Saat tersadar kulihat Ibu dan Ayah duduk dan menangis. Diusapnya rambutku dengan lembut. Ku lihat Mas Raja tepat berada di belakang mereka.
"Kamu kenapa toh nduk, buat kami khawatir saja," ucap Ayah merasa cemas. "Ya sudah, Ayah dan Ibu keluar dulu ya!" pamit mereka dan segera beranjak melangkah meninggalkan aku dan Mas Raja di dalam kamar.
Seketika Mas Raja duduk mendekati ku dan dengan ragu di raihnya jemariku. Seketika di kecupnya dengan lembut.
"Van maaf kalau Mas sudah membuatmu jadi begini. Sekarang terserah kamu mau menjauhi Mas atau apa pun yang bisa membuat hatimu tenang dan mulai saat ini juga Mas gak akan mengganggu lagi kehidupan mu. Tapi sebelum Mas pergi, tolong jawab pertanyaan Mas. Kenapa sebegitu besar rasa bencimu selama ini terhadap Mas?" ujarnya sambil terus menatap mataku.
"Pergilah Mas, tolong biarkan aku sendiri disini. Tak ada yang perlu di jawab lagi. Setelah apa yang ku dapatkan hari ini sudah membuatku sakit. Jadi takkan mungkin untuk kedua kali kurasakan hal yang sama." ucapku lirih tanpa mau menoleh kearahnya.
"Tapi apa tak sebaiknya Vania berikan kesempatan sekali saja untuk membuktikan kesungguhan Mas ini!"
"Sudah ku katakan berulang kali, aku tak ingin ada lagi ikatan antara aku dan-" tiba-tiba ucapan ku terhenti karena Mas Raja memotongnya dengan satu kata.
"Cukup!"
Aku pun terdiam dan menangis sesunggukan. Betapa sakitnya hati ku ini, sakit sekali. Bagaimana mungkin aku menerima cintanya, sementara dirinya dan juga adiknya sudah menghancurkan impian dan masa depanku.
"Baik, Mas akan menjauh dari hidup mu. Tapi ada satu syarat!" ucapnya sambil berbisik.
"Aku tak butuh syarat darimu Mas. Pergilah!" ucapku lantang.
"Baiklah, kalau kamu tidak mau memenuhi syarat Mas ini, maaf beribu maaf. Sampai matipun Mas gak akan pergi menjauh!"
"Sebenarnya apa sih mau kamu Mas? Tak cukupkah kalian dua bersaudara menyakitiku dan menghancurkan masa depan ku!"
"Tidak Vania, syarat ini tidak terlalu berat kok buatmu." tuturnya.
Setelah cukup lama berfikir, aku pun menanyakan syarat apa yang di inginkan oleh Mas Raja.
"Vin, jika kamu hamil tolong jangan gugurkan kandunganmu itu ya. Dalam satu bulan kedepan, Mas akan terus memantaumu. Kalau memang terbukti kamu hamil, mau tidak mau kamu harus menikah dengan Mas. Tapi jika tidak, Mas akan pergi dari hidupmu selama-lamanya. Bagaimana Vania?"
Mendengar persyaratannya itu ada sedikit rasa lega. Aku berkeyakinan kalau untuk hamil itu rasanya tak mungkin. Setahu aku, orang yang melakukannya hanya sekali saja itu mustahil. Setidaknya harus berkali-kali.
"Baik, aku setuju dengan syarat itu. Setidaknya aku bisa lepas dari jerat keluarga kalian," ucapku ketus.
"Baiklah Mas pamit pulang dulu ya, kamu harus banyak istirahat." ucapnya dan kemudian dikecupnya keningku dengan lembut. Mendapatkan perlakuan yang seperti itu membuatku refleks mendorong tubuhnya untuk menjauh.
"Pergilah!" bentakku. Seketika Mas Raja melangkah meninggalkan aku yang masih merasakan puncak kekesalan.
