Udara terasas berat seolah sisa oksigen di udara hanya tersisa sedikit. Jam dinding berdetak pelan, bunyi setiap detiknya seperti abad. Lima orang di sana saling diam dan terkurung dalam pemikirannya sendiri.Pada sofa panjang, duduk Anthony Wijaya bersama sang istri, Wening. Mereka menatap tajam ke arah Brian yang terlihat kusut di depannya. Lelaki itu sedari tadi tak henti bergerak gelisah karena sang istri histeris karenanya. Di sebelah Brian ada Kyra yang masih terlihat shock, melihat kenyataan tentang sang ibu.Di sudut ruangan, ada Adrian yang berdiri sembari menyandarkan punggungnya pada tembok. Kedua tangan dia lipat di depan dada dengan mata yang terus melihat ke arah empat orang di depan sana. Suasana ruangan itu menjadi lebih mencengkam dari pada pemakaman. Bahkan bagi Adrian ini lebih horor dari pada bertemu dengan hantu.Meski dia sahabat dan juga dokter Azzura, dia merasa bingung dengan keadaan ini. Kedua belah pihak masing-masing belum bisa berdamai. Meski Tuan Wijaya s
Hidup Brian Pradipta sangatlah sempurna. Bisa dipastikan jika banyak pria yang iri dengan kehidupannya. Di usia 35 tahun dia sudah menjadi seorang CEO yang sangat sukses.Memiliki keluarga yang bahagia bersama dengan wanita yang sangat dia cintai, Azzura Wijaya. Azzura Wijaya adalah anak dari Antony Wijaya, investor terbesar di perusahaannya. Tapi, bukan dengan alasan itu mereka menikah, tetapi karena mereka saling mencintai.Dari pernikahan itu mereka dikaruniai seorang putri cantik yang mereka beri nama Kyra Wijaya Pradipta. Menyandang nama besar dua keluarga membuat kehidupan Kyra menjadi mimpi banyak anak gadis seusianya. Bahkan saat perayaan ulang tahunnya yang ke-sebelas, Brian menghadiahi putrinya itu dengan sebuah helikopter untuk anaknya. Kyra menjelma sebagai seorang sosialita di usia yang masih belia.Brian sangat bersyukur dengan kehidupannya yang sudah sempurna, hingga sebuah permintaan dari Azzura menggoyahkan harga dirinya."Mas ... menikahlah lagi
Pembicaraan Brian dengan istrinya malam itu sungguh membuat Brian tak konsen dalam kerjanya. Selama beberapa hari ini dia uring-uringan nggak jelas. Semua anak buahnya menjadi sasaran kemarahan dari CEO Pradipta Corporation itu. Termasuk Risa, sekertarisnya.BRAK!Terdengar suara bantingan. Rupanya Brian telah membanting map yang baru saja diberikan oleh Risa. Tak ada yang benar beberapa hari ini. Semua kacau."Kamu udah kerja sama aku berapa lama?! Kenapa bikin laporan kayak gini aja nggak bisa?!" Suara teriakan Brian menggema memenuhi kantornya. Risa begitu takut kali ini. Bosnya yang biasanya santai dan juga tenang, menjadi sangat temperamen. Sudah tiga hari ini, Risa menghitung saat Bosnya mulai berubah.'Ada masalah apa, si Bos, kok jadi kayak singa ngamuk gini?' batin Risa. Sungguh tiga hari ini telah menjadi hari terburuk untuknya selama lima tahun bekerja bersama Brian. Bahkan untuk sekejap, Risa sangat ingin keluar dari pekerjaannya."Jawa
