Utututu~ tayang
“Di sini ada yang suka baca?” Tidak ada yang menjawab. Mereka semua meski tertib di suruh duduk rapi dan punya semangat untuk selalu berteriak-teriak heboh setiap saat, namun dalam hal respon tanggap mereka lumayan lambat. “Ada yang mau jadi penulis?” tanyaku lagi. Kali ini ada satu anak berkepala plotos yang mengacungkan telunjuknya. Aku menjadi antusias. “Siapa namanya, sayang?” “Ali.” “Oh, Ali,” sahutku pelan. Namun Esa menyahut jenaka. “Kepanjangannya siapa Ali? Alibaba?” Sontak membuat anak-anak tertawa. Aku mencoleknya dengan siku sambil memastikan kondisi wajah Ali. “Ali. Hm, aku mau tanya dong. Kenapa kamu mau jadi penulis?” Tidak dijawab. Mungkin anak laki-laki dengan muka polos sepolos kepalanya tersebut belum mengetahui alasan mengapa ia ingin menjadi penulis. “Tapi Ali tahu, kan, penulis itu apa?” Ia mengangguk. “Kira-kira, penulis itu apa, sih?” pancingku lagi agar ia mau berusaha berpikir. “Yang nulis cerita?” tanyanya memastikan. Aku langsung menepuk tangan se
“Tapi …. tapi—”“Udahlah sayang. Nggak usah terlalu dipikirin. Nih, kukasih tahu cara kerjanya.”Esa membuka laptopnya di atas meja bar dekat kolam. Aku ikut duduk di sampingnya sambil membawa rasa penasaran yang cukup besar dalam genggaman. Ia membuka laman facebook di website dan mengklik market place.“Karena yang kita mau jangkau orang-orang disekitaran Lombok aja, jadi kita pakai ini,” katanya. Jari-jarinya begitu cepat mengoperasikan benda tersebut. “Upload di sini gambarnya,” jelasnya. “Pilih kategori barangnya, terus barang dalam kondisi bagus-bekas klik centang, terus tentukan harganya centang, dan isi deskripsinya, deh.”“Kamu kan mau memberi, bukan menjual.”“Iya mangkanya tinggal diisi deskripsinya sayang.” Aku mengangguk. Menatap dengan kagum saat ia mulai mengetikan deskripsinya.Tidak dijual. Barang bekas mau pindahan. Khusus bagi orang yang membutuhkan. Kalau deal bisa langsung angkut ke rumah. Alamat:blablabla. Tidak pakai perantara. Siapa cepat dia dapat.Dan begitu
“Bapak ada siapa aja nih, di rumah?” tanya Esa sesudah mencium tangannya. Aku secara otomatis juga melakukan hal tersebut sambil senyam-senyum canggung.“Istri sama anak saya, si Soleh.” Pak Imron langsung membalik muka seratus delapan puluh derajat. Mengumpulkan semua energi di dalam mulut sebelum menyemburkannya keras-keras ke dalam rumah.“BUK! ADA TAMU INI, BUK! LEH! KELUAR LEH!” Teriaknya semangat. Kemudian berbalik lagi. “Ayo! Ayo! mari masuk dulu.”Soleh sang anak tiba-tiba keluar dengan tergupuh-gupuh. Sontak Esa langsung mengajaknya untuk mengambil TV di mobil.“Nah, ini! Ayo bro, bantu aku ambil TV kamu di mobil. Siapa lagi temannya?”“Sendiri.”“Oke, deh. Ayo kita let’s go!”Si Soleh meski dengan alis yang terangkat riang, tak bisa memungkiri kebingungannya setengah mati. Ia tanpa mengerti kondisi langsung saja mengiyakan permintaan Esa yang sok akrab merangkulnya—mengajak keluar secara paksa. Cara menyapa laki-laki ini memang agak bar-bar. Maklumi saja. Aku terdiam bingu
Kami terdiam di mobil. Mengisi energi setelah mengobrol panjang dengan keluarga Pak Imron seharian. Esa tadi sempat meminta bantuan kepada Pak Imron untuk menghubunginya jika ada yang membutuhkan perabotan rumah tangga. Dan keesokan harinya rumah Esa tak henti-hentinya didatangi mobil pick up untuk mengangkut barang. Rumahnya menjadi kosong. Kami bahkan duduk termenung di tengah-tengah ruangan beralaskan lantai marmer tersebut. Merasakan sepi yang merasuki ulu hati. “Kamu nggak menyesal, kan?” tanyaku. Takut kalau-kalau ini tak sesuai ekspetasinya. Namun hebatnya ia mencebik sambil menggeleng. Meletakan kertas wish list di sampingnya dengan tenang. “Aku nggak pernah menyesali segala keputusanku, Nom. Ini udah seperti yang aku bayangkan, kok.” *** Wush~ “Ayo kejar aku!” kataku mengejeknya ketika mengkayuh pedal sepeda lebih cepat di sore hari. Pada naik-naikan jalan, pemuda itu ternyata sudah ngos-ngosan. Tak disangka ia lebih payah dariku yang bertubuh gempal begini. Aku menghen
