Hello everybody! Apa kabar? Support Dream first class selalu, ya.
Berjalan-jalan sambil bergandengan tangan sepertinya bagian favorite Esa juga. Sebagian waktu kami dihabiskan untuk berjalan kaki sambil bergandengan tangan. Saat duduk makan, kami bergandengan tangan. Menari dan menikmati suasana pesta malam, bergandengan tangan. Berdansa, bergandengan tangan. Mengobrol dan bercerita sambil bergandengan tangan. Bahkan saat mau tidur setelah memesan dua kamar di satu hotel, Esa menawariku satu kasur berdua supaya bisa berpegangan tangan.Aku tahu dia punya rencana untuk memenggal waktunya sebentar lagi, namun tak lantas membuat kami harus tidur bersamaâmenghalalkan segala cara.âKalau kamu mau fight untuk hidupmu dalam waktu yang lama âŠ. pasti aku akan tidur sambil pegangan tangan setiap waktu sama kamu. Menghabiskan hari tua bersama. Jangan khawatir.âIa tentu mengerti maksudku dengan terdiam kaku di atas kedua kakinya. Menatap penuh kehampaan di depan pintu kamarnya sendiri. âAku ngerti, kok. Mengambil keputusan sampai di detik ini pasti nggak mud
Pagi hari pukul 08.30 wita. Seperti biasa, aku melingkari angka dikalender. Tak terasa 6 bulan berlari begitu cepat secepat citah. Kuharap setelah melewati hari-hari penuh pemikiran yang dalam ini, Esa bisa mengubah keputusannya.Sejak hari terakhir kami di Gili Trawangan, pemuda berinisial E itu banyak melamun. Ia tidak lagi mengkonsumsi kafein secara berlebih. Tidak lagi menyisihkan sayur di piring makannya. Ia bahkan tidak pernah mengatakan kata-kata perpisahan selama kami menghabiskan seluruh sisa rencana kami hingga tanpa tahu, 6 bulan telah berlalu begitu saja. Apakah keputusannya sudah benar-benar berubah? Aku tak berani bertanya karena takut ia jadi terkecoh. Namun sebagai gantinya, aku berusaha ada disetiap kali ia butuhkan.Aku mendengarkannya bercerita, ikut memancing, berbicara padanya, bermain game di warnet, mencium pipinya ketika ia minta, membaca buku yang tidak begitu kusuka, mendengarkan musik Rock n roll kesukaan dia, menonton Netflix, bergandengan tangan di malam h
Esa mengepak pakaian seadanya. Ia memasukan baju dan celana panjangnya secara serampangan ke dalam koper. Aku yang bersandar pada kusein pintu, yang sudah siap pergi dengan berpakaian rapi dan cantik, langsung tergerak untuk mendekat, membantunya mengeluarkan baju-baju itu kembali untuk dilipat. Ia menunggu dengan sabar di sampingku sementara aku berusaha tersenyum sambil mengusap pipinya. *** Hari H menuju kematian. Bandara Nusawiru, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Pukul 08.30, Esa memasangkan goggles padaku setelah dirinya selesai memakai jumpsuit. Perlengkapan untuk olahraga berbahaya ini sudah disiapkan oleh tim manajemen NSW Paracenter, namun entah mengapa ia lebih memilih untuk membeli semuanya sendiri. Dan itu tidak murah. âKenapa nggak sewa aja, sih? Kan kita pakainya sekali.â Esa mengancingkan helmnya dengan erat. Lalu menghela napas sambil menaruh tangan di pinggang. âAku sih, sekali. Tapi apa iya kamu hanya sekali?â âMaksudmu aku a
