Malam itu saat mata ini terpejam, betapa terkejutnya diriku setelah merasakan sesuatu yang menyentuh area sensitif ku. Saat mata ini terbuka ternyata kulihat tepat di hadapanku wajah seseorang yang tak lagi asing bagiku. Ya wajah Gilang yang tengah tersenyum dan dengan cepat dilumatnya bibirku dengan bringas. Aku yang belum sempat melawan terpaksa harus menerima semua cumbuan dan aksi-aksinya yang memancing birahiku. Sungguh kelihaiannya membuatku tak mampu membendung hasratku yang ingin segera menuntaskannya.
Cukup lama kami melakukan hal itu, hingga akhirnya kami sama-sama merasakan puncak kenikmatan. Aku tersadar dengan kegilaan ini. Ku tatap wajah Gilang dengan tajam. Gilang mencoba meraih tangan ku, dengan cepat ku tepis. "Pergilah Mas!" tegasku. "Maaf Van, aku--" "Sudah cukup, jangan berkata-kata apa-apa lagi!" sahutku tegas. "Aku mohon pergilah dan ini yang terakhir kamu mendekati ku!" ketusku. Karena tak ingin ada keributan Gilang pun bergegas melangkah pergi. Aku yang frustrasi dibuatnya. Sungguh aku sangat berdosa, akupun menangis sesunggukan. Hari sudah mulai siang, akupun berniat menghapus rekaman yang dicctv. Walaupun cuma di ruang tengah tapi aku tak ingin Mas Raja tahu kehadiran Gilang diketahuinya. Setelah selesai membereskan semua rekaman aku mulai beraktivitas seperti biasa. Karena melihat kemurunganku, bi Jum pun bertanya ada apa dengan ku. "Ada apa Non, kok bibi lihat dari tadi wajahnya murung terus?" tanya bi Jum. "Tidak ada apa-apa bi," jawabku. "Ya sudah, kalau ada apa-apa beritahu saya ya Non. Saya tak ingin tuan marah pada saya, yang membiarkan istrinya murung terus!" ucap bi Jum bercanda. Mendengar penuturan bi Jum, aku pun tersenyum. Aku tak sadar ternyata dirinya benar-benar memperhatikan aku. "Ya sudah saya permisi dulu ya Non!" ucapnya kembali. "Ya bi," sahutku. Akupun beraktivitas seperti biasa....
Satu bulan kemudian.
Tibalah kepulangan Mas Raja, tentu membuat ku bahagia. Tapi ntah mengapa aku merasa perbedaan dengan sikap suamiku ini. Biasa kalau keluar kota cuma satu minggu sikapnya selalu hangat, tapi tidak untuk kali ini. Dingin.
Tapi aku tepis segala kecurigaan, mungkin dirinya lelah. Aku pun mencairkan suasana hati ku dengan bermanja padanya. Sungguh diluar dugaanku, Mas Raja selalu menolak halus kemanjaanku. Apa yang terjadi padamu Mas? Setelah selesai membersihkan diri, kami berkumpul diruangan keluarga. Aku pun mencoba memberanikan diri bertanya apa yang terjadi padanya hingga sikapnya seperti itu. "Ada masalah ya Mas di kantor, sepertinya--" ucapan ku terputus karena tiba-tiba dirinya memotong ucapan ku. "Tak ada apa-apa. Mas hanya lelah," cetusnya. "Oh, adik kirain!" "Tak usah berfikir yang aneh-aneh!" sahutnya kembali. Akupun terdiam seribu bahasa. Masih saja dirinya sibuk dengan gawainya, padahal dahulu sebelum kepergiannya Mas Raja tak begitu menyukai dunia maya, tapi entahlah sungguh perubahan sikap yang pastinya membuat ku curiga. Merasa di acuhkan, akupun beranjak pergi meninggalkan dirinya. Sakit rasanya diperlakukan seperti ini. Ku tidurkan putraku ke dalam box tempatnya tidur. Karena masih kesal akupun mencoba pejamkan mata, mengingat perubahan sikap Mas Raja hingga membuat ku susah untuk memejamkan mata. Tak terasa mengalir bulir bening di pipiku. Tak berapa lama kemudian masuklah Mas Raja dan menghampiri ku. Dirinya tahu kekecewaan yang kurasakan, kemudian Mas Raja meminta maaf dengan suara lembut dibisikkan ke telingaku sesuatu yang membuat ku terdiam. "Dik, maaf Mas sudah menyakiti hatimu. Sudah