Berjalan-jalan sambil bergandengan tangan sepertinya bagian favorite Esa juga. Sebagian waktu kami dihabiskan untuk berjalan kaki sambil bergandengan tangan. Saat duduk makan, kami bergandengan tangan. Menari dan menikmati suasana pesta malam, bergandengan tangan. Berdansa, bergandengan tangan. Mengobrol dan bercerita sambil bergandengan tangan. Bahkan saat mau tidur setelah memesan dua kamar di satu hotel, Esa menawariku satu kasur berdua supaya bisa berpegangan tangan.Aku tahu dia punya rencana untuk memenggal waktunya sebentar lagi, namun tak lantas membuat kami harus tidur bersama—menghalalkan segala cara.“Kalau kamu mau fight untuk hidupmu dalam waktu yang lama …. pasti aku akan tidur sambil pegangan tangan setiap waktu sama kamu. Menghabiskan hari tua bersama. Jangan khawatir.”Ia tentu mengerti maksudku dengan terdiam kaku di atas kedua kakinya. Menatap penuh kehampaan di depan pintu kamarnya sendiri. “Aku ngerti, kok. Mengambil keputusan sampai di detik ini pasti nggak mud
Pagi hari pukul 08.30 wita. Seperti biasa, aku melingkari angka dikalender. Tak terasa 6 bulan berlari begitu cepat secepat citah. Kuharap setelah melewati hari-hari penuh pemikiran yang dalam ini, Esa bisa mengubah keputusannya.Sejak hari terakhir kami di Gili Trawangan, pemuda berinisial E itu banyak melamun. Ia tidak lagi mengkonsumsi kafein secara berlebih. Tidak lagi menyisihkan sayur di piring makannya. Ia bahkan tidak pernah mengatakan kata-kata perpisahan selama kami menghabiskan seluruh sisa rencana kami hingga tanpa tahu, 6 bulan telah berlalu begitu saja. Apakah keputusannya sudah benar-benar berubah? Aku tak berani bertanya karena takut ia jadi terkecoh. Namun sebagai gantinya, aku berusaha ada disetiap kali ia butuhkan.Aku mendengarkannya bercerita, ikut memancing, berbicara padanya, bermain game di warnet, mencium pipinya ketika ia minta, membaca buku yang tidak begitu kusuka, mendengarkan musik Rock n roll kesukaan dia, menonton Netflix, bergandengan tangan di malam h
Esa mengepak pakaian seadanya. Ia memasukan baju dan celana panjangnya secara serampangan ke dalam koper. Aku yang bersandar pada kusein pintu, yang sudah siap pergi dengan berpakaian rapi dan cantik, langsung tergerak untuk mendekat, membantunya mengeluarkan baju-baju itu kembali untuk dilipat. Ia menunggu dengan sabar di sampingku sementara aku berusaha tersenyum sambil mengusap pipinya. *** Hari H menuju kematian. Bandara Nusawiru, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Pukul 08.30, Esa memasangkan goggles padaku setelah dirinya selesai memakai jumpsuit. Perlengkapan untuk olahraga berbahaya ini sudah disiapkan oleh tim manajemen NSW Paracenter, namun entah mengapa ia lebih memilih untuk membeli semuanya sendiri. Dan itu tidak murah. “Kenapa nggak sewa aja, sih? Kan kita pakainya sekali.” Esa mengancingkan helmnya dengan erat. Lalu menghela napas sambil menaruh tangan di pinggang. “Aku sih, sekali. Tapi apa iya kamu hanya sekali?” “Maksudmu aku a
Secara natural, dari mata ini terbuka, lalu aku menjadi bayi sampai hidup menua di bumi ini, aku benar-benar tidak pernah menyangka yang namanya dunia ternyata kejam sekali. Sepotong es loli membutuhkan uang seribu rupiah untuk bisa kau cicipi. Begitu murah, begitu mudah bagi orang lain. Tapi bagiku, mendapat seribu rupiah itu cukup sulit, sebab aku tidak beruntung. Lahir di keluarga yang miskin itu sungguh tidak enak. Mau minta uang seribu rupiah saja harus pintar-pintar membaca kondisi hati dan dompet Ibuku. Salah sedikit bisa fatal akibatnya. Karena pernah, suatu hari Ibuku mau tidak mau harus menahan rasa malunya untuk sekadar mengatakan, “maaf mas, tidak jadi.” Kepada pedagang es krim yang sudah terlanjur kugiring sampai ke depan rumah. Setelahnya, aku tidak dapat es krim, tapi aku kena marah. Aku bahkan tidak sempat untuk merasa kecewa karena Ibu memintaku untuk mengerti kondisi keuangan keluarga. Well, Aku baru berumur lima