"Pergilah Mas," rayuku pada Gilang saat itu.
"Apa kau tak merindukan ku?" tanya Gilang mencoba menahan gejolak di hatinya.
"Setelah kau meninggalkan ku dan memilih menikah dengan perempuan kaya itu, kau lupa dengan diriku. Sejak saat itu hilang sudah rasa rinduku ini." ucapku ketus.
"Bukankah kau yang meninggalkan aku Van?" cibir Gilang dengan wajah kesal.
Seketika aku pun terdiam membisu mendengar penuturannya itu. Untuk cerita tentang masalah itu tak akan ada guna lagi, toh sekarang aku sudah menjadi istri orang yang telah memisahkan aku dari Gilang.
"Lalu mengapa kau datang lagi mengganggu hidupku Mas, sekarang aku bahagia menjadi istri Mas Raja, dan kau lihat sendiri aku tengah mengandung darah dagingnya!" cercaku.
Seketika Gilang terdiam menatap lekat mataku, terlihat ada rasa penyesalan di matanya. Kemudian Gilang menceritakan perihal pernikahannya dengan istrinya yang sekarang.
"Sebenarnya Mas sudah lama berhubungan dengannya Van, sebelum kita jadian. Dahulu dia yang selalu menemui Mas, dia selalu memberikan apa yang Mas minta. Terutama masalah itu!" sahutnya dan kemudian terdiam mengentikan pembicaraan.
"Masalah apa maksudnya Mas," tanyaku pura-pura tak mengerti arah pembicaraannya.
"Hubungan layaknya suami istri, dan orang tua Mas tidak merestui hubungan kami. Dan akhirnya Mas cari cara untuk membuat orang tua Mas percaya kalau sebenarnya Mas dan dia sudah tidak berhubungan lagi!"
"Dan aku yang Mas jadikan umpan!" sahutku kesal.
Gilang pun terdiam mendengar cercaanku.
"Kamu tega ya Mas!" sahutku kembali.
"Maaf Van, maafkan Mas!" ucapnya memelas memohon pengampunan ku.
"Lalu buat apa Mas ganggu hidupku lagi?"
"Karena aku cemburu melihat kebahagiaan mu dengan Raja. Bagaimana pun juga kau pernah singgah dihatiku dan menjadi pacarku!" sahutnya lagi.
"Ingat Mas dengan posisiku sekarang ini, bagaimana pun juga kau harus menghormati ku sebagai Kakak ipar."
"Tapi setelah anak Raja ini lahir kau harus kurebut kembali darinya. Aku bersumpah Van!" sahutnya kesal dan melangkah keluar dari kamar ku.
Mendengar ancamannya tersebut tak membuatku gentar. "Enak saja mau merebutku memang aku apa, main rebut saja!" cercaku dalam hati.
Sejak malam itu Gilang tak pernah datang lagi ke rumah kami. Hal itu yang membuatku tenang.
Setelah tiga hari, Mas Raja kembali pulang. Dengan bahagia kusambut mesra dirinya.
...
Kini waktu yang dinantikan tiba juga. Aku merasakan mulas yang tak terhingga. Sakit yang kurasakan teramat luar biasa, disaat seperti itu Mas Raja ada selalu di samping ku. Terlihat dari wajahnya yang tak sabar menanti kan kehadiran sang buah hati.
Setelah seharian menanti, akhirnya lahirlah bayi mungil yang berjenis kelamin laki-laki. Tak henti-hentinya kami mengucapkan syukur.
Sehari berada di Rumah Sakit, akhirnya siang itu aku di perbolehkan untuk pulang ke rumah. Ternyata setiba di rumah semua saudaraku dan keluarga Mas Raja sudah kumpul menyambut kepulangan kami.
"Selamat ya Sayang?!" ucap mertua ku.
"Terima kasih ya Ma," sahutku kembali. Dan aku pun dibimbing masuk kedalam rumah.
Saat itu kulihat Ibu dan Ayah menghampiri ku. Dengan senyum sumringah mereka memeluk dan mencium keningku.
Kami pun berkumpul dan bahagia menyambut kehadiran putra pertama kami.
Dilain sisi Gilang sedikit pun tak terlihat bahagia. Disamping istrinya tersebut, Gilang merasa tak tenang. Dirinya merasa kepanasan melihat kemesraan aku dan Mas Raja. Seketika dia pun keluar rumah. Dan tak berapa lama kemudian disusul oleh isrinya tersebut.