jangan menangis lagi!" bisiknya. "Siapa lagi yang menangis, adik ngantuk!" sahutku. "Dik!" panggilnya lagi. "Ada apa Mas?" sahutku datar. "Sini donk duduk ada yang ingin mas bicarakan!" ucapnya lagi. Aku pun menuruti permintaannya, dengan rasa penasaran ku tatap matanya dengan tajam. "Jangan pandang Mas seperti itulah sayang!" protesnya. "Ada apa sih Mas, dari awal kamu pulang sudah buat adik penasaran seperti ini. Sudahlah katakan apa yang mau di katakan!" ketusku. "Begini dik, sebenarnya--" ucapnya terhenti seketika. "Itukan, kamu memang suka buat istrimu ini mati penasaran!" sahutku kesal. Kemudian Mas Raja tertunduk, entah mengapa sikapnya jadi seperti ini. "Dik, sebenarnya Mas sudah menikah lagi. Dan kemarin Mas disana cuma melangsungkan pernikahan dan istri Mas sekarang ingin kamu tahu statusnya sekarang sebagai istri Mas juga dan dia ingin bertemu dengan mu." tuturnya dan tertunduk tak berani menatap kearahku. "Banci kamu Mas!" ketusku. Mendengar ucapan ku seketika matanya memandang mataku dengan lantang. "Kenapa, kau tak terima kusebut seperti itu!" Plak. Satu tamparan mendarat ke pipiku hingga kurasakan perih. "Kenapa tak kau bunuh saja aku, biar kau puas!" cercaku. "Jangan begitulah dik, Mas mencintai kalian berdua. Tolong mengertilah!" "Apa mengerti?" cibirku. "Gila kau ya Mas, dahulu kau yang mengemis padaku dan kau rusak aku dan sekarang kau perlihatkan sifat aslimu. Hum, ternyata memang benar kalian bersaudara tak memiliki akhlak. Munafik!" sahutku geram. Mas Raja masih tetap terdiam membisu. Karena memang dirinya bersalah, tak mampu lagi dirinya untuk melawan ucapanku. "Ceraikan aku segera!" pintaku tegas. "T--tidak dik, Mas takkan menceraikan mu sampai kapan pun!" ucapnya memelas. "Terserah, jika kau tak mau menceraikan aku, aku yang akan mengurus perceraian kita!" ketusku dan berlalu dari hadapannya. Dengan hati sakit dan kesal aku menuju ruangan dimana aku sering duduk bersantai. Tiba-tiba bi Jum datang menghampiri. Di peluknya aku dengan erat, dirinya pun ikut menangis sesunggukan. Ternyata bi Jum mendengar pertengkaran kami. Sakitnya hatiku juga dirasakan olehnya. "Sabar Non," ucapnya sedih. "Bi, hiks hiks hiks." tangisku pecah. "Tega dia bi, aku yang sudah setia harus dibuatnya begini. Apakah ini hukuman untukku ya bi?" isakku. "Hust, jangan bicara seperti itu Non." Tiba-tiba Mas Raja keluar dan menghampiri kami. Kemudian bi Jum beranjak dari duduknya dan melangkah meninggalkan kami. "Maaf dik, tolong maafkan Mas!" ucapnya dan dia menyimpuhkan tubuhnya dihadapanku dan di coba meraih tanganku, seketika dengan kasar kutepis. "Pergi kau dari sini, aku muak melihat wajah munafik mu itu!" ucapku kasar. Aku sudah tak peduli lagi dengan dosa yang sudah berkata kasar pada seorang suami. Tak juga beranjak pergi, akhirnya aku yang pergi meninggalkan dirinya dan masuk kembali kedalam kamar dan kukunci pintu dengan serapat mungkin. Akupun menangis sesunggukan, dan seketika mendengar anakku menangis air mata ini juga tak mau berhenti mengalir. "Kalaupun Tuhan sudah menghendaki jodoh kita sampai disini, aku ikhlas Mas!" bisikku ditengah isak tangisku. Pantas saja selama dirinya disana hatiku gelisah, fikiranku tak lepas darinya. Ternyata inilah kebenarannya. Kemudian pintu diketuk, kudengar suara bi Jum memanggil. "Non, Non Vania!" "Ya bi," jawabku. "Keluar Non, ada Nyonya besar datang!" teriaknya. Mendengar ucapan bi Jum yang mengatakan kalau Mama mertuaku datang tentu membuat ku heran. Sebenarnya ada apa ini, apa sebenarnya yang mereka