Setelah meninggalkan Azzura, Brian tak tahu harus pergi ke mana. Dia hanya masuk ke dalam mobil lantas menghidupkan mesin, keluar dari rumah besarnya itu. Sedang tujuan, Brian tak tahu akan ke mana.Udara malam menemani perjalanan Brian malam ini. Sang Dewi Malam sedang menampakkan keindahannya. Langit yang cerah dengan ribuan bintang, menjadi saksi kegalauan hati lelaki itu. Jika bisa, dia akan mengumpat orang yang memintanya untuk menikah lagi. Tapi, sayangnya orang itu adalah Azzura, istrinya sendiri.Tak mungkin dia melontarkan berbagai macam makian untuk wanita yang sangat dia cintai, ibu dari buah hatinya."Argh ...! Brengsek! Brengsek!" Brian memukul klakson mobilnya. Hingga membuat jalanan yang aslinya senyap, menjadi berisik karena bunyi yang berasal dari klakson mobilnya itu.Jika sedang seperti ini, dia butuh sesuatu untuk menenangkannya. Segera Brian menepikan mobilnya di salah satu minimarket yang ada di pinggir jalan untuk membeli rokok. Ya,
"Cukup!" Baik Brian maupun gadis itu melihat ke arah orang yang tengah berteriak itu. Seorang pria botak berusia sekitar 50 tahun dengan perut buncit menghampiri mereka."Malam, Pak," sapa pelayan yang menghampiri mereka tadi. Sepertinya pria itu manager atau mungkin malah pemilik Minimarket itu."Hm ... ada apa ini?" tanya pria botak itu dengan wajah garang. Dia melihat ke arah kedua orang pembuat onar bergantian."Ini, Pak Gibran, tadi mereka bertengkar karena Mbak ini telah menuduh Bapak ini melakukan pelecehan terhadap Mbak-nya," jelas pelayan itu sedikit takut. Sang pegawai menunggu reaksi yang akan ditunjukkan bos-nya."Pelecehan? Pelecehan seperti apa?" tanya Pak Gibran, dia ingin tahu lebih lanjut."Dia meremas bokong saya, Pak!" ujar si gadis. Dia harus mempertahankan harga dirinya."Bukan saya!" bantah Brian."Masih nggak mau ngaku, Om?" Si gadis melotot ke arah Brian.Brian melihat
"Nah! Nah 'kan, lihat itu! Sudah kebukti sekarang, siapa yang salah?" Netra si gadis membola. Dia seakan tak percaya dengan apa yang dia lihat. Dia merasa malu kali ini. Mau ditaruh di mana mukanya kali ini. Bisa-bisanya dia menuduh orang yang sama sekali tak bersalah."Mu-mungkin itu salah, Mas. C-coba putar lagi." Tidak! Dia tak boleh langsung percaya dengan apa yang dia lihat. CCTV itu 'kan belum HD, jadinya gambarnya masih blur. Mungkin tadi dia salah lihat."Ck! Masih belum percaya? Tu mata ilangin dulu beleknya biar jelas. Jangan sampai rabun!" Brian benar-benar kesal. Semua sudah terlihat dengan jelas, masih saja gadis itu belum mau menyerah untuk menuduhnya.Sontak si gadis langsung mengusap sudut matanya, takut jika beneran ada belek di sana. Brian terkekeh saat melihat pemandangan itu, sungguh gadis itu membuatnya menjadi pribadi yang lain.'Bego, lo, Vio. Om mesum itu 'kan cuma ngisengin kamu bilang kayak gitu. Mau aja lo dikerjain.' Gadi
Vio keluar dari ruangan CCTV, mencari di mana keberadaan orang yang telah melecehkannya. Dia geram karena tak juga menemukan orang itu. Vio berlari ke luar Minimarket, tengok ke kiri dan ke kanan, namun nihil."Ke mana si brengsek itu?" Vio meremas tangannya, merasakan amarah yang luar biasa. Sungguh jika dibiarkan maka orang yang melakukan hal itu akan terus menjamur. Dia harus memberi pelajaran untuk orang mesum seperti itu.Kebanyakan wanita di dunia memang sengaja bungkam jika dilecehkan karena mungkin merasa malu jika kejadian itu diketahui oleh orang lain, tetapi Vio beda. Dia akan tetap membuat orang itu mendapat pelajaran.Vio menajamkan matanya, sepertinya dia melihat sosok yang tadi benar-benar dia ingat saat di ruang CCTV."Gotcha!" Vio tersenyum miring. Dia segera berlari ke arah lelaki yang terlihat kikuk sambil memegangi topi itu. Lelaki itu terus melihat ke belekang, seolah takut dikejar sesuatu.Gadis yang memakai celana jeans
