Entah untuk mengalihkan topik atau sejenisnya, ajakan menikah dari yang kemarin-kemarin itu sudah mulai mengusik ketenanganku dimenit-menit terakhir. Saat ini kami sedang bermain dengan anak-anak. Esa menyiapkan satu kursi di tengah ruangannya. Mempersilahkan siapapun yang bersedia duduk di sana untuk menceritakan apapun yang mereka inginkan.
Puzzle, Blok, rubik, buku teka-teki silang, dadu, bola karet, dan berbagai macam mainan lainnya yang sempat kami beli tadi disimpan oleh Esa sejenak. Tujuannya demi fokus kepada acara berikutnya.âTes.âItu suara Ajeng. Ia sudah duduk duluan di bangku tersebut. Membuat kami terkejut. Esa langsung menjalin kontak mata dengannya secara intens.âKamu yakin?ââYakin.âKira-kira, begitu dialognya.âOke, Ajeng. Apa yang kamu ingin ceritakan?âAjeng menggeleng. Menatap ke sana ke mari sebelum menunjukkan senyum lebar kepada kami. Membuat penonton kGa suka sama orang kikir yg nggak like n coment
Hari ini kegiatan belajar mengajar selesai. Anak-anak sudah tertawa, menangis, dan belajar banyak hal melalui bermain. Perut mereka bahkan sudah cukup terisi dengan buah-buahan dan makanan bergizi sebelum diantar pulang oleh Esa seperti biasa setelah bergiliran mengecup pipi dan keningku. Suara kompak yang berkata “dadah” kepadaku sambil melambaikan tangan, perlahan pudar dikejauhan malam.Aku terpaku. Kesadaran melayang. Mendadak merasa letih disekujur tubuh. Lesu. Kupikir banyak tertawa tadi dapat membuat suasana hatiku membaik. Nyatanya tidak. Tidak sama sekali. Jadi aku berusaha mengingat hal apa saja yang berhasil membuatku tertawa, dan itu membuatku tertawa lagi. Dengan cepat kututup kamar Esa. Menaruh kunci di bawah keset welcome-nya sebelum bergegas masuk ke dalam kamarku.Aku menghempaskan diri ke atas kasur. Memijat tengkuk dan pelipis dengan satu tangan lalu membiarkan resah menganggu ketenanganku sebentar. Kubawa tidur. Tenang. Setid
âSudah pesannya?â âHm.â âPesan apa?â âBurger. Lagi banyak diskon soalnya, gratis ongkir pula.â âOh âŚ.â Dagunya naik. Aku bisa melihat itu walau sedang ketagihan melihat tampilan menu lain yang terlihat lebih lezat dari yang kupesan tadi. âNih, ada sms penting juga masuk tadi,â kataku. Mencoba tenang, setenang-tenangnya manusia di muka bumi ini. Ia menyodorkan minuman dingin dalam gelas panjang yang airnya berwarna caramel kepadaku. Aku menyesapnya perlahan, mencoba menyembunyikan tremorku sambil melipat kaki dengan anggun. Menunggunya mengecek sms tadi. âSempat kamu baca?â âHm, iya.â Dia jadi bingung mau menjawabnya bagaimana. âSebenarnya itu untukââ âPrivasi kan? maaf, ya. Soal tadi kenapa aku lihat karena notifikasinya muncul begitu saja, jadi nggak bisa dihindari.â âAh âŚ. iya. Nggak apa-apa.â Dia bingung sekaligus merasa aneh. Sambil menggaruk-garuk pelipis dan menyesap minuman yang warnanya lebih pekat dariku, keresahannya pun dilontarkan. âKamu nggak penasaran?â Aku b
âSa, kita mau ke mana?â Ada anakan tangga kecil yang letaknya cukup tersembunyi dari ruang cafĂŠ. Esa mengajakku ke sana. âKe atas. Aku punya ruangan pribadi di atas.â Persis seperti halusinasiku yang tadi. Bedanya sekarang kami tidak pakai berkelahi. Sampai di atas, sempat gelap dan menyeramkan sebelum berubah menjadi terang dan layak huni hanya karena Esa menyalakan lampunya. Nuansa dekornya minimalis seperti ruang tengah yang hanya memiliki sofa putih: meja hitam di tengahnya yang sempat ditaruh makanan tadi oleh Esa dan sebuah TV yang menempel di dinding. Lantainya dibuat dari kayu mengkilap. Di luar, setelah gordennya disingkap oleh Esa dan pintu yang terbuat dari kaca tersebut digeser olehnya, pemandangan kota terlihat lebih jelas di sana. Atap semen seluas sama dengan ruangan di dalam yang dibatasi pagar besi itu terlilit tangkai bunga mawar disepanjang relingnya. Tempat itu terbiasi cahaya bulan yang temaram juga kerlap-kerlip kota. Menghadap barat di mana hal itu bisa dija