rahasiakan dariku. Kemudian dengan berat ku melangkah menghampiri keberadaan mereka.Kemudian Vania membuka pintu dan menemui Ibu mertuanya datang. Setelah dilihatnya ternyata bukan hanya dirinya yang datang, tapi seorang perempuan cantik yang tak dikenal. Seketika dilihat oleh Vania perempuan tersebut merangkul tangan Raja dengan manja. "Ada apa ini Ma!" tanya Vania. Kemudian Mama mertuanya menjelaskan maksud kedatangannya tersebut. "Begini Van, maaf kalau Mama tidak jujur dengan kamu, sebenarnya Raja dan Vivi sudah menikah satu bulan yang lalu. Semua ini bukan kehendak Mama tapi atas permohonan dari orang tua Vivi yang merupakan teman Papanya. Sebenarnya mereka sudah lama dijodohkan, tapi saat itu Vivi sedang ada diluar negeri. "Lalu!" jawabnya singkat. "Vivi ingin tinggal di rumah ini bersama mu!" jawab Mama mertuanya. "Dan kau Mas, apa keputusan mu!" tanya Vania geram. Men
Dua tahun kemudian. Setelah Vania berpisah dengan Raja hidupnya kini tenang. Dengan memiliki putra yang tampan, Vania merasakan kebahagiaan. Sementara Gilang masih tetap menghantui hidup Vania hingga putranya kini yang sudah menginjak tuga tahun. Tapi Vania tak pernah ambil pusing. Untuk menghidupi putra sematawayangnya, sebut saja Juna. Vania harus bekerja di sebuah perusahaan ternama dan hanya sebagai staf karyawan biasa. Karena memiliki wajah yang cantik, banyak laki-laki yang ingin mempersunting Vania agar menjadi istri mereka. Tapi dengan halus di tolaknya, bagaimana pun masih ada trauma yang membuatnya enggan untuk berumah tangga kembali. "Van, ayo sudah mau masuk Maghrib nih biar tak kelamaan mari Mas hantar!" ucap salah seorang staf manager yang sedari dahulu menyukainya. Tapi Vania tak pernah menggubrisnya hingga kini. "Tidak Pak maaf, mungkin taksi bentar lagi lewat
Bab 01. Penghianatan "Hai sayang, kamu ada dimana. Lama banget sih!" sahutku kesal. Aku Vania gadis cantik dari desa Sebong Lagoi. Aku memiliki paras wajah yang lumayan cantik dan berlesung pipi. Kekesalan yang kurasakan saat ini ya menunggu. Satu jam ditunggu tidak juga muncul. Gilang, ya pacarku itu kalau sudah buat janji susah sekali untuk menepati. Kalau gak telat, ya lupa. Terkadang membuatku jengah. Aku mencintainya karena kepribadiannya yang sopan dan gak neko-neko sih jadi cowok. Setelah menjalani hubungan yang serius Gilang mencoba untuk melamarku. Tentunya aku sangat bahagia dibuatnya. Pernah satu hari aku dibawa kerumah orang tuanya. Tepatnya di desa sebelah dimana aku tinggal sekarang. Dari situ aku tahu, ternyata Gilang memiliki satu saudara laki-laki yang bernama Raja. Usia mereka bertaut dua tahun. Yang kulihat dari
"Sudah bu biar saya saja yang akan menjelaskan pada Vania." ucap Mas Raja mencoba menyakinkan hati Ibu. "Aku tak perlu mendengarkan cerita bohong mu lagi, sudah cukup kau menciptakan kehancuran dalam hidupku. Pergilah kau jauh-jauh dari kehidupan ku!" teriakku mencoba untuk mengusirnya. "Vania! Jaga ucapan mu nak, dia orang yang telah menolong mu. Tak sepantasnya kau berkata seperti itu!" bela Ibu. Seketika membuat ku ternganga, "apa! Menolongku?" batinku tak menyangka kalau Ibu bisa berkata seperti itu. Aku tak tahu, mungkin selama ini Raja sudah mencuci otak Ayah, Ibuku. Ku tarik lengan Mas Raja untuk segera mengikutiku. "Gila kamu ya Mas, sejak kapan kau mempengaruhi pikiran Ibuku, dasar munafik!" ucapku ketus. "Terserah kamu mau menuduh Mas seperti itu. Sedikit pun