Akhirnya hari sudah menujukan menjelang malam, para saudara dan yang lainnya berangsur pulang, sedangkan kedua orang tua ku tengah beristirahat di kamar tamu yang telah di sediakan.
Tak henti-hentinya Mas Raja menatap Putranya tersebut. Karena lelah aku pun tertidur lelap.
Saat cahaya matahari menyilaukan mataku, aku pun terbangun. Masih terasa nyeri yang kurasakan.
"Aw," ucapku sedikit berbisik.
"Ada apa sayang?" tanya Raja terkejut mendengar suara kesakitan ku.
"Tidak, tadi adik mau turun. Tapi adik sedikit merasakan nyilu di pinggang."
"Oh, coba sini Mas urut pelan-pelan!" sahut Raja. Dan dengan perlahan diurutnya pinggang Vania dengan lembut.
"Sudah disini saja jangan banyak gerak," ucap Mas Raja dan membantu ku membenarkan posisi ternyaman.
Siang itu kedua orang tua ku berpamitan pulang, disusul dengan Gilang berserta istrinya.
Sekilas kulihat mata Gilang menatapku dengan tajam.
"Dik!"
"Ya Mas, ada apa!" tanyaku heran dan ku lihat dirinya menghampiri ku.
"Mas hantar orang tua kamu dulu ya ke stasiun. Kamu tak apa-apa kan Mas tinggal?" tanya Raka kembali.
"Iya sayang tak apa-apa. Terima kasih ya sudah mau mengantar orang tua ku!"
"Mereka juga orang tua ku dik, doakan kami baik-baik di jalan ya?!" ucapnya dan beranjak pergi meninggalkan aku yang berbaring.
Setelah kepergian mereka serasa sepi sekali rumah ini. Akhirnya aku dengan perlahan melangkah menuju kamar mandi. Rasanya tubuh ini gerah sekali hingga aku memberanikan diri mandi dengan air dingin. Tiba-tiba pintu diketuk dari luar.
Tok
Tok
Tok
"Non!" panggil pembantu ku.
"Ya bi," sahutku.
"Lho Non ngapain di kamar mandi!" tanyanya lagi.
"Mandilah bi, masa berenang!" candaku menjawab pertanyaannya.
"Yah Non, itu sudah bibi siapkan air hangat. Kok malah mandi disini. Pakai air dingin lagi, aduuuh ... Non nanti bisa masuk angin lho?!" sahutnya panjang lebar.
"Tak apa bi, biar seger nich badan. Sudah lengket."
"Ya sudah saya buatkan susu dulu ya Non," sahutnya lagi.
"Boleh lah bi!"
"Tunggu ya Non disini, saya buatkan sebentar!" pintanya agar aku bersabar.
Kemudian dirinya melangkah menuju dapur. Aku yang masih terduduk memandang wajah imut putraku yang di beri nama Rizki Fadillah. Aku pun berdoa dalam hati, semoga kelak anakku ini bisa menjadi anak yang berbakti kepada agama, negara dan orang tua.
Ditengah lamunanku, akupun dikejutkan dengan suara bibi yang memanggil namaku.
"Ini Non, sekalian bibi bawakan sarapan roti kesukaan Non!"
"Terima kasih ya bi!" ucapku pada bi Jum.
Setelah itu bi Jum kembali ke dapur untuk melanjutkan pekerjaannya. Biarpun dirinya seorang pembantu di rumah ku ini, tapi aku merasa begitu nyaman dan kami sudah menganggapnya layaknya seperti keluarga sendiri.
Siang itu Mas Raja kembali, tak pernah lupa di kecup kening ku dengan lembut.
"Sayang Papa ini. Dan yang ini sayang Papa juga!" ucap Mas Raja dan memeluk tubuhku dengan erat.
"Kamu sudah makan Mas?" tanyaku kembali.
"Hum, sudah tadi singgah di restoran. Kamu sendiri sayang sudah makan?" tanyanya kembali.
"Belum, adik kan nunggu Mas. Mau di suapin!" jawabku manja.
"Ih manjanya istri Mas ini?!" sahutnya dan kemudian tertawa lepas. Seketika tawaannya itu membuat Rizki menangis karena terkejut. Aku dan Mas Raja saling berpandangan dan tersenyum.