"Kenapa Anda bisa berada di sini?" tanya Vio. Ketahuan dalam posisi seperti itu sungguh memalukan. Dia sedang berada di tubuh seorang lelaki, meski kenyataannya tak semesum itu."Aku lewat dan melihat pertunjukan ini. Sungguh membuatku ingin menonton secara langsung," ledek Brian. Tidak mungkin dia mengatakan jika dirinya kepo dengan apa yang terjadi. Setelah melihat langsung, ternyata tak seburuk dalam pikirannya tadi.Dengan bantuan Brian, akhirnya Vio dapat melaporkan orang itu ke polisi. Meski kasusnya harus ditindak lanjut lagi. Vio dapat bernapas lega, satu pelaku pelecehan seksual akhirnya dapat diproses juga."Kamu nggak takut?" tanya Brian. Kini Brian dan Vio tengah berada di depan kantor polisi. Vio menunggu taksi sedang Brian ingin tahu lebih lanjut tentang gadis ini."Takut apa?" Vio ganti bertanya. Gadis itu kini tengah meneguk kopi yang berada dalam botol yang dia minta pada polisi di dalam sana."Sama orang tadi. Baru kali ini
Udara terasas berat seolah sisa oksigen di udara hanya tersisa sedikit. Jam dinding berdetak pelan, bunyi setiap detiknya seperti abad. Lima orang di sana saling diam dan terkurung dalam pemikirannya sendiri.Pada sofa panjang, duduk Anthony Wijaya bersama sang istri, Wening. Mereka menatap tajam ke arah Brian yang terlihat kusut di depannya. Lelaki itu sedari tadi tak henti bergerak gelisah karena sang istri histeris karenanya. Di sebelah Brian ada Kyra yang masih terlihat shock, melihat kenyataan tentang sang ibu.Di sudut ruangan, ada Adrian yang berdiri sembari menyandarkan punggungnya pada tembok. Kedua tangan dia lipat di depan dada dengan mata yang terus melihat ke arah empat orang di depan sana. Suasana ruangan itu menjadi lebih mencengkam dari pada pemakaman. Bahkan bagi Adrian ini lebih horor dari pada bertemu dengan hantu.Meski dia sahabat dan juga dokter Azzura, dia merasa bingung dengan keadaan ini. Kedua belah pihak masing-masing belum bisa berdamai. Meski Tuan Wijaya s
Ayah dan anak itu saling menatap cukup lama. Ada rasa rindu yang disampaikan oleh tatapan mata Brian pada Kyra. Dia ingin langsung berlari dan memeluk gadis itu tetapi dia juga ketakutan jika Kyra menolaknya. "Papa ....!" Hingga akhirnya Brian merasa lega ketika Kyra mendatanginya terlebih dahulu. Gadis itu berlari dan kemudian memeluknya. Dengan senang hati Brian membalas pelukan Kyra. Dia memeluk Kyra erat seolah tidak ingin melepaskannya lagi."Kyra, Papa kangen." Satu kata yang bisa menjelaskan semua yang dia rasakan selama ini. Mereka memang beberapa kali bertemu tetapi kedekatan sebagai ayah dan anak sudah lama hilang. "Maafkan Kyra, Pa. Maafkan karena selama ini selalu menyalahkan Papa. Maafkan karena Kyra tidak bisa mengerti Papa." Sebuah ungkapan permintaan maaf tulus keluar dari bibir mungil Kyra. Dia juga merindukan hal seperti ini, memeluk sang ayah dengan perasaan kasih dan sayang."Tidak, sayang. Papa yang minta maaf sama kamu karena sudah bersikap egois dan tidak pern