Saat tersadar kulihat Ibu dan Ayah duduk dan menangis. Diusapnya rambutku dengan lembut. Ku lihat Mas Raja tepat berada di belakang mereka. "Kamu kenapa toh nduk, buat kami khawatir saja," ucap Ayah merasa cemas. "Ya sudah, Ayah dan Ibu keluar dulu ya!" pamit mereka dan segera beranjak melangkah meninggalkan aku dan Mas Raja di dalam kamar. Seketika Mas Raja duduk mendekati ku dan dengan ragu di raihnya jemariku. Seketika di kecupnya dengan lembut. "Van maaf kalau Mas sudah membuatmu jadi begini. Sekarang terserah kamu mau menjauhi Mas atau apa pun yang bisa membuat hatimu tenang dan mulai saat ini juga Mas gak akan mengganggu lagi kehidupan mu. Tapi sebelum Mas pergi, tolong jawab pertanyaan Mas. Kenapa sebegitu besar rasa bencimu selama ini terhadap Mas?" ujarnya sambil terus menatap mataku. "Pergilah Mas, tolong biarkan aku sendiri disini. Tak
Saat itu aku merasakan tubuh ku terasa ada yang menindih. Saat ku buka ternyata sosok laki-laki yang sangat ku benci. Dengan refleks ku dorong tubuhnya hingga membuatnya terjerembab. "Brengsek kau Gilang, buat apa kau datang kesini!" bentakku. Bukan menjauh malah semakin mendekat dirinya, tentu saja membuatku kewalahan. "Van, aku sangat merindukan mu. Tolong izinkan aku mencium mu sekali saja." ucapnya lembut dan mencoba merayuku kembali. "Pergi kau dari sini, dasar laki-laki tak punya akhlak." Seketika kami terkejut dengan suara seseorang mengetuk pintu kamar. Tok tok tok, "Non Vania buka pintunya, kenapa Non kok berteriak!" teriak bi Jum memanggilku dari luar kamar. "Tidak ada apa-apa bi, tadi saya cuma terkejut kok!" jawabku setela
"Pergilah Mas," rayuku pada Gilang saat itu. "Apa kau tak merindukan ku?" tanya Gilang mencoba menahan gejolak di hatinya. "Setelah kau meninggalkan ku dan memilih menikah dengan perempuan kaya itu, kau lupa dengan diriku. Sejak saat itu hilang sudah rasa rinduku ini." ucapku ketus. "Bukankah kau yang meninggalkan aku Van?" cibir Gilang dengan wajah kesal. Seketika aku pun terdiam membisu mendengar penuturannya itu. Untuk cerita tentang masalah itu tak akan ada guna lagi, toh sekarang aku sudah menjadi istri orang yang telah memisahkan aku dari Gilang. "Lalu mengapa kau datang lagi mengganggu hidupku Mas, sekarang aku bahagia menjadi istri Mas Raja, dan kau lihat sendiri aku tengah mengandung darah dagingnya!" cercaku. Seketika Gilang terdiam menatap lekat mataku, terlihat ada rasa penyesalan di matanya. Kemudian Gilang me
Satu bulan kemudian. Saat sedang asyiknya bersantai dan tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara seseorang membuka pintu gerbang dan masuk sebuah mobil dan berhenti di halaman rumah. Beberapa menit kemudian keluarlah seseorang yang tak asing bagiku. Siapa lagi kalau bukan Gilang. Melihatnya saja aku sudah malas. Terkadang aku heran, dirinya tak bekerja apa hari-hari berkeliaran di rumah orang. "Assalamualaikum cantik!" sapa Gilang dengan nada menggoda. "Wa'alaikumsalam!" jawabku ketus. "Hai keponakan paman yang tampan seperti wajah pamannya, apa kabar!" godanya lagi. Tentu saja hal itu membuatku muak. "Apaan sih Mas, ngapain hampir tiap hari datang kesini sih, bosan tahu!" ketusku. "Kok gitu sambutannya, tak baik bicara seperti itu!" sahut Gilang manja. "Biarin, emang k
