“Esa…!” panggilku keras dalam nada berbisik. Ia menoleh gagap.
“Apa?”
“Kamu mau taruh anak-anak di mana?”
“Di kamarku.”
“Kamu nggak antar mereka pulang dulu? Nanti dicari orang tuanya, gimana?”
Esa mengapit kedua belah bibir sambil memejamkan matanya kuat-kuat. Menyuruhku diam sebentar sembari mengikutinya masuk ke dalam kamar. Aku pun terkejut setelah melihat ke-empat bocah tersebut dibaringkan berjajar di atas lantai yang dingin seperti ikan pindang setelah itu Esa mengambil Nana dariku untuk dibaringkan di tempat yang sama.
“Hei, kamu mau biarkan mereka semua tidur tanpa alas begini?”
Esa melongo. Gusar melanda mentalnya. “Aku tidak punya kasur. Kamu nggak keberatan kalau mereka malam ini tidur di kamarmu semua?”
“Kasurku tidak muat buat lima anak.”
“Ya sudah biarkan dulu begini. Mau diantar pulang pun nggak bisa karena pada tidur semua.”
“Kenapa tidak diantar pulang dulu ke rumah masing-masing pakai grab tadi?”
“Kamu nggak lihat supirnya KEPO begitu?”
“Kalau dari awal kamu nggak berbohong bilang ini anak-anakmu semua, pak supir itu pasti nggak bakal KEPO-lah!”
“Kapan aku bilang begitu? dia yang bertanya apa ini benar anak-anakku semua dan kujawab hanya ‘iya’, lho.”
“Iya, itu berbohong!”
Esa menarik napas dalam-dalam. Menggaet tanganku untuk berbicara di luar. Ia menutup pintu kamarnya dengan hati-hati sebelum terdiam sejenak dengan tatapan menusuk.
“Dengar, kalau seandainya tadi kubilang tidak, apa supir itu akan berhenti bertanya? Lagi pula, apa pentingnya orang lain tahu tentang privasiku? tapi lebih penting dari itu, ini tentang di mana anak-anak harus tidur sekarang.”
Suasananya jadi mendadak kelu hanya karena supir asing yang tanpa tahu dimana itu sekarang tengah membuat kami bersitegang. Kurasakan genggaman Esa pada pergelangan tanganku mengeras dan aku berusaha melepaskan itu. Ia tercenung dalam diam.
“Lagi pula kenapa kamu nggak punya kasur, sih? katamu gajimu cukup untuk membeli mobil setiap bulan. Itu juga berbohong?” tanyaku memprotes sengit. Ia seolah menjadi orang yang kehilangan arah hidupnya untuk beberapa saat.
“Kapan aku pernah berbohong sama kamu? Lagi pula, harus banget ya kita berkelahi karena kasur sekarang?”
“Lah, itu memang yang jadi perkaranya, bukan? anak-anak butuh kasur katamu!”
“Jadi kamu menyuruhku beli kasur malam-malam begini?”
“Aku menyuruhmu untuk mengembalikan mereka semua ke orang tuanya masing-masing. Apa susahnya, sih? kita tinggal membangunkan mereka pelan-pelan. Kenapa harus berbelit-belit begini?!”
Esa terdiam. Ketegangan diantara kami pun perlahan mengendur namun syarat akan kekecewaan. Terutama dia. Dia terlihat paling kecewa denganku.
“Nenek dan Kakeknya Ajeng bisa kutelfon sebentar lagi untuk menjemput Ajeng. Rico dan Nana tidak bisa kupulangkan karena ayahnya sekarang sedang berada di luar daerah. Sedangkan Tato dan Toto memang tidak akan kubiarkan pulang karena rumahnya pasti dikunci. Aku tidak mau mereka tidur di luar lagi. Sama saja membiarkan mereka merasakan lebih buruk dari ini.”
Aku megkerutkan alis, bingung. “Kenapa rumahnya dikunci?” Membuatnya menarik napas berat—bersiap menghembuskan cerita.
