-hari, tidak mampu dia bendung lagi.Vio pun hanya bisa pasrah. Di samping karena Brian adalah suaminya dan juga dia tidak bisa menolak pesona pria itu. Salahkah hatinya yang selalu kalah oleh sentuhan sang suami? Meski logikanya terus menolak, tetapi gairahnya terus mengkhianati. Kini keduany
Napas Azzura tercekat saat melihat bekas cupang itu. Dia masih bisa mengenali tanda cinta yang sering dia buat pada tubuh Brian. Percintaan antara Brian dan Vio sepertinya begitu panas. Azzura hanya bisa mendesah berat."Zura. Bajuku mana?" Brian mencoba untuk mengalihkan perhatian Azzura. Dia merasa tidak enak. Padahal dia tidak selingkuh, kenapa rasanya sama seperti orang yang tengah selingkuh? Brian tidak menyangka bakal jadi serumit ini."I-ini, Mas." Azzura mengalihkan wajahnya setelah memberikan kemeja yang akan Brian kenakan pagi ini. Dia tidak tahan melihat itu semua. Tiba-tiba saja dia teringat akan suara desahan semalam. Membayangkan Brian berada di atas tubuh Vio dengan wajah penuh kepuasan sama seperti saat bersama dengan dirinya sungguh membuat dadanya sesak.'Cukup, Zura. Saat kamu meminta suamimu menikah lagi, seharusnya kamu juga harus siap berbagi. Enyahkan perasaan cemburu itu. Mulai saat ini, kamu harus siap jika melihat mereka bermesraan.' Ha
Vio terdiam kala mendengar apa yang dikatakan oleh Azzura. Dia ingin jujur, tetapi takut melukai perasaan Azzura. Jadi, apakah dia menyukai Brian? Jawabannya mungkin iya, tetapi demi melihat wajah sedih Azzura kali ini dia akan berbohong. "Aku--" "Nggak papa, kok kalau kamu suka Mas Brian. Emang harusnya gitu, biar suasana rumah jadi lebih enak." Azzura tersenyum lembut, tetapi entah kenapa Vio bisa merasakan luka di sana. Apakah Azzura benar-benar merasa baik-baik saja dengan adanya dirinya di sekitar mereka? Kenapa dia harus terjebak di antara keluarga ini? Jadi, kayak dia adalah orang ketiga yang selalu dimusuhi oleh emak-emak. Padahal ceritanya tidak seperti itu. Setelah sarapan, Vio hendak mengantarkan Kyra ke sekolah, tetapi Azzura melarang. "Kyra akan dikawal oleh bodyguard sungguhan, Vio. Aku nggak mau nempatin kamu dalam bahaya lagi. Maafkan aku." Azzura terlihat begitu menyesal. Tidak seharusnya dia menjadikan Vio sebagai penja
Senyum Brian terus mengembang sepanjang hari. Bagaimana tidak, dia layaknya remaja yang tengah jatuh cinta. Setiap saat dan setiap waktu, hanya terbayang wajah dan senyum Vio. Apakah ini tandanya dia sedang puber kedua?"Sebentar lagi kita akan rapat dengan Tuan Mark Sutopo, Pak. Ini adalah bahasan rapat nanti." Risa meletakkan tablet miliknya ke atas meja Brian. Dahi gadis itu mengerut, kala Brian sama sekali tidak menggubrisnya."Pak ...! Pak ...!" Gadis itu mengetukkan ruas jari di meja Brian, hingga membuat lelaki itu berjingkat kaget."Eh! Ada apa, Risa?" Brian gelagapan. Dia bahkan tidak menyadari jika ada Risa di depannya. Tangan Brian mencari benda apa pun agar memperlihatkan jika dirinya sedang sibuk kini."Ini materi yang akan kita bahas dengan Tuan Mark nanti, Pak." Risa kembali menyodorkan tablet miliknya kepada Brian. Dia merasa aneh, tidak biasanya Brian tidak fokus seperti ini.'Apa Pak Brian sedang bahagia?' Risa bisa melihat
Azzura meninggalkan Vio dan Sarah hanya berdua. Dia keluar dengan menggendong bayi Sarah. Azzura memberi waktu untuk Sarah, agar bisa bercerita semuanya pada Vio. Mungkin gadis itu merasa malu jika ada dia di sana.Vio mengelus punggung Sarah yang bergetar. Gadis malang itu hanya bisa menangis kala mengingat tentang kisah hidupnya. Semua yang awalnya indah menjadi seperti neraka untuknya.Vio masih memberi waktu pada Sarah untuk meluapkan emosinya. Vio tahu, mungkin selama ini Sarah diam karena dia tidak memiliki seseorang untuk bercerita."Hidupku hancur, Vio. Hancur." Sarah kembali menangis setelah mengucapkan kalimat itu. Bahkan, dia sangat malu untuk sekedar mengangkat wajahnya.Vio kembali teringat masa SMA dulu. Sarah adalah salah satu sahabat baiknya. Setelah lulus SMA, Sarah memutuskan untuk merantau ke kota Batam. Keadaan ekonomi keluarga mereka sama saja, tanpa kerja keras mereka tidak akan pernah makan."Apa yang sebenarnya ter
