Jika ada rasa yang katanya paling sakit di dunia ini, aku ingin tahu sekarang juga. Berbekal minyak oles dan keahlian tangan, operasi ini berjalan dengan kesadaran penuh pasiennya. Sangat menegangkan.
āTahan, ya, dek.ā
KREKK,,
Aaarghkk.
āDi sini sakit?ā
KREKK,,
AAAKHHH!!!
Aku merengut tidak tahan. Pak Rumi benar-benar berani memutar balikan tulang seolah ia tukang sulap. Istrinya masih melihatku dengan prihatin, sementara aku menggigit bahu kak Esa, meminta kekuatan darinya. Dalam pikiranku, Huh, mati saja. Mati saja lebih baik. Ini sakit sekali. Namun operasi tetap berlangsung tanpa bisa dihentikan. Bahkan aku diberitahu bahwa kali ini akan terasa lebih sakit. Jadi Pak Rumi memintaku untuk bertahan atau bersiap-siap menggigit bahu orang di samping dengan lebih kuat. Sementara Kak Esa terlihat memasrahkan diri. Bola matanya bergetar.
āSatu, duaā¦ā
Kedua tangannya mengepal kuat tanda siap, dan aku menggigit.
āTiga!ā
AAAAKKKHHHHH!!!
***
Jarum jam pada detik di dinding berdetak. Operasi selesai. Aku disuruh menyenderkan punggung ke dinding untuk menselonjorkan kedua kaki sementara kak Esa tengah meringis karena bahunya sakit bekas kugigit. Aku ingin memijatnya namun kakiku kini sedang mengalami masa pembengkakan dua kali lipat dari yang tadi. Kurasa ini tidak tepat, tapi kata Pak Rumi ini adalah tindakan yang benar-benar tepat. Aneh sekali.
Pembengkakan terjadi karena tulangnya sudah kembali ke tempat semula dan masa pemulihan akan berlangsung maksimal tujuh hari. Jika tidak pulih juga, maka aku harus kontrol kembali untuk mendapatkan neraka ini lagi. Tidak, aku tidak mau. Sembuh atau tidak nanti, aku tidak akan kembali. Tidak akan.
āBerapa, pak?ā kak Esa bertanya, ia menelisik isi dompet. Aku menghalangi tangannya dan Pak Rumi langsung berkata, ātidak usah.ā Dengan begitu ikhlas.
āIya. Tidak usah. Seharusnya memang saya sendiri yang bayar,ā kataku langsung merogoh kantong celana namun teringat bahwa tadi hanya membawa uang sedikit untuk modus lamaran di cafĆ©.
āSudah, sudah. Saya kenal Pak Made, kok. Karena beliau yang bawa kalian ke sini, jadi tidak perlu bayar.ā
āTapi pakāā
āLebih baik uangnya kalian pakai untuk panggil taksi saja, kan? Soalnya saya tidak punya kendaraan untuk mengantar kalian berdua pulang.ā
Aku dan kak Esa saling menatap sejemang. Tanpa sengaja menyetujui perkataan pak Rumi diam-diam.
***
Saat ini sudah jam setengah dua belas malam. Jalanan gelap, tapi ada lampu kuning jalan yang cahayanya remang-remang. Aku sedikit takut. Melewati dua kuburan, Kak Esa tetap tidak mau mendengar selain membiarkan dirinya kesusahan untuk kesekian kalinya: Menggendongku sampai ke depan gang.
āSudah kubilang, nggak akan ada taksi yang lewat dijam segini.ā
Ia masih terengah-engah sebelum berakhir menaruhku di bangku jalanan yang terbuat dari semen. Terlihat seperti orang yang sebentar lagi akan sekarat karena lelah menggendongku. Memang aku seberat itu, ya?
āSudah. Sekarang pesan gojek-nya,ā katanya lemah. Aku jadi bingung.
āLho, kenapa sekarang baru bilang begitu?ā
Ia menatapku biasa dan aku bertanya lagi. āKenapa nggak sekalian aja kita nunggu di rumahnya Pak Rumi tadi?ā
Kemudian ia duduk di sampingku. Menarik napas panjang lalu menghelanya.
āMemangnya kamu nyaman kalau nunggu di sana?ā
āHm, iya, sih, sedikit,ā akuku setengah yakin. Kemudian balik bertanya.
āMemangnya kenapa? Kak Esa nggak nyaman?ā
āIya.ā Ia menatap lurus jalan raya yang sepi sambil mengusap-usap punggung tangannya sendiri. Aku tertegun.
āKenapa?ā tanyaku lagi.
Ia terlihat menimang-nimang alasannya. Bibirnya dibuat sedikit mencebik, lalu jawabannya membuatku agak bingung. āKarena di sana hangat?ā
āHangat?ā Aku menggaruk kepala. āMaksudnya, hangat ruangan? Perasaanku dingin, kok. Kan tadi pakai kipas angin.ā
Ia mendengus. Pundaknya bergerak karena terkekeh. āBukanā¦ bukan itu,ā katanya lagi sambil berdeham lalu melanjutkan perkataan dengan mata melamun. āTapi hangat keluarga.ā
Kata orang, jika kau tengah rindu akan sesuatu, biasanya kedua matamu akan terus berbinar seperti akan menangis. Kau tidak pernah tahu rasa rindu apa yang menggerogoti jiwamu, bahkan kelewat terlambat untuk menyadari hal itu. Ia menghela napas cukup berat. Aku memperhatikan wajahnya dari samping. Berpikir bahwa perkataannya barusan adalah uraian kalimat yang cukup membuatku merasa paling hangat. Ada satu rongga di dalam dada yang selama ini hanya terisi hembusan angin malam yang tanpa sadar mulai menganga semakin lebar. Selalu terabaikan.
āKak Esa rindu keluarga?ā
Ia berpaling untuk menatapku. Kantuk seolah tak sanggup ia topang lagi. Aku seketika mengubah pertanyaan.
āKak Esa, punya keluarga?ā
āHm?ā
Kedua matanya seketika terbuka lebar. Kantuknya melarikan diri dalam sekejap. Aku tidak ingin menduga perihal ini topik sensitif atau masalah pribadi sebab yang kulakukan saat ini hanyalah bertanya. Bertanya sesuai keinginan hati.
āNggak tahu,ā jawabnya sembarang. Mengendikan bahu lalu menghirup udara beku. āMungkin aku nggak punya keluarga.ā
Satu kesamaan yang kurasakan saat ini, aku adalah manusia sebatang kara karena ulahku sendiri. Satu-satunya yang paling kuingat adalah Ibu menangis karena Ayah mengancamku: jika berani pulang dalam keadaan menggembel, maka kepalaku akan dipenggal. Aku ditodong pertanyaan kenapa ingin meninggalkan rumah sementara aku dengan yakinnya menjawab, ādemi mengejar mimpi,ā membuat Ayahku tertawa terpingkal-pingkal kemudian ibuku jadi berhenti menangis. Beliau bingung. Katanya, āuntuk apa mimpi dikejar-kejar? Kan tinggal tidur saja kalau ingin bertemu mimpi.ā
Bisa dibilang itu adalah pemikiran yang dangkal, tapi aku tidak bisa berkata begitu, sebab mereka adalah orang tuaku. Yang dangkal itu aku. Tidak tahu diri sudah susah payah dibesarkan, besar-besarnya malah belajar minggat. Tapi percayalah, ini untuk masa depan. Jika ingin meraih hal yang besar, kita harus berani mengorbankan hal yang besar pula. Tapi minggat dari rumah itu tindakan yang tidak dapat dibetulkan. Lagipula, aku tidak minggat. Ayah dan Ibu tahu dan izinnya berdasarkan syarat yang tadi. Meski tidak tahu pasti apakah cara ini akan berhasil atau tidak, aku tetap mengangkat koper untuk pergi dari rumah.
Dan sekarang, di sini lah aku. Duduk menggigil di bangku jalanan bersama orang asing yang menyelamatkanku dari insiden kaki yang kekurangan zat besiāminim asupan daging sapi karena uang gaji setiap bulannya ludes untuk mencicil hutang. Terdengar miris, tapi tidak menyedihkan.