“Bapaknya membawa kunci rumah ke mana-mana sedangkan setiap malam kerjaannya mabuk-mabukkan dan main perempuan. Kamu belum tahu? Dua bocah ini bahkan dibiarkan kelaparan dalam rumah yang sengaja dikunci sampai dua harian. Tergantung kapan Bapaknya pulang.”
Aku terkejut bukan main. Ada rasa nyeri di bawah perut sementara Jari-jariku mendadak tidak bisa dipakai menggenggam setelah mendengar penjelasan itu. Sekilas, pernyataan yang Tato dan Toto lontarkan saat pertemuan pertama kami dengan tawa candaan khas bocah tujuh tahun tentang ayahnya yang gemar main perempuan itu berdengung hebat di telingaku.
“Kamu bisa bayangkan bagaimana kalau terjadi kebakaran atau tiba-tiba gempa sedangkan mereka ada di dalam rumah dalam keadaan terkunci? Mereka bisa tahan tidak makan berhari-hari lho, di usia segini. Bayangkan kalau—”
“Stop!” sergahku cepat. Tanganku tanpa sengaja menyentuh dadanya karena jarak kami terlalu dekat. Mencoba mengatur napas agar bayang-bayang mengerikan itu tidak berkembang liar di dalam kepalaku.
“Cukup dulu, Esa,” ujarku gemetaran. Tak mampu menghentikan rasa ngilu di dada. “Kita harus berpikir dengan jernih.”
Air mataku menitik saat kutahan dengan jari. Kepalaku menempel telak di dada lawan sementara bajunya kutarik erat untuk menyembunyikan wajahku. Tak lama ia mendekat lalu mendekapku dengan prihatin. Kurasakan dagunya menempel di kepalaku dan kami berpelukan sebentar. Ia membantuku mengelap air mata dengan wajah pilu setengah frustasi.
“Kita pindahkan anak-anak ke kamarku sekarang, nanti posisinya bisa diatur.”
Kedipan lambat serta anggukan lembut itu telah mengabulkan permintaanku dalam beberapa menit. Tiga kesatria cilik ditempatkan pada kasur sementara dua gadis manis di tempatkan pada matras di atas lantai yang dialasi selimut tebal. Mereka masih mendengkur pulas dan nampaknya akan terus berlanjut sampai fajar tiba.
“Ibunya bayi kembar ini di mana? sudah meninggal juga?” tanyaku pada Esa saat sibuk memperbaiki posisi kepala mereka pada bantal yang cukup panjang dipakai berdua.
“Hm. Meninggalkan negeri untuk jadi TKW di Arab Saudi.”
“Beliau nggak pernah menengok anaknya?”
“Tidak tahu. Aku belum lama kenal the twins,” ujarnya, memberikan sebutan untuk Tato dan Toto.
“Kalau Ajeng?”
“Sama.” Aku mengoperkan bantal serupa kepadanya dan ia mengangkat kepala gadis mungil itu dengan hati-hati.
“Baru sekitar kurang dari sebulan yang lalu. Ia ingin ikut bermain di sini karena gemas melihat Nana yang kubawa ke pasar saat itu.”
“Dia nggak sekolah?”
Esa mengusap helai rambutnya yang menutupi mata. Tersenyum hangat sebelum mengambil napas berat.
“Sudah berhenti.”
“Kenapa?” tanyaku sembari beranjak membuka lemari. Mengeluarkan stok selimut yang dari dulu jarang kupakai.
“Karena dia nggak punya teman di sekolah. Kata Neneknya, semenjak ayahnya meninggal dunia, dia setiap pagi selalu menjerit-jerit minta ikut Kakek-Neneknya ke pasar dan berubah menjadi anak penakut.”
“Dia trauma ditinggal pergi?” tanyaku, membuatnya menoleh. Aku pun teringat sesuatu.
“Pantas saja. Kamu tahu, tadi saat Toto tiba-tiba muntah di ujung lapangan dia lari ke arahku sambil berteriak bilang apa?”
“Apa?”