"Ada apa sih Van, kok bicara kasar seperti itu pada Raja. Dia itu pemuda baik lho!" cerca Ibu protes melihat aku mengusir Mas Raja.
"Apaan sih bu, baik dari mana. Kakak beradik sama saja!" jawabku membela diri.
"Van, mungkin Gilang itu bukan jodohmu. Lagian gagalnya pernikahan mu itu memang murni kesalahan mu kan?"
"Sudahlh bu, Vania mau istirahat." ucapku dan kemudian membalikkan tubuhku dan membelakangi Ibu yang masih berdiri terpaku memandangiku.
****
Satu bulan kemudian.
Aku lupa kalau sudah satu minggu tidak datang bulan. Padahal satu minggu yang lalu itu jadwal datang menstruasi. Karena terlalu sibuk dengan pekerjaan ku yang bekerja di sebuah butik ternama di kota dimana aku tinggal.
Pagi itu perutku terasa diaduk-aduk. Mendapatkan bau masakan Ibu, rasanya perut ku ingin mengeluarkan isi yang ada di dalamnya.
Uwek ... uwek, cukup lama aku di kamar mandi. Karena terus muntah-muntah, hingga membuat tubuhku lemas tak bertenaga.
Tok tok tok. "Van ... Vania, kamu kenapa nak! Apa kamu sakit?" teriak ibu sambil terus mengetuk daun pintu kamar mandi.
"Tidak apa-apa kok bu, mungkin Vania lagi masuk angin. Pusing banget kepala Nia nih bu," aku pun melangkah keluar dari kamar mandi. Saat didepan Ibu aku jatuh tersungkur dan tak sadarkan diri.
Setelah tersadar aku dikejutkan dengan keberadaan seorang dokter yang sedang memeriksa keadaan ku. Beberapa menit kemudian, pernyataan bu dokter mengejutkanku dan seisi rumah ini. Saat itu Ayah yang mendengar bahwa aku sedang hamil langsung jatuh tersungkur kelantai dan terus memegang dadanya yang sebelah kiri.
"Aya ... hhh!" teriak Ibu. Karena saat itu bu dokter masih berada di sini, beliau pun memeriksa keadaan Ayah.
Bu dokter mengatakan kalau Ayah memiliki riwayat sakit jantung. Tapi kami masih diberikan keberuntungan. Ayah masih diberikan keselamatan. Saran bu dokter, jangan ada lagi berita atau apapun yang membuatnya terkejut atau membuat dirinya terbebani. Karena untuk kedua kalinya kalau hal ini terjadi, otomatis akan membuatnya tak bisa seberuntung seperti saat sekarang ini. Kulihat Ibu terus menangis dan terisak. Seketika aku baru teringat dengan perjanjian antara aku dan Mas Raja. Oh Tuhan, sungguh tak bisa kubayangkan bagaimana bisa aku menjadi istri seorang pria yang sangat ku benci. Di tengah lamunanku, tiba-tiba aku dikejutkan dengan sentuhan tangan Ibu yang mengelus pundakku.
"Siapa Ayah dari calon cucu Ibu itu Van. Tolong jangan buat Ibu kehilangan orang yang paling Ibu sayangi hiks hiks hiks. Kamu tau Van, sewaktu kamu pergi disaat hari pernikahan mu yang tinggal beberapa hari itu, Ayah dan Ibu seperti orang yang terasing di kampung ini. Mereka mengatakan bahwa anak Ibu tak tahu diri, banyak sekali hinaan dari mereka. Saat itu kami masih bisa menahan gejolak dihati. Tapi untuk kali ini, tolong nak jangan buat kami terluka lagi," tuturnya dan memohon kesediaan ku mengatakan sejujurnya siapa laki-laki itu. Karena desakan dari Ibu, akhirnya ku ceritakan perihal yang terjadi padaku selama ini. Seketika Ibu yang tadinya bersikap lembut menjadi emosi mendengar penuturan ku.Tak terfikir olehnya kalau anaknya ini sudah mengalami kisah tragis. Kemudian Ibu menyarankan diriku untuk memberitahukan kepada Mas Raja tentang kehamilan ku ini. Secara tak langsung Ibu mengizinkan jika aku harus menjadi salah satu bagian dari keluarga penghianat itu.