Satu bulan kemudian. Saat sedang asyiknya bersantai dan tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara seseorang membuka pintu gerbang dan masuk sebuah mobil dan berhenti di halaman rumah. Beberapa menit kemudian keluarlah seseorang yang tak asing bagiku. Siapa lagi kalau bukan Gilang. Melihatnya saja aku sudah malas. Terkadang aku heran, dirinya tak bekerja apa hari-hari berkeliaran di rumah orang. "Assalamualaikum cantik!" sapa Gilang dengan nada menggoda. "Wa'alaikumsalam!" jawabku ketus. "Hai keponakan paman yang tampan seperti wajah pamannya, apa kabar!" godanya lagi. Tentu saja hal itu membuatku muak. "Apaan sih Mas, ngapain hampir tiap hari datang kesini sih, bosan tahu!" ketusku. "Kok gitu sambutannya, tak baik bicara seperti itu!" sahut Gilang manja. "Biarin, emang k
Malam itu saat mata ini terpejam, betapa terkejutnya diriku setelah merasakan sesuatu yang menyentuh area sensitif ku. Saat mata ini terbuka ternyata kulihat tepat di hadapanku wajah seseorang yang tak lagi asing bagiku. Ya wajah Gilang yang tengah tersenyum dan dengan cepat dilumatnya bibirku dengan bringas. Aku yang belum sempat melawan terpaksa harus menerima semua cumbuan dan aksi-aksinya yang memancing birahiku. Sungguh kelihaiannya membuatku tak mampu membendung hasratku yang ingin segera menuntaskannya. Cukup lama kami melakukan hal itu, hingga akhirnya kami sama-sama merasakan puncak kenikmatan. Aku tersadar dengan kegilaan ini. Ku tatap wajah Gilang dengan tajam. Gilang mencoba meraih tangan ku, dengan cepat ku tepis. "Pergilah Mas!" tegasku. "Maaf Van, aku--" "Sudah cukup, jangan berkata-kata apa-apa lagi!" sahutku tegas. "Aku m
Kemudian Vania membuka pintu dan menemui Ibu mertuanya datang. Setelah dilihatnya ternyata bukan hanya dirinya yang datang, tapi seorang perempuan cantik yang tak dikenal. Seketika dilihat oleh Vania perempuan tersebut merangkul tangan Raja dengan manja. "Ada apa ini Ma!" tanya Vania. Kemudian Mama mertuanya menjelaskan maksud kedatangannya tersebut. "Begini Van, maaf kalau Mama tidak jujur dengan kamu, sebenarnya Raja dan Vivi sudah menikah satu bulan yang lalu. Semua ini bukan kehendak Mama tapi atas permohonan dari orang tua Vivi yang merupakan teman Papanya. Sebenarnya mereka sudah lama dijodohkan, tapi saat itu Vivi sedang ada diluar negeri. "Lalu!" jawabnya singkat. "Vivi ingin tinggal di rumah ini bersama mu!" jawab Mama mertuanya. "Dan kau Mas, apa keputusan mu!" tanya Vania geram. Men
Dua tahun kemudian. Setelah Vania berpisah dengan Raja hidupnya kini tenang. Dengan memiliki putra yang tampan, Vania merasakan kebahagiaan. Sementara Gilang masih tetap menghantui hidup Vania hingga putranya kini yang sudah menginjak tuga tahun. Tapi Vania tak pernah ambil pusing. Untuk menghidupi putra sematawayangnya, sebut saja Juna. Vania harus bekerja di sebuah perusahaan ternama dan hanya sebagai staf karyawan biasa. Karena memiliki wajah yang cantik, banyak laki-laki yang ingin mempersunting Vania agar menjadi istri mereka. Tapi dengan halus di tolaknya, bagaimana pun masih ada trauma yang membuatnya enggan untuk berumah tangga kembali. "Van, ayo sudah mau masuk Maghrib nih biar tak kelamaan mari Mas hantar!" ucap salah seorang staf manager yang sedari dahulu menyukainya. Tapi Vania tak pernah menggubrisnya hingga kini. "Tidak Pak maaf, mungkin taksi bentar lagi lewat