Kak Esa masih menendang-nendang kerikil di bawah sepatunya. Ia nampaknya sosok yang murung meski dengan sifat yang setenang air telaga. Jika kuperhatikan, Kak Esa itu punya tatapan yang tidak asing. Tapi aku belum menemukan kemiripannya dengan siapapun.
āKak Esa minggat juga dari rumah, ya?ā tanyaku mendadak oleng. Rasa penasaran berubah menjadi menggebu-gebu.
āHm?ā ia bukan bertanya melainkan terkejut. āMinggat?ā tanyanya. Aku mengangguk dan ia seolah menyetujui. āBisa jadi.ā Membuatku bingung lagi. Ia menatapku, lalu mendongak.
āMemangnya kalau mau berteman dengan orang lain, harus tahu asal-usulnya dulu, ya?ā
Aku menautkan alis. Tak mampu menyambungkan korelasi antara āminggat dari rumahā dengan āasal-usulnyaā. Dia tipe yang sensitif sekali, pantas saja cepat tua.
āAku kan tanya, apa kak Esa minggat juga dari rumah, bukan bertanya asal-usul kak Esa.ā
āIya, tahu. Tapi bukannya sekali bertanya, maka akan terus digali, ya? pada akhirnya juga mengorek asal-usul, privasi dan masa lalu.ā
āMemang apa masalahnya? Kak Esa nggak suka? Oh, oke. Aku paham kalau mengenai privasi. Tapi kalau benar itu sifatnya privasi bagi kakak, ya tinggal dijawab seperlunya saja, dong. Nggak perlu pake marah begitu.ā
āAku nggak marah.ā
āTerus apa?ā
āBingung aja harus jawabnya bagaimana.ā
Walaupun dengan jelas menyunggingkan guratan tanda seru tepat di dahi, ia masih menganggap dirinya tidak marah. Lantas seperti apa kalau benar-benar marah? di sini hanya ada aku yang mencoba mengerti. Perasaannya rumit sekali.
āMemangnya kenapa? Kenapa harus bingung?ā tanyaku menatap matanya. Dan dari sekian konflik yang terjadi di dalam kepalanya, ia membocorkan satu rahasia.
āKarena aku tidak punya privasi.ā
Aku tidak ingin menelan mentah-mentah segala macam informasi. Basis dan datanya harus jelas dulu sebelum diproses lebih lanjut oleh mesinku.
āTidak punya privasi?ā tanyaku lagi-lagi. Ia mengangguk dengan lamunan.
āSeperti pertanyaanmu tadi di rumah Pak Rumi, ākakak pengidap amnesia, ya?āā ia meniru suaraku dengan vokal yang dibuat sember sebelum melanjutkan, āitu sudah sekaligus jawabannya.ā
āAmnesia?ā Aku mengatupkan mulut sejenak. Berusaha untuk tidak terlihat terkejut sebelum bertanya melanjutkan, āsejak kapan?ā membuatnya terkekeh geli.
āMemangnya orang amnesia bisa ingat tepatnya kapan?ā
āAh, iya. Bukan begitu, sih, maksudku. Tapi, bagaimana ceritanya sampai kakak sadar kalau kakak itu amnesia?ā
āHmā¦ā ia menggaruk dagu, kemudian bergumam. āNggak tahu. Lupa.ā Dengan mengangkat kedua bahunya. Jika dipikir-pikir, benar juga, sih. Aku nyaris terkagum tanpa alasan. Hampir seluruh jawaban yang meluncur dari mulutnya ringan. Seringan bulu ayam. Oh, hei! Pantas saja anting-antingnya dari bulu ayam. Apa ini maksudnya? Aku menggeleng dan kembali pada realita. Melihatnya masih menendang-nendang batu kerikil.
āTerus, bagaimana sekarang?ā
āBagaimana apanya?ā
āHidup kakak.ā Aku benar-benar buruk dalam mengutarakan maksud. Ini jelas rumit, tapi aku pun bukan tipe yang histeris dan garis keras penolak kenyataan. Hanya saja menemukan sebuah fenomena bagiku adalah sesuatu yang wow. Jadi, bilamana aku merasa kagum akan sesuatu, rasa penasaranku akan membuncah tak terkendali. Namun ia hanya menatapku redup. Tidak sanggup menanggapi sebab kapasitas energinya sudah terkuras begitu banyak.
āHidup? memang kelihatannya bagaimana? Kayak orang mati, ya?ā
Ah, iya, ini memang salahku. Bertanya kepadanya itu hanya akan menimbulkan pertanyaan baru yang tidak ada habisnya. Namun, meregangkan jari-jemari sebelum mulai berhitung, ia mengatakan dengan raut yang songong.
āNapas masih lancar, sirkulasi darah juga. Makan masih teratur, buang air juga. Minumā¦ masih air putih, kok.ā
Aku menatap jengah, mulai merasa bete. āSyukur deh kalau begitu. Sehat selalu, kak Esa.ā
Ia memperhatikanku sejenak, kemudian tersenyum. Satu tangan terulur dan mendarat di kepalaku. Tanpa banyak pikir ia langsung mengusapnya dengan gerakan yang alhasil membuat tubuhku meremang.
āAyo, mau tanya apa lagi?ā tanyanya, jahil. Dia pikir kuis?
Aku dengan santai mengatakan, ānggak ada.ā Kemudian membuang muka. Merasakan bagaimana sunyi mulai mengelilingi kami dijalanan sepi tanpa kendaraan satupun yang lewat sebelum bunyi tengkerek dan kodok saling bersahut-sahutan dikejauhan sawah.
āKamu jadi pulang kan?!ā Astaga. Ia tiba-tiba bertanya. Nyaris membuat jantungku copot.
āHah?ā
āSudah pesan gojeknya belum, sih?ā
āAh!ā aku lupa. Mengeluarkan ponsel di dalam saku celana, aku bergegas membuka aplikasinya untuk memesan go-car. (khusus mobil). Kukira dijam segini sudah tidak ada pengemudi lagi. Tapi saat mencoba beberapa kali, pesanan berhasil di terima oleh: āsupir Jumadil, mobil van dengan DR sekian-sekian,ā kataku membacakannya. Ia lalu mengangguk dan mengangkat alis.
āSampai dalam waktu berapa menit?ā
ā10 menitā¦ā
āSip!ā
***
Dalam beberapa menit menunggu, Mobil van berwarna hitam mengkilap yang lampu sorotnya terlihat samar-samar dari kejauhan, kini menggerus pelan aspal jalan hingga berhenti tepat di hadapan kami. Aku melambaikan tangan sambil memastikan DR-nya. Pak supir menurunkan kaca jendela.
āDengan mbak, Noumi?!ā
āIya!ā
Pak supir mengangguk dan langsung keluar dari mobilnya demi membukakan pintu sementara kak Esa sudah menggendongku dengan sigap. Tapi kali ini ia tidak memasukan dirinya sekaligus denganku. Ia meletakanku di bangku belakang dan hanya memegang kap mobil sambil menunduk merapikan posisi kakiku.
āKenapa?ā tanyaku tak mengerti.
Ia menatapku sekilas sebelum membalas, āpertemuan kita sampai di sini dulu! aku ada urusan! Kalau kutinggal sendiri, kamu nggak apa-apa?!ā deru mesin mobil yang masih menyala membuatnya menaikan nada suara. Aku mengernyit, merasakan deja vu.
āTengah malam begini?!ā tanyaku heran. āUrusan apa?!ā
Ia tak lantas menjawab karena tiba-tiba mengeluarkan isi dompet dan memberikannya langsung kepada Pak supir.
āPak! Kalau sudah sampai rumahnya, tolong dibantu, ya! Kakinya baru habis diurut soalnya!ā
Lho, dia nggak ikut pulang?
Pak supir dengan jiwa prajuritnya langsung mengangkat jempol sambil tersenyum sumringah. Aku mencium aroma mencurigakan. Segera sebelum ia menutup pintu, aku menggeser bokong susah payah untuk menahannya sampai ia terkejut.