"Tidak bu, aku tak menginginkan anak ini!" ketusku.
"Jangan gila kamu Van, lihat perempuan di luar sana. Banyak dari mereka susah memiliki keturunan. Tapi kamu malah sebaliknya. Sampai kapan pun Ibu tak redho. Bayi itu cucu Ibu!"
Seketika aku dan Ibu terdiam sejenak. "Sudahlah bu, Vania mau keluar sebentar." ucapku dan kemudian meraih kunci motor matic yang terletak di meja.
Dilain sisi setelah mengetahui kalau Vania sudah melajukan motor dan menjauh, Ibu dengan semangat menghubungi Raja. Beberapa detik menunggu, akhirnya panggilan dijawab.
"Halo nak Raja, kamu bisa datang kerumah Ibu sekarang juga. Iya ada hal penting yang ingin Ibu sampaikan. Baiklah, cepat ya?!" ucap Ibu dan kemudian mengakhiri panggilannya.
Setengah jam kemudian sampailah Raja di rumah Ibu. Terlihat sekali wajah bahagia. Tentu saja hal itu membuat Raja merasa heran.
"Sini Raja, duduklah. Maaf ya Ibu sudah merepotkan kamu!"
"Ada apa ya bu," tanya Raja penasaran.
"Begini nak Raja, maaf kalau Ibu harus bertanya seperti ini kepadamu. Hum ... Apa nak Raja dan Vania memiliki hubungan khusus?"
"Ya bu, Raja sangat menyintainya. Tapi Vania sedikit pun tak mau membalas cinta saya." ucapnya tertunduk.
"Kamu tahu tidak kalau Vania sedang hamil. Apa benar bayi yang dikandungnya itu adalah anakmu?"
"Apa, Vania hamil?" teriak Raja yang terkejut mendengar pengakuan dari sang Ibu.
"Hust ...." dengan refleks tangan Ibu menutup rapat mulut Raja dengan cepat. "Jangan terlalu kuat bicaranya. Ntar tetangga dengar."
Seketika hati Raja kembali berseri, setelah sekian lama menanti akhirnya dirinya mendapatkan kabar baik dari kekasih hatinya, Vania.
"Dimana Vania sekarang bu," tanya Raja pada Ibu.
"Dia ke pasar katanya mau beli buah. Akhir-akhir ini Vania jarang makan dan muntah mulu." ucap Ibu menjelaskan keadaan Vania di masa kehamilannya tersebut.
Akhirnya sampai juga aku di depan rumah. Melihat moge terparkir di pekarangan rumah aku cuma bisa menerka-nerka siapa gerangan orang yang bertamu di rumah orang tua ku.
Sesampainya di dalam rumah, aku terkejut tak pernah menyangka kalau Ibu dengan cepat memberitahukan perihal kehamilan ku ini. Tanpa mempedulikan kehadirannya aku masuk kedapur. Ternyata Mas Raja menghampiri ku, dengan cepat ku melangkah mencoba menghindar darinya. Dengan cepat pula tangannya mencekal lenganku.
"Aw, sakit Mas!" ucapku sedikit berbisik, karena memang aku tak ingin Ayah dan Ibu mendengar pertengkaran kami.
"Aku menagih janji darimu. Setelah mengetahui bahwasanya kamu sedang hamil, benarkan itu sayang?" ucapnya dan mencoba mengecup perutku yang masih rata. Dengan segera aku menghindar.