“Mama…!”
“Oh, ya?”
“Iya. Tapi kayaknya itu hanya ilusi pendengaran karena sebelumnya aku bilang sama Nana begini, ‘maafin mama, ya,’ sambil elus kepalanya karena dia nangis kulepas buat duduk di atas rumput.”
Esa mendengus melepas senyuman mencelos. Menatap kembali duo gadis mungil yang sepertinya dimabuk bunga tidur itu.
“Dari kejauhan dia sudah panggil, ‘Mama…! Mama…!’ terus dia tunjuk Toto di ujung lapangan dengan muka panik. ‘Toto muntah!’ katanya. Terus aku lari tergupuh-gupuh ke sana,” ceritaku yang sebenarnya masih dalam mode bahagia karena di panggil Mama.
“Aku jelas panik saat itu, tapi kalau dipikir-pikir lucu juga. Saat satu diantaranya muntah, semuanya ikut muntah. Untung saja Nana nggak punya inisiatif yang sama,” kataku sambil cengengesan. Esa pun ikut terkekeh kecil demi menanggapi cerita receh hari ini. Setelah itu ia menggapai selimut yang kuberikan untuk dibentangkan di atas mereka. Menoleh bingung sesaat padaku.
“Sekarang kamu mau tidur di mana?” tanyanya sebelum melanjutkan pekerjaan selanjutnya: memasangkan kaus kaki. Menggeser mereka pelan-pelan agar lebih dempet dan hangat. Aku duduk lemas di sebelahnya. Menepuk permukaan selimut yang tebal.
“Di sini saja. Nanti posisiku miring biar muat.”
Esa meregangkan pundak. Melemaskan otot-ototnya yang terasa kaku.
“Kalau mau, kamu bisa tidur di kamarku saja. Aku tidak pakai.”
“Kenapa?”
“Aku biasa tidak tidur malam.”
Dahiku mengkerut. Apa lagi ini? batinku berbicara risau. Menopang pipi ditangan untuk memperhatikannya dengan seksama.
“Sebenarnya kamu itu apa, sih, Esa? Kenapa kamu punya banyak sekali rahasia?”
“Maksudmu?”
Ia benar tidak tahu atau berpura-pura tidak tahu? Aku memposisikan diri lebih dekat untuk melipat jari-jemari satu per satu di depannya.
“Pertama, kamu punya amnesia yang tidak biasa sampai lupa identitas sendiri dan keluarga. Kedua, kamu punya gaji tapi ngekos di tempat sewa enam ratus ribu per bulan. Ketiga, kamu adalah seorang hacker yang rela menampung anak-anak asing untuk diasuh, lho, dan sekarang apa lagi? Kamu menawariku kamar karena biasa tidak tidur malam?” tanyaku heran dengan alis bertaut. Ia pun membalas tatapanku dengan datar tapi cukup membuat getir. Aku berkedip gugup.
“Tidak, terima kasih. Para tetangga pasti sudah melihat kita misuh-misuh tidak jelas dari tadi dan mungkin sekarang sedang sibuk menulis artikel untuk dimuat dikabar berita besok pagi. Aku tidak mau menambah masalah lagi.”
Esa tak lain hanya memberikan respon tertawa sebelum menyisakan hening begitu lama. Saat kulengah, ia bertanya begini, “kamu mau menikah denganku, Noumi?” yang sontak membuatku hampir terkena serangan jantung di tempat.
“Apa katamu?!”