Aku melamun cukup lama di atas tempat tidur dengan kaki bersila. Menggaruk kepala lalu mematikan alarm diponsel yang bergetar tepat pada pukul 11 pagi. Karena kasurku beberapa hari yang lalu kudempetan dengan jendela, gordennya langsung kubuka dan tanaman kaktus dengan pot kecil yang terletak di ambang jendela tersebut kusemprotkan air dalam botol spray bekas pengharum baju. âSelamat pagi, kaktus,â sapaku ramah. Memandanginya dengan penuh perhatian. âI love you,â kataku malu-malu. Rasanya memang agak menggelikan. Tapi tidak buruk juga. Sebelum bertambah malu dihadapan tuan kaktus, aku menutup muka dengan kedua tangan lalu melompat pergi dari tempat tidur. Ketika mandi, biasanya aku hanya menggosok badan menggunakan busa sabun dengan tidak bersemangat. Tapi mulai dari sekarang aku perlahan mencoba menyelingi kegiatan tersebut dengan bernyanyi. Bernyanyi sesuka hati sambil menyikat gigi. Pikiran dan suasana hati buruk tentu saja menghampiri, namun aku ingat tips tadi malam yang semp
Aku tahu, rencana tidak pernah berjalan sesuai dengan ekpetasi manusia. Tapi beberapa mengatakan kita tidak boleh mengikuti arus. Mengalir seperti air. Terkesan seperti tidak punya pendirian. Namun beberapa lagi akhirnya membiarkan dirinya hanyut terbawa arus demi mendengarkan permintaan hati tentang apa yang sebenarnya dunia butuhkan dari mereka. Aku tidak mengerti apa yang diriku butuhkan saat ini. Mimpi seperti apa yang seharusnya aku kejar. Tujuan seperti apa yang sebenarnya aku inginkan. Apa yang membuat hari-hariku begitu kelabu meski sinar mentari selalu menembus kamarku setiap pagi. Aku melihat Esa. Tapi jiwaku mati untuk kesekian kalinya. Kupikir setidaknya aku masih bisa memiliki sedih sebagai rasa satu-satunya yang kupunya, tapi ternyata itu pun pergi dari hidupku. Aku hanya diisi kosong. Bertahun-tahun lamanya. âHei,â tegur Esa yang tahu-tahu sedang memperhatikanku. Kami berdua berakhir duduk berdampingan di halaman belakang rumahnya yang baru. Aku baru sadar hari telah
Sebelumnya, aku tidak pernah merasakan ini. Berada di tengah-tengah orang yang tidak punya ikatan keluarga denganku, namun selalu mampu menghangatkan suasana hati. Anak-anak mendirikan tenda dengan sangat akur meski sebelumnya sempat berkelahi. Mereka bahkan bisa tertawa-tawa seperti semula. Beda denganku waktu kecil. Perkelahian itu seolah menjadi sebuah permasalahan besar dan aku sulit untuk memaafkan orang lain.Ternyata kuncinya ada di orang dewasa. Seperti cara Esa tadi. Berusaha memberikan penjelasan serinci mungkin agar anak-anak paham kondisi apa yang sebenarnya sedang terjadi. Bagaimana solusi yang tepat untuk mengatasinya dan bagaimana cara bertoleransi antar sesama. Mereka mengerti, bahkan saling memahami.Aku jadi sempat berpikir tentang Esa. Dia punya selera humor yang baik, sifat yang baik, perilaku yang baik, daya refleksi yang bagus, pintar, kaya, dan menawan. Apakah aku pantas dengannya? Aku jadi bertanya-tanya tentang apa sebenarnya kelebihan diriku yang bisa membuat