"Aku bukan termasuk manusia yang mudah ingkar janji, baiklah aku bersedia menjadi istri mu." ucapku ketus. Mas Raja pun mengucapkan terima kasih kepada ku. Tanpa mempedulikan aku tetap acuh.
Beberapa hari kemudian
Setelah di sepakati akhirnya pernikahan kami diselenggarakan. Dengan semangat Mas Raja mengikrarkan ijab qabul dan di akhiri dengan kata sah. Tak terkira perasaan bahagianya saat itu, dan tak ku sadari sedari tadi ternyata Gilang hadir bersama putra dan istrinya itu.
Setelah acara selesai aku digiring oleh Mas Raja ke peranduan. Di ranjang pengantin ini kulihat kelopak bunga mawar bertebaran di atas ranjang. Dengan perlahan tubuhku di cumbuinya, hingga malam ini diriku di buatnya melayang-layang.
Karena kondisi ku yang saat ini sedang mengandung, hingga membuat diriku bak bagaikan ratu dalam istananya. Ternyata begitu besar rasa sayang dan cinta Mas Raja kepadaku.
Siang itu saat aku bersantai di bangku taman tepatnya di halaman rumah tiba-tiba gawaiku berdering. Saat ku lihat nomor baru yang tertera. Aku pun mengabaikannya. Panggilan itu terus berlanjut hingga berulang kali.
"Halo," sapaku.
"Halo Vania, ini Gilang. Bagaimana kabar mu" tanya Gilang.
"Maaf anda salah sambung!" ucapku ketus. Seketika ku matikan panggilan.
Siang itu saat tertidur betapa terkejutnya diriku ini. Ntah dari mana dirinya bisa masuk ke dalam kamar ku. Dengan bibir yang tersenyum dihampirinya aku, dengan posisi perut yang mulai membesar aku merasa kewalahan untuk menghindar.
Saat itu aku merasakan tubuh ku terasa ada yang menindih. Saat ku buka ternyata sosok laki-laki yang sangat ku benci. Dengan refleks ku dorong tubuhnya hingga membuatnya terjerembab. "Brengsek kau Gilang, buat apa kau datang kesini!" bentakku. Bukan menjauh malah semakin mendekat dirinya, tentu saja membuatku kewalahan. "Van, aku sangat merindukan mu. Tolong izinkan aku mencium mu sekali saja." ucapnya lembut dan mencoba merayuku kembali. "Pergi kau dari sini, dasar laki-laki tak punya akhlak." Seketika kami terkejut dengan suara seseorang mengetuk pintu kamar. Tok tok tok, "Non Vania buka pintunya, kenapa Non kok berteriak!" teriak bi Jum memanggilku dari luar kamar. "Tidak ada apa-apa bi, tadi saya cuma terkejut kok!" jawabku setela
"Pergilah Mas," rayuku pada Gilang saat itu. "Apa kau tak merindukan ku?" tanya Gilang mencoba menahan gejolak di hatinya. "Setelah kau meninggalkan ku dan memilih menikah dengan perempuan kaya itu, kau lupa dengan diriku. Sejak saat itu hilang sudah rasa rinduku ini." ucapku ketus. "Bukankah kau yang meninggalkan aku Van?" cibir Gilang dengan wajah kesal. Seketika aku pun terdiam membisu mendengar penuturannya itu. Untuk cerita tentang masalah itu tak akan ada guna lagi, toh sekarang aku sudah menjadi istri orang yang telah memisahkan aku dari Gilang. "Lalu mengapa kau datang lagi mengganggu hidupku Mas, sekarang aku bahagia menjadi istri Mas Raja, dan kau lihat sendiri aku tengah mengandung darah dagingnya!" cercaku. Seketika Gilang terdiam menatap lekat mataku, terlihat ada rasa penyesalan di matanya. Kemudian Gilang me
