Share

13. Celaka

Author: Sun🌅
last update Last Updated: 2021-09-19 00:08:15

“Yatim piatu?”

Esa mengangguk. Membukakan aku botol air yang berisi cairan penambah ion. Aku masih menopang kepala anak-anak di pahaku sembari memperhatikan Ajeng yang masih tertidur pulas dengan seksama. Pipinya kuelus-elus. Ia menghadap ke perutku seolah untuk mencari kehangatan.

“Ibunya meninggal karena penyakit kanker payudara. Kemudian sebulan setelahnya ayahnya meninggal karena kecelakaan tunggal tengah malam. Diduga karena sedang mabuk, tapi ibunya bilang anaknya nggak pernah mabuk-mabukan.”

“Ajeng punya nenek?”

“Iya. Nenek dan kakek yang masih segar bugar. Mereka bahkan menjual berkilo-kilo semangka di pasar. Kalau dilihat sekilas, mungkin nggak ada yang tahu kalau Ajeng itu cucu mereka karena terlihat seperti orang tua dan anak pada umumnya.”

“Oh, ya? Kamu pernah bertemu mereka?”

“Setiap hari,” katanya menselonjorkan kaki. Kemudian ia menyentuh pipi gembil Rico. “Bapaknya anak ini, memintaku untuk mencarikan distributor buah-buahan yang murah karena beliau punya toko kue. Peninggalan istrinya.”

Kalimat diakhir itu memberikan rasa kejut yang alami. “Maksudmu, Rico juga nggak punya Ibu?” tanyaku hati-hati. Esa pun membenarkan.

“Beliau meninggal saat melahirkan Nana.”

“Nana ini adiknya Rico?”

“Iya. Memang kamu pikir adiknya siapa?”

“Kupikir adiknya Ajeng karena mereka mirip.”

“Kebanyakan anak kecil memang punya wajah yang mirip-mirip. Mangkanya rawan tertukar kalau di rumah sakit.”

“Itu kan yang baru lahir memang sulit dibedakan. Tapi ini, mereka benar-benar mirip, lho,” tukasku berusaha membandingkan keduanya. Esa hanya terkekeh sambil menenggak minuman kalengnya.

“Sudah ditakdirkan bertemu mungkin. Mangkanya mirip.”

Cukup menarik. Aku jadi ingin berdiskusi padanya tentang pertemuan kami juga yang apakah diatur oleh takdir atau tidak, namun bibir ini hanya menyuarakan hal lain.

“Terus, kamu kenal ayahnya Rico dari mana?”

Ia tengah asyik merasakan bagaimana kedua kakinya menggesek-gesek rumput yang baunya menjelang senja terasa dingin. Senyuman canggung yang terlihat selalu sama disetiap waktu itu pun seolah tengah menegurku karena banyak bertanya. Tapi anehnya ia selalu sanggup menjawab dengan sepenuh hati.

“Aku mantan karyawannya,” katanya sambil meletakkan kaleng minumannya yang sudah habis. “Tapi sudah resign setahun yang lalu.”

Mungkin mempertanyakan kenapa dia resign hanya akan membuatku terlihat seperti penguntit sungguhan. Kalau begitu, mengangguk pelan adalah cara terbaik.

“Kamu nggak bertanya, kenapa aku resign atau perusahaan apa yang ayahnya Rico punya?”

Batinku terlonjak. Antusiasme pun mulai bergejolak. “Boleh?” tanyaku dengan kedua mata membulat. Esa pun tertawa.

“Boleh lah. Kita, ‘kan, bakal kerja bareng. Jadi harus terbuka.”

“Memang apa jawabannya dari dua pertanyaan tadi?”

“Aku resign karena bosan lalu perusahaan ayahnya Rico bergerak di bidang Properti.”

“Kamu bagian apa di sana?”

“Tidak tahu juga disebut bagian apa. Aku hanya melakukan ini dan itu sesuai perintah beliau.”