āEh, kenapa?!ā kedua matanya melebar.
āKamu nggak ikut pulang?ā tanyaku. Mulai merasa panik.
āPulang ke mana?ā
āKe rumah lah. Rumah kita kan di kosan yang sama.ā
āMaksudmu?!ā ia terkejut. Baru kali ini kulihat ekpresinya saat terkejut. Aku jadi merasa sedikit bangga dapat merubah mimik datarnya menjadi lebih manusiawi. āMaksudnya bagaimana?!ā
Ia masih bertanya tidak mengerti sementara aku langsung mengambil cara cepat dengan memegang ujung bajunya kuat-kuat.
āKosan Bu Ros Gang swarsa nomor sepuluh, ākan? Ayo masuk!ā
***
Mobil melaju pelan disaat aku mengintip jam pada layar ponselku. Sudah hampir pukul satu malam. Suara AC menderu dan aku membisikan kak Esa agar memberitahu Pak Jumadil untuk mematikan AC-nya karena dingin. Kak Esa seperti sebelum-sebelumnya, ia melaksanakan perintahku dengan baik. Tapi tidak tahu kenapa Jaketnya ia buka dengan sengaja dan itu berakhir di atas bahuku sampai ke bawah perut. Ia berkata, āmaaf agak telat,ā dengan canggung, sebelum memberikan alasan lebih detail mengenai hal itu.
āKarena aku tipe yang kurang peka dan sedikit peduli, jadi kalau butuh apapun langsung saja kasih tahu, jangan pakai sandi morse begitu. Aku bukan anak pramuka.ā
Hening sejenak. Aku dibuat bingung oleh kedua matanya yang mengerjap gugup. Tapi karena kutatap begitu, ia jadi berusaha memberikan pengertian lebih.
āAku ngomong begini karena kepikiran sedingin apa tadi di luar sana. Kalau tahu begitu, ini pasti sudah kupinjamkan dari tadi.ā
Oh, hei. Jujur saja, orang ini kenapa? Selain bingung aku dibuat kehabisan akal untuk menanggapinya. Tapi tenang saja, spontanitasku ini selalu tercurah tanpa batas.
āMaksud kak Esa barusan apa, ya? sudah kayak orang pacaran saja.ā
āHm?ā
Ia pura-pura tidak mendengar dan aku pun mengubahnya menjadi pertanyaan retoris.
āKitaā¦ pacaran nggak, sih?ā
Semua darinya seketika berubah. Jantungnya mungkin terpanah. Tapi ekspresinya tidak. Tapi aku tahu. Matanya secara terang-terangan berkata begitu. Hanya aku yang bisa dengar.
āPacaran?ā ia menautkan alis. Berpikir. āKamu maunya kita pacaran?ā
Aku mengangguk. Entah mengapa jadi sangat setuju.
āKakak mau?ā
Nada dari pertanyaanku seperti menawarkan anak kecil permen. Tapi ia melihatku serius. Aku juga. Binar-binar matanya tetap berkilauan walau di kegelapan. Tak butuh waktu lama untuk mendengarnya berkata, āOke,ā dengan begitu mudah. Ia pun langsung melancarkan modus berupa pujian.
āMeski baru kenal tadi sore, kalau secantik kamu yang nembak duluan, aku bisa apa?ā
Aku hampir saja menyemburkan tawa tapi untungnya ia menahanku dengan menutup mulutku dengan satu tangan lebarnya. Khawatir jika pak Jumadil mengetahui apa yang seharusnya tidak diketahui. Aku melihat matanya dan ia melihat mataku, begitu dekat dan tanpa kendali ia tersenyum lebar. Aku melepaskan tangan besar itu agar bibirku bisa meloloskan pertanyaan, āserius?ā dengan sungguh-sungguh. Ia pun langsung mengangguk.
Gila memang. Satu ungkapan tanpa bahasa itu mampu meledakkan hormon dopamin dalam sel darahku. Kami kemudian kembali ke posisi semula dengan wajah yang sama-sama bersemu merah jambu. Merasakan bagaimana nuansa merah hati kini bertebaran disekeliling kami.
āMau pegangan tangan?ā tanyanya tiba-tiba.
āEhā¦?ā Aku jadi terkejut karena bahkan ia tidak membiarkanku untuk sebentar saja menyadarkan diri kalau ini bukan khayalan. Ia menggeser tubuhnya lebih dekat, menarik jemariku dan menggenggamnya dengan kehangatan yang absolut.
Aku berpikir, ah, jadi ini yang namanya cinta, ya? mengenai rasa yang bergelenyar di dalam dada bersama deburan jantung yang membuat sirkulasi darahku mengalir begitu deras, membuatku percaya pada detik itu juga bahwa cinta memiliki rasa yang begitu fantastis. Nyawaku seolah kembali ke dalam raga dan hal itu telah berhasil menumbuhkan kuncup baru dari seberkas bunga yang sudah lama mati melayu. Dia menyembuhkanku.
āHei,ā sapanya beberapa detik kemudian setelah melihatku melamun.
āHm?ā aku menoleh. Mengangkat alis.
āNama kamu Nomi?ā
āIya.ā aku mengangguk. Menyebutkan nama lengkapku dengan jelas. āNoumi Audestiny Roula.ā
Membuatnya ikut mengangguk, pelan. āNama yang bagus,ā pujinya. Aku jadi tersipu malu.
āKakak juga, namanya bagus.ā
āNamaku Esa, bukan Bagus,ā tukasnya dengan muka serius, tapi lucu. Aku jadi tertawa.
āDan karena kita sudah mulai pacaran, jadi kamu panggil aku Esa saja.ā
āMemang apa hubungannya?ā
āKalau kamu panggil aku kakak, kita dikira kakak-beradik. Lagipula tadi kamu bilang, ākamuā ke aku.ā
Aku mengerutkan alis. āKapan?ā
āTadi. āKamu nggak ikut pulang?ā begitu.ā
Membuatku terdiam. Kak Esa juga, eh, maksudkuā¦ Esa juga. Ia mengusap-usap jemariku dalam tautannya lalu kembali menghadap depan, menyandarkan punggungnya dibadan kursiādimana hal itu memberikanku kesempatan untuk melihat tato ikan yang berada di lehernya. Aku penasaran.
āKenapa harus ikan kerapuh, sih?ā
Ia mengangkat kepala sejenak, memastikan apa yang tengah kulihat sampai harus bertanya begitu sebelum menengadah lagi.
āNggak tahu. Suka aja,ā jawabnya santai seperti berusaha melepas beban makna dari setiap inci dirinya.
āSuka aja?ā
āIya.ā
āJadi, mau pacaran sama aku juga karena, suka aja?ā
āNggak. Kan karena kamu cantik,ā sergahnya. Mencari perlindungan sementara aku mendadak curiga.
āKamu playboy, ya?ā
Ia menarik kepalanya sendiri supaya bisa duduk tegap kembali kemudian membalas tatapanku dengan cara tak biasa. āDulu?ā kemudian dapat kurasakan tangannya bergerak-gerak dalam tautan kami. āDulu mungkin bad boy, tapi sekarang nice boy. Udah mendingan, kok.ā
Aku mendelik. Orang ini benar-benar sesuatu. Baru beberapa menit yang lalu, bukan, maksudku, bahkan baru beberapa detik yang lalu aku dibuat melayang-layang, kini sudah ditusuk panah lagi. Rasa kesal mulai membumbung lebih tinggi. Segera kulepas tangannya untuk bersidekap dengan wajah kaku.
āPergi!ā perintahku. Ia jadi terkejut.
āPergi ke mana?ā tanyanya bingung.