Satu bulan kemudian. Saat sedang asyiknya bersantai dan tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara seseorang membuka pintu gerbang dan masuk sebuah mobil dan berhenti di halaman rumah. Beberapa menit kemudian keluarlah seseorang yang tak asing bagiku. Siapa lagi kalau bukan Gilang. Melihatnya saja aku sudah malas. Terkadang aku heran, dirinya tak bekerja apa hari-hari berkeliaran di rumah orang. "Assalamualaikum cantik!" sapa Gilang dengan nada menggoda. "Wa'alaikumsalam!" jawabku ketus. "Hai keponakan paman yang tampan seperti wajah pamannya, apa kabar!" godanya lagi. Tentu saja hal itu membuatku muak. "Apaan sih Mas, ngapain hampir tiap hari datang kesini sih, bosan tahu!" ketusku. "Kok gitu sambutannya, tak baik bicara seperti itu!" sahut Gilang manja. "Biarin, emang k
Malam itu saat mata ini terpejam, betapa terkejutnya diriku setelah merasakan sesuatu yang menyentuh area sensitif ku. Saat mata ini terbuka ternyata kulihat tepat di hadapanku wajah seseorang yang tak lagi asing bagiku. Ya wajah Gilang yang tengah tersenyum dan dengan cepat dilumatnya bibirku dengan bringas. Aku yang belum sempat melawan terpaksa harus menerima semua cumbuan dan aksi-aksinya yang memancing birahiku. Sungguh kelihaiannya membuatku tak mampu membendung hasratku yang ingin segera menuntaskannya. Cukup lama kami melakukan hal itu, hingga akhirnya kami sama-sama merasakan puncak kenikmatan. Aku tersadar dengan kegilaan ini. Ku tatap wajah Gilang dengan tajam. Gilang mencoba meraih tangan ku, dengan cepat ku tepis. "Pergilah Mas!" tegasku. "Maaf Van, aku--" "Sudah cukup, jangan berkata-kata apa-apa lagi!" sahutku tegas. "Aku m
Kemudian Vania membuka pintu dan menemui Ibu mertuanya datang. Setelah dilihatnya ternyata bukan hanya dirinya yang datang, tapi seorang perempuan cantik yang tak dikenal. Seketika dilihat oleh Vania perempuan tersebut merangkul tangan Raja dengan manja. "Ada apa ini Ma!" tanya Vania. Kemudian Mama mertuanya menjelaskan maksud kedatangannya tersebut. "Begini Van, maaf kalau Mama tidak jujur dengan kamu, sebenarnya Raja dan Vivi sudah menikah satu bulan yang lalu. Semua ini bukan kehendak Mama tapi atas permohonan dari orang tua Vivi yang merupakan teman Papanya. Sebenarnya mereka sudah lama dijodohkan, tapi saat itu Vivi sedang ada diluar negeri. "Lalu!" jawabnya singkat. "Vivi ingin tinggal di rumah ini bersama mu!" jawab Mama mertuanya. "Dan kau Mas, apa keputusan mu!" tanya Vania geram. Men
Dua tahun kemudian. Setelah Vania berpisah dengan Raja hidupnya kini tenang. Dengan memiliki putra yang tampan, Vania merasakan kebahagiaan. Sementara Gilang masih tetap menghantui hidup Vania hingga putranya kini yang sudah menginjak tuga tahun. Tapi Vania tak pernah ambil pusing. Untuk menghidupi putra sematawayangnya, sebut saja Juna. Vania harus bekerja di sebuah perusahaan ternama dan hanya sebagai staf karyawan biasa. Karena memiliki wajah yang cantik, banyak laki-laki yang ingin mempersunting Vania agar menjadi istri mereka. Tapi dengan halus di tolaknya, bagaimana pun masih ada trauma yang membuatnya enggan untuk berumah tangga kembali. "Van, ayo sudah mau masuk Maghrib nih biar tak kelamaan mari Mas hantar!" ucap salah seorang staf manager yang sedari dahulu menyukainya. Tapi Vania tak pernah menggubrisnya hingga kini. "Tidak Pak maaf, mungkin taksi bentar lagi lewat