“Mungkin kamu sudah menjadi tangan kanannya. Tapi, kamu bosan karena itu?”

Ia menggeleng.“Bukan,” ucapnya dengan dagu yang mengkerut, kemudian berkata dengan nada yang pelan.

“Aku hanya takut masuk penjara.”

Aku menaikkan alis lebih ke atas. Jelas tidak mengerti maksudnya.

“Maksudmu?”

“Ini sebenarnya rahasia besar. Kamu bisa jaga rahasia?”

“Aku nggak yakin, tapi bakal kuusahakan sebaik mungkin.”

Ia mengambil napas dalam-dalam kemudian membuangnya dengan sangat hati-hati. Berpikir keras.

“Perusahaan ini letaknya di Jakarta. Namun dikelola oleh ayahnya Rico dari jarak jauh untuk bersembunyi. Entah sejak kapan aku dimanfaatkan Ayahnya Rico untuk mencuri data-data perusahaan yang lain demi keuntungan perusahaan. Gajiku besar. Bahkan cukup untuk membeli mobil setiap bulan. Tapi aku tidak tahu dan cukup gelisah kapan seandainya bom waktu akan menimpaku lalu gaji dan kerja kerasku hanya dibuang percuma. Aku ingin kabur tapi tidak bisa.”

 Cerita yang cukup singkat untuk sebuah rahasia, tapi ter-arsir jelas di wajahnya bahwa ia memiliki kecemasan yang cukup mendalam.

“Katanya aku harus berlindung di bawahnya agar aman.”

“Kamu, seorang hacker?” tanyaku mengetuk fakta. Ia pun terkejut.

“Kamu tahu istilah itu?”

“Orang beranggapan itu pekerjaan haram, hei, sembilan dari sepuluh orang juga tahu istilah itu.”

Bisa-bisanya ia menggerakkan bahu saat terkekeh. Bukan, maksudku, bahkan sempat-sempatnya ia terkekeh.

“Itu bukan pekerjaan haram, Nom. Hanya saja peluang untuk mendapatkan uang dari pekerjaan itu yang haram.”

“Pantas saja Bu Ros mengatakan kalau kamu orang yang berbahaya.”

“Bu Ros bilang begitu?” Ia mulai gusar. Tatapannya pun menjadi tajam. “Berarti aku harus pindah lagi.”

“Kenapa?” tanyaku. Ia menampik hal itu dengan menggeleng. Kemudian menimpa pertanyaanku dengan pertanyaan lain.

“Bu Ros bilang apa ke kamu?”

“Katanya kamu itu semacam mafia yang gemar menjual anak-anak kecil.”

Gusarnya mendadak hilang tergantikan dengan suara tawa yang membeludak.

“Kenapa?” tanyaku heran.

“Kalau aku menjual anak-anak, kenapa juga harus repot-repot merekrutmu?”

“Apa aku berbakat menjadi penjahat?”

“Nah itu dia.”

Sebenarnya, ceritanya barusan yang tanpa sengaja menunjukkan bahwa ia seorang hacker sudah mengagetkan Sembilan puluh Sembilan persen dari kesadaranku. Aku seolah punya kebiasaan untuk menyerap emosi yang orang simpan dan salah satunya adalah rasa khawatir. Hal itu diam-diam mengalir padaku lebih kuat dan yang bisa kulakukan hanya berusaha berpikir lebih hati-hati untuk mengambil keputusan terbaik nantinya.

“Lalu sekarang kamu masih di dalam pengawasannya?”

“Hm. Aku dialihkan menjadi guru privat-nya Rico dan sebenarnya diberi tempat tinggal di sana.”

“Terus? kenapa kamu menyewa kos yang hanya enam ratus ribu per bulan?”

“Rumahnya Rico terasa lebih menyeramkan. Aku lebih takut tertangkap badan intelijen Negara saat berada di rumah itu dibanding menyamar jadi orang sederhana yang tinggal di kos. Entah bagaimana pun caranya ayahnya Rico akan melindungi privasiku, yang pasti untuk sekarang aku hanya ingin hidup bebas. Rico dan Nana tidak punya baby siter karena katanya trauma anaknya pernah dianiaya. Sedangkan mau mencari pengasuh bersertifikat pun tidak ada di Lombok.”

