āYatim piatu?ā
Esa mengangguk. Membukakan aku botol air yang berisi cairan penambah ion. Aku masih menopang kepala anak-anak di pahaku sembari memperhatikan Ajeng yang masih tertidur pulas dengan seksama. Pipinya kuelus-elus. Ia menghadap ke perutku seolah untuk mencari kehangatan.
āIbunya meninggal karena penyakit kanker payudara. Kemudian sebulan setelahnya ayahnya meninggal karena kecelakaan tunggal tengah malam. Diduga karena sedang mabuk, tapi ibunya bilang anaknya nggak pernah mabuk-mabukan.ā
āAjeng punya nenek?ā
āIya. Nenek dan kakek yang masih segar bugar. Mereka bahkan menjual berkilo-kilo semangka di pasar. Kalau dilihat sekilas, mungkin nggak ada yang tahu kalau Ajeng itu cucu mereka karena terlihat seperti orang tua dan anak pada umumnya.ā
āOh, ya? Kamu pernah bertemu mereka?ā
āSetiap hari,ā katanya menselonjorkan kaki. Kemudian ia menyentuh pipi gembil Rico. āBapaknya anak ini, memintaku untuk mencarikan distributor buah-buahan yang murah karena beliau punya toko kue. Peninggalan istrinya.ā
Kalimat diakhir itu memberikan rasa kejut yang alami. āMaksudmu, Rico juga nggak punya Ibu?ā tanyaku hati-hati. Esa pun membenarkan.
āBeliau meninggal saat melahirkan Nana.ā
āNana ini adiknya Rico?ā
āIya. Memang kamu pikir adiknya siapa?ā
āKupikir adiknya Ajeng karena mereka mirip.ā
āKebanyakan anak kecil memang punya wajah yang mirip-mirip. Mangkanya rawan tertukar kalau di rumah sakit.ā
āItu kan yang baru lahir memang sulit dibedakan. Tapi ini, mereka benar-benar mirip, lho,ā tukasku berusaha membandingkan keduanya. Esa hanya terkekeh sambil menenggak minuman kalengnya.
āSudah ditakdirkan bertemu mungkin. Mangkanya mirip.ā
Cukup menarik. Aku jadi ingin berdiskusi padanya tentang pertemuan kami juga yang apakah diatur oleh takdir atau tidak, namun bibir ini hanya menyuarakan hal lain.
āTerus, kamu kenal ayahnya Rico dari mana?ā
Ia tengah asyik merasakan bagaimana kedua kakinya menggesek-gesek rumput yang baunya menjelang senja terasa dingin. Senyuman canggung yang terlihat selalu sama disetiap waktu itu pun seolah tengah menegurku karena banyak bertanya. Tapi anehnya ia selalu sanggup menjawab dengan sepenuh hati.
āAku mantan karyawannya,ā katanya sambil meletakkan kaleng minumannya yang sudah habis. āTapi sudah resign setahun yang lalu.ā
Mungkin mempertanyakan kenapa dia resign hanya akan membuatku terlihat seperti penguntit sungguhan. Kalau begitu, mengangguk pelan adalah cara terbaik.
āKamu nggak bertanya, kenapa aku resign atau perusahaan apa yang ayahnya Rico punya?ā
Batinku terlonjak. Antusiasme pun mulai bergejolak. āBoleh?ā tanyaku dengan kedua mata membulat. Esa pun tertawa.
āBoleh lah. Kita, ākan, bakal kerja bareng. Jadi harus terbuka.ā
āMemang apa jawabannya dari dua pertanyaan tadi?ā
āAku resign karena bosan lalu perusahaan ayahnya Rico bergerak di bidang Properti.ā
āKamu bagian apa di sana?ā
āTidak tahu juga disebut bagian apa. Aku hanya melakukan ini dan itu sesuai perintah beliau.ā
āMungkin kamu sudah menjadi tangan kanannya. Tapi, kamu bosan karena itu?ā
Ia menggeleng.āBukan,ā ucapnya dengan dagu yang mengkerut, kemudian berkata dengan nada yang pelan.
āAku hanya takut masuk penjara.ā
Aku menaikkan alis lebih ke atas. Jelas tidak mengerti maksudnya.