āKe mana saja. Buka pintunya terus lompat saja sana! orang hina seperti kamu nggak pantas hidup di dunia ini.ā
Ia tertawa. Benar-benar tertawa sampai Pak Jumadil kini mengintip kami melewati kaca kemudi. Aku jelas masih memasang pertahanan ketus dengan bibir mengerucut sedangkan Esa tidak tahu bagaimana, masih tergelak tanpa akhir. Bahunya berguncang naik-turun. Ia tertawa seperti orang yang baru pertama kali tertawa. Begitu lepas. Aku berpikir, mungkin selama ini ia tidak pernah punya alasan yang jelas untuk tertawa. Jadi jika ada kesempatan, kelucuan yang sedari dulu ia pendam bisa ikut dikeluarkan, membuatnya lega.
āKenapa?ā tanyaku. Merasakan hal yang tidak wajar telah bertunas subur dalam dirinya. Setelah menghentikan kekehan kecilnya, ia berkata, ālucu,ā kemudian berdengus pelan.
āJustru dunia ini tempatnya untuk orang-orang hina sepertiku, jadi aku nggak berhak mati.ā
Lampu-lampu kuning jalan raya membuat bayangan mobil memanjang disetiap kali dilewati. Esa dengan sepasang netranya memandangku dalam keheningan yang sejatinya tidak pernah ada. Suara hatinya selalu berisik. Isi pikirannya seolah bersitegang. Aku dapat bercermin kepadanya atas diriku sendiri. Ah, seperti ini mungkin diriku terlihat bagi orang lain. Hening yang hancur lebur. Kadang aku berpikir, kehancuran orang yang tidak bersuara bisa terdengar lebih melengking dibandingkan dengan orang yang mengerang kesakitan. Apa yang sebenarnya terjadi?
Tapi belum juga sempat melontarkan pendapat atas pernyataan tadi, mobil sudah menurunkan kecepatannya untuk berbelok ke kiriāmasuk ke dalam gang rumah. Bunyi leting terdengar mirip jarum jam yang berdentang versi raksasa. Kami tiba di Kos.
###
Kau, pernah jatuh cinta?
.
Kapan terakhir kali kau mengumpulkan keberanian untuk menyatakan apa yang kau rasakan kepada orang yang menurutmu tepat?
.
Kapan terakhir kali kau pernah merasa harimu begitu cepat dan kau tidak ingin mengakhirinya begitu saja?
.
Kalau aku, hari ini. Saking cepatnya aku sampai lupa hari ini hari apa. Kak Esa yang tadi sore kutemui, malam ini sudah bukan kak Esa lagi. Nama panggilannya kini hanya Esa. Penyelamat tadi sore itu, malam ini menjelma menjadi kekasih. Ini gila tapi normal, normal tapi gila. Pacaran seolah bukan apa-apa bagi kami. Bisa untuk main-main.
āKita masih tetap pacaran, kan?ā tanyaku masih dipenuhi energi. Setelah berhasil keluar dari mobil dan kami berdua menyaksikan sisa dari asap mobil tersebut tertinggal di sini, aku berusaha menjulurkan daguku yang menempel pada pundaknya untuk menengok wajahnya. Namun ia hanya diam. Nampaknya sudah kehabisan daya sebab kini membopongku dipunggungnya.
āKamu nggak marah, kan?ā tanyaku hati-hati.
Ia berbalik badan, berjalan menuju depan kamarku dengan gerakan tertatih.
āKamarmu di sini?ā
āKok tahu?ā
Ia menurunkanku tanpa banyak bicara. Membawaku duduk di undakan tangga keramik, kemudian bertitah dengan tenang. āSini kunci kamarmu.ā Membuatku lumayan terkejut. āBuat apa?ā
Dia menaikan alis kelihatan malah tidak mengerti. āBuat apa lagi?ā
āMaksudnya?ā
āTidurā¦ memangnya kamu nggak mau tidur?ā
Oke, baiklah, tidakkah kalian sepemikiran denganku?
āTapi, kita baru saja jadian, masa iya sekarang udah main tidur-tiduran?ā
Rasa panik membuat jantungku berdebar kencang sementara seluruh persendian terasa tercabut habis saat ini. Aku memegang lutut dan meringis tertahan. āLagipula kakiku kan masih sakitā¦ā
Ia berkedip dengan tatapan kosong. Tercengang bukan main namun tangannya hanya mengibas surai. Mencoba memahamiku dengan menarik napas dalam-dalam kemudian berjongkok. Ia memegang kepalaku dan aku menegang.
āGadis manis, dengar ya. Kuncimu aku minta supaya bisa bantu kamu masuk ke kamar dan tidur lebih cepat agar tidak berkhayal yang āiya-iya,ā karena sekarang sudah pukul setengah dua pagi. Lagipula main kuda-kudaan dijam segini sehabis gendong kamu ke sana kemari, masuk akal?ā
āNggak.ā
āYa sudah,ā ujarnya mengernyit. Kemudian meminta kunci itu kembali dengan gerakan tangan. Aku masih belum beranjak dari perkataannya barusan karena ada yang terasa janggal. āTapi, kenapa yang āiya-iyaā? maksudnya apa?ā
Ia berdiri. Tak lama mencoba menjawab dengan senalar mungkin. āMaksudku, āHiya! Hiya!ā begitu. Kan main kuda-kudaan,ā katanya yang tidak kusangka dengan peragaan. Aku yang sudah terlanjur mendongak jadi ilfeel setengah mati.
āKamu mesum sekali ternyata.ā Membuatnya menyunggingkan senyuman canggung.
āMangkanya jangan suka memancing.ā
āBukannya kamu yang suka memancing?ā
āSiapa bilang?ā
āTadi di mobil pas jalan ke rumah Pak Rumi.ā
āNggak tahu. Lupa.ā
āMudah sekali hidup jadi orang amnesia ternyata.ā
āSudah, kemarikan kuncimu cepat!ā
āNggak perlu, aku bisa sendiri.ā
āJangan mengada-ngada.ā
āItu lebih baik daripada membuat bencana.ā
āMaksudmu?ā
āSudahlah. Masuk saja duluan kalau memang mengantuk. Aku mau diam dulu di sini.ā
Hening menghantam kepalaku karena tak disangka ia memutuskan masuk ke dalam kamarnya tepat disebelahku begitu saja. Bunyi ayam yang berkokok sudah terdengar dari kejauhan dan aku lagi-lagi menghabiskan malam tanpa terlelap. Masih sangat gelap sekarang dan sebenarnya aku sangat takut. Namun beberapa menit kemudian Esa keluar. Aku terkejut. Ia membawa dua mug besar yang sudah terisi seduhan kopi instan. Sambil menyodorkan itu, tanpa sadar bibirnya dibentuk manyun seperti anak kecil. Ia berkata, āmaaf.ā Dengan sungguh-sungguh.
āMaaf buat apa?ā
āKarena bercanda berlebihan?ā ia memiringkan kepala sedangkan aku tersenyum sambil mengambil kopi tersebut. āNggak, kok,ā ujarku pelan. āAku malah merasa berterima kasih banget sama kamu sampai-sampai bingung harus balasnya bagaimana.ā
Tatapannya seperti orang prihatin sedangkan suhu dingin malam semakin menusuk. Ia duduk di sampingku dan menaruh cangkirnya. Canggung mengusik segelintir niat saat kutahu dia tengah membuka jaket kembali untuk maksud yang sama. Melirik hati-hati sebelum dengan berani membentangkannya di punggungku dan tanpa sengaja menatap mataku yang bergetar.
āAku yang minta maaf, Sa,ā ucapku pelan. Alisnya yang sempurna naik sedikit. Ia jadi tampan sekali kalau diperhatikan lebih lama.
āAjakan jadian tadi jangan dianggap serius, ya. Aku Cuma bercanda.ā
Ia pasti menganggapku aneh. Dulu, ibuku sering mewanti-wantiku untuk tidak bermain-main dengan urusan cinta saat remaja. Sama seperti yang diumpakan Army pada Jimin BTS. Katanya, Jika sekali Jim-in, maka kau tak akan pernah bisa Jim-out. Log-in ke dalam kubangan perasaan di masa labil seperti ini, membuat tombol log out jadi mustahil terlihat. Aku tidak menyalahkan Jimin karena membuat anak remaja atau bahkan para orang tua tergila-gila padanya. Tapi yang kumaksud saat ini adalah bahayanya pertemuan dua insan yang saling menantang bencana kala memulai takdir layaknya bermain game.