Secara natural, dari mata ini terbuka, lalu aku menjadi bayi sampai hidup menua di bumi ini, aku benar-benar tidak pernah menyangka yang namanya dunia ternyata kejam sekali. Sepotong es loli membutuhkan uang seribu rupiah untuk bisa kau cicipi. Begitu murah, begitu mudah bagi orang lain. Tapi bagiku, mendapat seribu rupiah itu cukup sulit, sebab aku tidak beruntung. Lahir di keluarga yang miskin itu sungguh tidak enak. Mau minta uang seribu rupiah saja harus pintar-pintar membaca kondisi hati dan dompet Ibuku. Salah sedikit bisa fatal akibatnya. Karena pernah, suatu hari Ibuku mau tidak mau harus menahan rasa malunya untuk sekadar mengatakan, “maaf mas, tidak jadi.” Kepada pedagang es krim yang sudah terlanjur kugiring sampai ke depan rumah. Setelahnya, aku tidak dapat es krim, tapi aku kena marah. Aku bahkan tidak sempat untuk merasa kecewa karena Ibu memintaku untuk mengerti kondisi keuangan keluarga. Well, Aku baru berumur lima
Kau pasti tahu, bagaimana suaranya orang yang berbisik-bisik. Tadinya aku tidak hiraukan, namun entah kenapa suara bisikan itu kedengarannya dekat sekali. Aku berjalan keluar rumah di tengah malam. Semuanya gelap seperti sedang terjadi pemadaman listrik. Tidak ada siapapun. Hanya suara desis. Hal itu jelas menakutkan tapi kedua kaki tanpa alas dan tanpa tahu kenapa terus berjalan menyusuri aspal yang terasa sangat dingin sehabis hujan. Aku sudah tidak bisa melihat apapun selain mendengar suara itu. Aku takut dan mudah kepikiran. Dan pikiran ini menjadi semakin buruk. Suara orang berbisik-bisik itu mulai terdengar jelas, tapi anehnya, tanpa menggunakan bahasa yang kumengerti. Orang-orang Lombok biasanya menggunakan bahasa Sasak, namun ini tidak. Mereka juga tidak pakai bahasa Indonesia, apalagi bahasa Inggris. Aku tahu yang dikatakan mereka asal-asalan dan tidak benar. Tapi kenapa aku merasa terganggu sekali dengan suara itu? walaupun tidak jelas dan
~DRRTT!! DRTT!!!! Bergetar. ~DRRTT!!! Hanphone itu bergetar digenggaman dan aku tersadar. Hal yang pertama kali aku lihat saat membuka mata adalah langit-langit kamarku. Aku mendesis kesakitan dan menghela napas panjang ketika mencoba duduk dan menenangkan diri. Menunduk, perlahan menjambak rambutku sendiri untuk menghilangkan pening, mengatur napas. Jantungku berdebar keras. Ketindihan itu cukup mengerikan. Kurasa, hampir setengah jam lamanya aku mati-matian bangun dari ragaku yang tertidur pulas seperti ditinggal nyawa. Syukurnya aku tidur dengan headset dan hanphone digenggaman, sebab jika tidak begitu, katanya, aku bisa meninggal. Orang yang ketindihan sangat lama itu katanya bisa berakhir dengan kematian. Dan tadi itu termasuk ketindihan terlama yang pernah kualami dan jujur saja, itu menakutkan. âHaloâŠâ âHalo, la? Ya ampun, akhirnya. Kamu di mana?!â sebelum
Kalau kutinggal sendiri, kamu nggak apa-apa? -Pemuda di alam mimpi- --- Bila hidup yang telah dijalani, memang apa saja opsi sebelumnya? Kematian? Sebelum hidup tentu saja mati, oh atau mungkin saja ini semua terbalik? hidup itu adalah kematian dan kematian adalah kehidupan yang abadi? Sebelum terlahir dan menjadi hidup begini kita disebut apa? Tidak mati dan tidak hidup? hahh,, aku tidak percaya ini adalah pikiran yang muncul tepat setelah aku membuka mata dipagi hari pukul sembilan lebih sepuluh menit. Mataku melirik ke sekeliling dan merasa lega masih berada di tempat yang sama. Kantung mata rasanya sudah semakin merosot. Aku benci menua. Hoam⊠kantuk ini terasa bagus, tidak seperti biasanya. Aku meregangkan tubuh dan lamat-lamat berusaha menurunkan kedua kaki ke permukaan lantai. Berjalan membuka tirai gordenâmenyapa sinar mentari yang terasa ceria luar biasa. âWatsa
