Share

6. Kamu punya mimpi?

                                            

Tak terasa senja mulai larut, lembayung melingkari angkasa sebelum perlahan awan tak lagi terlihat. Langit merah seperti menyemburkan tinta hitam yang lama-kelamaan mengubahnya menjadi malam, lalu bintik-bintik kristal pun muncul berkilauan.

Saat aku membantu Ajeng yang terakhir naik ke atas motor Esa dalam sesi mengantar pulang pun, menjadi perpisahanku hari ini. Suara tawa mereka yang begitu renyah bagai keripik singkong sampai cara menangis yang tidak biasa, meninggalkan bekas disudut-sudut ruangan. Rico yang tadinya tidak mau berbicara dengan Esa karena kejadian rusuh tadi, secepat itu luluh saat dijanjikan es-krim di Indomart nanti ketika perjalanan pulang. Esa hanya menggaet tangan mungilnya untuk berbaikan setelah ia kupakaian jaket dan helm yang ia bawa tadi untuk naik ke atas motor matic milik Esa.

Ia berdiri di depan bersama Toto sedangkan Nana diletakan dalam gendongan bayi di depan dada Esa yang pengaitnya aku bantu ceklekkan dipunggung.

Dibelakang ada Ajeng yang menjaga Tato. Mereka berdua duduk manis dengan helm masing-masing sambil menunggu Esa menyalakan motor untuk siap meluncur. Aku sempat bertanya kepada Esa cara mereka datang ke sini tadi pagi, dan ternyata caranya tak berbeda jauh dari ini. Sistemnya antar-jemput.  

“Bu guru! besok kita main lagi, ya?!” Satu tangan tiba-tiba terulur mengenai perutku. Saat aku melihat sang pemilik tangan, itu adalah Tato yang memasang senyum lebar kepadaku.

“Siap bos!”

Kugenggam tangannya yang dingin setelah memberikan pose hormat. Tidak tahu kenapa ia jadi tiba-tiba bersemangat. Aneh tapi lucu, karena kurasa sebelumnya ia tidak banyak berbicara. Tetapi, meski tidak banyak bicara, kulihat Tato lebih rajin tersenyum dibandingkan Toto. Memperdalam ingatanku tentang caranya tadi pagi memperkenalkan diri dengan senyum yang lebar.

“Aku kembarannya Toto, tapi tidak identik. Namaku Tato.”

Cukup merekatkan dirinya lebih banyak dalam dinding memoriku melebihi yang lain.

Tak berselang lama Esa pun menengok memastikan anak-anak yang berada di belakangnya dalam kondisi aman. Lalu tanpa sengaja ia menemukan mataku saat beralih dari hal tersebut. Kami sama-sama terdiam dengan seribu pilihan kata di dalam kepala, mencoba menimang perasaan lawan. Meski ragu namun nampaknya ia akan mengatakan sesuatu lebih dulu. Aku dengan bersedia menunggu.

“Kamu, nggak capek?”

“Hm…?” Karena ditanya, pundakku jadi terasa berat seketika. Berpikir bahwa itu merupakan pertanyaan terbaik yang tersisa dalam saringannya, jadi aku mencoba mengerti.

 “Ah… lumayan. Kenapa?”

“Ada tempat makan lalapan di depan gang sana. Kamu ada waktu?”

Jujur saja ia menawarkan hal yang tepat ketika perutku berbunyi nyaring minta diisi. Namun mengetahui hal menyedihkan itu sendiri dengan kesadaran penuh, aku jadi malu.

“Nggak perlu. Aku bisa masak sendiri.”

“Ah… mungkin aku salah ngomong, ya? kalau begitu, mau kah kamu makan lalapan bersamaku…?”

Hening.

“Atau, kalau kamu nggak sibuk, mau nggak, pergi makan bareng aku?”

Aku jadi bingung sendiri.

“Memang apa bedanya?”

“Kamu suka yang berbeda, ya?”

“Apa, sih? Kamu sebenarnya mau ngomong apa?”

“Aku mau makan sama kamu!”

“Ya sudah!”

“Habis anterin anak-anak ini, ya. Nanti langsung kujemput.”

“Nggak usah. Nanti aku tinggal pakai jaket terus jalan sampai depan gang. Kamu langsung aja ke sana.”

“Kamu nggak lagi marah, kan?”

“Nggak. Aku lagi baik banget.”

“Ya sudah kalau begitu.”

“Ya sudah.”

Aku bersumpah tidak sedang marah. Ini hanyalah upaya untuk menutupi rasa malu yang tadi. Esa yang terlanjur baper dengan muka kusut langsung menutup kaca helmnya untuk tancap gas. Anak-anak bahkan tak memberikan ucapan selamat tinggal atau setidaknya melambaikan tangan padaku sambil bersorak, “dadah!” seperti saat aku masih kecil. Dulu, kurasa mendapatkan teman itu seperti mengunyah permen karet, mudah dan tanpa alasan. Bahkan jika kerabat jauh yang baru sekalipun datang berkunjung ke rumah lalu dikenalkan oleh papa-mamaku kepadaku, maka kami bisa langsung akrab hanya dengan hitungan tiga koma tiga detik setelah berjabat tangan. Kami menghabiskan waktu seharian dan tertawa tiada habisnya. Ketika mereka pulang pun, kami akan saling sahut dengan kata, “dadah!” sambil mengejar mobil mereka hingga menghilang dari pandangan.