Perasaan seperti ini meski kesannya bermain-main, tetapi dampak yang dihasilkan selalu membutuhkan penanganan yang lebih serius. Semua hal yang menyenangkan akan tertinggal. Sekolah, hobi, pekerjaan, bahkan mimpi. Gadis-gadis belia yang sudah terjebak di dalamnya tidak akan pernah bisa memikirkan ini karena sudah kepalang basah mengandung bayi di dalam rahimnya. Pernikahan, tempat tinggal, biaya sekolah anak, tidak pernah ada dalam rencana dini yang ternyata berkelanjutan tanpa akhir yang jelas bahkan sampai menjelang kematian. Kemudian kekerasan KDRT, anak-anak yang putus sekolah atau broken home, adalah salah satu pembuka dalam sederet rangkaian masalah besar yang nantinya akan terus menyambar satu sama lain. Tidak. Aku menggeleng. Jauh sebelum Ibu mewanti-wantiku seperti itu, aku memang tidak pernah berniat untuk melakukannya.
Jadi, sambil mengingatkan diri kembali pada hal tersebut, aku segera memasang tembok penghalang untuk melindungi diri sendiri. Takut terjerembab ke dalam permainan nafsu bersama pria dihadapanku ini.
āKamu takut?ā tanyanya spontan. Aku terkejut. Itu terdengar seperti tengah memastikan atas apa yang baru saja bergelung dalam benak. Aku bergeming, mendadak bergidik ngeri kalau benar seandainya ia bisa membaca pikiran orang lain.
āAkuāā
āTakut kalau melewati batas?ā
Tepat sekali, astaga. Dia cenayang, ya?
Aku menatap syok sedangkan ia malah terkekeh bebas. Menarik kedua lengannya cepat untuk merangkul kedua lututnya sendiri.
āKamu tahu, kalau seandainya aku benar seperti apa yang kamu pikirkan sekarang, seharusnya tadi kamu berakhir di depan gang rumah pak Rumi. Di sana sudah tempatnya gelap, sepi, ada kuburannya lagi. Jadi, kalau ada tindak asusila atau pelecehan seksual yang aku lakukan kepadamu, mayatmu bisa langsung kukubur di sana. Siapa yang curigai mayat bekas pembunuhan jika letaknya di pemakaman?ā
Aku seketika merinding hebat. Rasanya seolah berayun di Nevis swing. Mudah sekali dia bilang begitu?
Rasa ngeri dibawah perut naik bagai pengukur tensi. Esa terkekeh lagi, persis seperti badut psikopat. Aku jadi menyerah terhadap pikiranku sekarang yang mendapati keadaan kos yang sepi juga kondisi yang suram.
Remang-remang lampu kuning, suara tengkerek yang bersahut-sahutan, long-longan anjing dari kejauhan. Aku benar-benar sial jika seandainya ia menyadari kondisi ini untuk melakukan apa yang ia katakan tadi. Dan benar saja, tiba-tiba suasananya berubah mencekam kala ia terdiam. Benar-benar hening yang langsung membuat tubuhku lemas seperti tanpa tulang. Dia menatapku dengan mata merahnya setelah memperhatikan kakiku yang lumpuh. Ini bahaya.
āEsaā¦ā
Perlahan ia menatapku lekat-lekat sambil menggeser tubuhnya mendekat. Kilatan dimatanya berkabut membuat upayaku tidak lagi berdaya. Raga secepatnya mati rasa dan isi hati ini penuh dengan tinta penyesalan. Aku memejamkan mata kuat-kuat dan mulai berdoa kepada Tuhan atas segala nasibku.
Napasnya berhembus cepat. Tiba-tiba aku mengingat papa dan mama atas janjiku untuk membuat mereka bahagia. Aku meminta maaf karena selama ini tidak pernah bersyukur. Aku meminta maaf karena menghabiskan hidup sebagai orang payah yang tidak tahu caranya menggapai mimpi. Aku meminta maaf kepada seribu bintang disetiap malam yang selalu menerangi langit ketika aku kehilangan asa, dan kukatakan maaf yang sebesar-besarnya kepada diriku sendiri karena tidak bisa mencintainya sepenuh hati.
Tak lama kurasakan detak jantungku berhenti berdetak.
Sepertinya aku sudah mati.
āNoumiā¦?ā
Hening. Kurasakan tangan dinginnya menyentuh pipiku yang tertutup surai. Kedua tanganku bertaut erat dibawah namun sentuhannya terasa khawatir.
āHeiā¦ kenapa?ā
Kudapati wajahnya kembali seperti bentuk semula. Ia menatapku, heran. Mencoba tersenyum untuk membalikkan suasana sebelum beberapa detik kemudian jantungku terasa berpacu kencang secara mengejutkan, membuat tangis pun menjadi pecah tak terkendali.
āHei-hei-heiā¦! Kenapa menangis?ā
Ia memegang pucuk kepalaku, terlihat bingung dan bersalah. Karena tak tahu harus berbuat apa, ia membawaku kedalam dekapannya sedangkan aku semakin menangis kencang, terisak dengan dada yang sesak. Ia mengusap-usap punggungku gusar, seperti menyembuhkan tangan anak kecil yang terjepit pintu dengan cara ditiup, Esa juga berusaha menenangkan dengan terus-menerus mengusap punggung dan suraiku sambil mengeratkan pelukannya.
āAku minta maaf, Noumi. Aku nggak bermaksud apa-apa.ā
***
Sekarang kondisi sudah aman. Desiran napas dan darah bekerja kembali dengan baik. aku menoleh ke samping. Esa terlihat menguap disebrang, mengambil jarak 2 meter untuk duduk berjauhan. Sesekali aku menghirup kembali cairan yang nyaris menetes dari lubang hidung, merasakan mataku bengkak karena menangis terlalu kencang tadi. Esa melamun, kemudian berdeham.
āAku nggak nyangka kamu bakal sehisteris itu.ā
Aku tertawa pelan. Mengingat caranya terkejut tadi kalau dipikir-pikir sukses membuat lega dalam sekejap.
āMaafā¦ aku orangnya overthinking. Dan sudah sering kali juga Overhang.ā
Ia seperti baru tahu istilah itu sampai rela menghadap ke arahku.
āPernah pingsan juga, nggak?ā
āNggak. Cuma nangis histeris, kayak tadi.ā
Ia mengangguk pelan. Aku mengernyit.
āKenapa?ā
āNggak ada.ā
Esa membasahi bibir bawahnya sejenak, kemudian menguap lagi.
āOkelah. Aku mau tidur dulu. Sampai ketemu besok.ā
āEhāā
Baru saja ia akan beranjak, namun kutahan.
āKenapa?ā tanyanya lagi dengan bibir yang terjatuh.
āAku benar-benar minta maaf soal tadiā¦ dan, sekarang?ā Aku mengeluarkan kunci kamar dan menunjukkannya dengan raut memohon meski kutahu ia sudah kelihatan lelah setengah mati, tapi sudah tidak ada pilihan lagi, jadi mau tidak mau Esa mendekat untuk mengambil kunci ditanganku untuk membuka pintunya.
āAku yang seharusnya minta maaf sudah bikin kamu nangis,ā ungkapnya dengan nada pelan yang terdengar mengantuk. Aku hanya mengangguk. Berusaha memaafkannya dengan tulus. Ia berbalik, melihatku bagai ikan duyung.
āSudah. Sekarang mau kugendong?ā
Aku mendongak sebelum merasakan tubuhku dalam hitungan detik langsung terangkat dengan mudah. Mungkin sebagian orang tidak tahu menahu mengenai cara memperlakukan orang lain atau cara merawat orang sakit. Namun dari Esa aku mengerti bahwa menggendong orang yang cedera itu punya cara tersendiri. Aku bisa merasakan profesionalisme hidup. Dibarengi afeksi pula.