āMaksudmu?ā
āIni sebenarnya rahasia besar. Kamu bisa jaga rahasia?ā
āAku nggak yakin, tapi bakal kuusahakan sebaik mungkin.ā
Ia mengambil napas dalam-dalam kemudian membuangnya dengan sangat hati-hati. Berpikir keras.
āPerusahaan ini letaknya di Jakarta. Namun dikelola oleh ayahnya Rico dari jarak jauh untuk bersembunyi. Entah sejak kapan aku dimanfaatkan Ayahnya Rico untuk mencuri data-data perusahaan yang lain demi keuntungan perusahaan. Gajiku besar. Bahkan cukup untuk membeli mobil setiap bulan. Tapi aku tidak tahu dan cukup gelisah kapan seandainya bom waktu akan menimpaku lalu gaji dan kerja kerasku hanya dibuang percuma. Aku ingin kabur tapi tidak bisa.ā
Cerita yang cukup singkat untuk sebuah rahasia, tapi ter-arsir jelas di wajahnya bahwa ia memiliki kecemasan yang cukup mendalam.
āKatanya aku harus berlindung di bawahnya agar aman.ā
āKamu, seorang hacker?ā tanyaku mengetuk fakta. Ia pun terkejut.
āKamu tahu istilah itu?ā
āOrang beranggapan itu pekerjaan haram, hei, sembilan dari sepuluh orang juga tahu istilah itu.ā
Bisa-bisanya ia menggerakkan bahu saat terkekeh. Bukan, maksudku, bahkan sempat-sempatnya ia terkekeh.
āItu bukan pekerjaan haram, Nom. Hanya saja peluang untuk mendapatkan uang dari pekerjaan itu yang haram.ā
āPantas saja Bu Ros mengatakan kalau kamu orang yang berbahaya.ā
āBu Ros bilang begitu?ā Ia mulai gusar. Tatapannya pun menjadi tajam. āBerarti aku harus pindah lagi.ā
āKenapa?ā tanyaku. Ia menampik hal itu dengan menggeleng. Kemudian menimpa pertanyaanku dengan pertanyaan lain.
āBu Ros bilang apa ke kamu?ā
āKatanya kamu itu semacam mafia yang gemar menjual anak-anak kecil.ā
Gusarnya mendadak hilang tergantikan dengan suara tawa yang membeludak.
āKenapa?ā tanyaku heran.
āKalau aku menjual anak-anak, kenapa juga harus repot-repot merekrutmu?ā
āApa aku berbakat menjadi penjahat?ā
āNah itu dia.ā
Sebenarnya, ceritanya barusan yang tanpa sengaja menunjukkan bahwa ia seorang hacker sudah mengagetkan Sembilan puluh Sembilan persen dari kesadaranku. Aku seolah punya kebiasaan untuk menyerap emosi yang orang simpan dan salah satunya adalah rasa khawatir. Hal itu diam-diam mengalir padaku lebih kuat dan yang bisa kulakukan hanya berusaha berpikir lebih hati-hati untuk mengambil keputusan terbaik nantinya.
āLalu sekarang kamu masih di dalam pengawasannya?ā
āHm. Aku dialihkan menjadi guru privat-nya Rico dan sebenarnya diberi tempat tinggal di sana.ā
āTerus? kenapa kamu menyewa kos yang hanya enam ratus ribu per bulan?ā
āRumahnya Rico terasa lebih menyeramkan. Aku lebih takut tertangkap badan intelijen Negara saat berada di rumah itu dibanding menyamar jadi orang sederhana yang tinggal di kos. Entah bagaimana pun caranya ayahnya Rico akan melindungi privasiku, yang pasti untuk sekarang aku hanya ingin hidup bebas. Rico dan Nana tidak punya baby siter karena katanya trauma anaknya pernah dianiaya. Sedangkan mau mencari pengasuh bersertifikat pun tidak ada di Lombok.ā
āAyahnya Rico tidak punya waktu untuk mengurusi anaknya?ā
āDua kali seminggu ia pergi bolak-balik ke luar daerah bahkan luar negeri. Mana tega ia bawa anaknya ke sana ke mari, biarpun pengawalnya ada seratus orang.ā
āIa tidak punya saudara?ā
āItu aku tidak tahu. Ia hanya mempercayakanku seolah menjadikan anak-anaknya jaminan apabila ia tidak berhasil melindungiku. Katanya aku bisa membawa kabur atau menyandra atau semacamnya apabila hal yang tidak diinginkan terjadi padaku. Tapi aku mana tega berbuat begitu pada anak-anak.ā
āBenar-benar gila,ā pikirku. Namun kulontarkan.