Dua tahun kemudian. Setelah Vania berpisah dengan Raja hidupnya kini tenang. Dengan memiliki putra yang tampan, Vania merasakan kebahagiaan. Sementara Gilang masih tetap menghantui hidup Vania hingga putranya kini yang sudah menginjak tuga tahun. Tapi Vania tak pernah ambil pusing. Untuk menghidupi putra sematawayangnya, sebut saja Juna. Vania harus bekerja di sebuah perusahaan ternama dan hanya sebagai staf karyawan biasa. Karena memiliki wajah yang cantik, banyak laki-laki yang ingin mempersunting Vania agar menjadi istri mereka. Tapi dengan halus di tolaknya, bagaimana pun masih ada trauma yang membuatnya enggan untuk berumah tangga kembali. "Van, ayo sudah mau masuk Maghrib nih biar tak kelamaan mari Mas hantar!" ucap salah seorang staf manager yang sedari dahulu menyukainya. Tapi Vania tak pernah menggubrisnya hingga kini. "Tidak Pak maaf, mungkin taksi bentar lagi lewat
Kemudian Vania membuka pintu dan menemui Ibu mertuanya datang. Setelah dilihatnya ternyata bukan hanya dirinya yang datang, tapi seorang perempuan cantik yang tak dikenal. Seketika dilihat oleh Vania perempuan tersebut merangkul tangan Raja dengan manja. "Ada apa ini Ma!" tanya Vania. Kemudian Mama mertuanya menjelaskan maksud kedatangannya tersebut. "Begini Van, maaf kalau Mama tidak jujur dengan kamu, sebenarnya Raja dan Vivi sudah menikah satu bulan yang lalu. Semua ini bukan kehendak Mama tapi atas permohonan dari orang tua Vivi yang merupakan teman Papanya. Sebenarnya mereka sudah lama dijodohkan, tapi saat itu Vivi sedang ada diluar negeri. "Lalu!" jawabnya singkat. "Vivi ingin tinggal di rumah ini bersama mu!" jawab Mama mertuanya. "Dan kau Mas, apa keputusan mu!" tanya Vania geram. Men
Malam itu saat mata ini terpejam, betapa terkejutnya diriku setelah merasakan sesuatu yang menyentuh area sensitif ku. Saat mata ini terbuka ternyata kulihat tepat di hadapanku wajah seseorang yang tak lagi asing bagiku. Ya wajah Gilang yang tengah tersenyum dan dengan cepat dilumatnya bibirku dengan bringas. Aku yang belum sempat melawan terpaksa harus menerima semua cumbuan dan aksi-aksinya yang memancing birahiku. Sungguh kelihaiannya membuatku tak mampu membendung hasratku yang ingin segera menuntaskannya. Cukup lama kami melakukan hal itu, hingga akhirnya kami sama-sama merasakan puncak kenikmatan. Aku tersadar dengan kegilaan ini. Ku tatap wajah Gilang dengan tajam. Gilang mencoba meraih tangan ku, dengan cepat ku tepis. "Pergilah Mas!" tegasku. "Maaf Van, aku--" "Sudah cukup, jangan berkata-kata apa-apa lagi!" sahutku tegas. "Aku m
Satu bulan kemudian. Saat sedang asyiknya bersantai dan tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara seseorang membuka pintu gerbang dan masuk sebuah mobil dan berhenti di halaman rumah. Beberapa menit kemudian keluarlah seseorang yang tak asing bagiku. Siapa lagi kalau bukan Gilang. Melihatnya saja aku sudah malas. Terkadang aku heran, dirinya tak bekerja apa hari-hari berkeliaran di rumah orang. "Assalamualaikum cantik!" sapa Gilang dengan nada menggoda. "Wa'alaikumsalam!" jawabku ketus. "Hai keponakan paman yang tampan seperti wajah pamannya, apa kabar!" godanya lagi. Tentu saja hal itu membuatku muak. "Apaan sih Mas, ngapain hampir tiap hari datang kesini sih, bosan tahu!" ketusku. "Kok gitu sambutannya, tak baik bicara seperti itu!" sahut Gilang manja. "Biarin, emang k
"Pergilah Mas," rayuku pada Gilang saat itu. "Apa kau tak merindukan ku?" tanya Gilang mencoba menahan gejolak di hatinya. "Setelah kau meninggalkan ku dan memilih menikah dengan perempuan kaya itu, kau lupa dengan diriku. Sejak saat itu hilang sudah rasa rinduku ini." ucapku ketus. "Bukankah kau yang meninggalkan aku Van?" cibir Gilang dengan wajah kesal. Seketika aku pun terdiam membisu mendengar penuturannya itu. Untuk cerita tentang masalah itu tak akan ada guna lagi, toh sekarang aku sudah menjadi istri orang yang telah memisahkan aku dari Gilang. "Lalu mengapa kau datang lagi mengganggu hidupku Mas, sekarang aku bahagia menjadi istri Mas Raja, dan kau lihat sendiri aku tengah mengandung darah dagingnya!" cercaku. Seketika Gilang terdiam menatap lekat mataku, terlihat ada rasa penyesalan di matanya. Kemudian Gilang me