Kyra hanya diam setelah bertemu dengan Vio. Dia masih memikirkan apa yang dikatakan oleh Vio. Selama ini dia memang menutup mata dan telinga tentang apa yang terjadi pada kedua orang tuanya. Dia hanya ingin menyalahkan Vio atas apa yang terjadi.Kyra masih memegang surat perjanjian itu di tangannya. Beberapa kali dia hanya melihat dan takut untuk membukanya kembali. Dia masih tidak percaya jika ibunya yang telah merencanakan ini semua. Dia masih mengingkari jika sang ibu menderita Skizofrenia.Kyra menggeleng. "Ini pasti tidak benar, kan?" tanya Kyra yang lebih untuk dirinya sendiri. Gadis itu menarik napas panjang dan setelahnya mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk.Kyra kembali teringat tentang sang kakek yang beberapa hari ini ada di Swiss. Vio tadi bilang jika saat ini sang ayah sedang berada di Swiss untuk menjemput sang ibu. Apa mungkin kakeknya selama ini bersama dengan ibunya?"Pak! Bisa lebih cepat?" Kyra memberi perintah pada pak sopir yang dibalas anggukan. Laju mo
Setelah mendengar semuanya dari Handoko, Vio pun berniat mengunjungi makan sang ibu. Selama ini, Handoko memang tidak pernah memberitahukan tentang ibunya. Handoko selalu menyembunyikan kenyataan tentang sang ibu. Dan Vio menjadi terbiasa untuk tidak bertanya. Yang terpenting baginya adalah dia memiliki seorang ayah yang hebat.Sudah beberapa saat Vio duduk di depan batu nisan tanpa mengucapkan apa pun. Dia tidak tahu bagaimana harus menyapa sang ibu karena dia tidak pernah melakukannya seumur hidup.Masih dengan mulut yang tertutup, Vio mulai menggerakkan tangannya untuk mencabut rumput di atas gundukan tanah. Sesekali ekor matanya melirik ke arah nama yang ada di batu nisan."Maafkan aku baru bisa datang, Bu. Aku baru mengetahui tentangmu." Vio menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan air mata yang hendak jatuh. Meski dia tidak mengenal apa pun tentang ibunya tetapi Vio bisa merasakan kesedihan yang dialami sang ibu. Untung ada Handoko yang akhirnya membuat ibunya bertahan meski
Setelah kejadian itu, Wijaya tidak melarang kedatangan Brian. Dia senang karena Azzura menjadi semakin ceria. Meski sesekali dia kumat dan mengamuk tetapi Azzura lebih sering tersenyum. Brian setiap hari datang bersama dengan Adrian dan selalu menemani Azzura. Entah itu membaca novel atau merajut. Lelaki itu begitu sadar dan telaten menemani Azzura hingga dia melupakan keberadaan Vio. Dia bahkan belum menghubungi Vio lagi sejak hari itu.Vio terus-terusan melihat ke arah ponselnya. Sudah berhari-hari suaminya pergi dan belum memberi kabar padanya. Tentu saja dia khawatir terjadi hal buruk pada Brian. Brian hanya menghubungi sekali ketika lelaki itu keluar dari bandara dan dalam perjalanan menuju hotel."Ada apa, Nak? Kenapa kamu terlihat gelisah? Apa Brian belum menghubungimu?" Handoko muncul dari dalam kamarnya. Tangan kanannya menekan sebuah tombol sehingga kursi roda miliknya berjalan dengan otomatis.Vio hanya meringis. Dia bahkan tidak menceritakan hal ini pada ayahnya tetapi ken
Wijaya berjalan cepat ke arah ranjang Azzura. Dia lantas menarik bagian belakang kemeja yang dikenakan Brian dan mendorong lelaki itu hingga membentur tembok. Masih belum puas, Wijaya kembali mendekati Brian dan menarik wig yang lelaki itu gunakan. Wajah Wijaya langsung merah padam ketika mengetahui jika Brian yang sedari tadi bersama dengan anaknya.Sejak melihat lelaki yang menggendong Azzura, Wijaya sudah mencurigai jika itu adalah Brian. Pasalnya tidak mungkin Adrian memperbolehkan lelaki lain menyentuh Azzura. Dan kali ini kecurigaannya terbukti. Wijaya benar-benar marah ketika mengetahui jika Adrian telah menipunya."Apa yang kamu lakukan di sini? Bukankah sudah aku katakan untuk tidak mencari Azzura lagi?" bentak Wijaya pada Brian. Darahnya naik karena dia enggan Brian menyentuh Azzura lagi. Meski Wijaya mengetahui jika pernikahan kedua Brian adalah keinginan Azzura tetapi dia belum merelakan hal itu. Dia sudah tidak peduli Brian bersama siapa saat ini tetapi dia tidak ingin Br