āSiapa?ā tanya Esa.
Aku tersadar. āAku.ā
Kemudian ia memiringkan kepalanya.āKenapa kamu yang jadi gila?ā
āSebab semua informasi yang kamu berikan itu masih belum bisa kupercaya namun mustahil kamu mengarangnya dalam sekali tarikan napas begitu saja tadi.ā
Esa menggeleng-geleng sambil mencabut rumput satu per satu. Mengisi jeda dengan membuat sesuatu yang tak berarti.
āKalau mau, kamu boleh mengundurkan diri dari sekarang.ā
āKenapa? apakah ini membahayakanku juga?ā
Ia melihatku prihatin, sebelum kemudian mengangguk pelan. āBisa jadi.ā
Aku tercenung dengan kaki yang terasa kebas karena kesemutan. Mengambil napas perlahan untuk mencoba menyikapinya dengan kepala dingin.
āLalu kenapa kamu minta bantuanku dari awal kalau kamu sudah tahu aku akan dalam bahaya?ā
Esa melihatku. Melihatku tanpa ada niatan sedikitpun untuk memberikan alasannya yang selalu terdengar masuk akal di kepalaku.
āMaafkan aku.ā
Bukan ini yang kumau.
***
Aku yakin mungkin ada sedikitnya kebohongan yang ia katakan tadi sebab aku tak percaya. Jangan mudah dibohongi begitu Noumi. Jangan mudah berempati hanya karena ia mampu menggendong empat orang bocah dalam satu pelukan. Ia orang aneh, tapi tidak dapat dipungkiri aku terkagum juga saat melihat pundak lebarnya berjalan di depanku dengan dua anak menopang kepala di pundak sementara yang dua lagi di dadanya. Anak-anak punya firasat yang kuat jika berada dalam tangan penjahat. Bisa jadi Esa memang bukan orang jahat. āNoumi,ā panggilnya saat berdiri di depan mobil yang tadi kupesan lewat grab. Ia berusaha menengok dengan kuwalahan sementara aku bergegas membuka pintu mobil. āKamu masuk dulu,ā katanya supaya bisa mengoper anak-anak kepangkuanku lagi. Nana sendiri dipelukanku sudah terbangun dari tidurnya dan mulai merasakan senja yang terlarut dalam gelap. Suhu AC mobil menyadarkannya. āHai, sayang,ā sapaku sambil mengusap kepalanya dengan lembut kemudian m
āEsaā¦!ā panggilku keras dalam nada berbisik. Ia menoleh gagap. āApa?ā āKamu mau taruh anak-anak di mana?ā āDi kamarku.ā āKamu nggak antar mereka pulang dulu? Nanti dicari orang tuanya, gimana?ā Esa mengapit kedua belah bibir sambil memejamkan matanya kuat-kuat. Menyuruhku diam sebentar sembari mengikutinya masuk ke dalam kamar. Aku pun terkejut setelah melihat ke-empat bocah tersebut dibaringkan berjajar di atas lantai yang dingin seperti ikan pindang setelah itu Esa mengambil Nana dariku untuk dibaringkan di tempat yang sama. āHei, kamu mau biarkan mereka semua tidur tanpa alas begini?ā Esa melongo. Gusar melanda mentalnya. āAku tidak punya kasur. Kamu nggak keberatan kalau mereka malam ini tidur di kamarmu semua?ā āKasurku tidak muat buat lima anak.ā āYa sudah biarkan dulu begini. Mau diantar pulang pun nggak bisa karena pada tidur semua.ā āKenapa tidak diantar pulang dulu ke rumah masing-masing pakai
Keesokkan harinya, ia mengajakku membahas perihal kontrak kerja yang akan kami sepakati bersama di sebuah cafĆ©. Seorang kasir tampan bercelemek hitam gaya barista mewakili kearifan tempat itu. Richie. Ia kali ini menyapaku dengan menyebutkan nama, bahkan tersenyum lebar seperti telah bertemu teman lama. āHai, Noumi.ā āHai,ā jawabku malu-malu sambil menunjukkan telapak tangan yang digoyangkan pelan. Ada buntut di belakang kepalanya. Entah sejak kapan surainya jadi begitu panjang. Aku hampir tidak mengenalinya tadi karena sebelumnya sempat memberitahu kalau akan ke sini sore hari. āKapan hari kami pernah bertemu di tempatku bekerja. Noumi belum cerita, ya?ā tanya Richie secara terbuka untuk memberitahukan Esa yang sepertinya sempat memperhatikan kami dengan tatapan curiga. āKamu sama temanmu waktu itu, bukan?ā Kali ini memastikannya kepadaku. Esa merespon lebih cepat. āTeman?ā lalu tanpa sengaja menuntut pembenaran dariku. āI