Jika ada rasa yang katanya paling sakit di dunia ini, aku ingin tahu sekarang juga. Berbekal minyak oles dan keahlian tangan, operasi ini berjalan dengan kesadaran penuh pasiennya. Sangat menegangkan. âTahan, ya, dek.â KREKK,, Aaarghkk. âDi sini sakit?â KREKK,, AAAKHHH!!! Aku merengut tidak tahan. Pak Rumi benar-benar berani memutar balikan tulang seolah ia tukang sulap. Istrinya masi
Esa mengepak pakaian seadanya. Ia memasukan baju dan celana panjangnya secara serampangan ke dalam koper. Aku yang bersandar pada kusein pintu, yang sudah siap pergi dengan berpakaian rapi dan cantik, langsung tergerak untuk mendekat, membantunya mengeluarkan baju-baju itu kembali untuk dilipat. Ia menunggu dengan sabar di sampingku sementara aku berusaha tersenyum sambil mengusap pipinya. *** Hari H menuju kematian. Bandara Nusawiru, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Pukul 08.30, Esa memasangkan goggles padaku setelah dirinya selesai memakai jumpsuit. Perlengkapan untuk olahraga berbahaya ini sudah disiapkan oleh tim manajemen NSW Paracenter, namun entah mengapa ia lebih memilih untuk membeli semuanya sendiri. Dan itu tidak murah. âKenapa nggak sewa aja, sih? Kan kita pakainya sekali.â Esa mengancingkan helmnya dengan erat. Lalu menghela napas sambil menaruh tangan di pinggang. âAku sih, sekali. Tapi apa iya kamu hanya sekali?â âMaksudmu aku a
Pagi hari pukul 08.30 wita. Seperti biasa, aku melingkari angka dikalender. Tak terasa 6 bulan berlari begitu cepat secepat citah. Kuharap setelah melewati hari-hari penuh pemikiran yang dalam ini, Esa bisa mengubah keputusannya.Sejak hari terakhir kami di Gili Trawangan, pemuda berinisial E itu banyak melamun. Ia tidak lagi mengkonsumsi kafein secara berlebih. Tidak lagi menyisihkan sayur di piring makannya. Ia bahkan tidak pernah mengatakan kata-kata perpisahan selama kami menghabiskan seluruh sisa rencana kami hingga tanpa tahu, 6 bulan telah berlalu begitu saja. Apakah keputusannya sudah benar-benar berubah? Aku tak berani bertanya karena takut ia jadi terkecoh. Namun sebagai gantinya, aku berusaha ada disetiap kali ia butuhkan.Aku mendengarkannya bercerita, ikut memancing, berbicara padanya, bermain game di warnet, mencium pipinya ketika ia minta, membaca buku yang tidak begitu kusuka, mendengarkan musik Rock n roll kesukaan dia, menonton Netflix, bergandengan tangan di malam h
Berjalan-jalan sambil bergandengan tangan sepertinya bagian favorite Esa juga. Sebagian waktu kami dihabiskan untuk berjalan kaki sambil bergandengan tangan. Saat duduk makan, kami bergandengan tangan. Menari dan menikmati suasana pesta malam, bergandengan tangan. Berdansa, bergandengan tangan. Mengobrol dan bercerita sambil bergandengan tangan. Bahkan saat mau tidur setelah memesan dua kamar di satu hotel, Esa menawariku satu kasur berdua supaya bisa berpegangan tangan.Aku tahu dia punya rencana untuk memenggal waktunya sebentar lagi, namun tak lantas membuat kami harus tidur bersamaâmenghalalkan segala cara.âKalau kamu mau fight untuk hidupmu dalam waktu yang lama âŠ. pasti aku akan tidur sambil pegangan tangan setiap waktu sama kamu. Menghabiskan hari tua bersama. Jangan khawatir.âIa tentu mengerti maksudku dengan terdiam kaku di atas kedua kakinya. Menatap penuh kehampaan di depan pintu kamarnya sendiri. âAku ngerti, kok. Mengambil keputusan sampai di detik ini pasti nggak mud