“Ayahnya Rico tidak punya waktu untuk mengurusi anaknya?”

“Dua kali seminggu ia pergi bolak-balik ke luar daerah bahkan luar negeri. Mana tega ia bawa anaknya ke sana ke mari, biarpun pengawalnya ada seratus orang.”

“Ia tidak punya saudara?”

“Itu aku tidak tahu. Ia hanya mempercayakanku seolah menjadikan anak-anaknya jaminan apabila ia tidak berhasil melindungiku. Katanya aku bisa membawa kabur atau menyandra atau semacamnya apabila hal yang tidak diinginkan terjadi padaku. Tapi aku mana tega berbuat begitu pada anak-anak.”

“Benar-benar gila,” pikirku. Namun kulontarkan.

“Siapa?” tanya Esa.

Aku tersadar. “Aku.”

Kemudian ia memiringkan kepalanya.“Kenapa kamu yang jadi gila?”

“Sebab semua informasi yang kamu berikan itu masih belum bisa kupercaya namun mustahil kamu mengarangnya dalam sekali tarikan napas begitu saja tadi.”

Esa menggeleng-geleng sambil mencabut rumput satu per satu. Mengisi jeda dengan membuat sesuatu yang tak berarti.

“Kalau mau, kamu boleh mengundurkan diri dari sekarang.”

“Kenapa? apakah ini membahayakanku juga?”

Ia melihatku prihatin, sebelum kemudian mengangguk pelan. “Bisa jadi.”

Aku tercenung dengan kaki yang terasa kebas karena kesemutan. Mengambil napas perlahan untuk mencoba menyikapinya dengan kepala dingin.

“Lalu kenapa kamu minta bantuanku dari awal kalau kamu sudah tahu aku akan dalam bahaya?”

Esa melihatku. Melihatku tanpa ada niatan sedikitpun untuk memberikan alasannya yang selalu terdengar masuk akal di kepalaku.

“Maafkan aku.”

Bukan ini yang kumau.

***

Related chapters

  • Dream first class   14. yang disebut Privasi

    Aku yakin mungkin ada sedikitnya kebohongan yang ia katakan tadi sebab aku tak percaya. Jangan mudah dibohongi begitu Noumi. Jangan mudah berempati hanya karena ia mampu menggendong empat orang bocah dalam satu pelukan. Ia orang aneh, tapi tidak dapat dipungkiri aku terkagum juga saat melihat pundak lebarnya berjalan di depanku dengan dua anak menopang kepala di pundak sementara yang dua lagi di dadanya. Anak-anak punya firasat yang kuat jika berada dalam tangan penjahat. Bisa jadi Esa memang bukan orang jahat. “Noumi,” panggilnya saat berdiri di depan mobil yang tadi kupesan lewat grab. Ia berusaha menengok dengan kuwalahan sementara aku bergegas membuka pintu mobil. “Kamu masuk dulu,” katanya supaya bisa mengoper anak-anak kepangkuanku lagi. Nana sendiri dipelukanku sudah terbangun dari tidurnya dan mulai merasakan senja yang terlarut dalam gelap. Suhu AC mobil menyadarkannya. “Hai, sayang,” sapaku sambil mengusap kepalanya dengan lembut kemudian m

    Last Updated : 2021-09-22
  • Dream first class   15. Apa katamu barusan?