***
Keesokkan harinya, ia mengajakku membahas perihal kontrak kerja yang akan kami sepakati bersama di sebuah café. Seorang kasir tampan bercelemek hitam gaya barista mewakili kearifan tempat itu. Richie. Ia kali ini menyapaku dengan menyebutkan nama, bahkan tersenyum lebar seperti telah bertemu teman lama. “Hai, Noumi.” “Hai,” jawabku malu-malu sambil menunjukkan telapak tangan yang digoyangkan pelan. Ada buntut di belakang kepalanya. Entah sejak kapan surainya jadi begitu panjang. Aku hampir tidak mengenalinya tadi karena sebelumnya sempat memberitahu kalau akan ke sini sore hari. “Kapan hari kami pernah bertemu di tempatku bekerja. Noumi belum cerita, ya?” tanya Richie secara terbuka untuk memberitahukan Esa yang sepertinya sempat memperhatikan kami dengan tatapan curiga. “Kamu sama temanmu waktu itu, bukan?” Kali ini memastikannya kepadaku. Esa merespon lebih cepat. “Teman?” lalu tanpa sengaja menuntut pembenaran dariku. “I
Isi kontraknya begitu padat dan tidak bertele-tele. Esa bahkan banyak menawarkan keuntungan padaku dengan menyediakan fasilitas maupun susunan agenda kerja yang praktis. Jam kerja hanya enam jam perhari dengan libur akhir pekan sabtu dan minggu. Kami akan mengikuti tes untuk mendapatkan lisensi psikologi anak lebih dulu sebelum mengikuti webinar dalam mempelajari bayi dari umur nol sampai sepuluh tahun. Visi perusahaannya adalah mewujudkan mimpi setiap anak di Indonesia. Misinya adalah menciptakan taman bermain yang luas dan membangun kelas mimpi yang sangat produktif. Aku belum tahu bagaimana cara hal itu akan diwujudkan namun membacanya saja sudah mampu membuat api semangatku menyala-nyala. “Ini hanya garis besar yang tidak mungkin tercapai kalau effort-nya tidak besar. Aku harap kita bisa mencapai itu bersama-sama, sementara untuk saat ini kita bisa mulai melatih dan membekali diri untuk menjadi orang tua yang handal dari lima anak-a
“Ini kartu namamu,” ucap Esa saat memberikan beberapa padaku. Aku menyimpannya di dalam dompet. “Hati-hati simpannya. Jangan sampai hilang.” “Iya,” kataku sedikit jengah. Kemudian beranjak dari tempat duduk sendiri. “Aku boleh ke toilet sebentar?” “Boleh... tempatnya persis di samping bawah anak tangga itu, ya.” “Hm,” jawabku mengangguk, kemudian dengan cepat berjalan menuju tempat itu. Akibat over dosis minuman gratis dari Richie, aku jadi kebelet pipis. Pria manis itu seenaknya memberikan minuman mahal dengan gratis beberapa kali mentang-mentang tidak dimarahi yang punya. Kalau aku yang punya café ini, sudah kupastikan ia hanya akan menyisakan namanya di sini. “Kak…” “Oh!” Aku menoleh ketika merasakan seseorang menarik kemejaku dan terkejut melihat sosoknya yang polos. “Saya lupa taruh tisu di kamar mandinya tadi, mohon maaf,” katanya sambil menyodorkan tisu gulung utuh padaku. Rautnya tidak dibuat sebagaimana semest
Manusia setampan dan sesempurna Richie ternyata punya nasib yang cukup menyedihkan. Kukira selama ini keceriaannya adalah bawaan dari lahir, tapi tak tahunya untuk menutupi ini. Untung saja ia belum kumasukkan dalam daftar list orang-orang yang kubenci. Tak lama setelah membesuk Olin, kami pun pergi ke gereja untuk mengikuti webinar psikologi anak. Esa jadi tidak banyak omong selama sesi itu. Ia hanya terfokus mengisi kolom-kolom formulir yang diberikan atas materi tentang pentingnya bermain pada anak. Bangku-bangku dibiarkan berjarak, dan aku memperhatikan para Ibu yang memangku anak-anak mereka sambil mencatat point penting yang disampaikan dengan cermat. Tidak ada kejengkelan yang dipendam atau ancaman kecil kepada anak yang sudah bisa berlarian ke sana ke mari hingga menangis nyaring kala membentur sudut meja. Orang tua mereka hanya memberitahu, menggeleng jika tidak setuju, membisikkan sesuatu kalau anaknya tidak mau diam, atau yang terak
