Wah akhirnya tamat gaes.... Semangat buat aku yang sudah bisa konsisten menulis cerita ini dari 2019 sampai 2023. Dari papa ada sampai papa nggak ada 10 hari yang lalu. Semoga suatu saat nanti bisa buat papa bangga karena anaknya kesampean jadi penulis terkenal. Amin... See you in the next story!!! ^^
Secara natural, dari mata ini terbuka, lalu aku menjadi bayi sampai hidup menua di bumi ini, aku benar-benar tidak pernah menyangka yang namanya dunia ternyata kejam sekali. Sepotong es loli membutuhkan uang seribu rupiah untuk bisa kau cicipi. Begitu murah, begitu mudah bagi orang lain. Tapi bagiku, mendapat seribu rupiah itu cukup sulit, sebab aku tidak beruntung. Lahir di keluarga yang miskin itu sungguh tidak enak. Mau minta uang seribu rupiah saja harus pintar-pintar membaca kondisi hati dan dompet Ibuku. Salah sedikit bisa fatal akibatnya. Karena pernah, suatu hari Ibuku mau tidak mau harus menahan rasa malunya untuk sekadar mengatakan, “maaf mas, tidak jadi.” Kepada pedagang es krim yang sudah terlanjur kugiring sampai ke depan rumah. Setelahnya, aku tidak dapat es krim, tapi aku kena marah. Aku bahkan tidak sempat untuk merasa kecewa karena Ibu memintaku untuk mengerti kondisi keuangan keluarga. Well, Aku baru berumur lima
Kau pasti tahu, bagaimana suaranya orang yang berbisik-bisik. Tadinya aku tidak hiraukan, namun entah kenapa suara bisikan itu kedengarannya dekat sekali. Aku berjalan keluar rumah di tengah malam. Semuanya gelap seperti sedang terjadi pemadaman listrik. Tidak ada siapapun. Hanya suara desis. Hal itu jelas menakutkan tapi kedua kaki tanpa alas dan tanpa tahu kenapa terus berjalan menyusuri aspal yang terasa sangat dingin sehabis hujan. Aku sudah tidak bisa melihat apapun selain mendengar suara itu. Aku takut dan mudah kepikiran. Dan pikiran ini menjadi semakin buruk. Suara orang berbisik-bisik itu mulai terdengar jelas, tapi anehnya, tanpa menggunakan bahasa yang kumengerti. Orang-orang Lombok biasanya menggunakan bahasa Sasak, namun ini tidak. Mereka juga tidak pakai bahasa Indonesia, apalagi bahasa Inggris. Aku tahu yang dikatakan mereka asal-asalan dan tidak benar. Tapi kenapa aku merasa terganggu sekali dengan suara itu? walaupun tidak jelas dan
~DRRTT!! DRTT!!!! Bergetar. ~DRRTT!!! Hanphone itu bergetar digenggaman dan aku tersadar. Hal yang pertama kali aku lihat saat membuka mata adalah langit-langit kamarku. Aku mendesis kesakitan dan menghela napas panjang ketika mencoba duduk dan menenangkan diri. Menunduk, perlahan menjambak rambutku sendiri untuk menghilangkan pening, mengatur napas. Jantungku berdebar keras. Ketindihan itu cukup mengerikan. Kurasa, hampir setengah jam lamanya aku mati-matian bangun dari ragaku yang tertidur pulas seperti ditinggal nyawa. Syukurnya aku tidur dengan headset dan hanphone digenggaman, sebab jika tidak begitu, katanya, aku bisa meninggal. Orang yang ketindihan sangat lama itu katanya bisa berakhir dengan kematian. Dan tadi itu termasuk ketindihan terlama yang pernah kualami dan jujur saja, itu menakutkan. âHaloâŚâ âHalo, la? Ya ampun, akhirnya. Kamu di mana?!â sebelum