    “Esa…!” panggilku keras dalam nada berbisik. Ia menoleh gagap. “Apa?” “Kamu mau taruh anak-anak di mana?” “Di kamarku.” “Kamu nggak antar mereka pulang dulu? Nanti dicari orang tuanya, gimana?” Esa mengapit kedua belah bibir sambil memejamkan matanya kuat-kuat. Menyuruhku diam sebentar sembari mengikutinya masuk ke dalam kamar. Aku pun terkejut setelah melihat ke-empat bocah tersebut dibaringkan berjajar di atas lantai yang dingin seperti ikan pindang setelah itu Esa mengambil Nana dariku untuk dibaringkan di tempat yang sama. “Hei, kamu mau biarkan mereka semua tidur tanpa alas begini?” Esa melongo. Gusar melanda mentalnya. “Aku tidak punya kasur. Kamu nggak keberatan kalau mereka malam ini tidur di kamarmu semua?” “Kasurku tidak muat buat lima anak.” “Ya sudah biarkan dulu begini. Mau diantar pulang pun nggak bisa karena pada tidur semua.” “Kenapa tidak diantar pulang dulu ke rumah masing-masing pakai

    Last Updated : 2021-09-26
  • Dream first class   16. Ayo, apa lagi rahasiamu?

    Keesokkan harinya, ia mengajakku membahas perihal kontrak kerja yang akan kami sepakati bersama di sebuah café. Seorang kasir tampan bercelemek hitam gaya barista mewakili kearifan tempat itu. Richie. Ia kali ini menyapaku dengan menyebutkan nama, bahkan tersenyum lebar seperti telah bertemu teman lama. “Hai, Noumi.” “Hai,” jawabku malu-malu sambil menunjukkan telapak tangan yang digoyangkan pelan. Ada buntut di belakang kepalanya. Entah sejak kapan surainya jadi begitu panjang. Aku hampir tidak mengenalinya tadi karena sebelumnya sempat memberitahu kalau akan ke sini sore hari. “Kapan hari kami pernah bertemu di tempatku bekerja. Noumi belum cerita, ya?” tanya Richie secara terbuka untuk memberitahukan Esa yang sepertinya sempat memperhatikan kami dengan tatapan curiga. “Kamu sama temanmu waktu itu, bukan?” Kali ini memastikannya kepadaku. Esa merespon lebih cepat. “Teman?” lalu tanpa sengaja menuntut pembenaran dariku. “I

    Last Updated : 2021-09-28
  • Dream first class   17. Mari bekerja sama

    Isi kontraknya begitu padat dan tidak bertele-tele. Esa bahkan banyak menawarkan keuntungan padaku dengan menyediakan fasilitas maupun susunan agenda kerja yang praktis. Jam kerja hanya enam jam perhari dengan libur akhir pekan sabtu dan minggu. Kami akan mengikuti tes untuk mendapatkan lisensi psikologi anak lebih dulu sebelum mengikuti webinar dalam mempelajari bayi dari umur nol sampai sepuluh tahun. Visi perusahaannya adalah mewujudkan mimpi setiap anak di Indonesia. Misinya adalah menciptakan taman bermain yang luas dan membangun kelas mimpi yang sangat produktif. Aku belum tahu bagaimana cara hal itu akan diwujudkan namun membacanya saja sudah mampu membuat api semangatku menyala-nyala. “Ini hanya garis besar yang tidak mungkin tercapai kalau effort-nya tidak besar. Aku harap kita bisa mencapai itu bersama-sama, sementara untuk saat ini kita bisa mulai melatih dan membekali diri untuk menjadi orang tua yang handal dari lima anak-a

    Last Updated : 2021-10-01
  • Dream first class   18. Malaikat penolong

    “Ini kartu namamu,” ucap Esa saat memberikan beberapa padaku. Aku menyimpannya di dalam dompet. “Hati-hati simpannya. Jangan sampai hilang.” “Iya,” kataku sedikit jengah. Kemudian beranjak dari tempat duduk sendiri. “Aku boleh ke toilet sebentar?” “Boleh... tempatnya persis di samping bawah anak tangga itu, ya.” “Hm,” jawabku mengangguk, kemudian dengan cepat berjalan menuju tempat itu. Akibat over dosis minuman gratis dari Richie, aku jadi kebelet pipis. Pria manis itu seenaknya memberikan minuman mahal dengan gratis beberapa kali mentang-mentang tidak dimarahi yang punya. Kalau aku yang punya café ini, sudah kupastikan ia hanya akan menyisakan namanya di sini. “Kak…” “Oh!” Aku menoleh ketika merasakan seseorang menarik kemejaku dan terkejut melihat sosoknya yang polos. “Saya lupa taruh tisu di kamar mandinya tadi, mohon maaf,” katanya sambil menyodorkan tisu gulung utuh padaku. Rautnya tidak dibuat sebagaimana semest