"Azzura. Kok nggak kasih kabar kalau mau ke sini?" Seorang pria langsung menyambut kedatangan Azzura. Wanita yang selalu tampak luar biasa untuknya. Meski telah bertahun-tahun, perasaan untuknya tidak pernah berubah.Azzura terkekeh. "Apa kamu sedang sibuk, Ad?" Keduanya berpelukan, sebagai sahabat tentunya. Adrian adalah sahabat terbaik dan selalu ada untuk Azzura."Tentu saja tidak. Jika untukmu, aku nggak akan sibuk." Adrian menuntun Azzura menuju ke sofa dan duduk di sana."Hm ... apa kamu bersikap tidak profesional sekarang?" Mata Azzura memicing, seolah sedang menunggu sebuah jawaban jujur dari Adrian."Kalau masalah kamu, mana bisa aku profesional, Zura.""Ya ... ya ... ya .... Terserah kamu saja." Keduanya pun terkekeh. Azzura bukannya tidak tahu perasaan Adrian, tetapi dia tidak mau sahabatnya itu terus berharap. Dia telah menikah dengan Brian dan tidak mungkin bersama dengan Adrian. Mungkin jika Adrian lebih dulu mengungkapkan perasaannya, Azzura bisa menerima, Namun, hal it
Brian: Vio bisa temui Mas di Hotel Froxy?Vio mengernyit kala membaca pesan dari suami. Untuk apa Brian memintanya bertemu di hotel? Padahal setiap hari juga mereka bertemu.Vio: Kenapa nggak di rumah saja, Mas? Memang ada apa?Brian: Aku kangen.Wajah Vio langsung memerah saat mendapat balasan dari sang suami. Dasar Brian. Ada-ada saja.Vio: Baik, Mas. Vio akan ke sana.Vio pun segera mengambil tas dan juga jaket miliknya. Bibirnya tak henti menyunggingkan senyum. Vio maklum, mungkin kalau di rumah, Brian akan merasa segan dengan keberadaan Azzura. Tapi, apa tidak apa jika mereka bertemu di belakang Azzura?Vio segera menepis pemikiran buruknya. Ini lebih baik dari pada Azzura harus melihat kemesraan mereka. Vio yakin jika hal itu akan terasa lebih menyakitkan."Kamu mau ke mana Vio?" tanya Azzura saat berpapasan di tangga bawah. Saat itu Azzura baru saja pulang, hendak naik ke kamarnya.Vio gelagapan, bingung mau jawab apa. "Ehm ... mau ketemu teman sebentar, Mbak." Teman tidur mak
Udara terasas berat seolah sisa oksigen di udara hanya tersisa sedikit. Jam dinding berdetak pelan, bunyi setiap detiknya seperti abad. Lima orang di sana saling diam dan terkurung dalam pemikirannya sendiri.Pada sofa panjang, duduk Anthony Wijaya bersama sang istri, Wening. Mereka menatap tajam ke arah Brian yang terlihat kusut di depannya. Lelaki itu sedari tadi tak henti bergerak gelisah karena sang istri histeris karenanya. Di sebelah Brian ada Kyra yang masih terlihat shock, melihat kenyataan tentang sang ibu.Di sudut ruangan, ada Adrian yang berdiri sembari menyandarkan punggungnya pada tembok. Kedua tangan dia lipat di depan dada dengan mata yang terus melihat ke arah empat orang di depan sana. Suasana ruangan itu menjadi lebih mencengkam dari pada pemakaman. Bahkan bagi Adrian ini lebih horor dari pada bertemu dengan hantu.Meski dia sahabat dan juga dokter Azzura, dia merasa bingung dengan keadaan ini. Kedua belah pihak masing-masing belum bisa berdamai. Meski Tuan Wijaya s