Kalau kutinggal sendiri, kamu nggak apa-apa? -Pemuda di alam mimpi- --- Bila hidup yang telah dijalani, memang apa saja opsi sebelumnya? Kematian? Sebelum hidup tentu saja mati, oh atau mungkin saja ini semua terbalik? hidup itu adalah kematian dan kematian adalah kehidupan yang abadi? Sebelum terlahir dan menjadi hidup begini kita disebut apa? Tidak mati dan tidak hidup? hahh,, aku tidak percaya ini adalah pikiran yang muncul tepat setelah aku membuka mata dipagi hari pukul sembilan lebih sepuluh menit. Mataku melirik ke sekeliling dan merasa lega masih berada di tempat yang sama. Kantung mata rasanya sudah semakin merosot. Aku benci menua. Hoam⌠kantuk ini terasa bagus, tidak seperti biasanya. Aku meregangkan tubuh dan lamat-lamat berusaha menurunkan kedua kaki ke permukaan lantai. Berjalan membuka tirai gordenâmenyapa sinar mentari yang terasa ceria luar biasa. âWatsa
Jika ada rasa yang katanya paling sakit di dunia ini, aku ingin tahu sekarang juga. Berbekal minyak oles dan keahlian tangan, operasi ini berjalan dengan kesadaran penuh pasiennya. Sangat menegangkan. âTahan, ya, dek.â KREKK,, Aaarghkk. âDi sini sakit?â KREKK,, AAAKHHH!!! Aku merengut tidak tahan. Pak Rumi benar-benar berani memutar balikan tulang seolah ia tukang sulap. Istrinya masi
Kurasakan panas menyengat tubuh. Terbakar dari ujung kaki hingga ke kepala lalu menyentak tubuhku seketika. Aku terbangun. Melotot. Mendapati diri tengah terduduk dengan kedua kaki terselonjor. Tegang. Bingung. Namun menghela napas dalam-dalam, kemudian mencoba tenang, aku berpikir bahwa mimpi buruk seharusnya bukan perkara lagi untuk dipusingkan. Aku hanya harus terbiasa. Kedua kaki menapak hati-hati di lantai dan berjalan ke jendela. Kusingkap tirai gorden dengan berani dan ternyata mentari sudah terang benderang. Pancaran sinarnya menyororti tempat tidurku dan debu-debu halus terlihat mengudara. Jam di dinding menunjukkan pukul sebelas sementara suhu badan terasa masih malam. Aku menunduk. Menyibak surai. Melihat kedua kaki yang jari-jemarinya sudah tidak bengkak lagi membuatku sadar kala mengangkat ibu jari di sana untuk menghentak-hentakannya pelan seperti ketukan lagu. Sudah sembuh, ya? Pertama-tama, yang akan dikatak
Tak terasa senja mulai larut, lembayung melingkari angkasa sebelum perlahan awan tak lagi terlihat. Langit merah seperti menyemburkan tinta hitam yang lama-kelamaan mengubahnya menjadi malam, lalu bintik-bintik kristal pun muncul berkilauan. Saat aku membantu Ajeng yang terakhir naik ke atas motor Esa dalam sesi mengantar pulang pun, menjadi perpisahanku hari ini. Suara tawa mereka yang begitu renyah bagai keripik singkong sampai cara menangis yang tidak biasa, meninggalkan bekas disudut-sudut ruangan. Rico yang tadinya tidak mau berbicara dengan Esa karena kejadian rusuh tadi, secepat itu luluh saat dijanjikan es-krim di Indomart nanti ketika perjalanan pulang. Esa hanya menggaet
Kata nenekku, hujan yang begini namanya hujan awet. Sesekali lebat saat curahnya sedang tinggi. Terus menerus turun secara konstan. Aku dan Esa masih bingung caranya pulang meski jarak dari sini ke rumah kami tak lebih dari 100 meter. Warung lalapan tadi terpaksa tutup dan tanpa sengaja mengusir kami pergi, dan kami sekarang berada di pinggir ruko tepat di belakang tenda tersebut. Melihat kanan-kiri yang sudah sepi. Hanya sedikit kendaraan yang berlalu-lalang. âPulang, yuk!â Ajak Esa tiba-tiba. Aku terdiam, lalu mendongak menatap langit. Ini bukan perihal mau pulang atau tidak, tapi aku bisa menggigil seperti orang malaria dan keesokan paginya akan jatuh sakit kalau sudah terkena hujan. Jiwaku ini suka menantang, tapi fisikku sendiri lemah. Selalu tak selaras. âDari perkiraan cuaca, tiga jam kedepan masih hujan.â Ia memeriksa ramalan cuaca pada ponselnya lalu mendengus pelan. âMasih mau diam di sini tiga jam lagi? kamu nggak ngantuk?â D