    Last Updated : 2021-10-07
  • Dream first class   19. Serendipity

    Manusia setampan dan sesempurna Richie ternyata punya nasib yang cukup menyedihkan. Kukira selama ini keceriaannya adalah bawaan dari lahir, tapi tak tahunya untuk menutupi ini. Untung saja ia belum kumasukkan dalam daftar list orang-orang yang kubenci. Tak lama setelah membesuk Olin, kami pun pergi ke gereja untuk mengikuti webinar psikologi anak. Esa jadi tidak banyak omong selama sesi itu. Ia hanya terfokus mengisi kolom-kolom formulir yang diberikan atas materi tentang pentingnya bermain pada anak. Bangku-bangku dibiarkan berjarak, dan aku memperhatikan para Ibu yang memangku anak-anak mereka sambil mencatat point penting yang disampaikan dengan cermat. Tidak ada kejengkelan yang dipendam atau ancaman kecil kepada anak yang sudah bisa berlarian ke sana ke mari hingga menangis nyaring kala membentur sudut meja. Orang tua mereka hanya memberitahu, menggeleng jika tidak setuju, membisikkan sesuatu kalau anaknya tidak mau diam, atau yang terak

    Last Updated : 2021-10-19
  • Dream first class   20. Rumah

    Entah untuk mengalihkan topik atau sejenisnya, ajakan menikah dari yang kemarin-kemarin itu sudah mulai mengusik ketenanganku dimenit-menit terakhir. Saat ini kami sedang bermain dengan anak-anak. Esa menyiapkan satu kursi di tengah ruangannya. Mempersilahkan siapapun yang bersedia duduk di sana untuk menceritakan apapun yang mereka inginkan. Puzzle, Blok, rubik, buku teka-teki silang, dadu, bola karet, dan berbagai macam mainan lainnya yang sempat kami beli tadi disimpan oleh Esa sejenak. Tujuannya demi fokus kepada acara berikutnya. “Tes.” Itu suara Ajeng. Ia sudah duduk duluan di bangku tersebut. Membuat kami terkejut. Esa langsung menjalin kontak mata dengannya secara intens. “Kamu yakin?” “Yakin.” Kira-kira, begitu dialognya. “Oke, Ajeng. Apa yang kamu ingin ceritakan?” Ajeng menggeleng. Menatap ke sana ke mari sebelum menunjukkan senyum lebar kepada kami. Membuat penonton k

    Last Updated : 2021-12-17
  • Dream first class   21. Orang kaya

    Hari ini kegiatan belajar mengajar selesai. Anak-anak sudah tertawa, menangis, dan belajar banyak hal melalui bermain. Perut mereka bahkan sudah cukup terisi dengan buah-buahan dan makanan bergizi sebelum diantar pulang oleh Esa seperti biasa setelah bergiliran mengecup pipi dan keningku. Suara kompak yang berkata “dadah” kepadaku sambil melambaikan tangan, perlahan pudar dikejauhan malam.Aku terpaku. Kesadaran melayang. Mendadak merasa letih disekujur tubuh. Lesu. Kupikir banyak tertawa tadi dapat membuat suasana hatiku membaik. Nyatanya tidak. Tidak sama sekali. Jadi aku berusaha mengingat hal apa saja yang berhasil membuatku tertawa, dan itu membuatku tertawa lagi. Dengan cepat kututup kamar Esa. Menaruh kunci di bawah keset welcome-nya sebelum bergegas masuk ke dalam kamarku.Aku menghempaskan diri ke atas kasur. Memijat tengkuk dan pelipis dengan satu tangan lalu membiarkan resah menganggu ketenanganku sebentar. Kubawa tidur. Tenang. Setid

