Kyra hanya diam setelah bertemu dengan Vio. Dia masih memikirkan apa yang dikatakan oleh Vio. Selama ini dia memang menutup mata dan telinga tentang apa yang terjadi pada kedua orang tuanya. Dia hanya ingin menyalahkan Vio atas apa yang terjadi.Kyra masih memegang surat perjanjian itu di tangannya. Beberapa kali dia hanya melihat dan takut untuk membukanya kembali. Dia masih tidak percaya jika ibunya yang telah merencanakan ini semua. Dia masih mengingkari jika sang ibu menderita Skizofrenia.Kyra menggeleng. "Ini pasti tidak benar, kan?" tanya Kyra yang lebih untuk dirinya sendiri. Gadis itu menarik napas panjang dan setelahnya mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk.Kyra kembali teringat tentang sang kakek yang beberapa hari ini ada di Swiss. Vio tadi bilang jika saat ini sang ayah sedang berada di Swiss untuk menjemput sang ibu. Apa mungkin kakeknya selama ini bersama dengan ibunya?"Pak! Bisa lebih cepat?" Kyra memberi perintah pada pak sopir yang dibalas anggukan. Laju mo
Ayah dan anak itu saling menatap cukup lama. Ada rasa rindu yang disampaikan oleh tatapan mata Brian pada Kyra. Dia ingin langsung berlari dan memeluk gadis itu tetapi dia juga ketakutan jika Kyra menolaknya. "Papa ....!" Hingga akhirnya Brian merasa lega ketika Kyra mendatanginya terlebih dahulu. Gadis itu berlari dan kemudian memeluknya. Dengan senang hati Brian membalas pelukan Kyra. Dia memeluk Kyra erat seolah tidak ingin melepaskannya lagi."Kyra, Papa kangen." Satu kata yang bisa menjelaskan semua yang dia rasakan selama ini. Mereka memang beberapa kali bertemu tetapi kedekatan sebagai ayah dan anak sudah lama hilang. "Maafkan Kyra, Pa. Maafkan karena selama ini selalu menyalahkan Papa. Maafkan karena Kyra tidak bisa mengerti Papa." Sebuah ungkapan permintaan maaf tulus keluar dari bibir mungil Kyra. Dia juga merindukan hal seperti ini, memeluk sang ayah dengan perasaan kasih dan sayang."Tidak, sayang. Papa yang minta maaf sama kamu karena sudah bersikap egois dan tidak pern
Udara terasas berat seolah sisa oksigen di udara hanya tersisa sedikit. Jam dinding berdetak pelan, bunyi setiap detiknya seperti abad. Lima orang di sana saling diam dan terkurung dalam pemikirannya sendiri.Pada sofa panjang, duduk Anthony Wijaya bersama sang istri, Wening. Mereka menatap tajam ke arah Brian yang terlihat kusut di depannya. Lelaki itu sedari tadi tak henti bergerak gelisah karena sang istri histeris karenanya. Di sebelah Brian ada Kyra yang masih terlihat shock, melihat kenyataan tentang sang ibu.Di sudut ruangan, ada Adrian yang berdiri sembari menyandarkan punggungnya pada tembok. Kedua tangan dia lipat di depan dada dengan mata yang terus melihat ke arah empat orang di depan sana. Suasana ruangan itu menjadi lebih mencengkam dari pada pemakaman. Bahkan bagi Adrian ini lebih horor dari pada bertemu dengan hantu.Meski dia sahabat dan juga dokter Azzura, dia merasa bingung dengan keadaan ini. Kedua belah pihak masing-masing belum bisa berdamai. Meski Tuan Wijaya s
Hidup Brian Pradipta sangatlah sempurna. Bisa dipastikan jika banyak pria yang iri dengan kehidupannya. Di usia 35 tahun dia sudah menjadi seorang CEO yang sangat sukses.Memiliki keluarga yang bahagia bersama dengan wanita yang sangat dia cintai, Azzura Wijaya. Azzura Wijaya adalah anak dari Antony Wijaya, investor terbesar di perusahaannya. Tapi, bukan dengan alasan itu mereka menikah, tetapi karena mereka saling mencintai.Dari pernikahan itu mereka dikaruniai seorang putri cantik yang mereka beri nama Kyra Wijaya Pradipta. Menyandang nama besar dua keluarga membuat kehidupan Kyra menjadi mimpi banyak anak gadis seusianya. Bahkan saat perayaan ulang tahunnya yang ke-sebelas, Brian menghadiahi putrinya itu dengan sebuah helikopter untuk anaknya. Kyra menjelma sebagai seorang sosialita di usia yang masih belia.Brian sangat bersyukur dengan kehidupannya yang sudah sempurna, hingga sebuah permintaan dari Azzura menggoyahkan harga dirinya."Mas ... menikahlah lagi
