Azzura meninggalkan Vio dan Sarah hanya berdua. Dia keluar dengan menggendong bayi Sarah. Azzura memberi waktu untuk Sarah, agar bisa bercerita semuanya pada Vio. Mungkin gadis itu merasa malu jika ada dia di sana.
Vio mengelus punggung Sarah yang bergetar. Gadis malang itu hanya bisa menangis kala mengingat tentang kisah hidupnya. Semua yang awalnya indah menjadi seperti neraka untuknya.Vio masih memberi waktu pada Sarah untuk meluapkan emosinya. Vio tahu, mungkin selama ini Sarah diam karena dia tidak memiliki seseorang untuk bercerita."Hidupku hancur, Vio. Hancur." Sarah kembali menangis setelah mengucapkan kalimat itu. Bahkan, dia sangat malu untuk sekedar mengangkat wajahnya.Vio kembali teringat masa SMA dulu. Sarah adalah salah satu sahabat baiknya. Setelah lulus SMA, Sarah memutuskan untuk merantau ke kota Batam. Keadaan ekonomi keluarga mereka sama saja, tanpa kerja keras mereka tidak akan pernah makan."Apa yang sebenarnya ter"Azzura. Kok nggak kasih kabar kalau mau ke sini?" Seorang pria langsung menyambut kedatangan Azzura. Wanita yang selalu tampak luar biasa untuknya. Meski telah bertahun-tahun, perasaan untuknya tidak pernah berubah.Azzura terkekeh. "Apa kamu sedang sibuk, Ad?" Keduanya berpelukan, sebagai sahabat tentunya. Adrian adalah sahabat terbaik dan selalu ada untuk Azzura."Tentu saja tidak. Jika untukmu, aku nggak akan sibuk." Adrian menuntun Azzura menuju ke sofa dan duduk di sana."Hm ... apa kamu bersikap tidak profesional sekarang?" Mata Azzura memicing, seolah sedang menunggu sebuah jawaban jujur dari Adrian."Kalau masalah kamu, mana bisa aku profesional, Zura.""Ya ... ya ... ya .... Terserah kamu saja." Keduanya pun terkekeh. Azzura bukannya tidak tahu perasaan Adrian, tetapi dia tidak mau sahabatnya itu terus berharap. Dia telah menikah dengan Brian dan tidak mungkin bersama dengan Adrian. Mungkin jika Adrian lebih dulu mengungkapkan perasaannya, Azzura bisa menerima, Namun, hal it
Brian: Vio bisa temui Mas di Hotel Froxy?Vio mengernyit kala membaca pesan dari suami. Untuk apa Brian memintanya bertemu di hotel? Padahal setiap hari juga mereka bertemu.Vio: Kenapa nggak di rumah saja, Mas? Memang ada apa?Brian: Aku kangen.Wajah Vio langsung memerah saat mendapat balasan dari sang suami. Dasar Brian. Ada-ada saja.Vio: Baik, Mas. Vio akan ke sana.Vio pun segera mengambil tas dan juga jaket miliknya. Bibirnya tak henti menyunggingkan senyum. Vio maklum, mungkin kalau di rumah, Brian akan merasa segan dengan keberadaan Azzura. Tapi, apa tidak apa jika mereka bertemu di belakang Azzura?Vio segera menepis pemikiran buruknya. Ini lebih baik dari pada Azzura harus melihat kemesraan mereka. Vio yakin jika hal itu akan terasa lebih menyakitkan."Kamu mau ke mana Vio?" tanya Azzura saat berpapasan di tangga bawah. Saat itu Azzura baru saja pulang, hendak naik ke kamarnya.Vio gelagapan, bingung mau jawab apa. "Ehm ... mau ketemu teman sebentar, Mbak." Teman tidur mak
Brian memijit pangkal hidungnya. Dia tidak menyangka jika Azzura akan datang ke kantor. Dia sudah seperti lelaki yang tengah berselingkuh kali ini."Aku balik bentar lagi, Risa. Bilang sama Azzura buat nunggu." Brian tidak mungkin menyuruh Azzura pulang. Wanita itu akan semakin curiga. Sungguh istrinya itu bukanlah orang yang bodoh."Baik, Pak."Brian langsung mematikan panggilan itu, dan menatap ke arah Vio. Istri keduanya itu tersenyum lembut ke arah Brian, membuat hatinya menjadi tenang."Udah sana, Mas Brian ke kantor saja. Kasihan Mbak Zura pasti udah nungguin." Brian mendesah berat. Sebenarnya dia ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama sang istri muda, terlebih mereka baru saja bermain satu ronde. Brian belum merasa puas. Akan tetapi, dia harus tetap kembali ke kantor, demi menjaga perasaan sang istri pertama."Oke. Aku mandi dulu, ya."Saat Vio hendak mengangguk, ponselnya berbunyi. Dia langsung saja meraih benda pipih yang dia letakkan di atas nakas.Matanya langsung m
Azzura yang menyadari ketegangan keduanya lantas mengalihkan pembicaraan. "Haha. Kenapa kalian jadi tegang? Aku cuma asal ngomong, kok." Azzura berusaha tetap tersenyum, meski hatinya remuk redam. "Kamu udah makan, Mas?" tanya Azzura mencoba memecah kecanggungan.Azzura yakin jika mereka baru saja bersama. Kenapa mesti diam-diam, sih? Kalau seperti ini, bukankah membuat Azzura semakin merasa sakit?"Ehm ... belum, Zura." Mana sempat makan kalau di hotel tadi dia sibuk memakan Vio? Percintaannya tadi benar-benar menggairahkan. Dia tidak sanggup memikirkan perutnya sendiri. Yang ada di pikirannya hanyalah memanfaatkan waktu yang mereka miliki dengan baik."Kamu udah makan, Vio?" Azzura menatap Vio yang saat ini masih terlihat kikuk. Dia masih merasa bersalah dengan apa yang dia lakukan bersama Brian, meski statusnya juga istri lelaki itu."Aku udah kok, Mbak. Di rumah temen tadi." Brian mengernyit. Vio juga belum makan seperti dirinya, kenapa justru berbohong? Namun, tidak mungkin Brian