âJadi kemarin, aku nelfon papaku. Dia sempat kaget.ââKarena kamu bilang mau nikah.ââItu juga, tapi lebih kagetnya lagi karena aku masih hidup.ââKenapa?ââCeritanya panjang. Singkatnya, aku sejak merantau ke sini sengaja ganti nomor supaya nggak bisa dihubungi. Aku sempat bikin janji lewat sms sama beliau bakal mengabari keadaan kalau aku sudah sukses nanti, tapi sekarang ternyata malah kasih kabar mau nikah. Jadi papaku marah. Beliau kira aku dihamili orang. Kalau bisa secepatnya aku di suruh pulang ke Manado dulu katanya.âEsa tenggelam di ambang kesadaran. Aku mengangkat bahu untuk memastikan keadaan.âJadiâŚ. gimana? Kita jadi nikah âŚ. atau gimana?ââJadi lah,â paparnya tegas. Nyaris menyemburkan jus jeruk yang sedang diminumnya.âKita sama-sama pergi temui orang tuamu dulu, untuk minta restu.ââYakin?ââYakin.ââKenapa?âIa sedikit bingung. âKok, kenapa?â lalu berjalan mengikutiku mengambil gelas di meja bar dekat kolam renangnya. Ia menuangkan jus jeruk itu untukku.âKarena seb
Menangis. Aku menangis mengingat Esa sempat menitikkan air matanya tadi. Ini pertama kali dalam hidupku melihat seorang laki-laki kecewa berat seolah telah menaruh ekspetasi tinggi pada wanita. Aku sendiri bahkan merasa bersalah dan teramat kecewa pada diriku karena telah membuat orang baik dan pengertian sepertinya terluka. Dalam benak, seribu kali terulang dan mengucur dalam tangis, aku mengharapkan ia bertemu dengan wanita lain yang lebih sehat dan lebih layak bersanding dengannya. Jadi, setelah mengepak koper dan mengunci pintu, aku melihat layar ponselku sejenak, menekan tombol blokir pada kontaknya kemudian pergi dari kosan agar tidak ditemukan. Hari yang terik, tapi kakiku berjalan menyusuri jalan. Sesekali menjulurkan tangan di tepian trotoar untuk taksi kosong, sebelum akhirnya memilih perjalanan ke sebuah tempat yang jauh. Aku melamun dan supir taksi curiga padaku. Ia bertanya apakah aku sedang sakit atau tidak, atau mau ke mana? dengan raut khawatir. Aku tidak punya tujuan
Esa mengepak pakaian seadanya. Ia memasukan baju dan celana panjangnya secara serampangan ke dalam koper. Aku yang bersandar pada kusein pintu, yang sudah siap pergi dengan berpakaian rapi dan cantik, langsung tergerak untuk mendekat, membantunya mengeluarkan baju-baju itu kembali untuk dilipat. Ia menunggu dengan sabar di sampingku sementara aku berusaha tersenyum sambil mengusap pipinya. *** Hari H menuju kematian. Bandara Nusawiru, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Pukul 08.30, Esa memasangkan goggles padaku setelah dirinya selesai memakai jumpsuit. Perlengkapan untuk olahraga berbahaya ini sudah disiapkan oleh tim manajemen NSW Paracenter, namun entah mengapa ia lebih memilih untuk membeli semuanya sendiri. Dan itu tidak murah. âKenapa nggak sewa aja, sih? Kan kita pakainya sekali.â Esa mengancingkan helmnya dengan erat. Lalu menghela napas sambil menaruh tangan di pinggang. âAku sih, sekali. Tapi apa iya kamu hanya sekali?â âMaksudmu aku a
Pagi hari pukul 08.30 wita. Seperti biasa, aku melingkari angka dikalender. Tak terasa 6 bulan berlari begitu cepat secepat citah. Kuharap setelah melewati hari-hari penuh pemikiran yang dalam ini, Esa bisa mengubah keputusannya.Sejak hari terakhir kami di Gili Trawangan, pemuda berinisial E itu banyak melamun. Ia tidak lagi mengkonsumsi kafein secara berlebih. Tidak lagi menyisihkan sayur di piring makannya. Ia bahkan tidak pernah mengatakan kata-kata perpisahan selama kami menghabiskan seluruh sisa rencana kami hingga tanpa tahu, 6 bulan telah berlalu begitu saja. Apakah keputusannya sudah benar-benar berubah? Aku tak berani bertanya karena takut ia jadi terkecoh. Namun sebagai gantinya, aku berusaha ada disetiap kali ia butuhkan.Aku mendengarkannya bercerita, ikut memancing, berbicara padanya, bermain game di warnet, mencium pipinya ketika ia minta, membaca buku yang tidak begitu kusuka, mendengarkan musik Rock n roll kesukaan dia, menonton Netflix, bergandengan tangan di malam h