Cerita tentang “dadah!” ternyata cukup menguras emosi. Aku tanpa sadar mengusap air mata yang sudah membasahi pipi. Menangis begitu mudahnya bahkan pada hal-hal yang tingkat konsentrasi kesedihannya pun sedikit. Meski begitu, aku lega. Aku lega bisa selalu menangis. Aku harap tiga tahun kedepan aku bisa menangis karena hal-hal yang membahagiakan. Tidak lagi karena insecuritas, tidak lagi karena stres, tidak lagi karena kemiskinan, tidak lagi tentang pekerjaan, tidak lagi karena merasa ditekan, atau bahkan setelah ditinggal orang-orang berisik, jiwaku tidak lagi kesepian.

***

Aku baru saja menaruh bokongku di kursi plastik warung lalapan pak Karsun saat baru tiba, dan satu menit kemudian Esa sudah muncul dari balik kain tenda warung dan berhasil terkejut menemukanku duduk sendiri dengan rapi di sana. Saat bertatapan agak tegang, kami berkedip dua kali, sebelum ia memutuskan berlabuh pada meja yang kutempati.

“Sudah lama nunggu, ya?” ia buru-buru duduk dihadapanku sambil melepaskan masker dan helm lalu meletakkannya di tepian meja. Tangannya mengacak-ngacak surai, kemudian mata kami bertemu lagi.

“Nggak. Baru satu menit yang lalu, kok.” Aku tak melepaskan masker karena untuk melepaskannya pun butuh mempertimbangkan dan timing. Tubuhku memberi respon kebelakang saat sebelumnya condong kedepan saat membalas chat teman.

“Oh, ya? kok bisa?”

“Bisa aja.”

Benar-benar hanya ada kami dalam satu tenda yang kerangkanya terbuat dari bambu tersebut. Ada dua meja panjang dengan taplak plastik tebal yang menutupinya dimana jika sudah sampai pada setiap sudutnya, taplak plastik itu akan dilipat dan ditancapkan paku dibalik papannya. Kami hanya menggunakan satu meja bersama dengan mengambil tempat duduk saling berhadapan. Bangkunya terbuat dari kayu biasa yang mengikuti panjang meja, berada di kedua sisi dengan jarak empat puluh centimeter dari meja sebrang. Di tengah kedua meja telah tersedia tisu, tusuk gigi, dan kertas menu yang sesekali menjadi mainan Esa kala ia sedikit kesulitan mencari topik pembahasan denganku. Kabel yang dililitkan pada bambu yang posisinya melintang di langit-langit tendanya menjalar dari sumber genset ke tengah untuk menjadi tempat bergantungnya satu buah bohlam lampu. Cahaya pun berpendar menyebarkan kehangatan kepada kami, namun karena ditambah uap dari masakan dapurnya bak sauna, membuat kami agak kepanasan.

“Kamu memang sudah tahu kalau semenit lagi aku bakal datang, ya?”

“Mungkin.”

“Tahu dari mana?”

Aku langsung mengatakan apa yang ada di dalam benak.

“Telepati?” Membuatnya terdiam, tidak lagi berani bertanya. Mengalihkan pandangan, ia menatap ke arah gerobak yang dari balik kaca transparannya dapat memperlihatkan tumpukan ayam berwarna kuning yang telah dibumbui.

“Mas!” esa mengacungkan tangan, memanggil asisten pedagang yang sedang menggoreng ayam yang wanginya sukses membuat perut tambah kriuk kelaparan. Pria itu tersentak menoleh kemudian mengangguk sambil mengeringkan tangan dengan lap dicelananya. Ia mengambil kertas dan pulpen dari laci uang sebelum datang menghampiri dengan raut yang entah mengapa seolah takut dihajar. 

“Mau pesan apa, mas…?”

“Pesan lalapan ayam goreng satu, sama… kamu apa?”

“Aku ikan aja.”

“Ikan? Ikan apa?”

Esa memesan tanpa membaca menu sebelumnya, kalau aku tadi sempat melirik sekilas sebab memperhatikan kertas menu yang dijilid tersebut sudah mengelupas diujungnya.

“Di sini cuma ada ikan Nila. Jadi aku pesan ikan Nila bakar madu saja.”

Esa kembali menatap “waitress” tersebut dengan yakin sebelum berkata, “oke, sama yang itu satu, terus minumnya es teh manis dua—”

“Aku yang hangat dan nggak pakai gula.”

“Iya dia yang hangat dan nggak pakai gula, sama tempe goreng, terung goreng, dan… apa lagi?” ia meminta pendapatku jadi langsung kutanya balik.

“Memangnya ada menu apa lagi?”

Membuatnya langsung mengangguk dengan mengapitkan bibir erat-erat.

“Oke! itu saja Mas.”