Bab 01. Penghianatan "Hai sayang, kamu ada dimana. Lama banget sih!" sahutku kesal. Aku Vania gadis cantik dari desa Sebong Lagoi. Aku memiliki paras wajah yang lumayan cantik dan berlesung pipi. Kekesalan yang kurasakan saat ini ya menunggu. Satu jam ditunggu tidak juga muncul. Gilang, ya pacarku itu kalau sudah buat janji susah sekali untuk menepati. Kalau gak telat, ya lupa. Terkadang membuatku jengah. Aku mencintainya karena kepribadiannya yang sopan dan gak neko-neko sih jadi cowok. Setelah menjalani hubungan yang serius Gilang mencoba untuk melamarku. Tentunya aku sangat bahagia dibuatnya. Pernah satu hari aku dibawa kerumah orang tuanya. Tepatnya di desa sebelah dimana aku tinggal sekarang. Dari situ aku tahu, ternyata Gilang memiliki satu saudara laki-laki yang bernama Raja. Usia mereka bertaut dua tahun. Yang kulihat dari
"Sudah bu biar saya saja yang akan menjelaskan pada Vania." ucap Mas Raja mencoba menyakinkan hati Ibu. "Aku tak perlu mendengarkan cerita bohong mu lagi, sudah cukup kau menciptakan kehancuran dalam hidupku. Pergilah kau jauh-jauh dari kehidupan ku!" teriakku mencoba untuk mengusirnya. "Vania! Jaga ucapan mu nak, dia orang yang telah menolong mu. Tak sepantasnya kau berkata seperti itu!" bela Ibu. Seketika membuat ku ternganga, "apa! Menolongku?" batinku tak menyangka kalau Ibu bisa berkata seperti itu. Aku tak tahu, mungkin selama ini Raja sudah mencuci otak Ayah, Ibuku. Ku tarik lengan Mas Raja untuk segera mengikutiku. "Gila kamu ya Mas, sejak kapan kau mempengaruhi pikiran Ibuku, dasar munafik!" ucapku ketus. "Terserah kamu mau menuduh Mas seperti itu. Sedikit pun
Dua tahun kemudian. Setelah Vania berpisah dengan Raja hidupnya kini tenang. Dengan memiliki putra yang tampan, Vania merasakan kebahagiaan. Sementara Gilang masih tetap menghantui hidup Vania hingga putranya kini yang sudah menginjak tuga tahun. Tapi Vania tak pernah ambil pusing. Untuk menghidupi putra sematawayangnya, sebut saja Juna. Vania harus bekerja di sebuah perusahaan ternama dan hanya sebagai staf karyawan biasa. Karena memiliki wajah yang cantik, banyak laki-laki yang ingin mempersunting Vania agar menjadi istri mereka. Tapi dengan halus di tolaknya, bagaimana pun masih ada trauma yang membuatnya enggan untuk berumah tangga kembali. "Van, ayo sudah mau masuk Maghrib nih biar tak kelamaan mari Mas hantar!" ucap salah seorang staf manager yang sedari dahulu menyukainya. Tapi Vania tak pernah menggubrisnya hingga kini. "Tidak Pak maaf, mungkin taksi bentar lagi lewat