Bab 01. Penghianatan "Hai sayang, kamu ada dimana. Lama banget sih!" sahutku kesal. Aku Vania gadis cantik dari desa Sebong Lagoi. Aku memiliki paras wajah yang lumayan cantik dan berlesung pipi. Kekesalan yang kurasakan saat ini ya menunggu. Satu jam ditunggu tidak juga muncul. Gilang, ya pacarku itu kalau sudah buat janji susah sekali untuk menepati. Kalau gak telat, ya lupa. Terkadang membuatku jengah. Aku mencintainya karena kepribadiannya yang sopan dan gak neko-neko sih jadi cowok. Setelah menjalani hubungan yang serius Gilang mencoba untuk melamarku. Tentunya aku sangat bahagia dibuatnya. Pernah satu hari aku dibawa kerumah orang tuanya. Tepatnya di desa sebelah dimana aku tinggal sekarang. Dari situ aku tahu, ternyata Gilang memiliki satu saudara laki-laki yang bernama Raja. Usia mereka bertaut dua tahun. Yang kulihat dari
"Sudah bu biar saya saja yang akan menjelaskan pada Vania." ucap Mas Raja mencoba menyakinkan hati Ibu. "Aku tak perlu mendengarkan cerita bohong mu lagi, sudah cukup kau menciptakan kehancuran dalam hidupku. Pergilah kau jauh-jauh dari kehidupan ku!" teriakku mencoba untuk mengusirnya. "Vania! Jaga ucapan mu nak, dia orang yang telah menolong mu. Tak sepantasnya kau berkata seperti itu!" bela Ibu. Seketika membuat ku ternganga, "apa! Menolongku?" batinku tak menyangka kalau Ibu bisa berkata seperti itu. Aku tak tahu, mungkin selama ini Raja sudah mencuci otak Ayah, Ibuku. Ku tarik lengan Mas Raja untuk segera mengikutiku. "Gila kamu ya Mas, sejak kapan kau mempengaruhi pikiran Ibuku, dasar munafik!" ucapku ketus. "Terserah kamu mau menuduh Mas seperti itu. Sedikit pun
Saat tersadar kulihat Ibu dan Ayah duduk dan menangis. Diusapnya rambutku dengan lembut. Ku lihat Mas Raja tepat berada di belakang mereka. "Kamu kenapa toh nduk, buat kami khawatir saja," ucap Ayah merasa cemas. "Ya sudah, Ayah dan Ibu keluar dulu ya!" pamit mereka dan segera beranjak melangkah meninggalkan aku dan Mas Raja di dalam kamar. Seketika Mas Raja duduk mendekati ku dan dengan ragu di raihnya jemariku. Seketika di kecupnya dengan lembut. "Van maaf kalau Mas sudah membuatmu jadi begini. Sekarang terserah kamu mau menjauhi Mas atau apa pun yang bisa membuat hatimu tenang dan mulai saat ini juga Mas gak akan mengganggu lagi kehidupan mu. Tapi sebelum Mas pergi, tolong jawab pertanyaan Mas. Kenapa sebegitu besar rasa bencimu selama ini terhadap Mas?" ujarnya sambil terus menatap mataku. "Pergilah Mas, tolong biarkan aku sendiri disini. Tak
Saat itu aku merasakan tubuh ku terasa ada yang menindih. Saat ku buka ternyata sosok laki-laki yang sangat ku benci. Dengan refleks ku dorong tubuhnya hingga membuatnya terjerembab. "Brengsek kau Gilang, buat apa kau datang kesini!" bentakku. Bukan menjauh malah semakin mendekat dirinya, tentu saja membuatku kewalahan. "Van, aku sangat merindukan mu. Tolong izinkan aku mencium mu sekali saja." ucapnya lembut dan mencoba merayuku kembali. "Pergi kau dari sini, dasar laki-laki tak punya akhlak." Seketika kami terkejut dengan suara seseorang mengetuk pintu kamar. Tok tok tok, "Non Vania buka pintunya, kenapa Non kok berteriak!" teriak bi Jum memanggilku dari luar kamar. "Tidak ada apa-apa bi, tadi saya cuma terkejut kok!" jawabku setela
