Tepat sesaat setelah menutup pintu rumah Bu Ros, dalam lingkaran tempat kos sepuluh meter dari tempatku berpijak, aku melihat Esa yang entah sejak kapan sudah berdiri di depan kamarnya sambil menatapku dari kejauhan. Ia tidak tersenyum, tidak juga cemberut. Ia hanya diam seperti tengah menunggu. Siapa yang ia tunggu? Aku? Tatapannya jelas hanya tertuju padaku. Oh, apa karena rumor tentang hamil itu? Aku disangka ada āmainā dengannya dan berusaha menyembunyikan perut ini sehingga tidak kembali selama tiga hari. Padahal aku tengah berduka atas kepergian ayahnya Meli yang begitu mendadak.
Kondisi Meli pun saat ini masih belum baik-baik saja. Malah aku berniat untuk rutin menginap di rumahnya agar ia tidak kesepian. Dan, hah! Baru tiga hari, loh! Tiga hari! kabar hamil pun sudah ditelan bulat-bulat bagai tahu bulat di masyarakat. Macam artis beken saja aku.
āHai,ā sapanya dengan muka polos.
Aku langsung membungkuk seperti di drama-drama Korea untuk menun
Sudah sampai sini aja gaes.. alhamdulillah... doakan aku semangat terus buat ngetik per chapter nya ya! oh iya, jangan lupa di vote dan coment juga ya,thank u so much :*
āBeberapa hari yang lalu aku bertemu Rici.ā āRichie?ā āHm. Dia ada di cafĆ© master pedas. Jadi kasir,ā kataku sambil membantu Ajeng membuat pesawat dan burung-burungan dari kertas origami. Esa sedang mengerjakan sesuatu di garasi, sementara aku menemani anak-anak melukis di atas kertas layang. (Project Ajeng yang minggu lalu sempat dimulai bersamaku.) āKamu say hai?ā Esa melirikku sejenak yang duduk di ambang pintu. Sedangkan ia tengah sibuk membelah batang bambu menjadi tipis-tipis untuk dipakai membuat layang-layang di garasi. āIya lah. Dia kan teman dekatmu.ā āKata siapa?ā āKatanya.ā Ia mendengus lirih. Menanggapiku sekenanya. āTemanmu itu sebenarnya kerja apa, sih?ā āKan katamu tadi kasir.ā āBukanā¦ aduh, salahku. Maksudku, dia itu sebenarnya siapa? Katanya kemarin ia pemilik cafĆ© larasa di dekat pom bensin itu, terus sekarang tempat makan. Dia pengusaha?ā āMana ku
āNom.ā āHm?ā Entah sejak kapan Esa sudah berpeluh keringat. Ia memintaku membukakan pengait gendongan di punggungnya. āKamu tolong jagain anak-anak sebentar, ya. Aku mau beli minum,ā ucapnya sambil menyodorkan Nana padaku. Aku gerogi. Takut ia menangis. āNggak perlu,ā sergahku cepat saat Esa akan memasangkan gendongan itu kepadaku. Aku tahu Nana pasti bakal jenuh kalau sampai kepanasan karena tidak nyaman mendekap dalam pelukan orang asing sepertiku. Bisa kupastikan ia hanya akan menangis sepanjang waktu untuk menunggu Esa kembali. Aku tidak mau stress sendiri. āDia bisa bermain-main sendiri nanti. Aku akan awasi.ā Esa terdiam sejenak karena mendengar alasanku. Tak lama ia mengangguk pelan, ragu-ragu. āKarena kamu sendiri yang pilih aku buat jadi guru mereka, kamu pasti percaya juga dong kalau aku bisa jagain mereka,ā ujarku dengan nada mendikte. Esa pun langsung mengangguk panjang. Bertatapan sebentar dengan Nana y
āYatim piatu?ā Esa mengangguk. Membukakan aku botol air yang berisi cairan penambah ion. Aku masih menopang kepala anak-anak di pahaku sembari memperhatikan Ajeng yang masih tertidur pulas dengan seksama. Pipinya kuelus-elus. Ia menghadap ke perutku seolah untuk mencari kehangatan. āIbunya meninggal karena penyakit kanker payudara. Kemudian sebulan setelahnya ayahnya meninggal karena kecelakaan tunggal tengah malam. Diduga karena sedang mabuk, tapi ibunya bilang anaknya nggak pernah mabuk-mabukan.ā āAjeng punya nenek?ā āIya. Nenek dan kakek yang masih segar bugar. Mereka bahkan menjual berkilo-kilo semangka di pasar. Kalau dilihat sekilas, mungkin nggak ada yang tahu kalau Ajeng itu cucu mereka karena terlihat seperti orang tua dan anak pada umumnya.ā āOh, ya? Kamu pernah bertemu mereka?ā āSetiap hari,ā katanya menselonjorkan kaki. Kemudian ia menyentuh pipi gembil Rico. āBapaknya anak ini, memintaku untuk mencarikan distributor buah-b