Sang asisten pedagang langsung mengulangi pesanan sebelum melesat untuk buru-buru menyiapkan makanan sementara gerimis mulai turun setelahnya. Suara rintik yang semakin ramai menjentikkan diri pada permukaan tenda menjadi begitu menenangkan. Beban semakin hari semakin berat karena terkulik dalam kepala perlahan terangkat, seperti ketika mendengarkan ASMR.

Warung lalapan seperti ini memang biasanya buka di depan ruko yang sudah lama tutup atau dapat ditemukan juga disepanjang jalan-jalan besar bersama warung taliwang lainnya. Tak jarang warung lalapan membangun tendanya di samping hotel-hotel, Mall atau pusat perbelanjaan, supermarket, bahkan restorant. Aku tidak tahu kenapa namun pemandangan itu menjadi pusat estetika tersendiri ketika para pedagang kaki lima mulai terlihat bekerja super maraton semenjak dimulainya malam.

Aku suka melihat reklame megatron yang dipasang ditengah-tengah ruang publik. Papan Billboard yang menampilkan wajah artis yang mengiklankan produk kecantikan, para pejalan kaki lokal hingga turis mancanegara yang meski tak seramai dulu karena pandemi, tetap menghidupkan suasana. Hiruk-pikuk kendaraan, sampai asap dari aroma berbagai macam daging yang dibakar di atas arang, semua seolah mampu menyebarkan cita rasa ke seantero sudut kota, dan menjadikan Mataram menjadi lebih bernyawa. Oh, iya, rekomendasi kuliner yang menurutku paling pas dan murah meriah untuk makan malam luar biasa ini adalah: Lalapan! Ayam! Goreng!

YEAH…!!!

“Kamu kenapa pesan Nila bakar madu?”

Yeh…

“Apa?” (Pura-pura tidak dengar.)

“Kamu… kenapa pesan Nila bakar madu?”

Esa kemudian mencondongkan tubuh karena KEPO untuk mengintip isi layar ponselku saat aku tengah men-scroll video jajanan khas Lombok di I*******m. Aku yang menyadarinya dengan terang-terangan menutup layar ponselku dengan satu tangan, menyipitkan kedua mata, lalu membuatnya spontan mundur perlahan.

“Memangnya kenapa?”

“Nggak sulit makannya? kan banyak tulang.”

“Biasa saja, sih, menurutku. Malah sering kali kukunyah pelan-pelan biar bisa ditelan.”

“Hah?”

“Sudah terlanjur masuk mulut, malas dikeluarkan lagi. Nanti jadinya nggak higienis.”

“Seriusan?”

Aku tersenyum sipit menunjukkan kerutan hidung untuk memberitahukannya bahwa hal itu tidak sepenuhnya benar.

“Aku makan durinya juga kalau ikannya kecil-kecil, tapi kalau ukuran ikannya besar, aku makan tulangnya setelah nasiku habis.”

“Ya ampun, memangnya kenapa harus dimakan, Nom?”

“Biar nggak mubazir.”

“Tapi itu tulang ikan. Kalau tersedak, bagaimana?”

“Iya itu mangkanya aku kunyahnya hati-hati b iar nggak tersedak. Toh, nggak pernah tersedak juga.”

“Jadi, tunggu tersedak dulu baru berhenti makan tulang ikan?”

“Jadi, kenapa harus berhenti makan tulang ikan hanya karena tersedak?”

“Memangnya kamu nggak pernah kapok, setelah tersedak?”

“Mau makan tulangnya atau nggak, semua orang pasti pernah tersedak tulang ikan, kok, walau niat awalnya mau makan dagingnya saja. Memangnya, kamu nggak pernah?”

“Nggak pernah.”

“Bohong.”

“Aku nggak makan ikan.”

“Iya itu sih beda cerita. Kenapa musti ribut-ribut kalau kamu sendiri nggak bisa makan ikan? Kamu, kan, nggak akan pernah tahu bagaimana pendapat orang-orang yang suka makan ikan.”

“Oke deh. Jadi, kamu termasuk orang-orang yang suka makan ikan, nih. Begitu?”

“Termasuk, tapi bukan penggemar ikan juga, sih. Aku omnivora soalnya. Pemakan segala.”

“Ya memang manusia termasuk ke dalam golongan omnivora, Nom. Tapi, berarti kamu bisa makan ekor ikan juga, dong?”

“Bisa.”

“kepalanya?”

“Bisa.”

“Insangnya?”

“Hm, bisa…”

“Isi perutnya?”

“Bisa, tapi nggak enak. Memangnya kenapa?”

“Nggak ada, aku cuma bertanya.”

Aku sontak mengernyit. Cuma bertanya dia bilang? Menurutku sih itu tidak cocok dijadikan “Cuma” jika ia justru menimbulkan kekesalan berlebih terhadapku.

“Kamu penasaran sama rasanya ikan tapi nggak berani makan ikan?”

“Bukan nggak berani, memang nggak bisa.”

“Iya maksudku nggak bisanya karena apa…?”

Aku salah kalau terlalu ingin tahu karena membuatnya kesulitan memberikan jawaban setelahnya. Namun ini menjadi salahnya juga karena telah memicu rasa penasaran orang lain. Dan saat ia mengusap rambut dan melamun lumayan lama, aku jadi tahu bahwa hal itu bukanlah perihal sepele.