Entah untuk mengalihkan topik atau sejenisnya, ajakan menikah dari yang kemarin-kemarin itu sudah mulai mengusik ketenanganku dimenit-menit terakhir. Saat ini kami sedang bermain dengan anak-anak. Esa menyiapkan satu kursi di tengah ruangannya. Mempersilahkan siapapun yang bersedia duduk di sana untuk menceritakan apapun yang mereka inginkan. Puzzle, Blok, rubik, buku teka-teki silang, dadu, bola karet, dan berbagai macam mainan lainnya yang sempat kami beli tadi disimpan oleh Esa sejenak. Tujuannya demi fokus kepada acara berikutnya. “Tes.” Itu suara Ajeng. Ia sudah duduk duluan di bangku tersebut. Membuat kami terkejut. Esa langsung menjalin kontak mata dengannya secara intens. “Kamu yakin?” “Yakin.” Kira-kira, begitu dialognya. “Oke, Ajeng. Apa yang kamu ingin ceritakan?” Ajeng menggeleng. Menatap ke sana ke mari sebelum menunjukkan senyum lebar kepada kami. Membuat penonton k
Hari ini kegiatan belajar mengajar selesai. Anak-anak sudah tertawa, menangis, dan belajar banyak hal melalui bermain. Perut mereka bahkan sudah cukup terisi dengan buah-buahan dan makanan bergizi sebelum diantar pulang oleh Esa seperti biasa setelah bergiliran mengecup pipi dan keningku. Suara kompak yang berkata “dadah” kepadaku sambil melambaikan tangan, perlahan pudar dikejauhan malam.Aku terpaku. Kesadaran melayang. Mendadak merasa letih disekujur tubuh. Lesu. Kupikir banyak tertawa tadi dapat membuat suasana hatiku membaik. Nyatanya tidak. Tidak sama sekali. Jadi aku berusaha mengingat hal apa saja yang berhasil membuatku tertawa, dan itu membuatku tertawa lagi. Dengan cepat kututup kamar Esa. Menaruh kunci di bawah keset welcome-nya sebelum bergegas masuk ke dalam kamarku.Aku menghempaskan diri ke atas kasur. Memijat tengkuk dan pelipis dengan satu tangan lalu membiarkan resah menganggu ketenanganku sebentar. Kubawa tidur. Tenang. Setid
“Sudah pesannya?” “Hm.” “Pesan apa?” “Burger. Lagi banyak diskon soalnya, gratis ongkir pula.” “Oh ….” Dagunya naik. Aku bisa melihat itu walau sedang ketagihan melihat tampilan menu lain yang terlihat lebih lezat dari yang kupesan tadi. “Nih, ada sms penting juga masuk tadi,” kataku. Mencoba tenang, setenang-tenangnya manusia di muka bumi ini. Ia menyodorkan minuman dingin dalam gelas panjang yang airnya berwarna caramel kepadaku. Aku menyesapnya perlahan, mencoba menyembunyikan tremorku sambil melipat kaki dengan anggun. Menunggunya mengecek sms tadi. “Sempat kamu baca?” “Hm, iya.” Dia jadi bingung mau menjawabnya bagaimana. “Sebenarnya itu untuk—” “Privasi kan? maaf, ya. Soal tadi kenapa aku lihat karena notifikasinya muncul begitu saja, jadi nggak bisa dihindari.” “Ah …. iya. Nggak apa-apa.” Dia bingung sekaligus merasa aneh. Sambil menggaruk-garuk pelipis dan menyesap minuman yang warnanya lebih pekat dariku, keresahannya pun dilontarkan. “Kamu nggak penasaran?” Aku b