Dua tahun kemudian. Setelah Vania berpisah dengan Raja hidupnya kini tenang. Dengan memiliki putra yang tampan, Vania merasakan kebahagiaan. Sementara Gilang masih tetap menghantui hidup Vania hingga putranya kini yang sudah menginjak tuga tahun. Tapi Vania tak pernah ambil pusing. Untuk menghidupi putra sematawayangnya, sebut saja Juna. Vania harus bekerja di sebuah perusahaan ternama dan hanya sebagai staf karyawan biasa. Karena memiliki wajah yang cantik, banyak laki-laki yang ingin mempersunting Vania agar menjadi istri mereka. Tapi dengan halus di tolaknya, bagaimana pun masih ada trauma yang membuatnya enggan untuk berumah tangga kembali. "Van, ayo sudah mau masuk Maghrib nih biar tak kelamaan mari Mas hantar!" ucap salah seorang staf manager yang sedari dahulu menyukainya. Tapi Vania tak pernah menggubrisnya hingga kini. "Tidak Pak maaf, mungkin taksi bentar lagi lewat
Kemudian Vania membuka pintu dan menemui Ibu mertuanya datang. Setelah dilihatnya ternyata bukan hanya dirinya yang datang, tapi seorang perempuan cantik yang tak dikenal. Seketika dilihat oleh Vania perempuan tersebut merangkul tangan Raja dengan manja. "Ada apa ini Ma!" tanya Vania. Kemudian Mama mertuanya menjelaskan maksud kedatangannya tersebut. "Begini Van, maaf kalau Mama tidak jujur dengan kamu, sebenarnya Raja dan Vivi sudah menikah satu bulan yang lalu. Semua ini bukan kehendak Mama tapi atas permohonan dari orang tua Vivi yang merupakan teman Papanya. Sebenarnya mereka sudah lama dijodohkan, tapi saat itu Vivi sedang ada diluar negeri. "Lalu!" jawabnya singkat. "Vivi ingin tinggal di rumah ini bersama mu!" jawab Mama mertuanya. "Dan kau Mas, apa keputusan mu!" tanya Vania geram. Men
Malam itu saat mata ini terpejam, betapa terkejutnya diriku setelah merasakan sesuatu yang menyentuh area sensitif ku. Saat mata ini terbuka ternyata kulihat tepat di hadapanku wajah seseorang yang tak lagi asing bagiku. Ya wajah Gilang yang tengah tersenyum dan dengan cepat dilumatnya bibirku dengan bringas. Aku yang belum sempat melawan terpaksa harus menerima semua cumbuan dan aksi-aksinya yang memancing birahiku. Sungguh kelihaiannya membuatku tak mampu membendung hasratku yang ingin segera menuntaskannya. Cukup lama kami melakukan hal itu, hingga akhirnya kami sama-sama merasakan puncak kenikmatan. Aku tersadar dengan kegilaan ini. Ku tatap wajah Gilang dengan tajam. Gilang mencoba meraih tangan ku, dengan cepat ku tepis. "Pergilah Mas!" tegasku. "Maaf Van, aku--" "Sudah cukup, jangan berkata-kata apa-apa lagi!" sahutku tegas. "Aku m
Satu bulan kemudian. Saat sedang asyiknya bersantai dan tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara seseorang membuka pintu gerbang dan masuk sebuah mobil dan berhenti di halaman rumah. Beberapa menit kemudian keluarlah seseorang yang tak asing bagiku. Siapa lagi kalau bukan Gilang. Melihatnya saja aku sudah malas. Terkadang aku heran, dirinya tak bekerja apa hari-hari berkeliaran di rumah orang. "Assalamualaikum cantik!" sapa Gilang dengan nada menggoda. "Wa'alaikumsalam!" jawabku ketus. "Hai keponakan paman yang tampan seperti wajah pamannya, apa kabar!" godanya lagi. Tentu saja hal itu membuatku muak. "Apaan sih Mas, ngapain hampir tiap hari datang kesini sih, bosan tahu!" ketusku. "Kok gitu sambutannya, tak baik bicara seperti itu!" sahut Gilang manja. "Biarin, emang k
"Pergilah Mas," rayuku pada Gilang saat itu. "Apa kau tak merindukan ku?" tanya Gilang mencoba menahan gejolak di hatinya. "Setelah kau meninggalkan ku dan memilih menikah dengan perempuan kaya itu, kau lupa dengan diriku. Sejak saat itu hilang sudah rasa rinduku ini." ucapku ketus. "Bukankah kau yang meninggalkan aku Van?" cibir Gilang dengan wajah kesal. Seketika aku pun terdiam membisu mendengar penuturannya itu. Untuk cerita tentang masalah itu tak akan ada guna lagi, toh sekarang aku sudah menjadi istri orang yang telah memisahkan aku dari Gilang. "Lalu mengapa kau datang lagi mengganggu hidupku Mas, sekarang aku bahagia menjadi istri Mas Raja, dan kau lihat sendiri aku tengah mengandung darah dagingnya!" cercaku. Seketika Gilang terdiam menatap lekat mataku, terlihat ada rasa penyesalan di matanya. Kemudian Gilang me