Ayah dan anak itu saling menatap cukup lama. Ada rasa rindu yang disampaikan oleh tatapan mata Brian pada Kyra. Dia ingin langsung berlari dan memeluk gadis itu tetapi dia juga ketakutan jika Kyra menolaknya. "Papa ....!" Hingga akhirnya Brian merasa lega ketika Kyra mendatanginya terlebih dahulu. Gadis itu berlari dan kemudian memeluknya. Dengan senang hati Brian membalas pelukan Kyra. Dia memeluk Kyra erat seolah tidak ingin melepaskannya lagi."Kyra, Papa kangen." Satu kata yang bisa menjelaskan semua yang dia rasakan selama ini. Mereka memang beberapa kali bertemu tetapi kedekatan sebagai ayah dan anak sudah lama hilang. "Maafkan Kyra, Pa. Maafkan karena selama ini selalu menyalahkan Papa. Maafkan karena Kyra tidak bisa mengerti Papa." Sebuah ungkapan permintaan maaf tulus keluar dari bibir mungil Kyra. Dia juga merindukan hal seperti ini, memeluk sang ayah dengan perasaan kasih dan sayang."Tidak, sayang. Papa yang minta maaf sama kamu karena sudah bersikap egois dan tidak pern
Kyra hanya diam setelah bertemu dengan Vio. Dia masih memikirkan apa yang dikatakan oleh Vio. Selama ini dia memang menutup mata dan telinga tentang apa yang terjadi pada kedua orang tuanya. Dia hanya ingin menyalahkan Vio atas apa yang terjadi.Kyra masih memegang surat perjanjian itu di tangannya. Beberapa kali dia hanya melihat dan takut untuk membukanya kembali. Dia masih tidak percaya jika ibunya yang telah merencanakan ini semua. Dia masih mengingkari jika sang ibu menderita Skizofrenia.Kyra menggeleng. "Ini pasti tidak benar, kan?" tanya Kyra yang lebih untuk dirinya sendiri. Gadis itu menarik napas panjang dan setelahnya mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk.Kyra kembali teringat tentang sang kakek yang beberapa hari ini ada di Swiss. Vio tadi bilang jika saat ini sang ayah sedang berada di Swiss untuk menjemput sang ibu. Apa mungkin kakeknya selama ini bersama dengan ibunya?"Pak! Bisa lebih cepat?" Kyra memberi perintah pada pak sopir yang dibalas anggukan. Laju mo
Setelah mendengar semuanya dari Handoko, Vio pun berniat mengunjungi makan sang ibu. Selama ini, Handoko memang tidak pernah memberitahukan tentang ibunya. Handoko selalu menyembunyikan kenyataan tentang sang ibu. Dan Vio menjadi terbiasa untuk tidak bertanya. Yang terpenting baginya adalah dia memiliki seorang ayah yang hebat.Sudah beberapa saat Vio duduk di depan batu nisan tanpa mengucapkan apa pun. Dia tidak tahu bagaimana harus menyapa sang ibu karena dia tidak pernah melakukannya seumur hidup.Masih dengan mulut yang tertutup, Vio mulai menggerakkan tangannya untuk mencabut rumput di atas gundukan tanah. Sesekali ekor matanya melirik ke arah nama yang ada di batu nisan."Maafkan aku baru bisa datang, Bu. Aku baru mengetahui tentangmu." Vio menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan air mata yang hendak jatuh. Meski dia tidak mengenal apa pun tentang ibunya tetapi Vio bisa merasakan kesedihan yang dialami sang ibu. Untung ada Handoko yang akhirnya membuat ibunya bertahan meski
Setelah kejadian itu, Wijaya tidak melarang kedatangan Brian. Dia senang karena Azzura menjadi semakin ceria. Meski sesekali dia kumat dan mengamuk tetapi Azzura lebih sering tersenyum. Brian setiap hari datang bersama dengan Adrian dan selalu menemani Azzura. Entah itu membaca novel atau merajut. Lelaki itu begitu sadar dan telaten menemani Azzura hingga dia melupakan keberadaan Vio. Dia bahkan belum menghubungi Vio lagi sejak hari itu.Vio terus-terusan melihat ke arah ponselnya. Sudah berhari-hari suaminya pergi dan belum memberi kabar padanya. Tentu saja dia khawatir terjadi hal buruk pada Brian. Brian hanya menghubungi sekali ketika lelaki itu keluar dari bandara dan dalam perjalanan menuju hotel."Ada apa, Nak? Kenapa kamu terlihat gelisah? Apa Brian belum menghubungimu?" Handoko muncul dari dalam kamarnya. Tangan kanannya menekan sebuah tombol sehingga kursi roda miliknya berjalan dengan otomatis.Vio hanya meringis. Dia bahkan tidak menceritakan hal ini pada ayahnya tetapi ken