Kami terdiam di mobil. Mengisi energi setelah mengobrol panjang dengan keluarga Pak Imron seharian. Esa tadi sempat meminta bantuan kepada Pak Imron untuk menghubunginya jika ada yang membutuhkan perabotan rumah tangga. Dan keesokan harinya rumah Esa tak henti-hentinya didatangi mobil pick up untuk mengangkut barang. Rumahnya menjadi kosong. Kami bahkan duduk termenung di tengah-tengah ruangan beralaskan lantai marmer tersebut. Merasakan sepi yang merasuki ulu hati. âKamu nggak menyesal, kan?â tanyaku. Takut kalau-kalau ini tak sesuai ekspetasinya. Namun hebatnya ia mencebik sambil menggeleng. Meletakan kertas wish list di sampingnya dengan tenang. âAku nggak pernah menyesali segala keputusanku, Nom. Ini udah seperti yang aku bayangkan, kok.â *** Wush~ âAyo kejar aku!â kataku mengejeknya ketika mengkayuh pedal sepeda lebih cepat di sore hari. Pada naik-naikan jalan, pemuda itu ternyata sudah ngos-ngosan. Tak disangka ia lebih payah dariku yang bertubuh gempal begini. Aku menghen
âBapak ada siapa aja nih, di rumah?â tanya Esa sesudah mencium tangannya. Aku secara otomatis juga melakukan hal tersebut sambil senyam-senyum canggung.âIstri sama anak saya, si Soleh.â Pak Imron langsung membalik muka seratus delapan puluh derajat. Mengumpulkan semua energi di dalam mulut sebelum menyemburkannya keras-keras ke dalam rumah.âBUK! ADA TAMU INI, BUK! LEH! KELUAR LEH!â Teriaknya semangat. Kemudian berbalik lagi. âAyo! Ayo! mari masuk dulu.âSoleh sang anak tiba-tiba keluar dengan tergupuh-gupuh. Sontak Esa langsung mengajaknya untuk mengambil TV di mobil.âNah, ini! Ayo bro, bantu aku ambil TV kamu di mobil. Siapa lagi temannya?ââSendiri.ââOke, deh. Ayo kita letâs go!âSi Soleh meski dengan alis yang terangkat riang, tak bisa memungkiri kebingungannya setengah mati. Ia tanpa mengerti kondisi langsung saja mengiyakan permintaan Esa yang sok akrab merangkulnyaâmengajak keluar secara paksa. Cara menyapa laki-laki ini memang agak bar-bar. Maklumi saja. Aku terdiam bingu
âTapi âŠ. tapiâââUdahlah sayang. Nggak usah terlalu dipikirin. Nih, kukasih tahu cara kerjanya.âEsa membuka laptopnya di atas meja bar dekat kolam. Aku ikut duduk di sampingnya sambil membawa rasa penasaran yang cukup besar dalam genggaman. Ia membuka laman facebook di website dan mengklik market place.âKarena yang kita mau jangkau orang-orang disekitaran Lombok aja, jadi kita pakai ini,â katanya. Jari-jarinya begitu cepat mengoperasikan benda tersebut. âUpload di sini gambarnya,â jelasnya. âPilih kategori barangnya, terus barang dalam kondisi bagus-bekas klik centang, terus tentukan harganya centang, dan isi deskripsinya, deh.ââKamu kan mau memberi, bukan menjual.ââIya mangkanya tinggal diisi deskripsinya sayang.â Aku mengangguk. Menatap dengan kagum saat ia mulai mengetikan deskripsinya.Tidak dijual. Barang bekas mau pindahan. Khusus bagi orang yang membutuhkan. Kalau deal bisa langsung angkut ke rumah. Alamat:blablabla. Tidak pakai perantara. Siapa cepat dia dapat.Dan begitu