“Sa, kita mau ke mana?” Ada anakan tangga kecil yang letaknya cukup tersembunyi dari ruang café. Esa mengajakku ke sana. “Ke atas. Aku punya ruangan pribadi di atas.” Persis seperti halusinasiku yang tadi. Bedanya sekarang kami tidak pakai berkelahi. Sampai di atas, sempat gelap dan menyeramkan sebelum berubah menjadi terang dan layak huni hanya karena Esa menyalakan lampunya. Nuansa dekornya minimalis seperti ruang tengah yang hanya memiliki sofa putih: meja hitam di tengahnya yang sempat ditaruh makanan tadi oleh Esa dan sebuah TV yang menempel di dinding. Lantainya dibuat dari kayu mengkilap. Di luar, setelah gordennya disingkap oleh Esa dan pintu yang terbuat dari kaca tersebut digeser olehnya, pemandangan kota terlihat lebih jelas di sana. Atap semen seluas sama dengan ruangan di dalam yang dibatasi pagar besi itu terlilit tangkai bunga mawar disepanjang relingnya. Tempat itu terbiasi cahaya bulan yang temaram juga kerlap-kerlip kota. Menghadap barat di mana hal itu bisa dija
Esa mengepak pakaian seadanya. Ia memasukan baju dan celana panjangnya secara serampangan ke dalam koper. Aku yang bersandar pada kusein pintu, yang sudah siap pergi dengan berpakaian rapi dan cantik, langsung tergerak untuk mendekat, membantunya mengeluarkan baju-baju itu kembali untuk dilipat. Ia menunggu dengan sabar di sampingku sementara aku berusaha tersenyum sambil mengusap pipinya. *** Hari H menuju kematian. Bandara Nusawiru, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Pukul 08.30, Esa memasangkan goggles padaku setelah dirinya selesai memakai jumpsuit. Perlengkapan untuk olahraga berbahaya ini sudah disiapkan oleh tim manajemen NSW Paracenter, namun entah mengapa ia lebih memilih untuk membeli semuanya sendiri. Dan itu tidak murah. “Kenapa nggak sewa aja, sih? Kan kita pakainya sekali.” Esa mengancingkan helmnya dengan erat. Lalu menghela napas sambil menaruh tangan di pinggang. “Aku sih, sekali. Tapi apa iya kamu hanya sekali?” “Maksudmu aku a
Pagi hari pukul 08.30 wita. Seperti biasa, aku melingkari angka dikalender. Tak terasa 6 bulan berlari begitu cepat secepat citah. Kuharap setelah melewati hari-hari penuh pemikiran yang dalam ini, Esa bisa mengubah keputusannya.Sejak hari terakhir kami di Gili Trawangan, pemuda berinisial E itu banyak melamun. Ia tidak lagi mengkonsumsi kafein secara berlebih. Tidak lagi menyisihkan sayur di piring makannya. Ia bahkan tidak pernah mengatakan kata-kata perpisahan selama kami menghabiskan seluruh sisa rencana kami hingga tanpa tahu, 6 bulan telah berlalu begitu saja. Apakah keputusannya sudah benar-benar berubah? Aku tak berani bertanya karena takut ia jadi terkecoh. Namun sebagai gantinya, aku berusaha ada disetiap kali ia butuhkan.Aku mendengarkannya bercerita, ikut memancing, berbicara padanya, bermain game di warnet, mencium pipinya ketika ia minta, membaca buku yang tidak begitu kusuka, mendengarkan musik Rock n roll kesukaan dia, menonton Netflix, bergandengan tangan di malam h