“Aku sendiri sampai sekarang belum ketemu jawabannya kenapa. Tapi kurasa, aku punya hubungan aneh dengan ikan.”

“Maksudnya?”

Esa buru-buru melirik ke samping karena makanan kami datang dan tampilan dari ikan nila bakar madu milikku sungguh menggugah selera. Esa mengibas-ngibas aromanya dengan satu tangan dan menahan napas sebisanya.

“Simpan dulu pertanyaan yang tadi, nanti habis makan kuberi tahu,” katanya setelah santai, dan aku mencoba mengimbangi suasananya.

“Aku lebih suka tempe dibanding tahu, btw.”

 Membuatnya tertawa. Kami pun mulai makan dengan lahap beberapa belas menit tanpa bicara sampai tidak ada lagi sebutir nasi yang tersisa di atas piring kami. Esa hanya fokus pada piringnya sendiri sampai ia selesai makan kemudian mencuci tangan sementara aku masih makan tulang ikan pelan-pelan. Setelah ia kembali, aku memberitahukannya sesuatu.

“Sebenarnya aku punya banyak pertanyaan lebih dari sekadar ikan, tapi aku takut kalau itu ternyata menyangkut privasimu.”

“Memangnya mau tanya apa?”

“Sebentar.”

Giliran aku yang menggeser piring ke samping lalu pergi ke tepian tenda untuk mencuci tangan menggunakan air dalam botol kemasan. Kucucurkan seperti air kran dengan tangan kiriku, dan tangan kanan pun mulai membasuh diri. Setelah selesai, aku kembali ke meja untuk mengeringkannya dengan tisu, merapikan helai rambut, menyelipkannya ke belakang telinga dan duduk dengan rapi.

“Sebelum bertanya, aku mau cerita dulu, nih, sedikit. Seminggu yang lalu waktu pertama kali kita ketemu, aku tuh sebenarnya baru-baru dipecat dari pekerjaanku karena kasus hibernasiku ini. Aku sudah kasih tahu kamu, kan, kalau ini sudah kedua kalinya?”

Esa mengangguk, membenarkan.

“Nah, jadi aku berniat cari pekerjaan yang lain dengan melamar sebagai kasir di café Larasa. Tapi sebentar, managernya itu temanmu, ya?”

“Richie?”

“Namanya Rici?”

Menurutku namanya imut sekali, sama persis seperti bentuk tubuh dan mukanya.

“Yang tadi pagi antarkan komputermu pakai mobil pick up itu kan?”

“Iya, dia Richie.”

“Nah, aku maunya kerja di sana tapi Rici bilang kalau dia sedang tidak menerima karyawan. Alasannya kenapa, ya? kamu bisa tanyakan ke dia? Soalnya aku lagi butuh pekerjaan banget.”

“Oh… oke. Nanti aku bujuk dia supaya mau terima kamu kerja di sana, ya.”

“Hehe.” Aku tersenyum miris. “Terlalu jelas ya?”

Ia lalu menaikan kedua alis. “Tapi, menurutku memang café Larasa sedang krisis uang Nom, jadi nggak bisa menerima karyawan dulu, selama Richie masih bisa handle sendiri. Lagipula pelanggan juga masih belum banyak karena pandemi ini. Cafenya juga baru-baru buka.”

“Oh… begitu. Kamu tahu dari mana?”

“Dari Richie lah… aku kan temannya.”                       

“Kalian akrab?”

“Bisa jadi.”

“Berarti… sudah nggak ada harapan lagi ya, buat aku kerja di sana?”

Untuk meyakinkan pun Esa tidak mampu, jadi ia hanya menatapku kosong. Aku mengangguk pelan mencoba ikhlas. Menatap rintik hujan yang semakin lama semakin lebat dengan gemuruh kecil di langit. Berpikir untuk mencari kerja di tempat lain, teh hangatku pun berubah menjadi dingin.  

“Oh, iya. Bagaimana soal ikan tadi? Kalian punya hubungan aneh kayak gimana maksudnya?”

“Hm… itu.” Esa mengambil ponsel untuk sekadar memastikan jam. Setelahnya, ia masukan lagi ke dalam kantong jaket.

“Kayak gimana, ya. Menurutku ini mirip seperti Islam yang dilarang makan babi, atau agama hindu yang tidak makan sapi, deh.”

“Hah?”

“Mungkin seolah mendewakan ikan, tapi aku tidak menyembahnya sebagai dewa, tidak pun mengharamkannya. Karena kurasa, ini bisa jadi rasa trauma.”

“Trauma?”

“Iya, tapi kuharap habis cerita ini kamu nggak kepikiran buat berhenti makan ikan, ya.”

“Oke.”

Esa menegakkan tubuh sambil menarik napas. Setelah membuangnya, ia mulai bercerita.

 “Dulu aku pernah diajak pergi memancing ke tengah laut oleh ayah temanku. Jangan tanya tepatnya kapan karena aku sudah lupa. Temanku itu sekarang tinggal di mana aku juga sudah lupa.”