Pembicaraan Brian dengan istrinya malam itu sungguh membuat Brian tak konsen dalam kerjanya. Selama beberapa hari ini dia uring-uringan nggak jelas. Semua anak buahnya menjadi sasaran kemarahan dari CEO Pradipta Corporation itu. Termasuk Risa, sekertarisnya.BRAK!Terdengar suara bantingan. Rupanya Brian telah membanting map yang baru saja diberikan oleh Risa. Tak ada yang benar beberapa hari ini. Semua kacau."Kamu udah kerja sama aku berapa lama?! Kenapa bikin laporan kayak gini aja nggak bisa?!" Suara teriakan Brian menggema memenuhi kantornya. Risa begitu takut kali ini. Bosnya yang biasanya santai dan juga tenang, menjadi sangat temperamen. Sudah tiga hari ini, Risa menghitung saat Bosnya mulai berubah.'Ada masalah apa, si Bos, kok jadi kayak singa ngamuk gini?' batin Risa. Sungguh tiga hari ini telah menjadi hari terburuk untuknya selama lima tahun bekerja bersama Brian. Bahkan untuk sekejap, Risa sangat ingin keluar dari pekerjaannya."Jawa
Setelah meninggalkan Azzura, Brian tak tahu harus pergi ke mana. Dia hanya masuk ke dalam mobil lantas menghidupkan mesin, keluar dari rumah besarnya itu. Sedang tujuan, Brian tak tahu akan ke mana.Udara malam menemani perjalanan Brian malam ini. Sang Dewi Malam sedang menampakkan keindahannya. Langit yang cerah dengan ribuan bintang, menjadi saksi kegalauan hati lelaki itu. Jika bisa, dia akan mengumpat orang yang memintanya untuk menikah lagi. Tapi, sayangnya orang itu adalah Azzura, istrinya sendiri.Tak mungkin dia melontarkan berbagai macam makian untuk wanita yang sangat dia cintai, ibu dari buah hatinya."Argh ...! Brengsek! Brengsek!" Brian memukul klakson mobilnya. Hingga membuat jalanan yang aslinya senyap, menjadi berisik karena bunyi yang berasal dari klakson mobilnya itu.Jika sedang seperti ini, dia butuh sesuatu untuk menenangkannya. Segera Brian menepikan mobilnya di salah satu minimarket yang ada di pinggir jalan untuk membeli rokok. Ya,
"Cukup!" Baik Brian maupun gadis itu melihat ke arah orang yang tengah berteriak itu. Seorang pria botak berusia sekitar 50 tahun dengan perut buncit menghampiri mereka."Malam, Pak," sapa pelayan yang menghampiri mereka tadi. Sepertinya pria itu manager atau mungkin malah pemilik Minimarket itu."Hm ... ada apa ini?" tanya pria botak itu dengan wajah garang. Dia melihat ke arah kedua orang pembuat onar bergantian."Ini, Pak Gibran, tadi mereka bertengkar karena Mbak ini telah menuduh Bapak ini melakukan pelecehan terhadap Mbak-nya," jelas pelayan itu sedikit takut. Sang pegawai menunggu reaksi yang akan ditunjukkan bos-nya."Pelecehan? Pelecehan seperti apa?" tanya Pak Gibran, dia ingin tahu lebih lanjut."Dia meremas bokong saya, Pak!" ujar si gadis. Dia harus mempertahankan harga dirinya."Bukan saya!" bantah Brian."Masih nggak mau ngaku, Om?" Si gadis melotot ke arah Brian.Brian melihat
"Nah! Nah 'kan, lihat itu! Sudah kebukti sekarang, siapa yang salah?" Netra si gadis membola. Dia seakan tak percaya dengan apa yang dia lihat. Dia merasa malu kali ini. Mau ditaruh di mana mukanya kali ini. Bisa-bisanya dia menuduh orang yang sama sekali tak bersalah."Mu-mungkin itu salah, Mas. C-coba putar lagi." Tidak! Dia tak boleh langsung percaya dengan apa yang dia lihat. CCTV itu 'kan belum HD, jadinya gambarnya masih blur. Mungkin tadi dia salah lihat."Ck! Masih belum percaya? Tu mata ilangin dulu beleknya biar jelas. Jangan sampai rabun!" Brian benar-benar kesal. Semua sudah terlihat dengan jelas, masih saja gadis itu belum mau menyerah untuk menuduhnya.Sontak si gadis langsung mengusap sudut matanya, takut jika beneran ada belek di sana. Brian terkekeh saat melihat pemandangan itu, sungguh gadis itu membuatnya menjadi pribadi yang lain.'Bego, lo, Vio. Om mesum itu 'kan cuma ngisengin kamu bilang kayak gitu. Mau aja lo dikerjain.' Gadi