Suasana hatiku berubah beberapa menit yang lalu. Yang tadinya ingin menjauhi manusia dan terbebas dari sinyal, kini malah menginginkan hal itu. Kamarnya kuperhatikan begitu besar dengan satu big bed di tengah-tengah ruangan. Lampunya temaram dan banyak sudut-sudut gelap. Belum lagi kamar mandinya yang berada di belakang ranjang, membuatku takut tidur sendirian. Tidak ada TV. Tidak ada sinyal. Sementara keadaanku kini jika sendiri akan sangat membahayakan. Lebih-lebih lagi aku lupa bawa obat antidepresan. Ingin menelpon dokterku, lagi-lagi terhalang sinyal.âCara dapatkan sinyal di sini bagaimana, ya?âOrang-orang minum kopi dan berbicara, tapi suaranya seperti segerumbul lebah yang berdengung. Aku seperti tenggelam dalam cemas yang membuat asam lambungku naik. Untungnya pramutamu yang tadi menyahutiku.âDi atas bukit beloam. Ada apa, Mbak Noumi?ââBisa kita ke sana sekarang?âPak Ridwan selaku pramutamu yang sejak tadi menemaniku, kini menawarkan tangan untuk digenggam. Ada Bu Susan s
Deburan ombak pantai samar-samar terdengar berdesir dari dalam kamar. Di luar, dapat terlihat cerminan bulan menerangi laut hitam. Angin menderu-deru menembus sela jaring-jaring kelambu yang dipasang melindungi ranjang sementara aku bergerak dalam satu dekapan hangat. Esa menaikan selimut.âGimana caranya kamu bisa sampai di sini, Sa?âIa yang sepertinya melamun, terlonjak. Mengendurkan pelukan demi melihatku sejenak.âApa alasannya karena cinta?â tanyaku pelan. Matanya yang tajam berkedip. Lamat-lamat mengangguk dengan memanyunkan mulut.âKok kamu bisa cinta sama aku? Kenapa?â tanyaku lagi. Ia nampaknya tak ingin membahas apapun namun terpaksa harus menjawab.âMemangnya siapa lagi yang bisa aku cintai selain kamu? Pak Januar?â Membuatku jadi ingin tertawa. Aku tahu betul yang dimaksud bukan begitu. Hanya saja ia tidak ingin membawa suasananya menjadi keruh. Aku menghela napas panjang sesekali lalu menatapnya berbinar-binar.âMakasih, ya. Lain kali akan kubalas. Sepuluh kali lipat.âD
Sudah cukup lama aku mempelajari asmara dan relationship dari berbagai sumber di internet. Dari bentuk video sampai artikel, semua kujabani. Tapi apa jadinya teori tanpa praktek? itu sama saja dengan belajar sebatas hafalan. Katanya, ciri-ciri pria yang ingin serius itu adalah yang lebih banyak âmelakukanâ dibanding âperkataannya.â Sementara yang sering kurasakan, Esa dominan dengan kata-kata indah yang membuatku yakin kalau ia jodohku. Untuk memvalidasi hal tersebut, hampir setiap hari aku mengujinya dengan trik-trik kecil agar keraguan dalam dada ini sedikitnya meluntur. Seperti meminta bantuan apapun padanya. âSayang?â Ia sedang sibuk mengerjakan pekerjaannya dengan laptop dan tablet di atas meja makan sementara anak-anak tengah bermain di ruang tengah. Ini jam makan siang. âSayangâŠ!â Ia akhirnya menoleh. Terkejut. âHm? Kenapa sayang?â tanyanya. Aku mengkerutkan alis. âIni, nih. Kenapa kompor di sebelah kanan nyalanya lebih kecil dari yang sebelah kiri, ya? Aku dari tadi nguku
âCinta? Cinta dari mana? Apa kamu nggak berpikir mungkin ini bisa jadi eksploitasi terhadap anak-anak?â Ia mengkerutkan alis. Menegakkan punggung sambil memandangiku terheran-heran. âKok, eksploitasi, sih? Kamu nggak lihat anak-anak enjoy aja dalam melakukan aktivitas mereka? Memang anak-anak pernah ngeluh sama kamu kalau mereka dipaksa? Nggak, kan?â Oke. Dari pertanyaan tegas tersebut aku jadi tersadar kalau Esa merasa tersinggung dan mungkin cara bicaraku tadi salah. âAku bingung sama kamu. Sebenarnya ada apa, sih? Kenapa kamu banyak mencurigai aku sampai sebegitunya? Jelas aku sayang banget sama anak-anak. Tato dan Toto pengen aku adopsi biar mereka nggak kena kekerasan lagi dari Ayah kandungnya. Kasihan. Tapi kamu malah berpikir mereka di sini dieksploitasi?â Aku tahu aku salah. Tapi sedari kecil, aku tak pernah bisa mengatakan maaf kepada orang yang kulukai. Namun sebagai gantinya, aku bersedia terdiam untuk menerima celotehannya dan merasa terluka. Di sisi lain, aku masih sa