Aku yakin mungkin ada sedikitnya kebohongan yang ia katakan tadi sebab aku tak percaya. Jangan mudah dibohongi begitu Noumi. Jangan mudah berempati hanya karena ia mampu menggendong empat orang bocah dalam satu pelukan. Ia orang aneh, tapi tidak dapat dipungkiri aku terkagum juga saat melihat pundak lebarnya berjalan di depanku dengan dua anak menopang kepala di pundak sementara yang dua lagi di dadanya. Anak-anak punya firasat yang kuat jika berada dalam tangan penjahat. Bisa jadi Esa memang bukan orang jahat. āNoumi,ā panggilnya saat berdiri di depan mobil yang tadi kupesan lewat grab. Ia berusaha menengok dengan kuwalahan sementara aku bergegas membuka pintu mobil. āKamu masuk dulu,ā katanya supaya bisa mengoper anak-anak kepangkuanku lagi. Nana sendiri dipelukanku sudah terbangun dari tidurnya dan mulai merasakan senja yang terlarut dalam gelap. Suhu AC mobil menyadarkannya. āHai, sayang,ā sapaku sambil mengusap kepalanya dengan lembut kemudian m
āEsaā¦!ā panggilku keras dalam nada berbisik. Ia menoleh gagap. āApa?ā āKamu mau taruh anak-anak di mana?ā āDi kamarku.ā āKamu nggak antar mereka pulang dulu? Nanti dicari orang tuanya, gimana?ā Esa mengapit kedua belah bibir sambil memejamkan matanya kuat-kuat. Menyuruhku diam sebentar sembari mengikutinya masuk ke dalam kamar. Aku pun terkejut setelah melihat ke-empat bocah tersebut dibaringkan berjajar di atas lantai yang dingin seperti ikan pindang setelah itu Esa mengambil Nana dariku untuk dibaringkan di tempat yang sama. āHei, kamu mau biarkan mereka semua tidur tanpa alas begini?ā Esa melongo. Gusar melanda mentalnya. āAku tidak punya kasur. Kamu nggak keberatan kalau mereka malam ini tidur di kamarmu semua?ā āKasurku tidak muat buat lima anak.ā āYa sudah biarkan dulu begini. Mau diantar pulang pun nggak bisa karena pada tidur semua.ā āKenapa tidak diantar pulang dulu ke rumah masing-masing pakai
Keesokkan harinya, ia mengajakku membahas perihal kontrak kerja yang akan kami sepakati bersama di sebuah cafĆ©. Seorang kasir tampan bercelemek hitam gaya barista mewakili kearifan tempat itu. Richie. Ia kali ini menyapaku dengan menyebutkan nama, bahkan tersenyum lebar seperti telah bertemu teman lama. āHai, Noumi.ā āHai,ā jawabku malu-malu sambil menunjukkan telapak tangan yang digoyangkan pelan. Ada buntut di belakang kepalanya. Entah sejak kapan surainya jadi begitu panjang. Aku hampir tidak mengenalinya tadi karena sebelumnya sempat memberitahu kalau akan ke sini sore hari. āKapan hari kami pernah bertemu di tempatku bekerja. Noumi belum cerita, ya?ā tanya Richie secara terbuka untuk memberitahukan Esa yang sepertinya sempat memperhatikan kami dengan tatapan curiga. āKamu sama temanmu waktu itu, bukan?ā Kali ini memastikannya kepadaku. Esa merespon lebih cepat. āTeman?ā lalu tanpa sengaja menuntut pembenaran dariku. āI