Berjalan-jalan sambil bergandengan tangan sepertinya bagian favorite Esa juga. Sebagian waktu kami dihabiskan untuk berjalan kaki sambil bergandengan tangan. Saat duduk makan, kami bergandengan tangan. Menari dan menikmati suasana pesta malam, bergandengan tangan. Berdansa, bergandengan tangan. Mengobrol dan bercerita sambil bergandengan tangan. Bahkan saat mau tidur setelah memesan dua kamar di satu hotel, Esa menawariku satu kasur berdua supaya bisa berpegangan tangan.Aku tahu dia punya rencana untuk memenggal waktunya sebentar lagi, namun tak lantas membuat kami harus tidur bersamaâmenghalalkan segala cara.âKalau kamu mau fight untuk hidupmu dalam waktu yang lama âŚ. pasti aku akan tidur sambil pegangan tangan setiap waktu sama kamu. Menghabiskan hari tua bersama. Jangan khawatir.âIa tentu mengerti maksudku dengan terdiam kaku di atas kedua kakinya. Menatap penuh kehampaan di depan pintu kamarnya sendiri. âAku ngerti, kok. Mengambil keputusan sampai di detik ini pasti nggak mud
Kami terdiam di mobil. Mengisi energi setelah mengobrol panjang dengan keluarga Pak Imron seharian. Esa tadi sempat meminta bantuan kepada Pak Imron untuk menghubunginya jika ada yang membutuhkan perabotan rumah tangga. Dan keesokan harinya rumah Esa tak henti-hentinya didatangi mobil pick up untuk mengangkut barang. Rumahnya menjadi kosong. Kami bahkan duduk termenung di tengah-tengah ruangan beralaskan lantai marmer tersebut. Merasakan sepi yang merasuki ulu hati. âKamu nggak menyesal, kan?â tanyaku. Takut kalau-kalau ini tak sesuai ekspetasinya. Namun hebatnya ia mencebik sambil menggeleng. Meletakan kertas wish list di sampingnya dengan tenang. âAku nggak pernah menyesali segala keputusanku, Nom. Ini udah seperti yang aku bayangkan, kok.â *** Wush~ âAyo kejar aku!â kataku mengejeknya ketika mengkayuh pedal sepeda lebih cepat di sore hari. Pada naik-naikan jalan, pemuda itu ternyata sudah ngos-ngosan. Tak disangka ia lebih payah dariku yang bertubuh gempal begini. Aku menghen
âBapak ada siapa aja nih, di rumah?â tanya Esa sesudah mencium tangannya. Aku secara otomatis juga melakukan hal tersebut sambil senyam-senyum canggung.âIstri sama anak saya, si Soleh.â Pak Imron langsung membalik muka seratus delapan puluh derajat. Mengumpulkan semua energi di dalam mulut sebelum menyemburkannya keras-keras ke dalam rumah.âBUK! ADA TAMU INI, BUK! LEH! KELUAR LEH!â Teriaknya semangat. Kemudian berbalik lagi. âAyo! Ayo! mari masuk dulu.âSoleh sang anak tiba-tiba keluar dengan tergupuh-gupuh. Sontak Esa langsung mengajaknya untuk mengambil TV di mobil.âNah, ini! Ayo bro, bantu aku ambil TV kamu di mobil. Siapa lagi temannya?ââSendiri.ââOke, deh. Ayo kita letâs go!âSi Soleh meski dengan alis yang terangkat riang, tak bisa memungkiri kebingungannya setengah mati. Ia tanpa mengerti kondisi langsung saja mengiyakan permintaan Esa yang sok akrab merangkulnyaâmengajak keluar secara paksa. Cara menyapa laki-laki ini memang agak bar-bar. Maklumi saja. Aku terdiam bingu