“Namanya juga lupa?”

“Namanya… hm, Edgar! Ha! iya. Edgar.”

“Terus?”

“Habis lulus SMA kan libur panjang, tuh. Kami diajak pergi memancing pakai perahu kano sama ayahnya. Terus selama mancing, ayahnya Edgar dapat ikan kerapu. Jujur, aku baru pertama kali lihat ikan seperti itu. Motif dibadannya banyak totol-totolnya! meski warnanya cantik. Kukira ayahnya Edgar bakal bawa ikan itu ke rumah buat dijadikan ikan hias, tapi tak tahunya langsung di kuliti dan diiris tipis-tipis jadi sashimi!”

Selama sesi cerita, Esa jadi bersemangat. Walau gerakan tubuhnya tidak heboh, tapi terlihat jelas bahwa ia sangat menggebu-gebu. Aku bisa melihat matanya yang berkilau karena terpukau, lalu menjadi gelap seketika kala terancam. Tapi mohon maaf sebelumnya, bagiku ceritanya biasa saja.

“Ikan kerapu kan memang bisa dimakan, Sa. Di pasar juga banyak yang jual, kok.”

“Iya, tapi nggak tahu kenapa waktu kucoba, perutku langsung mual nggak karuan gitu, Rasanya kayak makan daging manusia!”

“Seriusan? Memang kamu pernah makan daging manusia?”

“Bukan… maksudku, aku seperti makan daging yang bukan daging hewan. Kamu pernah nggak, karena membayangkan sesuatu yang menyeramkan ternyata mirip dengan makanan kamu buat kamu jadi nggak selera makan lagi, atau bahkan muntah seketika?”

“Hm… nggak pernah, sih. Cuma aku sekarang nggak bisa makan mie goreng instan lagi karena mangkuknya pernah terbalik waktu aku makan sambil nonton TV dikasur. Karena pikirku mie-nya masih bersih, jadi aku pungut lagi, deh. Tapi saat kumakan, rasanya itu kayak masih ada butiran pasir dan beberapa helai rambut juga. Itu bikin aku mual setengah mati walau semuanya berhasil kutelan. Jadi sampai sekarang aku nggak berani buat makan mie instan lagi, deh.”

Esa membetulkan dengan membunyikan suara dimulutnya. Klok, seperti itu.

“Tuh, kan... aku juga rasain hal yang sama saat lihat ikan kerapu di iris tipis-tipis. Bayanganku seperti manusia yang dikuliti hidup-hidup dan tanpa dimasak begitu. Sashimi kan langsung dimakan setelah diiris, ya?”

“Mana kutahu. Aku nggak pernah makan sashimi soalnya.”

“Coba sesekali kamu makan sashimi, deh. Biar tahu rasanya bagaimana.”

“Nggak ada duit.”

“Tunggu ada duit, lah…”

“Lebih baik beli nila bakar madu lah. Kan sama-sama ikan.”

“Bukan begitu… esssp!” Esa menunjukkan mimik gregetan. Ia memejamkan mata seperti anak kucing kalau lagi kesal. “Besok aku yang belikan kamu maksudnya, oke,” rujuknya setelah berhasil menghela napas panjang. Tapi kupancing lagi.

“Kamu kan trauma.”

“Yang makan kan, kamu.”

“Tapi yang bayar kan, kamu. Jangan sampai karena traktir aku, traumamu jadi bertambah, ya. Pertama sama ikan, terus kedua trauma bayarin aku makan.”

  Ia diam dulu sebelum sepersekian mili detik kemudian tertawa kecil. Bahunya bergerak dan ia menepuk meja.

“Ya ampun… belajar ngelucu dari mana, sih?”

Pertanyaan yang membuatku tersenyum pisik.

“Dari hidup.”

Ia menantang.

“Memang hidupmu lucu?”

“Lucu lah.”

“Apa coba?”

“Ya begini. Belagak mampu makan diluar padahal untuk bayar uang kos bulan ini aja belum ada. Besok sudah akhir bulan. Kalau sampai diusir sama Bu Ros, bisa jadi gelandangan aku.”

Puluhan anak lalat menari-nari di atas kepalanya. Bergerumbul, melayang-layang di udara. Esa jadi berhenti tersenyum disaat aku yang kini cengengesan lebar. Entah apa yang pasti namun ia nampak membeku.

“Lucu, kan?”

Ia menatapku cukup lama sebelum menyelam begitu dalam, dalam pikirannya yang sontak membuatnya jauh dari kesadaran.

“Hei…”

Aku berusaha memulihkan kondisi hanya dengan menggerakkan kepalaku tepat di depan wajahnya. Namun ia hanya berkedip. Berpencar pandang ke arah lain, lalu merespon dengan tidak ekspresif.

“Kenapa…?”

Ia seperti punya banyak trauma akan sesuatu, namun keingintahuanku tentangnya jadi semakin membukit. Jika itu sebuah gedung, maka mungkin saja penasaranku ini sudah menjulang tinggi bagai bursaliva.

“Itu sebenarnya nggak lucu, Nom. Sama sekali.”

