<3<3<3<3
âRichie ke mana, ya, selama ini? Kok, aku nggak pernah lihat?â tanyaku penasaran. Tiba-tiba kepikiran beliau yang tidak pernah nampak saat aku pergi ke cafĂŠ. Esa yang tengah mengemudi berdeham pelan.âAku belum cerita, ya?ââBelum. Cerita apa?ââRichie bawa kabur uang. Mangkanya nggak pernah kelihatan.ââHah?!â Aku terkejut. Jantungku terasa mau copot.âBawa lari uang? berapa?ââLima puluh juta.âAku menutup mulut dengan kedua tangan. Memastikan sekali lagi. âLima puluh juta?!ââHm.â Matanya memejam sekejap dengan santainya. Berpikir sebentar mungkin uang segitu bukan apa-apa baginya, tapi bagaimana bisa ia biarkan begitu saja?âAku sudah cerita âiniâ belum?ââIni? Apa lagi? belum!âIa memiringkan kepala sambil mengeratkan pegangannya pada stir mobil. Aku masih menunggu dengan getir.âSebenarnya Richie itu hacker dulu. Kami ketemu di perusahaan Ayahnya Rico dan ia sebagai white hacker atau sering dibilang; yang melindungi keamanan sistem lah. Aku manajemen property. Tapi karena aku ka
âJadi, Richie ⌠gay?â tanyaku dengan tatapan membeku. Tak percaya dengan apa yang telah membuatku menarik kesimpulan demikian. Esa dengan tatapan penuh keberanian mengangguk membenarkan sementara tangannya mendadak diserang tremor kecil. Aku jadi tidak sanggup mengulik ceritanya lebih lanjut.âA-aku,â katanya ingin memberitahu sesuatu namun kusergah pelan.âKita sebaiknya bayar ini dulu semua, baru lanjut ngobrol lagi di mobil, ya.ââTapi aku bukan gay,â tukasnya, jelas. Aku tersentak. Mungkin beberapa orang yang berada tak jauh dari kami menghentikan gerakan karena tak sengaja mendengar hal itu. Aku yang sudah terbelalak kaget atas pernyataan dadakan tersebut, berharap setengah mati dalam hati orang-orang itu mau melabuhi pikirannya sendiri dengan spekulasi: mungkin salah dengar, atau, mungkin yang pemuda itu maksud adalah: tauge, atau jamur shitake, atau tomat gede, atau urge, village, jumat wage, hokage, dan hah! pokoknya selain kata itu, kumohon!âAku laki-laki tulen! Aku bukan ga
Selepas roda motornya si bujang mengerem, aku melompat turun. Cepat-cepat menghampiri gerbang besar rumah Esa.Ding dong!Bel untungnya masih berfungsi sebab tak berselang lama, Pak Januar membukakan gerbang tersebut dengan susah payah sendiri sambil menjulurkan kepala.âOh! ada Esa, pak?â tanyaku cepat. Beliau menyipitkan mata.âLho, bukannya sama mbaknya tadi?âTuh, kan. Benar. Ia tidak ada di rumah. Aku menyibakkan rambut. Gusar.âMungkin ke rumahnya kak Richie,â celetuk Maurer. Membuatku terkesiap.âKamu tahu rumahnya Richie di mana?â***Punggung membungkuk, menyusuri jalan panjang. Di sisi lain, tubuhku menggigil diterpa angin malam. Kira-kira apa yang akan dilakukan Esa jika ia menemui Richie dalam kondisi seperti itu? Lagi pula buat apa Richie ada di rumahnya? Ia, kan, kabur membawa lari uang Esa?âDi sini rumahnya?â tanyaku, saat Maurer menurunkanku di salah satu rumah gelap yang di depannya ada pohon jambu dan anjing kelaparan. Rumahnya persis berada di pinggir jalan. Ada be
âSudah! nggak ada gunanya kita melarang-melarang mereka sekarang,â paparku saat berhasil melompat untuk menangkapnya. Anak ini sangat dipenuhi rasa kesal dan penasaran yang berkecambuk dalam dada. Kuperhatikan orang-orang di sini sangat mati kepedulian. Mereka tetap asyik dengan dunianya sendiri dan minum-minum hingga hilang kesadaran. Bahkan ada yang tiba-tiba menggelanyuti Maurerâmencoba ingin menciumnya.âHeh, pergi!â tukasku. Terkejut. Maurer hanya diam membiarkan aku membersihkan serangga yang menempel di pundaknya. Setelah itu ia menatap masih tak mengerti dengan perkataanku yang tadi.âKenapa, kak?! kenapa kakak diam saja dikhianati orang yang sebentar lagi jadi suami kakak?! DIA GAY, LHO! KAKAK NGGAK BOLEH NIKAH SAMA DIA!ââMangkanya aku bilang, ayo kita pulang saja! untuk apa melabrak orang yang sedang berhubungan? kamu juga masih anak kecil! seharusnya nggak berada di sini. Masalah menikah dengan siapa, biar aku yang selesaikan sendiri. Kita pulang saja sekarang. Ayo!âAku m