āBiar pintumu kututup sekalipun tapi kalau kamu sendiri nggak bisa kunci, bagaimana? Mau kukunci dari luar? Oh, atau kukunci dari dalam tapi aku keluar lewat jendela, gimana?ā
Aku baru saja hendak menanyakan perihal mengunciku dari luar tapi Esa dengan cepat mengalihkan fokus seseorang kepada solusi setelahnya. Dia benar-benar cepat. Tidak kusangka.
āNggak perlu dikunci. Biarkan saja.ā
āKenapa?ā
āAku sudah biasa. Soalnya dirumahku dulu biasa nggak kunci pintu kalau malam.ā
Ia mengerutkan kening saat mencoba mengatur letak kedua kakiku di atas kasur lalu menaikan selimut sampai ke leher. Menyempatkan diri untuk bertanya, ākenapa?ā lagi-lagi, membuat alisku mengendik.
āNggak tahu.ā
Ia lalu menjadi penasaran.
āKalau masuk maling, bagaimana?ā
āBuktinya kan nggak pernah ada.ā
āJadi tunggu kejadian dulu baru kunci pintu?ā
Benar juga. Tanpa bantahan otakku seperti terhenyak ditembak teori sederhana begitu.
āKukunci saja, sudah! Jangan banyak alasan!ā tukasnya sambil mengenakan jaket kembali.
Hening masih merajai ruang. Meracuni pikiran dan hati yang kadar sensitifitasnya tinggi. Barusan itu adalah nada yang terbilang kasar. Padahal itu menjadi alasan yang kuat bagiku untuk pergi dari rumah setelah alasan pertamaku; mengejar mimpi.
Aku mendadak ingat perkataan ayah yang selalu menyepelekan apapun yang kukerjakan dan menentang dengan berkata, āsudah!ā yang berarti hal itu harus segera disudahi, membuatku harus bersusah payah mengubur ambisi dan membatasi kebebasanku.
Sederhananya aku adalah manusia yang paling tidak mengizinkan diriku sendiri untuk bahagia. Kecerobohan adalah malapetaka sedangkan standar kesempurnaan tak kunjung terlihat dari ujung langit. Haruskah aku menjadi orang yang lebih baik atau lebih baik tidak melakukan apapun agar tidak terluka? Aku tidak punya harapan jadi aku hanya membuat mimpiku dengan khayalan. Tapi belakangan khayalan meninggalkanku tanpa ancang-ancang sehingga aku terluka diserang kenyataan.
āHei.ā
Esa menegurku karena terlihat melamun. Ia sendiri sekarang sedang berdiri canggung setelah mengunci pintu di sana. Mungkin ia merasakan keanehan atau sesuatu yang tidak biasa, aku tak mengerti. Tapi berbalik memandangku, ia berdeham.
āHm, pintunya sudah kukunci. Aku mau balik dulu. Tidur yang nyenyak.ā
Aku mengangguk. Mengambil jeda beberapa mili detik untuk mengucapkan balasan serupa. āIya. Kamu juga. Dan makasih banyak atas semuanya.ā
Dan kukira akan berakhir, tapi tak tahunya ia menggeleng. Aku terpegun.
āJangan berterima kasih terlalu sering, itu buat orang lain nggak nyaman,ā tukasnya sambil menggaruk tengkuk dan menyentuh hidungnya beberapa kali seperti terkena pilek.
āKenapa?ā
āKarena kupikir, memberikan sesuatu mungkin lebih pas dikatakan sebagai rasa berterima kasih.ā
Aku tertohok lagi. Nyaris lupa kalau etika manusia memang seperti itu. Sudah lama hidup dalam angan-angan, jadi membuat realitaku sulit untuk menyinkronkan diri. Mengedipkan kedua mata. Sejenak, aku memberinya penawaran.
āKamu mau dimasakin apa besok pagi? aku lumayan jago masak lho, selain air.ā
Ia tertawa pelan. Mengendikkan bahunya seperti membiarkan apa yang diinginkan lawan.
āApa saja. Aku makan apapun, kok, kecuali ikan.ā
Kemudian ia melompat keluar jendela nyaris tanpa suara. Aku jadi terkagum dan paham mengenai kewaspadaannya tentang maling. Tapi, apa katanya tadi? Dia tidak makan ikanā¦? Kenapa?
Kurasakan panas menyengat tubuh. Terbakar dari ujung kaki hingga ke kepala lalu menyentak tubuhku seketika. Aku terbangun. Melotot. Mendapati diri tengah terduduk dengan kedua kaki terselonjor. Tegang. Bingung. Namun menghela napas dalam-dalam, kemudian mencoba tenang, aku berpikir bahwa mimpi buruk seharusnya bukan perkara lagi untuk dipusingkan. Aku hanya harus terbiasa. Kedua kaki menapak hati-hati di lantai dan berjalan ke jendela. Kusingkap tirai gorden dengan berani dan ternyata mentari sudah terang benderang. Pancaran sinarnya menyororti tempat tidurku dan debu-debu halus terlihat mengudara. Jam di dinding menunjukkan pukul sebelas sementara suhu badan terasa masih malam. Aku menunduk. Menyibak surai. Melihat kedua kaki yang jari-jemarinya sudah tidak bengkak lagi membuatku sadar kala mengangkat ibu jari di sana untuk menghentak-hentakannya pelan seperti ketukan lagu. Sudah sembuh, ya? Pertama-tama, yang akan dikatak
Tak terasa senja mulai larut, lembayung melingkari angkasa sebelum perlahan awan tak lagi terlihat. Langit merah seperti menyemburkan tinta hitam yang lama-kelamaan mengubahnya menjadi malam, lalu bintik-bintik kristal pun muncul berkilauan. Saat aku membantu Ajeng yang terakhir naik ke atas motor Esa dalam sesi mengantar pulang pun, menjadi perpisahanku hari ini. Suara tawa mereka yang begitu renyah bagai keripik singkong sampai cara menangis yang tidak biasa, meninggalkan bekas disudut-sudut ruangan. Rico yang tadinya tidak mau berbicara dengan Esa karena kejadian rusuh tadi, secepat itu luluh saat dijanjikan es-krim di Indomart nanti ketika perjalanan pulang. Esa hanya menggaet
Kata nenekku, hujan yang begini namanya hujan awet. Sesekali lebat saat curahnya sedang tinggi. Terus menerus turun secara konstan. Aku dan Esa masih bingung caranya pulang meski jarak dari sini ke rumah kami tak lebih dari 100 meter. Warung lalapan tadi terpaksa tutup dan tanpa sengaja mengusir kami pergi, dan kami sekarang berada di pinggir ruko tepat di belakang tenda tersebut. Melihat kanan-kiri yang sudah sepi. Hanya sedikit kendaraan yang berlalu-lalang. āPulang, yuk!ā Ajak Esa tiba-tiba. Aku terdiam, lalu mendongak menatap langit. Ini bukan perihal mau pulang atau tidak, tapi aku bisa menggigil seperti orang malaria dan keesokan paginya akan jatuh sakit kalau sudah terkena hujan. Jiwaku ini suka menantang, tapi fisikku sendiri lemah. Selalu tak selaras. āDari perkiraan cuaca, tiga jam kedepan masih hujan.ā Ia memeriksa ramalan cuaca pada ponselnya lalu mendengus pelan. āMasih mau diam di sini tiga jam lagi? kamu nggak ngantuk?ā D
Bu Ros message. 15 jan 18:55. ā[Uang kos bulan kemarin belum dibayar. Tolong segera dilunasi. Trms.] 22 jan 20:23. ā[Batas pembayaran terakhir sampai akhir bulan. Tolong segera dilunasi.] 25 jan 15:30. ā[Tolong segera!] Aku terduduk, memantukkan kepala di atas meja belajar. Melempar ponselku hingga membentur tembok dan menutup laptop yang masih menyala dengan cukup kesal. Jarum jam di dinding lagi-lagi berdetak, saling beradu dengan detak jantung juga cenat-cenut dikepala. Aku mengintip ke luar jendela dimana cahaya emas senja sudah mulai memanjang pada tembok, dan ini sudah hampir akhir bulan. Nyawaku tinggal sedikit. Kini, pertanyaan-pertanyaan yang sudah lama kupendam dalam benak pun menyuarakan diri. āSebenarnya, untuk apa sih, kamu hidup?ā Bukan untuk yang pertama kali, ini sudah sering kali merundungku sampai-sampai berhasil membuat mata ini tidak bisa terpejam setiap