Isi kontraknya begitu padat dan tidak bertele-tele. Esa bahkan banyak menawarkan keuntungan padaku dengan menyediakan fasilitas maupun susunan agenda kerja yang praktis. Jam kerja hanya enam jam perhari dengan libur akhir pekan sabtu dan minggu. Kami akan mengikuti tes untuk mendapatkan lisensi psikologi anak lebih dulu sebelum mengikuti webinar dalam mempelajari bayi dari umur nol sampai sepuluh tahun. Visi perusahaannya adalah mewujudkan mimpi setiap anak di Indonesia. Misinya adalah menciptakan taman bermain yang luas dan membangun kelas mimpi yang sangat produktif. Aku belum tahu bagaimana cara hal itu akan diwujudkan namun membacanya saja sudah mampu membuat api semangatku menyala-nyala. āIni hanya garis besar yang tidak mungkin tercapai kalau effort-nya tidak besar. Aku harap kita bisa mencapai itu bersama-sama, sementara untuk saat ini kita bisa mulai melatih dan membekali diri untuk menjadi orang tua yang handal dari lima anak-a
āIni kartu namamu,ā ucap Esa saat memberikan beberapa padaku. Aku menyimpannya di dalam dompet. āHati-hati simpannya. Jangan sampai hilang.ā āIya,ā kataku sedikit jengah. Kemudian beranjak dari tempat duduk sendiri. āAku boleh ke toilet sebentar?ā āBoleh... tempatnya persis di samping bawah anak tangga itu, ya.ā āHm,ā jawabku mengangguk, kemudian dengan cepat berjalan menuju tempat itu. Akibat over dosis minuman gratis dari Richie, aku jadi kebelet pipis. Pria manis itu seenaknya memberikan minuman mahal dengan gratis beberapa kali mentang-mentang tidak dimarahi yang punya. Kalau aku yang punya cafĆ© ini, sudah kupastikan ia hanya akan menyisakan namanya di sini. āKakā¦ā āOh!ā Aku menoleh ketika merasakan seseorang menarik kemejaku dan terkejut melihat sosoknya yang polos. āSaya lupa taruh tisu di kamar mandinya tadi, mohon maaf,ā katanya sambil menyodorkan tisu gulung utuh padaku. Rautnya tidak dibuat sebagaimana semest
Manusia setampan dan sesempurna Richie ternyata punya nasib yang cukup menyedihkan. Kukira selama ini keceriaannya adalah bawaan dari lahir, tapi tak tahunya untuk menutupi ini. Untung saja ia belum kumasukkan dalam daftar list orang-orang yang kubenci. Tak lama setelah membesuk Olin, kami pun pergi ke gereja untuk mengikuti webinar psikologi anak. Esa jadi tidak banyak omong selama sesi itu. Ia hanya terfokus mengisi kolom-kolom formulir yang diberikan atas materi tentang pentingnya bermain pada anak. Bangku-bangku dibiarkan berjarak, dan aku memperhatikan para Ibu yang memangku anak-anak mereka sambil mencatat point penting yang disampaikan dengan cermat. Tidak ada kejengkelan yang dipendam atau ancaman kecil kepada anak yang sudah bisa berlarian ke sana ke mari hingga menangis nyaring kala membentur sudut meja. Orang tua mereka hanya memberitahu, menggeleng jika tidak setuju, membisikkan sesuatu kalau anaknya tidak mau diam, atau yang terak