"Ada apa, Adrian?" Suara seseorang yang sangat mereka kenal, membuat mereka terhenti. Baik Brian maupun Adrian merasa takut hingga tidak ada satu pun yang menoleh. "Adrian! Kenapa kamu diam saja!" Terdengar langkah kaki mendekat dan Adrian pun terpaksa membalik badan. Dia tesenyum menyambut Tuan Wijaya yang semakin mendekat. Dia tidak menyangka jika lelaki tua itu akan datang lebih awal dari biasanya. "Ehm ... saya membius Azzura karena dia tadi mengamuk, Om," jelas Adrian sembari menggeser tubuhnya menutupi punggung Brian. Meski Brian masih menyamar tetapi tidak menutup kemungkinan Tuan Wijaya bisa mengenali menantunya tersebut. Walau bagaimana pun mereka telah menjadi ayah mertua dan menantu dalam waktu yang cukup lama.Tuan Wijaya menghela napas panjang. "Apa ada pengobatan yang bisa menyembuhkannya secara penuh? Aku akan membayarnya berapa pun itu." Itu adalah sebuah keputus asaan dari seorang ayah terhadap keadaan putrinya. Azzura adalah anak satu-satunya dan dia adalah duniany
Suara klakson dari mobil Adrian membuat penjaga yang ada di pos melongok. Ketika tahu jika itu mobil Adrian, mereka pun membukakan pintu."Apa Tuan Wijaya telah datang?" tanya Adrian pada penjaga yang membukakan pintu untuknya. Sebelum menjawab, penjaga itu melirik ke arah lelaki yang duduk di sebelah Adrian. Keningnya berkerut tanda jika dia memiliki keraguan tentang orang yang dibawa Adrian.Adrian yang menyadari lantas menoleh sekilas ke arah Brian. "Ah ... ini adalah asistenku. Aku mengajaknya karena aku membutuhkan bantuannya. Keadaan Azzura sudah sangat buruk, dan aku takut dia melukaiku."Brian termenung ketika mendengar ucapan Adrian. Apakah keadaan istrinya sudah seburuk itu? "Jangan buat keributan!" Brian menoleh saat Adrian mengucapkan sesuatu. Adrian baru saja menutup kaca jendela mobil dan hendak menjalankan mobilnya kembali.Brian masih diam seperti orang kebingungan. Hingga akhirnya dia membuka mulutnya dan bertanya, "Apa keadaan Azzura memang seburuk itu?" Separuh jiw
Brian mengemudi dengan ugal-ugalan meski cuaca sangat buruk. Salju turun dengan lebat sehingga mengganggu pandangan. Namun meski begitu Brian bisa menyusul mobil Adrian dan memotong jalan hingga Adrian terpaksa menghentikan mobilnya mendadak.Brian menutup pintu mobil dengan keras hingga menimbulkan bunyi. Dia segera berjalan ke arah Adrian dan kembali menggedor kaca mobil lelaki itu."Adrian! Keluar kamu!" Emosi telah menguasai Brian sehingga dia tidak bisa bersikap sabar. Dia sebagai suami Azzura tidak diperbolehkan bertemu dengan wanita itu tetapi kenapa Adrian bisa bertemu dengannya?Adrian ciam cukup lama. Dia mengatur napasnya berusaha untuk tetap tenang dan setelah beberapa saat dia pun membuka pintu mobilnya."Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu bersikap seperti preman?" Adrian mengangkat wajahnya, menyiratkan jika dia tidak takut dengan Brian. Keduanya saling menatap tajam, seolah masing-masing menyimpan kebencian.Amarah telah menguasi Brian hingga dia tidak bisa bersikap ten