Isi kontraknya begitu padat dan tidak bertele-tele. Esa bahkan banyak menawarkan keuntungan padaku dengan menyediakan fasilitas maupun susunan agenda kerja yang praktis. Jam kerja hanya enam jam perhari dengan libur akhir pekan sabtu dan minggu. Kami akan mengikuti tes untuk mendapatkan lisensi psikologi anak lebih dulu sebelum mengikuti webinar dalam mempelajari bayi dari umur nol sampai sepuluh tahun. Visi perusahaannya adalah mewujudkan mimpi setiap anak di Indonesia. Misinya adalah menciptakan taman bermain yang luas dan membangun kelas mimpi yang sangat produktif. Aku belum tahu bagaimana cara hal itu akan diwujudkan namun membacanya saja sudah mampu membuat api semangatku menyala-nyala. āIni hanya garis besar yang tidak mungkin tercapai kalau effort-nya tidak besar. Aku harap kita bisa mencapai itu bersama-sama, sementara untuk saat ini kita bisa mulai melatih dan membekali diri untuk menjadi orang tua yang handal dari lima anak-a
āIni kartu namamu,ā ucap Esa saat memberikan beberapa padaku. Aku menyimpannya di dalam dompet. āHati-hati simpannya. Jangan sampai hilang.ā āIya,ā kataku sedikit jengah. Kemudian beranjak dari tempat duduk sendiri. āAku boleh ke toilet sebentar?ā āBoleh... tempatnya persis di samping bawah anak tangga itu, ya.ā āHm,ā jawabku mengangguk, kemudian dengan cepat berjalan menuju tempat itu. Akibat over dosis minuman gratis dari Richie, aku jadi kebelet pipis. Pria manis itu seenaknya memberikan minuman mahal dengan gratis beberapa kali mentang-mentang tidak dimarahi yang punya. Kalau aku yang punya cafĆ© ini, sudah kupastikan ia hanya akan menyisakan namanya di sini. āKakā¦ā āOh!ā Aku menoleh ketika merasakan seseorang menarik kemejaku dan terkejut melihat sosoknya yang polos. āSaya lupa taruh tisu di kamar mandinya tadi, mohon maaf,ā katanya sambil menyodorkan tisu gulung utuh padaku. Rautnya tidak dibuat sebagaimana semest
Esa mengepak pakaian seadanya. Ia memasukan baju dan celana panjangnya secara serampangan ke dalam koper. Aku yang bersandar pada kusein pintu, yang sudah siap pergi dengan berpakaian rapi dan cantik, langsung tergerak untuk mendekat, membantunya mengeluarkan baju-baju itu kembali untuk dilipat. Ia menunggu dengan sabar di sampingku sementara aku berusaha tersenyum sambil mengusap pipinya. *** Hari H menuju kematian. Bandara Nusawiru, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Pukul 08.30, Esa memasangkan goggles padaku setelah dirinya selesai memakai jumpsuit. Perlengkapan untuk olahraga berbahaya ini sudah disiapkan oleh tim manajemen NSW Paracenter, namun entah mengapa ia lebih memilih untuk membeli semuanya sendiri. Dan itu tidak murah. āKenapa nggak sewa aja, sih? Kan kita pakainya sekali.ā Esa mengancingkan helmnya dengan erat. Lalu menghela napas sambil menaruh tangan di pinggang. āAku sih, sekali. Tapi apa iya kamu hanya sekali?ā āMaksudmu aku a
Pagi hari pukul 08.30 wita. Seperti biasa, aku melingkari angka dikalender. Tak terasa 6 bulan berlari begitu cepat secepat citah. Kuharap setelah melewati hari-hari penuh pemikiran yang dalam ini, Esa bisa mengubah keputusannya.Sejak hari terakhir kami di Gili Trawangan, pemuda berinisial E itu banyak melamun. Ia tidak lagi mengkonsumsi kafein secara berlebih. Tidak lagi menyisihkan sayur di piring makannya. Ia bahkan tidak pernah mengatakan kata-kata perpisahan selama kami menghabiskan seluruh sisa rencana kami hingga tanpa tahu, 6 bulan telah berlalu begitu saja. Apakah keputusannya sudah benar-benar berubah? Aku tak berani bertanya karena takut ia jadi terkecoh. Namun sebagai gantinya, aku berusaha ada disetiap kali ia butuhkan.Aku mendengarkannya bercerita, ikut memancing, berbicara padanya, bermain game di warnet, mencium pipinya ketika ia minta, membaca buku yang tidak begitu kusuka, mendengarkan musik Rock n roll kesukaan dia, menonton Netflix, bergandengan tangan di malam h