Kemarin mendung. Hari ini pun mendung. Sudah tiga hari ini mendung. Kabar awan disetiap pagi adalah mendung. Hujan menangis tidak seperti biasanya. Aku jadi menggigil dan mual. Angin di luar masuk melalui celah jendela yang minta ditutup dengan hati-hati sebelum kemudian aku duduk menepi di kasur untuk menutupi tubuh Meli yang tengah tertidur dengan selimut. Ia mendengkur pulas setelah tadi sempat berkelahi dengan adiknya saat mereka bertemu di dapur. Meli melayangkan kata-kata kasar dan menyayangkan kepergian sang ayah yang seharusnya bisa digantikan oleh adiknya itu. Baru kali ini kulihat ia berteriak marah dan mengaum bagai singa kelaparan, sebelum akhirnya jatuh terlarut dalam mimpi-mimpi indah yang katanya tidak pernah ia dapatkan selama ayahnya masih hidup. Imsomnianya mendadak berhenti total. Bahkan dipagi hari pun sanggup ia habiskan untuk tertidur. Aku jadi bingung harus bersikap bagaimana. Diluar kamar, para tetangga selalu meramaikan rumahny
Tepat sesaat setelah menutup pintu rumah Bu Ros, dalam lingkaran tempat kos sepuluh meter dari tempatku berpijak, aku melihat Esa yang entah sejak kapan sudah berdiri di depan kamarnya sambil menatapku dari kejauhan. Ia tidak tersenyum, tidak juga cemberut. Ia hanya diam seperti tengah menunggu. Siapa yang ia tunggu? Aku? Tatapannya jelas hanya tertuju padaku. Oh, apa karena rumor tentang hamil itu? Aku disangka ada āmainā dengannya dan berusaha menyembunyikan perut ini sehingga tidak kembali selama tiga hari. Padahal aku tengah berduka atas kepergian ayahnya Meli yang begitu mendadak. Kondisi Meli pun saat ini masih belum baik-baik saja. Malah aku berniat untuk rutin menginap di rumahnya agar ia tidak kesepian. Dan, hah! Baru tiga hari, loh! Tiga hari! kabar hamil pun sudah ditelan bulat-bulat bagai tahu bulat di masyarakat. Macam artis beken saja aku. āHai,ā sapanya dengan muka polos. Aku langsung membungkuk seperti di drama-drama Korea untuk menun
āBeberapa hari yang lalu aku bertemu Rici.ā āRichie?ā āHm. Dia ada di cafĆ© master pedas. Jadi kasir,ā kataku sambil membantu Ajeng membuat pesawat dan burung-burungan dari kertas origami. Esa sedang mengerjakan sesuatu di garasi, sementara aku menemani anak-anak melukis di atas kertas layang. (Project Ajeng yang minggu lalu sempat dimulai bersamaku.) āKamu say hai?ā Esa melirikku sejenak yang duduk di ambang pintu. Sedangkan ia tengah sibuk membelah batang bambu menjadi tipis-tipis untuk dipakai membuat layang-layang di garasi. āIya lah. Dia kan teman dekatmu.ā āKata siapa?ā āKatanya.ā Ia mendengus lirih. Menanggapiku sekenanya. āTemanmu itu sebenarnya kerja apa, sih?ā āKan katamu tadi kasir.ā āBukanā¦ aduh, salahku. Maksudku, dia itu sebenarnya siapa? Katanya kemarin ia pemilik cafĆ© larasa di dekat pom bensin itu, terus sekarang tempat makan. Dia pengusaha?ā āMana ku
āNom.ā āHm?ā Entah sejak kapan Esa sudah berpeluh keringat. Ia memintaku membukakan pengait gendongan di punggungnya. āKamu tolong jagain anak-anak sebentar, ya. Aku mau beli minum,ā ucapnya sambil menyodorkan Nana padaku. Aku gerogi. Takut ia menangis. āNggak perlu,ā sergahku cepat saat Esa akan memasangkan gendongan itu kepadaku. Aku tahu Nana pasti bakal jenuh kalau sampai kepanasan karena tidak nyaman mendekap dalam pelukan orang asing sepertiku. Bisa kupastikan ia hanya akan menangis sepanjang waktu untuk menunggu Esa kembali. Aku tidak mau stress sendiri. āDia bisa bermain-main sendiri nanti. Aku akan awasi.ā Esa terdiam sejenak karena mendengar alasanku. Tak lama ia mengangguk pelan, ragu-ragu. āKarena kamu sendiri yang pilih aku buat jadi guru mereka, kamu pasti percaya juga dong kalau aku bisa jagain mereka,ā ujarku dengan nada mendikte. Esa pun langsung mengangguk panjang. Bertatapan sebentar dengan Nana y
Esa mengepak pakaian seadanya. Ia memasukan baju dan celana panjangnya secara serampangan ke dalam koper. Aku yang bersandar pada kusein pintu, yang sudah siap pergi dengan berpakaian rapi dan cantik, langsung tergerak untuk mendekat, membantunya mengeluarkan baju-baju itu kembali untuk dilipat. Ia menunggu dengan sabar di sampingku sementara aku berusaha tersenyum sambil mengusap pipinya. *** Hari H menuju kematian. Bandara Nusawiru, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Pukul 08.30, Esa memasangkan goggles padaku setelah dirinya selesai memakai jumpsuit. Perlengkapan untuk olahraga berbahaya ini sudah disiapkan oleh tim manajemen NSW Paracenter, namun entah mengapa ia lebih memilih untuk membeli semuanya sendiri. Dan itu tidak murah. āKenapa nggak sewa aja, sih? Kan kita pakainya sekali.ā Esa mengancingkan helmnya dengan erat. Lalu menghela napas sambil menaruh tangan di pinggang. āAku sih, sekali. Tapi apa iya kamu hanya sekali?ā āMaksudmu aku a
Pagi hari pukul 08.30 wita. Seperti biasa, aku melingkari angka dikalender. Tak terasa 6 bulan berlari begitu cepat secepat citah. Kuharap setelah melewati hari-hari penuh pemikiran yang dalam ini, Esa bisa mengubah keputusannya.Sejak hari terakhir kami di Gili Trawangan, pemuda berinisial E itu banyak melamun. Ia tidak lagi mengkonsumsi kafein secara berlebih. Tidak lagi menyisihkan sayur di piring makannya. Ia bahkan tidak pernah mengatakan kata-kata perpisahan selama kami menghabiskan seluruh sisa rencana kami hingga tanpa tahu, 6 bulan telah berlalu begitu saja. Apakah keputusannya sudah benar-benar berubah? Aku tak berani bertanya karena takut ia jadi terkecoh. Namun sebagai gantinya, aku berusaha ada disetiap kali ia butuhkan.Aku mendengarkannya bercerita, ikut memancing, berbicara padanya, bermain game di warnet, mencium pipinya ketika ia minta, membaca buku yang tidak begitu kusuka, mendengarkan musik Rock n roll kesukaan dia, menonton Netflix, bergandengan tangan di malam h