Berjalan-jalan sambil bergandengan tangan sepertinya bagian favorite Esa juga. Sebagian waktu kami dihabiskan untuk berjalan kaki sambil bergandengan tangan. Saat duduk makan, kami bergandengan tangan. Menari dan menikmati suasana pesta malam, bergandengan tangan. Berdansa, bergandengan tangan. Mengobrol dan bercerita sambil bergandengan tangan. Bahkan saat mau tidur setelah memesan dua kamar di satu hotel, Esa menawariku satu kasur berdua supaya bisa berpegangan tangan.Aku tahu dia punya rencana untuk memenggal waktunya sebentar lagi, namun tak lantas membuat kami harus tidur bersama—menghalalkan segala cara.“Kalau kamu mau fight untuk hidupmu dalam waktu yang lama …. pasti aku akan tidur sambil pegangan tangan setiap waktu sama kamu. Menghabiskan hari tua bersama. Jangan khawatir.”Ia tentu mengerti maksudku dengan terdiam kaku di atas kedua kakinya. Menatap penuh kehampaan di depan pintu kamarnya sendiri. “Aku ngerti, kok. Mengambil keputusan sampai di detik ini pasti nggak mud
Kami terdiam di mobil. Mengisi energi setelah mengobrol panjang dengan keluarga Pak Imron seharian. Esa tadi sempat meminta bantuan kepada Pak Imron untuk menghubunginya jika ada yang membutuhkan perabotan rumah tangga. Dan keesokan harinya rumah Esa tak henti-hentinya didatangi mobil pick up untuk mengangkut barang. Rumahnya menjadi kosong. Kami bahkan duduk termenung di tengah-tengah ruangan beralaskan lantai marmer tersebut. Merasakan sepi yang merasuki ulu hati. “Kamu nggak menyesal, kan?” tanyaku. Takut kalau-kalau ini tak sesuai ekspetasinya. Namun hebatnya ia mencebik sambil menggeleng. Meletakan kertas wish list di sampingnya dengan tenang. “Aku nggak pernah menyesali segala keputusanku, Nom. Ini udah seperti yang aku bayangkan, kok.” *** Wush~ “Ayo kejar aku!” kataku mengejeknya ketika mengkayuh pedal sepeda lebih cepat di sore hari. Pada naik-naikan jalan, pemuda itu ternyata sudah ngos-ngosan. Tak disangka ia lebih payah dariku yang bertubuh gempal begini. Aku menghen
“Bapak ada siapa aja nih, di rumah?” tanya Esa sesudah mencium tangannya. Aku secara otomatis juga melakukan hal tersebut sambil senyam-senyum canggung.“Istri sama anak saya, si Soleh.” Pak Imron langsung membalik muka seratus delapan puluh derajat. Mengumpulkan semua energi di dalam mulut sebelum menyemburkannya keras-keras ke dalam rumah.“BUK! ADA TAMU INI, BUK! LEH! KELUAR LEH!” Teriaknya semangat. Kemudian berbalik lagi. “Ayo! Ayo! mari masuk dulu.”Soleh sang anak tiba-tiba keluar dengan tergupuh-gupuh. Sontak Esa langsung mengajaknya untuk mengambil TV di mobil.“Nah, ini! Ayo bro, bantu aku ambil TV kamu di mobil. Siapa lagi temannya?”“Sendiri.”“Oke, deh. Ayo kita let’s go!”Si Soleh meski dengan alis yang terangkat riang, tak bisa memungkiri kebingungannya setengah mati. Ia tanpa mengerti kondisi langsung saja mengiyakan permintaan Esa yang sok akrab merangkulnya—mengajak keluar secara paksa. Cara menyapa laki-laki ini memang agak bar-bar. Maklumi saja. Aku terdiam bingu
“Tapi …. tapi—”“Udahlah sayang. Nggak usah terlalu dipikirin. Nih, kukasih tahu cara kerjanya.”Esa membuka laptopnya di atas meja bar dekat kolam. Aku ikut duduk di sampingnya sambil membawa rasa penasaran yang cukup besar dalam genggaman. Ia membuka laman facebook di website dan mengklik market place.“Karena yang kita mau jangkau orang-orang disekitaran Lombok aja, jadi kita pakai ini,” katanya. Jari-jarinya begitu cepat mengoperasikan benda tersebut. “Upload di sini gambarnya,” jelasnya. “Pilih kategori barangnya, terus barang dalam kondisi bagus-bekas klik centang, terus tentukan harganya centang, dan isi deskripsinya, deh.”“Kamu kan mau memberi, bukan menjual.”“Iya mangkanya tinggal diisi deskripsinya sayang.” Aku mengangguk. Menatap dengan kagum saat ia mulai mengetikan deskripsinya.Tidak dijual. Barang bekas mau pindahan. Khusus bagi orang yang membutuhkan. Kalau deal bisa langsung angkut ke rumah. Alamat:blablabla. Tidak pakai perantara. Siapa cepat dia dapat.Dan begitu