Berjalan-jalan sambil bergandengan tangan sepertinya bagian favorite Esa juga. Sebagian waktu kami dihabiskan untuk berjalan kaki sambil bergandengan tangan. Saat duduk makan, kami bergandengan tangan. Menari dan menikmati suasana pesta malam, bergandengan tangan. Berdansa, bergandengan tangan. Mengobrol dan bercerita sambil bergandengan tangan. Bahkan saat mau tidur setelah memesan dua kamar di satu hotel, Esa menawariku satu kasur berdua supaya bisa berpegangan tangan.Aku tahu dia punya rencana untuk memenggal waktunya sebentar lagi, namun tak lantas membuat kami harus tidur bersamaāmenghalalkan segala cara.āKalau kamu mau fight untuk hidupmu dalam waktu yang lama ā¦. pasti aku akan tidur sambil pegangan tangan setiap waktu sama kamu. Menghabiskan hari tua bersama. Jangan khawatir.āIa tentu mengerti maksudku dengan terdiam kaku di atas kedua kakinya. Menatap penuh kehampaan di depan pintu kamarnya sendiri. āAku ngerti, kok. Mengambil keputusan sampai di detik ini pasti nggak mud
Kami terdiam di mobil. Mengisi energi setelah mengobrol panjang dengan keluarga Pak Imron seharian. Esa tadi sempat meminta bantuan kepada Pak Imron untuk menghubunginya jika ada yang membutuhkan perabotan rumah tangga. Dan keesokan harinya rumah Esa tak henti-hentinya didatangi mobil pick up untuk mengangkut barang. Rumahnya menjadi kosong. Kami bahkan duduk termenung di tengah-tengah ruangan beralaskan lantai marmer tersebut. Merasakan sepi yang merasuki ulu hati. āKamu nggak menyesal, kan?ā tanyaku. Takut kalau-kalau ini tak sesuai ekspetasinya. Namun hebatnya ia mencebik sambil menggeleng. Meletakan kertas wish list di sampingnya dengan tenang. āAku nggak pernah menyesali segala keputusanku, Nom. Ini udah seperti yang aku bayangkan, kok.ā *** Wush~ āAyo kejar aku!ā kataku mengejeknya ketika mengkayuh pedal sepeda lebih cepat di sore hari. Pada naik-naikan jalan, pemuda itu ternyata sudah ngos-ngosan. Tak disangka ia lebih payah dariku yang bertubuh gempal begini. Aku menghen
āBapak ada siapa aja nih, di rumah?ā tanya Esa sesudah mencium tangannya. Aku secara otomatis juga melakukan hal tersebut sambil senyam-senyum canggung.āIstri sama anak saya, si Soleh.ā Pak Imron langsung membalik muka seratus delapan puluh derajat. Mengumpulkan semua energi di dalam mulut sebelum menyemburkannya keras-keras ke dalam rumah.āBUK! ADA TAMU INI, BUK! LEH! KELUAR LEH!ā Teriaknya semangat. Kemudian berbalik lagi. āAyo! Ayo! mari masuk dulu.āSoleh sang anak tiba-tiba keluar dengan tergupuh-gupuh. Sontak Esa langsung mengajaknya untuk mengambil TV di mobil.āNah, ini! Ayo bro, bantu aku ambil TV kamu di mobil. Siapa lagi temannya?āāSendiri.āāOke, deh. Ayo kita letās go!āSi Soleh meski dengan alis yang terangkat riang, tak bisa memungkiri kebingungannya setengah mati. Ia tanpa mengerti kondisi langsung saja mengiyakan permintaan Esa yang sok akrab merangkulnyaāmengajak keluar secara paksa. Cara menyapa laki-laki ini memang agak bar-bar. Maklumi saja. Aku terdiam bingu