Rumah sakit. Hal yang pertama kali kulihat saat mata ini terbuka adalah langit-langit kamar rawat inap rumah sakit dan Maurer. Anak itu tersenyum padaku sebelum kemudian beranjak membuka jendela kamar agar sinar mentari bisa masuk. Sudah pagi rupanya.âKakak sudah merasa baikan?â tanyanya. Aku melihat jarum infus yang menusuk punggung tanganku.âAku sakit apa?â Ia pun menjawab. âAnemia.â Membuatku sadar akan tubuhku yang terasa lemas. Pelan-pelan kepalaku pusing dan detak jantungku berdenyut tidak karuan, sedangkan rol memori di kepalaku bergulir lambat menampilkan kejadian-kejadian tak mengenakan yang membuatku begini. Aku ingin bertanya tapi tidak berani. Yang bisa kulakukan hanya fokus untuk pulih agar cepat pulang.Pulang? Pulang, ya. Kenapa semua orang ingin pulang saat bahkan tempat untuk pulang pun tidak ada. Di kos tidak ada orang. Di rumah Esa, tidak ada anak-anak. Kepada siapa aku harus berpulang? Apakah harus menelpon orang-orang di Manado? Kenapa rasanya seperti tidak puny
Aku tersenyum. Memilih untuk tidak menjawab. Teringat mimpiku tadi malam tentang kembali ke masa lalu. Sekitar tahun 2015. Aku bertemu mendiang Sulli dan Go Ara di perusahaan SM entertainment. Mereka tertawa-tawa bahagia bersama banyak artis lainnya. Entah dari mana dan bagaimana caranya aku bisa berada di sana dan tiba-tiba berkata begini; âsaya sebenarnya dari masa depan. Ada kabar yang tidak mengenakan dari perusahaan SM kedepannya. Tapi semoga kalian semua baik-baik saja.â Lalu kemudian balik ke Indonesia untuk mendapat kabar kematian dari artis Indonesia. Dinda Hauw.Sampai situ aku terbangun. Langsung mengambil ponsel untuk searching di google apa arti mimpiku di jam lima lima puluh pagi. Setelah menggulir beberapa artikel, aku menemukan jawabannya. Katanya aku harus mengubah perspektif hidupku. Aku harus mulai melihat dunia dari kacamata yang berbeda untuk bisa maju. Terjebak dan berlarut-larut dalam masalah adalah salah satu dari kesia-siaan hidup. Aku juga harus bisa memilih
H+3 setelah kejadian. 07:03 amAku membuka mata dan langit-langit kamar rawat inap rumah sakit masih menjadi pemandangan pertamaku untuk menyapa pagi. Perutku masih naik turun karena napas yang berhembus. Masih hidup rupanya.âSelamat pagi, kak!âSedikit terkejut. Maurer ternyata sudah berada di sini pagi-pagi.âSudah merasa baikan?â tanyanya setelah meletakkan separsel keranjang buah di pinggir meja vas tepat di samping tempat tidurku.Aku duduk bersandar ke punggung kasur sambil melihatnya berkedip menunggu. Merasakan nyeri di punggung tangan sebelah kiri yang ternyata telah ditusuk jarum infus.âAku sakit apa?âIa pun berdengus heran. Mengusap-usap jidatnya sambil mengambil satu kursi untuk diduduki. Mengecek suhu tubuhku melalui telapak tangannya yang ditempelkan di keningku, lalu dibandingkan dengan miliknya. Ia pun memiringkan kepala. Merasa aneh.âKakak pengidap amnesia, ya?âTepat ketika itu aku merasa kembali pada pertemuan pertamaku dengan Esa, saat duduk di depan kipas angi
Pemirsa, pelaku berinisial E batal dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan karena diduga mengidap PTSD (post traumatic stress disorder). Disebabkan oleh pelecehan seksual yang dilakukan oleh korban atau teman dekatnya; berinisial R, pelaku E menyatakan sendiri motif dari pembunuhan yang ia lakukan pada sahabatnya tersebut karena didera rasa cemas akan takut dinilai gay oleh masyarakat umum. TegAku menekan tombol off pada remot TV. Berpaling sejenak dari depan monitor tersebut lalu berbaring di kasur. Cahaya sore menyelinap di sela-sela gorden yang tertutup. Terbias bersama debu-debu halus yang melayang mengudara, lalu suara detik pada jarum jam pun berdenyut. Mengosongkan pikiran.âMasih kuat? tanya suara pada hatiku tiba-tiba. Aku memejamkan mata untuk menahannya. âAyo, bunuh diri saja!âRasanya seperti orang lain. Bisikannya selalu tentang hal-hal yang negatif, semacam setan. Belakangan ini aku menyadarinya, tapi aku tak berusaha melawan. Sebab dibutuhkan banyak energi untuk mel