    Last Updated : 2022-01-28

Latest chapter

  • Dream first class   71. Sky Diving (Tamat)

    Esa mengepak pakaian seadanya. Ia memasukan baju dan celana panjangnya secara serampangan ke dalam koper. Aku yang bersandar pada kusein pintu, yang sudah siap pergi dengan berpakaian rapi dan cantik, langsung tergerak untuk mendekat, membantunya mengeluarkan baju-baju itu kembali untuk dilipat. Ia menunggu dengan sabar di sampingku sementara aku berusaha tersenyum sambil mengusap pipinya. *** Hari H menuju kematian. Bandara Nusawiru, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Pukul 08.30, Esa memasangkan goggles padaku setelah dirinya selesai memakai jumpsuit. Perlengkapan untuk olahraga berbahaya ini sudah disiapkan oleh tim manajemen NSW Paracenter, namun entah mengapa ia lebih memilih untuk membeli semuanya sendiri. Dan itu tidak murah. “Kenapa nggak sewa aja, sih? Kan kita pakainya sekali.” Esa mengancingkan helmnya dengan erat. Lalu menghela napas sambil menaruh tangan di pinggang. “Aku sih, sekali. Tapi apa iya kamu hanya sekali?” “Maksudmu aku a

  • Dream first class   70. On the clock

    Pagi hari pukul 08.30 wita. Seperti biasa, aku melingkari angka dikalender. Tak terasa 6 bulan berlari begitu cepat secepat citah. Kuharap setelah melewati hari-hari penuh pemikiran yang dalam ini, Esa bisa mengubah keputusannya.Sejak hari terakhir kami di Gili Trawangan, pemuda berinisial E itu banyak melamun. Ia tidak lagi mengkonsumsi kafein secara berlebih. Tidak lagi menyisihkan sayur di piring makannya. Ia bahkan tidak pernah mengatakan kata-kata perpisahan selama kami menghabiskan seluruh sisa rencana kami hingga tanpa tahu, 6 bulan telah berlalu begitu saja. Apakah keputusannya sudah benar-benar berubah? Aku tak berani bertanya karena takut ia jadi terkecoh. Namun sebagai gantinya, aku berusaha ada disetiap kali ia butuhkan.Aku mendengarkannya bercerita, ikut memancing, berbicara padanya, bermain game di warnet, mencium pipinya ketika ia minta, membaca buku yang tidak begitu kusuka, mendengarkan musik Rock n roll kesukaan dia, menonton Netflix, bergandengan tangan di malam h

  • Dream first class   69. Minta doa

    Berjalan-jalan sambil bergandengan tangan sepertinya bagian favorite Esa juga. Sebagian waktu kami dihabiskan untuk berjalan kaki sambil bergandengan tangan. Saat duduk makan, kami bergandengan tangan. Menari dan menikmati suasana pesta malam, bergandengan tangan. Berdansa, bergandengan tangan. Mengobrol dan bercerita sambil bergandengan tangan. Bahkan saat mau tidur setelah memesan dua kamar di satu hotel, Esa menawariku satu kasur berdua supaya bisa berpegangan tangan.Aku tahu dia punya rencana untuk memenggal waktunya sebentar lagi, namun tak lantas membuat kami harus tidur bersama—menghalalkan segala cara.“Kalau kamu mau fight untuk hidupmu dalam waktu yang lama …. pasti aku akan tidur sambil pegangan tangan setiap waktu sama kamu. Menghabiskan hari tua bersama. Jangan khawatir.”Ia tentu mengerti maksudku dengan terdiam kaku di atas kedua kakinya. Menatap penuh kehampaan di depan pintu kamarnya sendiri. “Aku ngerti, kok. Mengambil keputusan sampai di detik ini pasti nggak mud