Wijaya berjalan cepat ke arah ranjang Azzura. Dia lantas menarik bagian belakang kemeja yang dikenakan Brian dan mendorong lelaki itu hingga membentur tembok. Masih belum puas, Wijaya kembali mendekati Brian dan menarik wig yang lelaki itu gunakan. Wajah Wijaya langsung merah padam ketika mengetahui jika Brian yang sedari tadi bersama dengan anaknya.Sejak melihat lelaki yang menggendong Azzura, Wijaya sudah mencurigai jika itu adalah Brian. Pasalnya tidak mungkin Adrian memperbolehkan lelaki lain menyentuh Azzura. Dan kali ini kecurigaannya terbukti. Wijaya benar-benar marah ketika mengetahui jika Adrian telah menipunya."Apa yang kamu lakukan di sini? Bukankah sudah aku katakan untuk tidak mencari Azzura lagi?" bentak Wijaya pada Brian. Darahnya naik karena dia enggan Brian menyentuh Azzura lagi. Meski Wijaya mengetahui jika pernikahan kedua Brian adalah keinginan Azzura tetapi dia belum merelakan hal itu. Dia sudah tidak peduli Brian bersama siapa saat ini tetapi dia tidak ingin Br
"Ada apa, Adrian?" Suara seseorang yang sangat mereka kenal, membuat mereka terhenti. Baik Brian maupun Adrian merasa takut hingga tidak ada satu pun yang menoleh. "Adrian! Kenapa kamu diam saja!" Terdengar langkah kaki mendekat dan Adrian pun terpaksa membalik badan. Dia tesenyum menyambut Tuan Wijaya yang semakin mendekat. Dia tidak menyangka jika lelaki tua itu akan datang lebih awal dari biasanya. "Ehm ... saya membius Azzura karena dia tadi mengamuk, Om," jelas Adrian sembari menggeser tubuhnya menutupi punggung Brian. Meski Brian masih menyamar tetapi tidak menutup kemungkinan Tuan Wijaya bisa mengenali menantunya tersebut. Walau bagaimana pun mereka telah menjadi ayah mertua dan menantu dalam waktu yang cukup lama.Tuan Wijaya menghela napas panjang. "Apa ada pengobatan yang bisa menyembuhkannya secara penuh? Aku akan membayarnya berapa pun itu." Itu adalah sebuah keputus asaan dari seorang ayah terhadap keadaan putrinya. Azzura adalah anak satu-satunya dan dia adalah duniany
Suara klakson dari mobil Adrian membuat penjaga yang ada di pos melongok. Ketika tahu jika itu mobil Adrian, mereka pun membukakan pintu."Apa Tuan Wijaya telah datang?" tanya Adrian pada penjaga yang membukakan pintu untuknya. Sebelum menjawab, penjaga itu melirik ke arah lelaki yang duduk di sebelah Adrian. Keningnya berkerut tanda jika dia memiliki keraguan tentang orang yang dibawa Adrian.Adrian yang menyadari lantas menoleh sekilas ke arah Brian. "Ah ... ini adalah asistenku. Aku mengajaknya karena aku membutuhkan bantuannya. Keadaan Azzura sudah sangat buruk, dan aku takut dia melukaiku."Brian termenung ketika mendengar ucapan Adrian. Apakah keadaan istrinya sudah seburuk itu? "Jangan buat keributan!" Brian menoleh saat Adrian mengucapkan sesuatu. Adrian baru saja menutup kaca jendela mobil dan hendak menjalankan mobilnya kembali.Brian masih diam seperti orang kebingungan. Hingga akhirnya dia membuka mulutnya dan bertanya, "Apa keadaan Azzura memang seburuk itu?" Separuh jiw
Brian mengemudi dengan ugal-ugalan meski cuaca sangat buruk. Salju turun dengan lebat sehingga mengganggu pandangan. Namun meski begitu Brian bisa menyusul mobil Adrian dan memotong jalan hingga Adrian terpaksa menghentikan mobilnya mendadak.Brian menutup pintu mobil dengan keras hingga menimbulkan bunyi. Dia segera berjalan ke arah Adrian dan kembali menggedor kaca mobil lelaki itu."Adrian! Keluar kamu!" Emosi telah menguasai Brian sehingga dia tidak bisa bersikap sabar. Dia sebagai suami Azzura tidak diperbolehkan bertemu dengan wanita itu tetapi kenapa Adrian bisa bertemu dengannya?Adrian ciam cukup lama. Dia mengatur napasnya berusaha untuk tetap tenang dan setelah beberapa saat dia pun membuka pintu mobilnya."Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu bersikap seperti preman?" Adrian mengangkat wajahnya, menyiratkan jika dia tidak takut dengan Brian. Keduanya saling menatap tajam, seolah masing-masing menyimpan kebencian.Amarah telah menguasi Brian hingga dia tidak bisa bersikap ten