Saat itu aku merasakan tubuh ku terasa ada yang menindih. Saat ku buka ternyata sosok laki-laki yang sangat ku benci. Dengan refleks ku dorong tubuhnya hingga membuatnya terjerembab. "Brengsek kau Gilang, buat apa kau datang kesini!" bentakku. Bukan menjauh malah semakin mendekat dirinya, tentu saja membuatku kewalahan. "Van, aku sangat merindukan mu. Tolong izinkan aku mencium mu sekali saja." ucapnya lembut dan mencoba merayuku kembali. "Pergi kau dari sini, dasar laki-laki tak punya akhlak." Seketika kami terkejut dengan suara seseorang mengetuk pintu kamar. Tok tok tok, "Non Vania buka pintunya, kenapa Non kok berteriak!" teriak bi Jum memanggilku dari luar kamar. "Tidak ada apa-apa bi, tadi saya cuma terkejut kok!" jawabku setela
Saat tersadar kulihat Ibu dan Ayah duduk dan menangis. Diusapnya rambutku dengan lembut. Ku lihat Mas Raja tepat berada di belakang mereka. "Kamu kenapa toh nduk, buat kami khawatir saja," ucap Ayah merasa cemas. "Ya sudah, Ayah dan Ibu keluar dulu ya!" pamit mereka dan segera beranjak melangkah meninggalkan aku dan Mas Raja di dalam kamar. Seketika Mas Raja duduk mendekati ku dan dengan ragu di raihnya jemariku. Seketika di kecupnya dengan lembut. "Van maaf kalau Mas sudah membuatmu jadi begini. Sekarang terserah kamu mau menjauhi Mas atau apa pun yang bisa membuat hatimu tenang dan mulai saat ini juga Mas gak akan mengganggu lagi kehidupan mu. Tapi sebelum Mas pergi, tolong jawab pertanyaan Mas. Kenapa sebegitu besar rasa bencimu selama ini terhadap Mas?" ujarnya sambil terus menatap mataku. "Pergilah Mas, tolong biarkan aku sendiri disini. Tak
"Sudah bu biar saya saja yang akan menjelaskan pada Vania." ucap Mas Raja mencoba menyakinkan hati Ibu. "Aku tak perlu mendengarkan cerita bohong mu lagi, sudah cukup kau menciptakan kehancuran dalam hidupku. Pergilah kau jauh-jauh dari kehidupan ku!" teriakku mencoba untuk mengusirnya. "Vania! Jaga ucapan mu nak, dia orang yang telah menolong mu. Tak sepantasnya kau berkata seperti itu!" bela Ibu. Seketika membuat ku ternganga, "apa! Menolongku?" batinku tak menyangka kalau Ibu bisa berkata seperti itu. Aku tak tahu, mungkin selama ini Raja sudah mencuci otak Ayah, Ibuku. Ku tarik lengan Mas Raja untuk segera mengikutiku. "Gila kamu ya Mas, sejak kapan kau mempengaruhi pikiran Ibuku, dasar munafik!" ucapku ketus. "Terserah kamu mau menuduh Mas seperti itu. Sedikit pun
Bab 01. Penghianatan "Hai sayang, kamu ada dimana. Lama banget sih!" sahutku kesal. Aku Vania gadis cantik dari desa Sebong Lagoi. Aku memiliki paras wajah yang lumayan cantik dan berlesung pipi. Kekesalan yang kurasakan saat ini ya menunggu. Satu jam ditunggu tidak juga muncul. Gilang, ya pacarku itu kalau sudah buat janji susah sekali untuk menepati. Kalau gak telat, ya lupa. Terkadang membuatku jengah. Aku mencintainya karena kepribadiannya yang sopan dan gak neko-neko sih jadi cowok. Setelah menjalani hubungan yang serius Gilang mencoba untuk melamarku. Tentunya aku sangat bahagia dibuatnya. Pernah satu hari aku dibawa kerumah orang tuanya. Tepatnya di desa sebelah dimana aku tinggal sekarang. Dari situ aku tahu, ternyata Gilang memiliki satu saudara laki-laki yang bernama Raja. Usia mereka bertaut dua tahun. Yang kulihat dari