Saat itu aku merasakan tubuh ku terasa ada yang menindih. Saat ku buka ternyata sosok laki-laki yang sangat ku benci. Dengan refleks ku dorong tubuhnya hingga membuatnya terjerembab. "Brengsek kau Gilang, buat apa kau datang kesini!" bentakku. Bukan menjauh malah semakin mendekat dirinya, tentu saja membuatku kewalahan. "Van, aku sangat merindukan mu. Tolong izinkan aku mencium mu sekali saja." ucapnya lembut dan mencoba merayuku kembali. "Pergi kau dari sini, dasar laki-laki tak punya akhlak." Seketika kami terkejut dengan suara seseorang mengetuk pintu kamar. Tok tok tok, "Non Vania buka pintunya, kenapa Non kok berteriak!" teriak bi Jum memanggilku dari luar kamar. "Tidak ada apa-apa bi, tadi saya cuma terkejut kok!" jawabku setela
Saat tersadar kulihat Ibu dan Ayah duduk dan menangis. Diusapnya rambutku dengan lembut. Ku lihat Mas Raja tepat berada di belakang mereka. "Kamu kenapa toh nduk, buat kami khawatir saja," ucap Ayah merasa cemas. "Ya sudah, Ayah dan Ibu keluar dulu ya!" pamit mereka dan segera beranjak melangkah meninggalkan aku dan Mas Raja di dalam kamar. Seketika Mas Raja duduk mendekati ku dan dengan ragu di raihnya jemariku. Seketika di kecupnya dengan lembut. "Van maaf kalau Mas sudah membuatmu jadi begini. Sekarang terserah kamu mau menjauhi Mas atau apa pun yang bisa membuat hatimu tenang dan mulai saat ini juga Mas gak akan mengganggu lagi kehidupan mu. Tapi sebelum Mas pergi, tolong jawab pertanyaan Mas. Kenapa sebegitu besar rasa bencimu selama ini terhadap Mas?" ujarnya sambil terus menatap mataku. "Pergilah Mas, tolong biarkan aku sendiri disini. Tak
"Sudah bu biar saya saja yang akan menjelaskan pada Vania." ucap Mas Raja mencoba menyakinkan hati Ibu. "Aku tak perlu mendengarkan cerita bohong mu lagi, sudah cukup kau menciptakan kehancuran dalam hidupku. Pergilah kau jauh-jauh dari kehidupan ku!" teriakku mencoba untuk mengusirnya. "Vania! Jaga ucapan mu nak, dia orang yang telah menolong mu. Tak sepantasnya kau berkata seperti itu!" bela Ibu. Seketika membuat ku ternganga, "apa! Menolongku?" batinku tak menyangka kalau Ibu bisa berkata seperti itu. Aku tak tahu, mungkin selama ini Raja sudah mencuci otak Ayah, Ibuku. Ku tarik lengan Mas Raja untuk segera mengikutiku. "Gila kamu ya Mas, sejak kapan kau mempengaruhi pikiran Ibuku, dasar munafik!" ucapku ketus. "Terserah kamu mau menuduh Mas seperti itu. Sedikit pun
Bab 01. Penghianatan "Hai sayang, kamu ada dimana. Lama banget sih!" sahutku kesal. Aku Vania gadis cantik dari desa Sebong Lagoi. Aku memiliki paras wajah yang lumayan cantik dan berlesung pipi. Kekesalan yang kurasakan saat ini ya menunggu. Satu jam ditunggu tidak juga muncul. Gilang, ya pacarku itu kalau sudah buat janji susah sekali untuk menepati. Kalau gak telat, ya lupa. Terkadang membuatku jengah. Aku mencintainya karena kepribadiannya yang sopan dan gak neko-neko sih jadi cowok. Setelah menjalani hubungan yang serius Gilang mencoba untuk melamarku. Tentunya aku sangat bahagia dibuatnya. Pernah satu hari aku dibawa kerumah orang tuanya. Tepatnya di desa sebelah dimana aku tinggal sekarang. Dari situ aku tahu, ternyata Gilang memiliki satu saudara laki-laki yang bernama Raja. Usia mereka bertaut dua tahun. Yang kulihat dari