Entah untuk mengalihkan topik atau sejenisnya, ajakan menikah dari yang kemarin-kemarin itu sudah mulai mengusik ketenanganku dimenit-menit terakhir. Saat ini kami sedang bermain dengan anak-anak. Esa menyiapkan satu kursi di tengah ruangannya. Mempersilahkan siapapun yang bersedia duduk di sana untuk menceritakan apapun yang mereka inginkan. Puzzle, Blok, rubik, buku teka-teki silang, dadu, bola karet, dan berbagai macam mainan lainnya yang sempat kami beli tadi disimpan oleh Esa sejenak. Tujuannya demi fokus kepada acara berikutnya. āTes.ā Itu suara Ajeng. Ia sudah duduk duluan di bangku tersebut. Membuat kami terkejut. Esa langsung menjalin kontak mata dengannya secara intens. āKamu yakin?ā āYakin.ā Kira-kira, begitu dialognya. āOke, Ajeng. Apa yang kamu ingin ceritakan?ā Ajeng menggeleng. Menatap ke sana ke mari sebelum menunjukkan senyum lebar kepada kami. Membuat penonton k
Hari ini kegiatan belajar mengajar selesai. Anak-anak sudah tertawa, menangis, dan belajar banyak hal melalui bermain. Perut mereka bahkan sudah cukup terisi dengan buah-buahan dan makanan bergizi sebelum diantar pulang oleh Esa seperti biasa setelah bergiliran mengecup pipi dan keningku. Suara kompak yang berkata “dadah” kepadaku sambil melambaikan tangan, perlahan pudar dikejauhan malam.Aku terpaku. Kesadaran melayang. Mendadak merasa letih disekujur tubuh. Lesu. Kupikir banyak tertawa tadi dapat membuat suasana hatiku membaik. Nyatanya tidak. Tidak sama sekali. Jadi aku berusaha mengingat hal apa saja yang berhasil membuatku tertawa, dan itu membuatku tertawa lagi. Dengan cepat kututup kamar Esa. Menaruh kunci di bawah keset welcome-nya sebelum bergegas masuk ke dalam kamarku.Aku menghempaskan diri ke atas kasur. Memijat tengkuk dan pelipis dengan satu tangan lalu membiarkan resah menganggu ketenanganku sebentar. Kubawa tidur. Tenang. Setid
Esa mengepak pakaian seadanya. Ia memasukan baju dan celana panjangnya secara serampangan ke dalam koper. Aku yang bersandar pada kusein pintu, yang sudah siap pergi dengan berpakaian rapi dan cantik, langsung tergerak untuk mendekat, membantunya mengeluarkan baju-baju itu kembali untuk dilipat. Ia menunggu dengan sabar di sampingku sementara aku berusaha tersenyum sambil mengusap pipinya. *** Hari H menuju kematian. Bandara Nusawiru, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Pukul 08.30, Esa memasangkan goggles padaku setelah dirinya selesai memakai jumpsuit. Perlengkapan untuk olahraga berbahaya ini sudah disiapkan oleh tim manajemen NSW Paracenter, namun entah mengapa ia lebih memilih untuk membeli semuanya sendiri. Dan itu tidak murah. āKenapa nggak sewa aja, sih? Kan kita pakainya sekali.ā Esa mengancingkan helmnya dengan erat. Lalu menghela napas sambil menaruh tangan di pinggang. āAku sih, sekali. Tapi apa iya kamu hanya sekali?ā āMaksudmu aku a
Pagi hari pukul 08.30 wita. Seperti biasa, aku melingkari angka dikalender. Tak terasa 6 bulan berlari begitu cepat secepat citah. Kuharap setelah melewati hari-hari penuh pemikiran yang dalam ini, Esa bisa mengubah keputusannya.Sejak hari terakhir kami di Gili Trawangan, pemuda berinisial E itu banyak melamun. Ia tidak lagi mengkonsumsi kafein secara berlebih. Tidak lagi menyisihkan sayur di piring makannya. Ia bahkan tidak pernah mengatakan kata-kata perpisahan selama kami menghabiskan seluruh sisa rencana kami hingga tanpa tahu, 6 bulan telah berlalu begitu saja. Apakah keputusannya sudah benar-benar berubah? Aku tak berani bertanya karena takut ia jadi terkecoh. Namun sebagai gantinya, aku berusaha ada disetiap kali ia butuhkan.Aku mendengarkannya bercerita, ikut memancing, berbicara padanya, bermain game di warnet, mencium pipinya ketika ia minta, membaca buku yang tidak begitu kusuka, mendengarkan musik Rock n roll kesukaan dia, menonton Netflix, bergandengan tangan di malam h