āTapi ā¦. tapiāāāUdahlah sayang. Nggak usah terlalu dipikirin. Nih, kukasih tahu cara kerjanya.āEsa membuka laptopnya di atas meja bar dekat kolam. Aku ikut duduk di sampingnya sambil membawa rasa penasaran yang cukup besar dalam genggaman. Ia membuka laman facebook di website dan mengklik market place.āKarena yang kita mau jangkau orang-orang disekitaran Lombok aja, jadi kita pakai ini,ā katanya. Jari-jarinya begitu cepat mengoperasikan benda tersebut. āUpload di sini gambarnya,ā jelasnya. āPilih kategori barangnya, terus barang dalam kondisi bagus-bekas klik centang, terus tentukan harganya centang, dan isi deskripsinya, deh.āāKamu kan mau memberi, bukan menjual.āāIya mangkanya tinggal diisi deskripsinya sayang.ā Aku mengangguk. Menatap dengan kagum saat ia mulai mengetikan deskripsinya.Tidak dijual. Barang bekas mau pindahan. Khusus bagi orang yang membutuhkan. Kalau deal bisa langsung angkut ke rumah. Alamat:blablabla. Tidak pakai perantara. Siapa cepat dia dapat.Dan begitu
āDi sini ada yang suka baca?ā Tidak ada yang menjawab. Mereka semua meski tertib di suruh duduk rapi dan punya semangat untuk selalu berteriak-teriak heboh setiap saat, namun dalam hal respon tanggap mereka lumayan lambat. āAda yang mau jadi penulis?ā tanyaku lagi. Kali ini ada satu anak berkepala plotos yang mengacungkan telunjuknya. Aku menjadi antusias. āSiapa namanya, sayang?ā āAli.ā āOh, Ali,ā sahutku pelan. Namun Esa menyahut jenaka. āKepanjangannya siapa Ali? Alibaba?ā Sontak membuat anak-anak tertawa. Aku mencoleknya dengan siku sambil memastikan kondisi wajah Ali. āAli. Hm, aku mau tanya dong. Kenapa kamu mau jadi penulis?ā Tidak dijawab. Mungkin anak laki-laki dengan muka polos sepolos kepalanya tersebut belum mengetahui alasan mengapa ia ingin menjadi penulis. āTapi Ali tahu, kan, penulis itu apa?ā Ia mengangguk. āKira-kira, penulis itu apa, sih?ā pancingku lagi agar ia mau berusaha berpikir. āYang nulis cerita?ā tanyanya memastikan. Aku langsung menepuk tangan se
Ia tidak lantas menjawab karena teralihkan pada alisku yang bergerak-gerak aneh. āKamu baca whatssapp-ku, ya?ā tanyanya curiga. Yang tak disangka-sangka tahu padahal sudah kupastikan tadi dia sama sekali tidak menoleh. Hal itu sungguh membuatku tak bisa berkilah. āHm, anu, akuāā āLain kali jangan kayak gitu, ya.ā Membuat lidahku menggantung di langit-langit. Mengira ia bakal marah besar, ternyata hanya sebatas peringatan. āOke!ā seruku kemudian. Berusaha memperbaiki suasana. āTapi, untuk beberapa hari ke depan ā¦. kamu bakal membahas hal ini, kan?ā Esa menghirup cairan di hidungnya keras-keras setelah berpikir keras, sekeras menyedot cairan itu. āNggak dulu,ā katanya. Menelisik visi yang seolah sedang tergambar jelas di depan hidungnya. āAku hanya ingin hidup 6 bulan lagi. Di waktu 2 bulan terakhir ā¦. mungkin aku bakal bahas itu.ā *** Aku mengamati kalender tahun 2020 yang menempel di badan pintu kamar kosan. Di zaman serba cepat saat itu, bisa-bisanya seorang Noumi Roula meng
Esa mengeluarkan semua uneg-unegnya sebelum berakhir mengurung diri di kamar. Ia tidak bisa mengunci pintunya karena aku yang pegang. Lantas, setelah lama memberinya waktu menyendiri, aku pun akhirnya pelan-pelan mengarahkan kenop pintu ke bawah untuk melangkahkan kaki masuk ke dalam. Ia sedang duduk memunggungi pintu di ujung kasur. Menunduk terseguk-seguk. āHei,ā kataku menghampirinya. Mengulurkan tangan kanan dengan legowo. āAku minta maaf, ya.ā Seperti anak kecil yang tidak sengaja membuat temannya menangis. Ia mengusap mukanya sendiri sebelum dengan berat hati mengangkat dagu. Dari sudut pandangku, ia tidak pernah malu memperlihatkan air mata dan muka jeleknya saat menangis. āā¦.ā Aku masih mengulurkan tangan. Mengangkat alis untuk mengajaknya berbaikan. Namun ia tak berminat diajak salaman. Bokongnya malah bergeser untuk meraih obat di atas laci yang membuatku jadi menemukan luka dibalik kerah lengannya. āItu kenapa?ā tanyaku. Ia secara spontan menarik kerah itu lalu menepis