Kemudian Vania membuka pintu dan menemui Ibu mertuanya datang. Setelah dilihatnya ternyata bukan hanya dirinya yang datang, tapi seorang perempuan cantik yang tak dikenal. Seketika dilihat oleh Vania perempuan tersebut merangkul tangan Raja dengan manja. "Ada apa ini Ma!" tanya Vania. Kemudian Mama mertuanya menjelaskan maksud kedatangannya tersebut. "Begini Van, maaf kalau Mama tidak jujur dengan kamu, sebenarnya Raja dan Vivi sudah menikah satu bulan yang lalu. Semua ini bukan kehendak Mama tapi atas permohonan dari orang tua Vivi yang merupakan teman Papanya. Sebenarnya mereka sudah lama dijodohkan, tapi saat itu Vivi sedang ada diluar negeri. "Lalu!" jawabnya singkat. "Vivi ingin tinggal di rumah ini bersama mu!" jawab Mama mertuanya. "Dan kau Mas, apa keputusan mu!" tanya Vania geram. Men
Malam itu saat mata ini terpejam, betapa terkejutnya diriku setelah merasakan sesuatu yang menyentuh area sensitif ku. Saat mata ini terbuka ternyata kulihat tepat di hadapanku wajah seseorang yang tak lagi asing bagiku. Ya wajah Gilang yang tengah tersenyum dan dengan cepat dilumatnya bibirku dengan bringas. Aku yang belum sempat melawan terpaksa harus menerima semua cumbuan dan aksi-aksinya yang memancing birahiku. Sungguh kelihaiannya membuatku tak mampu membendung hasratku yang ingin segera menuntaskannya. Cukup lama kami melakukan hal itu, hingga akhirnya kami sama-sama merasakan puncak kenikmatan. Aku tersadar dengan kegilaan ini. Ku tatap wajah Gilang dengan tajam. Gilang mencoba meraih tangan ku, dengan cepat ku tepis. "Pergilah Mas!" tegasku. "Maaf Van, aku--" "Sudah cukup, jangan berkata-kata apa-apa lagi!" sahutku tegas. "Aku m
Satu bulan kemudian. Saat sedang asyiknya bersantai dan tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara seseorang membuka pintu gerbang dan masuk sebuah mobil dan berhenti di halaman rumah. Beberapa menit kemudian keluarlah seseorang yang tak asing bagiku. Siapa lagi kalau bukan Gilang. Melihatnya saja aku sudah malas. Terkadang aku heran, dirinya tak bekerja apa hari-hari berkeliaran di rumah orang. "Assalamualaikum cantik!" sapa Gilang dengan nada menggoda. "Wa'alaikumsalam!" jawabku ketus. "Hai keponakan paman yang tampan seperti wajah pamannya, apa kabar!" godanya lagi. Tentu saja hal itu membuatku muak. "Apaan sih Mas, ngapain hampir tiap hari datang kesini sih, bosan tahu!" ketusku. "Kok gitu sambutannya, tak baik bicara seperti itu!" sahut Gilang manja. "Biarin, emang k
"Pergilah Mas," rayuku pada Gilang saat itu. "Apa kau tak merindukan ku?" tanya Gilang mencoba menahan gejolak di hatinya. "Setelah kau meninggalkan ku dan memilih menikah dengan perempuan kaya itu, kau lupa dengan diriku. Sejak saat itu hilang sudah rasa rinduku ini." ucapku ketus. "Bukankah kau yang meninggalkan aku Van?" cibir Gilang dengan wajah kesal. Seketika aku pun terdiam membisu mendengar penuturannya itu. Untuk cerita tentang masalah itu tak akan ada guna lagi, toh sekarang aku sudah menjadi istri orang yang telah memisahkan aku dari Gilang. "Lalu mengapa kau datang lagi mengganggu hidupku Mas, sekarang aku bahagia menjadi istri Mas Raja, dan kau lihat sendiri aku tengah mengandung darah dagingnya!" cercaku. Seketika Gilang terdiam menatap lekat mataku, terlihat ada rasa penyesalan di matanya. Kemudian Gilang me