Berjalan-jalan sambil bergandengan tangan sepertinya bagian favorite Esa juga. Sebagian waktu kami dihabiskan untuk berjalan kaki sambil bergandengan tangan. Saat duduk makan, kami bergandengan tangan. Menari dan menikmati suasana pesta malam, bergandengan tangan. Berdansa, bergandengan tangan. Mengobrol dan bercerita sambil bergandengan tangan. Bahkan saat mau tidur setelah memesan dua kamar di satu hotel, Esa menawariku satu kasur berdua supaya bisa berpegangan tangan.Aku tahu dia punya rencana untuk memenggal waktunya sebentar lagi, namun tak lantas membuat kami harus tidur bersamaāmenghalalkan segala cara.āKalau kamu mau fight untuk hidupmu dalam waktu yang lama ā¦. pasti aku akan tidur sambil pegangan tangan setiap waktu sama kamu. Menghabiskan hari tua bersama. Jangan khawatir.āIa tentu mengerti maksudku dengan terdiam kaku di atas kedua kakinya. Menatap penuh kehampaan di depan pintu kamarnya sendiri. āAku ngerti, kok. Mengambil keputusan sampai di detik ini pasti nggak mud
Kami terdiam di mobil. Mengisi energi setelah mengobrol panjang dengan keluarga Pak Imron seharian. Esa tadi sempat meminta bantuan kepada Pak Imron untuk menghubunginya jika ada yang membutuhkan perabotan rumah tangga. Dan keesokan harinya rumah Esa tak henti-hentinya didatangi mobil pick up untuk mengangkut barang. Rumahnya menjadi kosong. Kami bahkan duduk termenung di tengah-tengah ruangan beralaskan lantai marmer tersebut. Merasakan sepi yang merasuki ulu hati. āKamu nggak menyesal, kan?ā tanyaku. Takut kalau-kalau ini tak sesuai ekspetasinya. Namun hebatnya ia mencebik sambil menggeleng. Meletakan kertas wish list di sampingnya dengan tenang. āAku nggak pernah menyesali segala keputusanku, Nom. Ini udah seperti yang aku bayangkan, kok.ā *** Wush~ āAyo kejar aku!ā kataku mengejeknya ketika mengkayuh pedal sepeda lebih cepat di sore hari. Pada naik-naikan jalan, pemuda itu ternyata sudah ngos-ngosan. Tak disangka ia lebih payah dariku yang bertubuh gempal begini. Aku menghen
āBapak ada siapa aja nih, di rumah?ā tanya Esa sesudah mencium tangannya. Aku secara otomatis juga melakukan hal tersebut sambil senyam-senyum canggung.āIstri sama anak saya, si Soleh.ā Pak Imron langsung membalik muka seratus delapan puluh derajat. Mengumpulkan semua energi di dalam mulut sebelum menyemburkannya keras-keras ke dalam rumah.āBUK! ADA TAMU INI, BUK! LEH! KELUAR LEH!ā Teriaknya semangat. Kemudian berbalik lagi. āAyo! Ayo! mari masuk dulu.āSoleh sang anak tiba-tiba keluar dengan tergupuh-gupuh. Sontak Esa langsung mengajaknya untuk mengambil TV di mobil.āNah, ini! Ayo bro, bantu aku ambil TV kamu di mobil. Siapa lagi temannya?āāSendiri.āāOke, deh. Ayo kita letās go!āSi Soleh meski dengan alis yang terangkat riang, tak bisa memungkiri kebingungannya setengah mati. Ia tanpa mengerti kondisi langsung saja mengiyakan permintaan Esa yang sok akrab merangkulnyaāmengajak keluar secara paksa. Cara menyapa laki-laki ini memang agak bar-bar. Maklumi saja. Aku terdiam bingu
āTapi ā¦. tapiāāāUdahlah sayang. Nggak usah terlalu dipikirin. Nih, kukasih tahu cara kerjanya.āEsa membuka laptopnya di atas meja bar dekat kolam. Aku ikut duduk di sampingnya sambil membawa rasa penasaran yang cukup besar dalam genggaman. Ia membuka laman facebook di website dan mengklik market place.āKarena yang kita mau jangkau orang-orang disekitaran Lombok aja, jadi kita pakai ini,ā katanya. Jari-jarinya begitu cepat mengoperasikan benda tersebut. āUpload di sini gambarnya,ā jelasnya. āPilih kategori barangnya, terus barang dalam kondisi bagus-bekas klik centang, terus tentukan harganya centang, dan isi deskripsinya, deh.āāKamu kan mau memberi, bukan menjual.āāIya mangkanya tinggal diisi deskripsinya sayang.ā Aku mengangguk. Menatap dengan kagum saat ia mulai mengetikan deskripsinya.Tidak dijual. Barang bekas mau pindahan. Khusus bagi orang yang membutuhkan. Kalau deal bisa langsung angkut ke rumah. Alamat:blablabla. Tidak pakai perantara. Siapa cepat dia dapat.Dan begitu
āDi sini ada yang suka baca?ā Tidak ada yang menjawab. Mereka semua meski tertib di suruh duduk rapi dan punya semangat untuk selalu berteriak-teriak heboh setiap saat, namun dalam hal respon tanggap mereka lumayan lambat. āAda yang mau jadi penulis?ā tanyaku lagi. Kali ini ada satu anak berkepala plotos yang mengacungkan telunjuknya. Aku menjadi antusias. āSiapa namanya, sayang?ā āAli.ā āOh, Ali,ā sahutku pelan. Namun Esa menyahut jenaka. āKepanjangannya siapa Ali? Alibaba?ā Sontak membuat anak-anak tertawa. Aku mencoleknya dengan siku sambil memastikan kondisi wajah Ali. āAli. Hm, aku mau tanya dong. Kenapa kamu mau jadi penulis?ā Tidak dijawab. Mungkin anak laki-laki dengan muka polos sepolos kepalanya tersebut belum mengetahui alasan mengapa ia ingin menjadi penulis. āTapi Ali tahu, kan, penulis itu apa?ā Ia mengangguk. āKira-kira, penulis itu apa, sih?ā pancingku lagi agar ia mau berusaha berpikir. āYang nulis cerita?ā tanyanya memastikan. Aku langsung menepuk tangan se
Ia tidak lantas menjawab karena teralihkan pada alisku yang bergerak-gerak aneh. āKamu baca whatssapp-ku, ya?ā tanyanya curiga. Yang tak disangka-sangka tahu padahal sudah kupastikan tadi dia sama sekali tidak menoleh. Hal itu sungguh membuatku tak bisa berkilah. āHm, anu, akuāā āLain kali jangan kayak gitu, ya.ā Membuat lidahku menggantung di langit-langit. Mengira ia bakal marah besar, ternyata hanya sebatas peringatan. āOke!ā seruku kemudian. Berusaha memperbaiki suasana. āTapi, untuk beberapa hari ke depan ā¦. kamu bakal membahas hal ini, kan?ā Esa menghirup cairan di hidungnya keras-keras setelah berpikir keras, sekeras menyedot cairan itu. āNggak dulu,ā katanya. Menelisik visi yang seolah sedang tergambar jelas di depan hidungnya. āAku hanya ingin hidup 6 bulan lagi. Di waktu 2 bulan terakhir ā¦. mungkin aku bakal bahas itu.ā *** Aku mengamati kalender tahun 2020 yang menempel di badan pintu kamar kosan. Di zaman serba cepat saat itu, bisa-bisanya seorang Noumi Roula meng
Esa mengeluarkan semua uneg-unegnya sebelum berakhir mengurung diri di kamar. Ia tidak bisa mengunci pintunya karena aku yang pegang. Lantas, setelah lama memberinya waktu menyendiri, aku pun akhirnya pelan-pelan mengarahkan kenop pintu ke bawah untuk melangkahkan kaki masuk ke dalam. Ia sedang duduk memunggungi pintu di ujung kasur. Menunduk terseguk-seguk. āHei,ā kataku menghampirinya. Mengulurkan tangan kanan dengan legowo. āAku minta maaf, ya.ā Seperti anak kecil yang tidak sengaja membuat temannya menangis. Ia mengusap mukanya sendiri sebelum dengan berat hati mengangkat dagu. Dari sudut pandangku, ia tidak pernah malu memperlihatkan air mata dan muka jeleknya saat menangis. āā¦.ā Aku masih mengulurkan tangan. Mengangkat alis untuk mengajaknya berbaikan. Namun ia tak berminat diajak salaman. Bokongnya malah bergeser untuk meraih obat di atas laci yang membuatku jadi menemukan luka dibalik kerah lengannya. āItu kenapa?ā tanyaku. Ia secara spontan menarik kerah itu lalu menepis