“Di sini ada yang suka baca?” Tidak ada yang menjawab. Mereka semua meski tertib di suruh duduk rapi dan punya semangat untuk selalu berteriak-teriak heboh setiap saat, namun dalam hal respon tanggap mereka lumayan lambat. “Ada yang mau jadi penulis?” tanyaku lagi. Kali ini ada satu anak berkepala plotos yang mengacungkan telunjuknya. Aku menjadi antusias. “Siapa namanya, sayang?” “Ali.” “Oh, Ali,” sahutku pelan. Namun Esa menyahut jenaka. “Kepanjangannya siapa Ali? Alibaba?” Sontak membuat anak-anak tertawa. Aku mencoleknya dengan siku sambil memastikan kondisi wajah Ali. “Ali. Hm, aku mau tanya dong. Kenapa kamu mau jadi penulis?” Tidak dijawab. Mungkin anak laki-laki dengan muka polos sepolos kepalanya tersebut belum mengetahui alasan mengapa ia ingin menjadi penulis. “Tapi Ali tahu, kan, penulis itu apa?” Ia mengangguk. “Kira-kira, penulis itu apa, sih?” pancingku lagi agar ia mau berusaha berpikir. “Yang nulis cerita?” tanyanya memastikan. Aku langsung menepuk tangan se
Ia tidak lantas menjawab karena teralihkan pada alisku yang bergerak-gerak aneh. “Kamu baca whatssapp-ku, ya?” tanyanya curiga. Yang tak disangka-sangka tahu padahal sudah kupastikan tadi dia sama sekali tidak menoleh. Hal itu sungguh membuatku tak bisa berkilah. “Hm, anu, aku—” “Lain kali jangan kayak gitu, ya.” Membuat lidahku menggantung di langit-langit. Mengira ia bakal marah besar, ternyata hanya sebatas peringatan. “Oke!” seruku kemudian. Berusaha memperbaiki suasana. “Tapi, untuk beberapa hari ke depan …. kamu bakal membahas hal ini, kan?” Esa menghirup cairan di hidungnya keras-keras setelah berpikir keras, sekeras menyedot cairan itu. “Nggak dulu,” katanya. Menelisik visi yang seolah sedang tergambar jelas di depan hidungnya. “Aku hanya ingin hidup 6 bulan lagi. Di waktu 2 bulan terakhir …. mungkin aku bakal bahas itu.” *** Aku mengamati kalender tahun 2020 yang menempel di badan pintu kamar kosan. Di zaman serba cepat saat itu, bisa-bisanya seorang Noumi Roula meng
Esa mengeluarkan semua uneg-unegnya sebelum berakhir mengurung diri di kamar. Ia tidak bisa mengunci pintunya karena aku yang pegang. Lantas, setelah lama memberinya waktu menyendiri, aku pun akhirnya pelan-pelan mengarahkan kenop pintu ke bawah untuk melangkahkan kaki masuk ke dalam. Ia sedang duduk memunggungi pintu di ujung kasur. Menunduk terseguk-seguk. “Hei,” kataku menghampirinya. Mengulurkan tangan kanan dengan legowo. “Aku minta maaf, ya.” Seperti anak kecil yang tidak sengaja membuat temannya menangis. Ia mengusap mukanya sendiri sebelum dengan berat hati mengangkat dagu. Dari sudut pandangku, ia tidak pernah malu memperlihatkan air mata dan muka jeleknya saat menangis. “….” Aku masih mengulurkan tangan. Mengangkat alis untuk mengajaknya berbaikan. Namun ia tak berminat diajak salaman. Bokongnya malah bergeser untuk meraih obat di atas laci yang membuatku jadi menemukan luka dibalik kerah lengannya. “Itu kenapa?” tanyaku. Ia secara spontan menarik kerah itu lalu menepis