Saat itu aku merasakan tubuh ku terasa ada yang menindih. Saat ku buka ternyata sosok laki-laki yang sangat ku benci. Dengan refleks ku dorong tubuhnya hingga membuatnya terjerembab. "Brengsek kau Gilang, buat apa kau datang kesini!" bentakku. Bukan menjauh malah semakin mendekat dirinya, tentu saja membuatku kewalahan. "Van, aku sangat merindukan mu. Tolong izinkan aku mencium mu sekali saja." ucapnya lembut dan mencoba merayuku kembali. "Pergi kau dari sini, dasar laki-laki tak punya akhlak." Seketika kami terkejut dengan suara seseorang mengetuk pintu kamar. Tok tok tok, "Non Vania buka pintunya, kenapa Non kok berteriak!" teriak bi Jum memanggilku dari luar kamar. "Tidak ada apa-apa bi, tadi saya cuma terkejut kok!" jawabku setela
Saat tersadar kulihat Ibu dan Ayah duduk dan menangis. Diusapnya rambutku dengan lembut. Ku lihat Mas Raja tepat berada di belakang mereka. "Kamu kenapa toh nduk, buat kami khawatir saja," ucap Ayah merasa cemas. "Ya sudah, Ayah dan Ibu keluar dulu ya!" pamit mereka dan segera beranjak melangkah meninggalkan aku dan Mas Raja di dalam kamar. Seketika Mas Raja duduk mendekati ku dan dengan ragu di raihnya jemariku. Seketika di kecupnya dengan lembut. "Van maaf kalau Mas sudah membuatmu jadi begini. Sekarang terserah kamu mau menjauhi Mas atau apa pun yang bisa membuat hatimu tenang dan mulai saat ini juga Mas gak akan mengganggu lagi kehidupan mu. Tapi sebelum Mas pergi, tolong jawab pertanyaan Mas. Kenapa sebegitu besar rasa bencimu selama ini terhadap Mas?" ujarnya sambil terus menatap mataku. "Pergilah Mas, tolong biarkan aku sendiri disini. Tak
"Sudah bu biar saya saja yang akan menjelaskan pada Vania." ucap Mas Raja mencoba menyakinkan hati Ibu. "Aku tak perlu mendengarkan cerita bohong mu lagi, sudah cukup kau menciptakan kehancuran dalam hidupku. Pergilah kau jauh-jauh dari kehidupan ku!" teriakku mencoba untuk mengusirnya. "Vania! Jaga ucapan mu nak, dia orang yang telah menolong mu. Tak sepantasnya kau berkata seperti itu!" bela Ibu. Seketika membuat ku ternganga, "apa! Menolongku?" batinku tak menyangka kalau Ibu bisa berkata seperti itu. Aku tak tahu, mungkin selama ini Raja sudah mencuci otak Ayah, Ibuku. Ku tarik lengan Mas Raja untuk segera mengikutiku. "Gila kamu ya Mas, sejak kapan kau mempengaruhi pikiran Ibuku, dasar munafik!" ucapku ketus. "Terserah kamu mau menuduh Mas seperti itu. Sedikit pun
Bab 01. Penghianatan "Hai sayang, kamu ada dimana. Lama banget sih!" sahutku kesal. Aku Vania gadis cantik dari desa Sebong Lagoi. Aku memiliki paras wajah yang lumayan cantik dan berlesung pipi. Kekesalan yang kurasakan saat ini ya menunggu. Satu jam ditunggu tidak juga muncul. Gilang, ya pacarku itu kalau sudah buat janji susah sekali untuk menepati. Kalau gak telat, ya lupa. Terkadang membuatku jengah. Aku mencintainya karena kepribadiannya yang sopan dan gak neko-neko sih jadi cowok. Setelah menjalani hubungan yang serius Gilang mencoba untuk melamarku. Tentunya aku sangat bahagia dibuatnya. Pernah satu hari aku dibawa kerumah orang tuanya. Tepatnya di desa sebelah dimana aku tinggal sekarang. Dari situ aku tahu, ternyata Gilang memiliki satu saudara laki-laki yang bernama Raja. Usia mereka bertaut dua tahun. Yang kulihat dari