âRichie ke mana, ya, selama ini? Kok, aku nggak pernah lihat?â tanyaku penasaran. Tiba-tiba kepikiran beliau yang tidak pernah nampak saat aku pergi ke cafĂ©. Esa yang tengah mengemudi berdeham pelan.âAku belum cerita, ya?ââBelum. Cerita apa?ââRichie bawa kabur uang. Mangkanya nggak pernah kelihatan.ââHah?!â Aku terkejut. Jantungku terasa mau copot.âBawa lari uang? berapa?ââLima puluh juta.âAku menutup mulut dengan kedua tangan. Memastikan sekali lagi. âLima puluh juta?!ââHm.â Matanya memejam sekejap dengan santainya. Berpikir sebentar mungkin uang segitu bukan apa-apa baginya, tapi bagaimana bisa ia biarkan begitu saja?âAku sudah cerita âiniâ belum?ââIni? Apa lagi? belum!âIa memiringkan kepala sambil mengeratkan pegangannya pada stir mobil. Aku masih menunggu dengan getir.âSebenarnya Richie itu hacker dulu. Kami ketemu di perusahaan Ayahnya Rico dan ia sebagai white hacker atau sering dibilang; yang melindungi keamanan sistem lah. Aku manajemen property. Tapi karena aku ka
âJadi, Richie ⊠gay?â tanyaku dengan tatapan membeku. Tak percaya dengan apa yang telah membuatku menarik kesimpulan demikian. Esa dengan tatapan penuh keberanian mengangguk membenarkan sementara tangannya mendadak diserang tremor kecil. Aku jadi tidak sanggup mengulik ceritanya lebih lanjut.âA-aku,â katanya ingin memberitahu sesuatu namun kusergah pelan.âKita sebaiknya bayar ini dulu semua, baru lanjut ngobrol lagi di mobil, ya.ââTapi aku bukan gay,â tukasnya, jelas. Aku tersentak. Mungkin beberapa orang yang berada tak jauh dari kami menghentikan gerakan karena tak sengaja mendengar hal itu. Aku yang sudah terbelalak kaget atas pernyataan dadakan tersebut, berharap setengah mati dalam hati orang-orang itu mau melabuhi pikirannya sendiri dengan spekulasi: mungkin salah dengar, atau, mungkin yang pemuda itu maksud adalah: tauge, atau jamur shitake, atau tomat gede, atau urge, village, jumat wage, hokage, dan hah! pokoknya selain kata itu, kumohon!âAku laki-laki tulen! Aku bukan ga
Selepas roda motornya si bujang mengerem, aku melompat turun. Cepat-cepat menghampiri gerbang besar rumah Esa.Ding dong!Bel untungnya masih berfungsi sebab tak berselang lama, Pak Januar membukakan gerbang tersebut dengan susah payah sendiri sambil menjulurkan kepala.âOh! ada Esa, pak?â tanyaku cepat. Beliau menyipitkan mata.âLho, bukannya sama mbaknya tadi?âTuh, kan. Benar. Ia tidak ada di rumah. Aku menyibakkan rambut. Gusar.âMungkin ke rumahnya kak Richie,â celetuk Maurer. Membuatku terkesiap.âKamu tahu rumahnya Richie di mana?â***Punggung membungkuk, menyusuri jalan panjang. Di sisi lain, tubuhku menggigil diterpa angin malam. Kira-kira apa yang akan dilakukan Esa jika ia menemui Richie dalam kondisi seperti itu? Lagi pula buat apa Richie ada di rumahnya? Ia, kan, kabur membawa lari uang Esa?âDi sini rumahnya?â tanyaku, saat Maurer menurunkanku di salah satu rumah gelap yang di depannya ada pohon jambu dan anjing kelaparan. Rumahnya persis berada di pinggir jalan. Ada be
âSudah! nggak ada gunanya kita melarang-melarang mereka sekarang,â paparku saat berhasil melompat untuk menangkapnya. Anak ini sangat dipenuhi rasa kesal dan penasaran yang berkecambuk dalam dada. Kuperhatikan orang-orang di sini sangat mati kepedulian. Mereka tetap asyik dengan dunianya sendiri dan minum-minum hingga hilang kesadaran. Bahkan ada yang tiba-tiba menggelanyuti Maurerâmencoba ingin menciumnya.âHeh, pergi!â tukasku. Terkejut. Maurer hanya diam membiarkan aku membersihkan serangga yang menempel di pundaknya. Setelah itu ia menatap masih tak mengerti dengan perkataanku yang tadi.âKenapa, kak?! kenapa kakak diam saja dikhianati orang yang sebentar lagi jadi suami kakak?! DIA GAY, LHO! KAKAK NGGAK BOLEH NIKAH SAMA DIA!ââMangkanya aku bilang, ayo kita pulang saja! untuk apa melabrak orang yang sedang berhubungan? kamu juga masih anak kecil! seharusnya nggak berada di sini. Masalah menikah dengan siapa, biar aku yang selesaikan sendiri. Kita pulang saja sekarang. Ayo!âAku m