âTapi âŚ. tapiâââUdahlah sayang. Nggak usah terlalu dipikirin. Nih, kukasih tahu cara kerjanya.âEsa membuka laptopnya di atas meja bar dekat kolam. Aku ikut duduk di sampingnya sambil membawa rasa penasaran yang cukup besar dalam genggaman. Ia membuka laman facebook di website dan mengklik market place.âKarena yang kita mau jangkau orang-orang disekitaran Lombok aja, jadi kita pakai ini,â katanya. Jari-jarinya begitu cepat mengoperasikan benda tersebut. âUpload di sini gambarnya,â jelasnya. âPilih kategori barangnya, terus barang dalam kondisi bagus-bekas klik centang, terus tentukan harganya centang, dan isi deskripsinya, deh.ââKamu kan mau memberi, bukan menjual.ââIya mangkanya tinggal diisi deskripsinya sayang.â Aku mengangguk. Menatap dengan kagum saat ia mulai mengetikan deskripsinya.Tidak dijual. Barang bekas mau pindahan. Khusus bagi orang yang membutuhkan. Kalau deal bisa langsung angkut ke rumah. Alamat:blablabla. Tidak pakai perantara. Siapa cepat dia dapat.Dan begitu
âDi sini ada yang suka baca?â Tidak ada yang menjawab. Mereka semua meski tertib di suruh duduk rapi dan punya semangat untuk selalu berteriak-teriak heboh setiap saat, namun dalam hal respon tanggap mereka lumayan lambat. âAda yang mau jadi penulis?â tanyaku lagi. Kali ini ada satu anak berkepala plotos yang mengacungkan telunjuknya. Aku menjadi antusias. âSiapa namanya, sayang?â âAli.â âOh, Ali,â sahutku pelan. Namun Esa menyahut jenaka. âKepanjangannya siapa Ali? Alibaba?â Sontak membuat anak-anak tertawa. Aku mencoleknya dengan siku sambil memastikan kondisi wajah Ali. âAli. Hm, aku mau tanya dong. Kenapa kamu mau jadi penulis?â Tidak dijawab. Mungkin anak laki-laki dengan muka polos sepolos kepalanya tersebut belum mengetahui alasan mengapa ia ingin menjadi penulis. âTapi Ali tahu, kan, penulis itu apa?â Ia mengangguk. âKira-kira, penulis itu apa, sih?â pancingku lagi agar ia mau berusaha berpikir. âYang nulis cerita?â tanyanya memastikan. Aku langsung menepuk tangan se
Ia tidak lantas menjawab karena teralihkan pada alisku yang bergerak-gerak aneh. âKamu baca whatssapp-ku, ya?â tanyanya curiga. Yang tak disangka-sangka tahu padahal sudah kupastikan tadi dia sama sekali tidak menoleh. Hal itu sungguh membuatku tak bisa berkilah. âHm, anu, akuââ âLain kali jangan kayak gitu, ya.â Membuat lidahku menggantung di langit-langit. Mengira ia bakal marah besar, ternyata hanya sebatas peringatan. âOke!â seruku kemudian. Berusaha memperbaiki suasana. âTapi, untuk beberapa hari ke depan âŚ. kamu bakal membahas hal ini, kan?â Esa menghirup cairan di hidungnya keras-keras setelah berpikir keras, sekeras menyedot cairan itu. âNggak dulu,â katanya. Menelisik visi yang seolah sedang tergambar jelas di depan hidungnya. âAku hanya ingin hidup 6 bulan lagi. Di waktu 2 bulan terakhir âŚ. mungkin aku bakal bahas itu.â *** Aku mengamati kalender tahun 2020 yang menempel di badan pintu kamar kosan. Di zaman serba cepat saat itu, bisa-bisanya seorang Noumi Roula meng
Esa mengeluarkan semua uneg-unegnya sebelum berakhir mengurung diri di kamar. Ia tidak bisa mengunci pintunya karena aku yang pegang. Lantas, setelah lama memberinya waktu menyendiri, aku pun akhirnya pelan-pelan mengarahkan kenop pintu ke bawah untuk melangkahkan kaki masuk ke dalam. Ia sedang duduk memunggungi pintu di ujung kasur. Menunduk terseguk-seguk. âHei,â kataku menghampirinya. Mengulurkan tangan kanan dengan legowo. âAku minta maaf, ya.â Seperti anak kecil yang tidak sengaja membuat temannya menangis. Ia mengusap mukanya sendiri sebelum dengan berat hati mengangkat dagu. Dari sudut pandangku, ia tidak pernah malu memperlihatkan air mata dan muka jeleknya saat menangis. ââŚ.â Aku masih mengulurkan tangan. Mengangkat alis untuk mengajaknya berbaikan. Namun ia tak berminat diajak salaman. Bokongnya malah bergeser untuk meraih obat di atas laci yang membuatku jadi menemukan luka dibalik kerah lengannya. âItu kenapa?â tanyaku. Ia secara spontan menarik kerah itu lalu menepis