Vio gelisah dalam tidurnya. Dia tentu saja masih memikirkan pertanyaan Azzura siang tadi. Meski akhirnya Azzura hanya tertawa dan menganggap pertanyaannya hanya sebuah candaan. Namun, tentu saja hal itu tidak berlaku untuk Vio. Perasaannya sama sekali tidak tenang. Dia merasa menjadi semacam pelakor dalam rumah tangga orang lain.Vio menoleh ke arah pintu kamar. Sosok lelaki tampan dan gagah masuk dengan langkah pelan ke dalam kamarnya. Vio sontak melebarkan matanya dan langsung terduduk kala melihat sosok itu semakin dekat ke ranjangnya."Mas Brian, apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Vio dengan setengah berbisik. Dia tidak mau ada yang mendengar ucapannya. Bukannya menjawab, Brian justru semakin mengikis jarak antara mereka. Kini bahkan dirinya telah berada tepat di hadapan Vio."Aku kangen," ucap Brian sesaat setelah mereka hanya berjarak beberapa senti saja. Sungguh perasaannya begitu hampa saat tidak ada Vio di sisinya. Katakanlah dia berdosa karena menduakan Azzura, tetapi ini
Setelah mengantarkan Kyra ke sekolah, Azzura segera menuju ke klinik Adrian. Hanya Adrian satu-satunya sahabat yang dia miliki dan satu-satunya teman yang dia percayai. Tidak perlu bertanya atau membuat janji, Azzura selalu memiliki akses penuh untuk masuk ke ruangan Adrian. Jika yang belum tahu, maka mereka pasti akan mengira jika Azzura itu adalah kekasih Adrian."Apakah aku mengganggumu, Ad?" Azzura langsung saja duduk di sofa yang ada di ruangan itu. Dia meletakkan tasnya di sisinya dan duduk dengan anggun di sana.Adrian yang sedang berkutat dengan pekerjaannya melirik sekilas ke arah Azzura, setelahnya dia kembali menekuni pekerjaannya."Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikan pekerjaanku telebih dahulu." Azzura mengangguk. Matanya mengamati seluruh isi ruangan. Tidak ada yang berubah, selera lelaki itu selalu sama. Bahkan Adrian masih menyimpan boneka yang Azzura berikan waktu mereka masih sama-sama kuliah.Azzura tersenyum kecil kala mengingat saat itu. Dia bermain mesin capi
Azzura melihat ke arah kaca besar yang ada di depannya. Dia bisa melihat pantulan dirinya di sana. Bentuk tubuhnya tidak banyak yang berubah. Bahkan bisa dikatakan jika tubuh Azzura masih terlihat begitu kencang dan juga seksi di usianya yang sudah menginjak angka tiga puluh tahun.Azzura berdiri menyamping, melihat dirinya dari arah samping. Sebelah tangannya menyentuh perutnya. Rata. Bahkan sama sekali tidak ada stretch mark di sana. Tubuhnya cepat sekali pulih pasca melahirkan Kyra dulu. "Aku tidak kalah seksi dari Vio," gumamnya seorang diri. Wanita itu saat ini hanya mengenakan lingerie tipis yang tentu saja mempertontonkan bentuk tubuhnya yang masih aduhai di usia tiga puluh tahun ini. Buah dada yang masih terlihat kencang dan membusung, bongkahan bawah pinggang yang juga masih terlihat padat. Azzura menilai jika tampilan fisiknya tidak kalah dibandigkan dengan Vio.Azzura memang sengaja tampil seksi agar suaminya kembali tertarik padanya. Rasanya begitu sakit saat Brian sama s
Azzura berjalan menuju ruang makan dengan wajah cerah. Bagaimana tidak, semalam dia dan Brian bercinta hingga beberapa ronde. Brian yang dulu, kini telah kembali. Brian dengan segala kelembutannya dalam bercinta.Di meja makan sudah ada Vio yang menunggu di sana. Dia belum memulai sarapannya karena menunggu anggota keluarga yang lain."Selamat pagi, Vio," sapanya pada gadis bermata abu itu. Tidak lupa, seutas senyum dia tujukan pada Vio. Vio pun membalas Azzura dengan sebuah senyuman."Pagi juga, Mbak Zura," balas Vio. Azzura duduk di kursi yang berhadapan dengan Vio. "Happy banget, Mbak?" tanya Vio senang karena melihat wajah Azzura yang terlihat begitu segar. Azzura tersenyum malu-malu ditanya seperti itu. Dia menyelipkan rambutnya di belakang telinga."Iya," jawab Azzura singkat. Atensi mereka terganggu saat melihat sang kepala rumah tangga mendekat ke arah keduanya.Brian berdehem. "Pagi," sapanya singkat. Dia mengecup pipi Azzura, setelahnya mengecup pipi Vio. Gadis itu hanya me