  • Dream first class   68. Gili Trawangan

    Kami terdiam di mobil. Mengisi energi setelah mengobrol panjang dengan keluarga Pak Imron seharian. Esa tadi sempat meminta bantuan kepada Pak Imron untuk menghubunginya jika ada yang membutuhkan perabotan rumah tangga. Dan keesokan harinya rumah Esa tak henti-hentinya didatangi mobil pick up untuk mengangkut barang. Rumahnya menjadi kosong. Kami bahkan duduk termenung di tengah-tengah ruangan beralaskan lantai marmer tersebut. Merasakan sepi yang merasuki ulu hati. “Kamu nggak menyesal, kan?” tanyaku. Takut kalau-kalau ini tak sesuai ekspetasinya. Namun hebatnya ia mencebik sambil menggeleng. Meletakan kertas wish list di sampingnya dengan tenang. “Aku nggak pernah menyesali segala keputusanku, Nom. Ini udah seperti yang aku bayangkan, kok.” *** Wush~ “Ayo kejar aku!” kataku mengejeknya ketika mengkayuh pedal sepeda lebih cepat di sore hari. Pada naik-naikan jalan, pemuda itu ternyata sudah ngos-ngosan. Tak disangka ia lebih payah dariku yang bertubuh gempal begini. Aku menghen

  • Dream first class   67. Jodoh

    “Bapak ada siapa aja nih, di rumah?” tanya Esa sesudah mencium tangannya. Aku secara otomatis juga melakukan hal tersebut sambil senyam-senyum canggung.“Istri sama anak saya, si Soleh.” Pak Imron langsung membalik muka seratus delapan puluh derajat. Mengumpulkan semua energi di dalam mulut sebelum menyemburkannya keras-keras ke dalam rumah.“BUK! ADA TAMU INI, BUK! LEH! KELUAR LEH!” Teriaknya semangat. Kemudian berbalik lagi. “Ayo! Ayo! mari masuk dulu.”Soleh sang anak tiba-tiba keluar dengan tergupuh-gupuh. Sontak Esa langsung mengajaknya untuk mengambil TV di mobil.“Nah, ini! Ayo bro, bantu aku ambil TV kamu di mobil. Siapa lagi temannya?”“Sendiri.”“Oke, deh. Ayo kita let’s go!”Si Soleh meski dengan alis yang terangkat riang, tak bisa memungkiri kebingungannya setengah mati. Ia tanpa mengerti kondisi langsung saja mengiyakan permintaan Esa yang sok akrab merangkulnya—mengajak keluar secara paksa. Cara menyapa laki-laki ini memang agak bar-bar. Maklumi saja. Aku terdiam bingu

  • Dream first class   66. Project amal pt 2

    “Tapi …. tapi—”“Udahlah sayang. Nggak usah terlalu dipikirin. Nih, kukasih tahu cara kerjanya.”Esa membuka laptopnya di atas meja bar dekat kolam. Aku ikut duduk di sampingnya sambil membawa rasa penasaran yang cukup besar dalam genggaman. Ia membuka laman facebook di website dan mengklik market place.“Karena yang kita mau jangkau orang-orang disekitaran Lombok aja, jadi kita pakai ini,” katanya. Jari-jarinya begitu cepat mengoperasikan benda tersebut. “Upload di sini gambarnya,” jelasnya. “Pilih kategori barangnya, terus barang dalam kondisi bagus-bekas klik centang, terus tentukan harganya centang, dan isi deskripsinya, deh.”“Kamu kan mau memberi, bukan menjual.”“Iya mangkanya tinggal diisi deskripsinya sayang.” Aku mengangguk. Menatap dengan kagum saat ia mulai mengetikan deskripsinya.Tidak dijual. Barang bekas mau pindahan. Khusus bagi orang yang membutuhkan. Kalau deal bisa langsung angkut ke rumah. Alamat:blablabla. Tidak pakai perantara. Siapa cepat dia dapat.Dan begitu