Berjalan-jalan sambil bergandengan tangan sepertinya bagian favorite Esa juga. Sebagian waktu kami dihabiskan untuk berjalan kaki sambil bergandengan tangan. Saat duduk makan, kami bergandengan tangan. Menari dan menikmati suasana pesta malam, bergandengan tangan. Berdansa, bergandengan tangan. Mengobrol dan bercerita sambil bergandengan tangan. Bahkan saat mau tidur setelah memesan dua kamar di satu hotel, Esa menawariku satu kasur berdua supaya bisa berpegangan tangan.Aku tahu dia punya rencana untuk memenggal waktunya sebentar lagi, namun tak lantas membuat kami harus tidur bersamaāmenghalalkan segala cara.āKalau kamu mau fight untuk hidupmu dalam waktu yang lama ā¦. pasti aku akan tidur sambil pegangan tangan setiap waktu sama kamu. Menghabiskan hari tua bersama. Jangan khawatir.āIa tentu mengerti maksudku dengan terdiam kaku di atas kedua kakinya. Menatap penuh kehampaan di depan pintu kamarnya sendiri. āAku ngerti, kok. Mengambil keputusan sampai di detik ini pasti nggak mud
Kami terdiam di mobil. Mengisi energi setelah mengobrol panjang dengan keluarga Pak Imron seharian. Esa tadi sempat meminta bantuan kepada Pak Imron untuk menghubunginya jika ada yang membutuhkan perabotan rumah tangga. Dan keesokan harinya rumah Esa tak henti-hentinya didatangi mobil pick up untuk mengangkut barang. Rumahnya menjadi kosong. Kami bahkan duduk termenung di tengah-tengah ruangan beralaskan lantai marmer tersebut. Merasakan sepi yang merasuki ulu hati. āKamu nggak menyesal, kan?ā tanyaku. Takut kalau-kalau ini tak sesuai ekspetasinya. Namun hebatnya ia mencebik sambil menggeleng. Meletakan kertas wish list di sampingnya dengan tenang. āAku nggak pernah menyesali segala keputusanku, Nom. Ini udah seperti yang aku bayangkan, kok.ā *** Wush~ āAyo kejar aku!ā kataku mengejeknya ketika mengkayuh pedal sepeda lebih cepat di sore hari. Pada naik-naikan jalan, pemuda itu ternyata sudah ngos-ngosan. Tak disangka ia lebih payah dariku yang bertubuh gempal begini. Aku menghen
āBapak ada siapa aja nih, di rumah?ā tanya Esa sesudah mencium tangannya. Aku secara otomatis juga melakukan hal tersebut sambil senyam-senyum canggung.āIstri sama anak saya, si Soleh.ā Pak Imron langsung membalik muka seratus delapan puluh derajat. Mengumpulkan semua energi di dalam mulut sebelum menyemburkannya keras-keras ke dalam rumah.āBUK! ADA TAMU INI, BUK! LEH! KELUAR LEH!ā Teriaknya semangat. Kemudian berbalik lagi. āAyo! Ayo! mari masuk dulu.āSoleh sang anak tiba-tiba keluar dengan tergupuh-gupuh. Sontak Esa langsung mengajaknya untuk mengambil TV di mobil.āNah, ini! Ayo bro, bantu aku ambil TV kamu di mobil. Siapa lagi temannya?āāSendiri.āāOke, deh. Ayo kita letās go!āSi Soleh meski dengan alis yang terangkat riang, tak bisa memungkiri kebingungannya setengah mati. Ia tanpa mengerti kondisi langsung saja mengiyakan permintaan Esa yang sok akrab merangkulnyaāmengajak keluar secara paksa. Cara menyapa laki-laki ini memang agak bar-bar. Maklumi saja. Aku terdiam bingu