Aku mencoba hanya mengambil artian baku dari setiap kata yang ia ucapkan tanpa berniat sedikitpun mencampurkan rasa tersinggung didalamnya.

“Kenapa?”

Tapi ia sepertinya benci lelucon hidup.

“Karena itu nasib yang kurang baik, tidak seharusnya ditertawakan.”

Ia tidak mengatakan secara gamblang bahwa nasib itu ‘buruk,’ melainkan berkata bahwa nasib itu ‘kurang baik.’ Meski demikian, aku tak bisa untuk tidak merasa tersayat ketika cacatku ditemukan dengan jelas oleh kacamata pengamat sepertinya. Lebih-lebih jika ia melihatku buruk dalam memahami nilai hidup.

“Memangnya kenapa?”

“Karena sesuatu yang ditertawakan itu lama-kelamaan akan menjadi lebih kuat dibandingkan orang itu sendiri.”

Jarak paham denganku masih sangat jauh untuk menemukan titik kebenarannya. Terpaksa sistem dalam otakku jadi bekerja lebih keras dari biasanya.

“Menurutku, orang yang merasa lebih kuat cenderung menekan yang lemah. Begitu pula dengan nasib kurang baik. Saat kita mencoba tertawakan, bagiku itu hanya akan membuatnya tumbuh menjadi besar dan kuat. Nah, semakin besar gaya menekannya, maka semakin kuat pula daya penghancurnya. Kamu ngerti kan maksudku?”

Sampai sini aku berkedip. Antara “paham” dan “tidak paham” memenuhi  timbangan. Syukurnya, “paham” bisa lebih unggul beberapa gram.

“Jadi, kamu pernah dihancurkan oleh hal yang kamu sepelekan?”

Esa mengangguk. Mukanya terlihat sendu.

“Contohnya seperti yang kamu lakukan barusan Nom.”

“Oh, ya?”

Aku penasaran rasanya hancur itu seperti apa. Apakah sama persis dengan yang kualami selama ini? memikirkan itu pun Esa jadi mulai menarik napas begitu dalam sebelum menghelanya dengan susah payah. Giginya menggigit bibir diikuti gerakan pundak yang begitu canggung. Tak lama ia akhirnya menjatuhkan bokong di sebelahku. Mencoba tenang sambil berkata, “Yah! Seperti itu.” kemudian telunjuknya mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan risau menggerayangi pikirannya.

“Mungkin kata ‘hancur’ agak sedikit berlebihan, tapi yah… semua orang pasti pernah berada di posisi terendah hidup mereka, bukan?”

Sebenarnya aku sering membalas —bukan, di dalam hati. Tapi bibir ini diam saja. Ia menaikan alis saat mengambil gelas tehnya. Meneguk dengan kasar. Sementara aku dengan pikiran kosong tak sengaja memerhatikan jakunnya yang bergerak turun-naik secara dinamis karena itu.

“Kamu punya mimpi?” tanyaku spontan. Ia terkejut. Syukurnya ia orang kalem, acara sembru menyembru di atas meja makan warung pun tidak sampai terjadi.

“Mimpi?” tanyanya ulang. Aku mengangguk. Ia terdengar seolah ingin mengelak, tapi kukatakan, “khayalan masa depan yang menjamin kehidupan makmur sejahtera.” Membuatnya tertawa pahit. Ada garis halus yang tercipta diujung matanya yang sipit.

“Kamu… masih percaya mimpi?” Tanyanya heran. Aku berkedip lambat.

“Kenapa nggak?”

Ia melanjutkan. “Padahal hanya sebuah khayalan untuk mengidamkan sesuatu tapi buat hati dan pikiranmu lelah setengah mati. Kamu masih percaya?”

“Kamu sendiri? Apa kamu mulai berhenti percaya mimpi karena buat hati dan pikiranmu lelah setengah mati?” Tanyaku balik dan itu membuat kami bertatapan cukup lama sebelum akhirnya ia mendengus menahan tawa.

“Aku baru sadar kalau kamu ini ternyata genius,” akunya. Pipiku mungkin merona bak permen kapas sekarang. Tiba-tiba merasa malu dipuji begitu. Entahlah, menyadari kebiasaan atau keunikan orang lain menurutku adalah seorang genius yang sebenarnya. Tapi aku diam saja, bahkan berhasil memasang raut hambar padanya.

“Bagiku punya mimpi itu tidak ada pengaruhnya selama kau masih bisa hidup bahagia, bukankah begitu? Buat apa punya mimpi setinggi langit kalau hidupmu sekarang tidak baik-baik saja? bukankah itu akan membuatmu semakin sengsara?”

 Jika Esa sendiri bisa mendapatkan kesimpulan seperti itu, bukankah berarti ia pernah mengalami hal serupa? Aku mengerjap. Esa pun melanjutkan.

“Saat orang-orang mulai membual tentang mimpi mereka itu rasanya seperti omong kosong. Tidak ada gunanya. Ingin mencapai ini dan itu dalam kurun waktu tertentu tapi semua nggak ada yang benar-benar terjadi, seolah mengatakan bahwa mimpi benar-benar hanya dunia putih yang kosong, yang bisa seenaknya kau masuki khayalan yang tak akan pernah terjadi. Paham nggak, sih? Bagaimana menurutmu?”