  • Dream first class   65. Project amal

    “Di sini ada yang suka baca?” Tidak ada yang menjawab. Mereka semua meski tertib di suruh duduk rapi dan punya semangat untuk selalu berteriak-teriak heboh setiap saat, namun dalam hal respon tanggap mereka lumayan lambat. “Ada yang mau jadi penulis?” tanyaku lagi. Kali ini ada satu anak berkepala plotos yang mengacungkan telunjuknya. Aku menjadi antusias. “Siapa namanya, sayang?” “Ali.” “Oh, Ali,” sahutku pelan. Namun Esa menyahut jenaka. “Kepanjangannya siapa Ali? Alibaba?” Sontak membuat anak-anak tertawa. Aku mencoleknya dengan siku sambil memastikan kondisi wajah Ali. “Ali. Hm, aku mau tanya dong. Kenapa kamu mau jadi penulis?” Tidak dijawab. Mungkin anak laki-laki dengan muka polos sepolos kepalanya tersebut belum mengetahui alasan mengapa ia ingin menjadi penulis. “Tapi Ali tahu, kan, penulis itu apa?” Ia mengangguk. “Kira-kira, penulis itu apa, sih?” pancingku lagi agar ia mau berusaha berpikir. “Yang nulis cerita?” tanyanya memastikan. Aku langsung menepuk tangan se

  • Dream first class   64. Do Dream

    Ia tidak lantas menjawab karena teralihkan pada alisku yang bergerak-gerak aneh. “Kamu baca whatssapp-ku, ya?” tanyanya curiga. Yang tak disangka-sangka tahu padahal sudah kupastikan tadi dia sama sekali tidak menoleh. Hal itu sungguh membuatku tak bisa berkilah. “Hm, anu, aku—” “Lain kali jangan kayak gitu, ya.” Membuat lidahku menggantung di langit-langit. Mengira ia bakal marah besar, ternyata hanya sebatas peringatan. “Oke!” seruku kemudian. Berusaha memperbaiki suasana. “Tapi, untuk beberapa hari ke depan …. kamu bakal membahas hal ini, kan?” Esa menghirup cairan di hidungnya keras-keras setelah berpikir keras, sekeras menyedot cairan itu. “Nggak dulu,” katanya. Menelisik visi yang seolah sedang tergambar jelas di depan hidungnya. “Aku hanya ingin hidup 6 bulan lagi. Di waktu 2 bulan terakhir …. mungkin aku bakal bahas itu.” *** Aku mengamati kalender tahun 2020 yang menempel di badan pintu kamar kosan. Di zaman serba cepat saat itu, bisa-bisanya seorang Noumi Roula meng

  • Dream first class   63. Sisa Waktu

    Esa mengeluarkan semua uneg-unegnya sebelum berakhir mengurung diri di kamar. Ia tidak bisa mengunci pintunya karena aku yang pegang. Lantas, setelah lama memberinya waktu menyendiri, aku pun akhirnya pelan-pelan mengarahkan kenop pintu ke bawah untuk melangkahkan kaki masuk ke dalam. Ia sedang duduk memunggungi pintu di ujung kasur. Menunduk terseguk-seguk. “Hei,” kataku menghampirinya. Mengulurkan tangan kanan dengan legowo. “Aku minta maaf, ya.” Seperti anak kecil yang tidak sengaja membuat temannya menangis. Ia mengusap mukanya sendiri sebelum dengan berat hati mengangkat dagu. Dari sudut pandangku, ia tidak pernah malu memperlihatkan air mata dan muka jeleknya saat menangis. “….” Aku masih mengulurkan tangan. Mengangkat alis untuk mengajaknya berbaikan. Namun ia tak berminat diajak salaman. Bokongnya malah bergeser untuk meraih obat di atas laci yang membuatku jadi menemukan luka dibalik kerah lengannya. “Itu kenapa?” tanyaku. Ia secara spontan menarik kerah itu lalu menepis

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status