âDi sini ada yang suka baca?â Tidak ada yang menjawab. Mereka semua meski tertib di suruh duduk rapi dan punya semangat untuk selalu berteriak-teriak heboh setiap saat, namun dalam hal respon tanggap mereka lumayan lambat. âAda yang mau jadi penulis?â tanyaku lagi. Kali ini ada satu anak berkepala plotos yang mengacungkan telunjuknya. Aku menjadi antusias. âSiapa namanya, sayang?â âAli.â âOh, Ali,â sahutku pelan. Namun Esa menyahut jenaka. âKepanjangannya siapa Ali? Alibaba?â Sontak membuat anak-anak tertawa. Aku mencoleknya dengan siku sambil memastikan kondisi wajah Ali. âAli. Hm, aku mau tanya dong. Kenapa kamu mau jadi penulis?â Tidak dijawab. Mungkin anak laki-laki dengan muka polos sepolos kepalanya tersebut belum mengetahui alasan mengapa ia ingin menjadi penulis. âTapi Ali tahu, kan, penulis itu apa?â Ia mengangguk. âKira-kira, penulis itu apa, sih?â pancingku lagi agar ia mau berusaha berpikir. âYang nulis cerita?â tanyanya memastikan. Aku langsung menepuk tangan se
Ia tidak lantas menjawab karena teralihkan pada alisku yang bergerak-gerak aneh. âKamu baca whatssapp-ku, ya?â tanyanya curiga. Yang tak disangka-sangka tahu padahal sudah kupastikan tadi dia sama sekali tidak menoleh. Hal itu sungguh membuatku tak bisa berkilah. âHm, anu, akuââ âLain kali jangan kayak gitu, ya.â Membuat lidahku menggantung di langit-langit. Mengira ia bakal marah besar, ternyata hanya sebatas peringatan. âOke!â seruku kemudian. Berusaha memperbaiki suasana. âTapi, untuk beberapa hari ke depan âŠ. kamu bakal membahas hal ini, kan?â Esa menghirup cairan di hidungnya keras-keras setelah berpikir keras, sekeras menyedot cairan itu. âNggak dulu,â katanya. Menelisik visi yang seolah sedang tergambar jelas di depan hidungnya. âAku hanya ingin hidup 6 bulan lagi. Di waktu 2 bulan terakhir âŠ. mungkin aku bakal bahas itu.â *** Aku mengamati kalender tahun 2020 yang menempel di badan pintu kamar kosan. Di zaman serba cepat saat itu, bisa-bisanya seorang Noumi Roula meng
Esa mengeluarkan semua uneg-unegnya sebelum berakhir mengurung diri di kamar. Ia tidak bisa mengunci pintunya karena aku yang pegang. Lantas, setelah lama memberinya waktu menyendiri, aku pun akhirnya pelan-pelan mengarahkan kenop pintu ke bawah untuk melangkahkan kaki masuk ke dalam. Ia sedang duduk memunggungi pintu di ujung kasur. Menunduk terseguk-seguk. âHei,â kataku menghampirinya. Mengulurkan tangan kanan dengan legowo. âAku minta maaf, ya.â Seperti anak kecil yang tidak sengaja membuat temannya menangis. Ia mengusap mukanya sendiri sebelum dengan berat hati mengangkat dagu. Dari sudut pandangku, ia tidak pernah malu memperlihatkan air mata dan muka jeleknya saat menangis. ââŠ.â Aku masih mengulurkan tangan. Mengangkat alis untuk mengajaknya berbaikan. Namun ia tak berminat diajak salaman. Bokongnya malah bergeser untuk meraih obat di atas laci yang membuatku jadi menemukan luka dibalik kerah lengannya. âItu kenapa?â tanyaku. Ia secara spontan menarik kerah itu lalu menepis