Aku menggeser tanganku sedikit menjauh dari jari-jarinya yang mengetuk meja untuk melakukan hal serupa beberapa saat kemudian. Membiarkan jeda masuk dalam resonansi pikiran kami yang bergema.

“Itu adalah kesalahan orang lain, tapi kenapa justru malah kamu yang jadi tidak percaya mimpi?”

“Hm?”

“Sebenarnya… aku juga paling takut tentang masa depan,” kataku, takut-takut. Ia memberikan atensi lebih seketika dengan mempertajam pendengaran dan fokus netranya. Caranya memupuk rasa penasaran itu seolah mewakili pertanyaan ‘kenapa’—nya, padaku.

“Hampir setiap hari aku khawatir jika seandainya kesuksesan tidak pernah hadir dalam hidupku. Aku takut tetap menjadi orang yang sama, yang hanya bermimpi dan berharap-harap kapan impian itu akan menjadi kenyataan tiga puluh tahun kedepan.” Hidung ini mengambil napas cukup berat sebelum bibir kembali melanjutkan. “

Aku tentu ingin menggapai salah satu di antaranya. Tapi aku ini pecundang parah, yang perlu waktu lama untuk move on dari tempatnya terjatuh.”

“Memangnya kamu terjatuh karena apa?”

Aku benar-benar menatap tepat di pusat biji matanya yang berwarna hitam legam. Kali ini menerka-nerka bentuk penampakkanku jika dilihat dari sudut pandangnya.

“Karena manusia.”

“Manusia?”

Aku mengangguk mantap, membenarkan. “Aku mulai khawatir dan gelisah kalau melihat mata manusia. Kamu tahu, saat umurku baru tujuh belas tahun, aku pernah dipanggil ‘Buk’ karena berpakaian terlalu formal.” Esa membelalak namun cepat-cepat kulanjutkan ceritanya.

 “Waktu itu aku baru lulus SMK dan mamaku menyarankanku masuk ke pelatihan kecakapan kerja karena gratis. Sistemnya kayak pergi ke kampus, dan memang tempat itu adalah kampus. Semua anak-anak yang ikut program itu dikasih seragam batik dan uang saku tiap bulan. Nah, suatu hari waktu nunggu jemputan di depan kampus, tiba-tiba ada tukang ojek yang stop di depanku dan bilang, “buk, mau ke mana? Biar saya antar”—yang sontak buat aku syok setengah mati. Karena kejadian itu dan memang aku sendiri sering mengalami mental breakdown, rasa cemas kalau ketemu orang baru itu rasanya semakin buruk. Aku benar-benar takut kalau disapa. Khawatir sebelum orang lain ngomong atau cara mereka menilaiku.”

“Itu yang buat kamu takut sama mata manusia?”

Aku mengangguk. “Lagi pula kenapa, sih, kebanyakan orang harus melihat sosok yang baru secara terang-terangan dengan tatapan menilai? Bukannya itu nggak sopan?”

“Kenapa kamu nggak bilang secara terang-terangan pula kalau kamu masih muda?”

“Rasanya lebih malu lagi kalau harus melihat muka mereka kaget karena umurku.”

 “Daripada kamu tahan sendiri, jadi penyakit.”

Dia ngomong benar lagi. Sebal.

“Aku nggak bisa mengutarakan perasaan dengan baik. Perlu orang-orang yang sudah dekat sekali denganku. Selain itu, aku nggak bisa.”

“Setidaknya, perasaan itu harus keluar. Kamu harus bisa meluapkannya lewat apapun.”

“Sudah.”

“Terus?”

Aku menghela napas. Pundak pun ikut merosot. “Bayangkan ini seperti badanmu terasa meriang dan obat yang kamu tahu hanya kompres. Demamnya mungkin bisa turun sesekali, tapi itu akan kambuh lagi keesokkan harinya. Kamu nggak tahu kenapa demamnya tidak berhenti-berhenti padahal sudah diobati kompres sampai akhirnya kamu tahu penyakit yang sebenarnya adalah typus. Kalau penyakitnya typus, kamu bisa minum moxilyn atau obat yang benar sesuai resep dokter, bukankah dengan begitu kamu akan cepat sembuh?”

Esa mengerjap, melongo. “Iya… terus? Maksudnya bagaimana?” tanyanya bingung. Aku menarik napas.

“Perasaanku ini sama seperti ‘meriang’, yang sudah kuobati dengan menangis sepanjang malam. Aku sudah meluapkan semua emosi dan kesedihan sampai tangkiku rasanya kosong. Tapi besoknya tempat itu mendadak penuh lagi karena hujan yang sama juga turun lagi. Terus menerus begitu, tidak tahu sampai kapan.”

Esa beralih pandang. Melihat tetesan deras air hujan saat lampu dari kendaraan yang berlalu-lalang membias di jalan.

“Jadi, kamu nggak tahu penyakit typus-mu ini sebenarnya apa, begitu?”

“Tahu,” kataku sambil menautkan kedua kakiku lalu menggoyang-goyangkannya pelan. “Dari awal kena aku sudah tahu, kok,” tukasku lagi.  