āTapi ā¦. tapiāāāUdahlah sayang. Nggak usah terlalu dipikirin. Nih, kukasih tahu cara kerjanya.āEsa membuka laptopnya di atas meja bar dekat kolam. Aku ikut duduk di sampingnya sambil membawa rasa penasaran yang cukup besar dalam genggaman. Ia membuka laman facebook di website dan mengklik market place.āKarena yang kita mau jangkau orang-orang disekitaran Lombok aja, jadi kita pakai ini,ā katanya. Jari-jarinya begitu cepat mengoperasikan benda tersebut. āUpload di sini gambarnya,ā jelasnya. āPilih kategori barangnya, terus barang dalam kondisi bagus-bekas klik centang, terus tentukan harganya centang, dan isi deskripsinya, deh.āāKamu kan mau memberi, bukan menjual.āāIya mangkanya tinggal diisi deskripsinya sayang.ā Aku mengangguk. Menatap dengan kagum saat ia mulai mengetikan deskripsinya.Tidak dijual. Barang bekas mau pindahan. Khusus bagi orang yang membutuhkan. Kalau deal bisa langsung angkut ke rumah. Alamat:blablabla. Tidak pakai perantara. Siapa cepat dia dapat.Dan begitu
āDi sini ada yang suka baca?ā Tidak ada yang menjawab. Mereka semua meski tertib di suruh duduk rapi dan punya semangat untuk selalu berteriak-teriak heboh setiap saat, namun dalam hal respon tanggap mereka lumayan lambat. āAda yang mau jadi penulis?ā tanyaku lagi. Kali ini ada satu anak berkepala plotos yang mengacungkan telunjuknya. Aku menjadi antusias. āSiapa namanya, sayang?ā āAli.ā āOh, Ali,ā sahutku pelan. Namun Esa menyahut jenaka. āKepanjangannya siapa Ali? Alibaba?ā Sontak membuat anak-anak tertawa. Aku mencoleknya dengan siku sambil memastikan kondisi wajah Ali. āAli. Hm, aku mau tanya dong. Kenapa kamu mau jadi penulis?ā Tidak dijawab. Mungkin anak laki-laki dengan muka polos sepolos kepalanya tersebut belum mengetahui alasan mengapa ia ingin menjadi penulis. āTapi Ali tahu, kan, penulis itu apa?ā Ia mengangguk. āKira-kira, penulis itu apa, sih?ā pancingku lagi agar ia mau berusaha berpikir. āYang nulis cerita?ā tanyanya memastikan. Aku langsung menepuk tangan se
Ia tidak lantas menjawab karena teralihkan pada alisku yang bergerak-gerak aneh. āKamu baca whatssapp-ku, ya?ā tanyanya curiga. Yang tak disangka-sangka tahu padahal sudah kupastikan tadi dia sama sekali tidak menoleh. Hal itu sungguh membuatku tak bisa berkilah. āHm, anu, akuāā āLain kali jangan kayak gitu, ya.ā Membuat lidahku menggantung di langit-langit. Mengira ia bakal marah besar, ternyata hanya sebatas peringatan. āOke!ā seruku kemudian. Berusaha memperbaiki suasana. āTapi, untuk beberapa hari ke depan ā¦. kamu bakal membahas hal ini, kan?ā Esa menghirup cairan di hidungnya keras-keras setelah berpikir keras, sekeras menyedot cairan itu. āNggak dulu,ā katanya. Menelisik visi yang seolah sedang tergambar jelas di depan hidungnya. āAku hanya ingin hidup 6 bulan lagi. Di waktu 2 bulan terakhir ā¦. mungkin aku bakal bahas itu.ā *** Aku mengamati kalender tahun 2020 yang menempel di badan pintu kamar kosan. Di zaman serba cepat saat itu, bisa-bisanya seorang Noumi Roula meng
Esa mengeluarkan semua uneg-unegnya sebelum berakhir mengurung diri di kamar. Ia tidak bisa mengunci pintunya karena aku yang pegang. Lantas, setelah lama memberinya waktu menyendiri, aku pun akhirnya pelan-pelan mengarahkan kenop pintu ke bawah untuk melangkahkan kaki masuk ke dalam. Ia sedang duduk memunggungi pintu di ujung kasur. Menunduk terseguk-seguk. āHei,ā kataku menghampirinya. Mengulurkan tangan kanan dengan legowo. āAku minta maaf, ya.ā Seperti anak kecil yang tidak sengaja membuat temannya menangis. Ia mengusap mukanya sendiri sebelum dengan berat hati mengangkat dagu. Dari sudut pandangku, ia tidak pernah malu memperlihatkan air mata dan muka jeleknya saat menangis. āā¦.ā Aku masih mengulurkan tangan. Mengangkat alis untuk mengajaknya berbaikan. Namun ia tak berminat diajak salaman. Bokongnya malah bergeser untuk meraih obat di atas laci yang membuatku jadi menemukan luka dibalik kerah lengannya. āItu kenapa?ā tanyaku. Ia secara spontan menarik kerah itu lalu menepis