“Apa?”

Hujan tiba-tiba lebat dan angin kencang menerpa kami. Disana aku melihat kebisuannya. Kami saling bertatapan, disatu sisi aku malu mengakui hal ini namun disisi lain ia seolah membuat ruang kedap udara untukku dan dia, agar kami nyaman berbagi cerita. Menimang-nimang, aku pun menunjuk kepalaku sebagai jawabannya.

“Aku sakit ini,” akuku mencoba tenang saat cemas mulai merangkak naik ke dada. Mengatur napas. “Sakit yang dokter sendiri juga nggak tahu obatnya apa.”

“Kamu depresi?”

“Mungkin.”

Isi kepalaku seperti menghilang untuk beberapa detik saat aku mencoba melamun. Menikmati angin yang membuat menggigil namun anehnya tidak terasa dingin. Esa pun terdesak untuk memberiku usulan.

“Dokter pasti punya obat untuk meredakan cemas. Pergilah berobat, atau konseling!”

“Nggak perlu.” Kupikir sarannya akan lebih baik, tahu-tahunya hal yang sama yang pernah Meli katakan beberapa tahun yang lalu. “Aku sudah punya obatnya sendiri.”

Esa menegakkan tubuh. Terlihat tidak sepenuhnya percaya atas apa yang baru saja kukatakan. Inilah sebabnya kita dilarang dekat-dekat dengan orang ‘susah,’ karena susahnya pasti menular. Esa belum apa-apa sudah tertular ‘susah’ dariku. Rautnya terlihat cemas.

“Noumi…” Ia tiba-tiba menyebut namaku dengan nada rendah sebelum dengan tenang meraih jemariku untuk ditangkup oleh kedua tangannya di atas meja. Aku terkejut bukan main. Baru pertama kali ada pria yang berbuat seperti itu padaku. Biasanya kalau ada yang lancang sedikit aku akan tangkis dan benar-benar marah, tapi untuk ini… ini benar-benar hangat.

“Jika aku punya orang yang selalu berada di sampingku, orang yang bisa kuajak berbicara dan bercanda, aku pasti pilih untuk menangis didepannya. Menangis sendiri itu rasanya lebih sulit dibandingkan dengan kita menceritakannya ke orang lain.”  

Aku tiba-tiba ingin menangis, melihat wajahnya dihadapanku bagai bayam layu yang sendu juga penuh empati. Tapi terlalu mudah untuk berkata begitu. Terlalu mudah untuk mengatakan semua akan baik-baik saja jika kita membagi kesedihan pribadi kepada orang lain. Semua orang punya sakitnya masing-masing, dan semua orang sedang berjuang untuk  mendapatkan hal itu, ujung dari hidup yang mereka sebut dengan kebahagiaan.

“Memang banyak yang berpikir kalau disimpan sendiri itu lebih baik karena kalau diceritakan jadinya malah malu, tapi apa kamu tahu kalau sesuatu yang panas jika diendap selama ratusan tahun di dalam perut bumi akan menjadi gunung meletus? Begitu juga hati, terlalu banyak yang dipendam, lama-kelamaan bisa meletus dan dampaknya akan lebih berbahaya.” 

Sejenak, teoriku beberapa detik yang lalu goyah oleh angin Esa. Aku nyaris terhembus olehnya dan sukses dibuat tak mengerti atas apa yang baru saja terjadi. Aku gagal paham diriku. Hanya itu, dan itu membuatku frustasi.

“Sebenarnya Sa,” ungkapku sejenak. Melihat ia mengelus lembut punggung tanganku tanpa rasa berlebih yang memabukkan, aku mencoba mengendalikan diri. “Jauh sebelum aku tahu penyakitku ini apa, sebenarnya, aku sudah tahu obatnya.”

“Apa?”

Aku mengangkat dagu. Berusaha mengeluarkan suara di ujung lidah yang mendadak terasa kelu.

“Mimpi.”

Ia mengerutkan dahi, tidak mengerti.

“Kalau aku berhasil mewujudkan mimpiku sendiri, aku yakin penyakitku ini pasti akan sembuh.”

Aku merasakan jari-jemari Esa akan terlepas dariku, namun kueratkan kembali karena tak ingin berpisah. Dan kulihat dari betapa gelapnya malam ini, remang-remang lampu yang kecilpun tetap sanggup memancarkan cahayanya. Begitu pula dengan cahaya yang berada dimata Esa, entah mengapa itu sanggup membuatku secara mendadak yakin akan keberadaan bintang di luar angkasa.

“Tapi, Esa… apa sebenarnya jauh di dalam hatimu, kamu masih punya mimpi?”

***

Sun🌅

Halo semua! ketemu lagi kita di bab baru dream first class. Gimana menurut kalian tentang cerita ini? bagus kah? jelek kah? kalau kalian rasa, "kayaknya ceritanya bakal lebih oke kalau begini, deh, kayak begitu, deh." kalian boleh banget tulis dikolom komentar. Aku sangat-sangat terima kritik dan saran, kok, okay! see you the next part!

| 1

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status