Beranda / Semua / Dream first class / 29. Pelukan hangat Jeeva beloam

Share

29. Pelukan hangat Jeeva beloam

Penulis: Sun🌅
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-08 00:01:27

Suasana hatiku berubah beberapa menit yang lalu. Yang tadinya ingin menjauhi manusia dan terbebas dari sinyal, kini malah menginginkan hal itu. Kamarnya kuperhatikan begitu besar dengan satu big bed di tengah-tengah ruangan. Lampunya temaram dan banyak sudut-sudut gelap. Belum lagi kamar mandinya yang berada di belakang ranjang, membuatku takut tidur sendirian. Tidak ada TV. Tidak ada sinyal. Sementara keadaanku kini jika sendiri akan sangat membahayakan. Lebih-lebih lagi aku lupa bawa obat antidepresan. Ingin menelpon dokterku, lagi-lagi terhalang sinyal.

“Cara dapatkan sinyal di sini bagaimana, ya?”

Orang-orang minum kopi dan berbicara, tapi suaranya seperti segerumbul lebah yang berdengung. Aku seperti tenggelam dalam cemas yang membuat asam lambungku naik. Untungnya pramutamu yang tadi menyahutiku.

“Di atas bukit beloam. Ada apa, Mbak Noumi?”

“Bisa kita ke sana sekarang?”

Pak Ridwan selaku pramutamu yang sejak tadi menemaniku, kini menawarkan tangan untuk digenggam. Ada Bu Susan s
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Dream first class   30. Maka izinkan lah aku, mencintaimu

    Deburan ombak pantai samar-samar terdengar berdesir dari dalam kamar. Di luar, dapat terlihat cerminan bulan menerangi laut hitam. Angin menderu-deru menembus sela jaring-jaring kelambu yang dipasang melindungi ranjang sementara aku bergerak dalam satu dekapan hangat. Esa menaikan selimut.“Gimana caranya kamu bisa sampai di sini, Sa?”Ia yang sepertinya melamun, terlonjak. Mengendurkan pelukan demi melihatku sejenak.“Apa alasannya karena cinta?” tanyaku pelan. Matanya yang tajam berkedip. Lamat-lamat mengangguk dengan memanyunkan mulut.“Kok kamu bisa cinta sama aku? Kenapa?” tanyaku lagi. Ia nampaknya tak ingin membahas apapun namun terpaksa harus menjawab.“Memangnya siapa lagi yang bisa aku cintai selain kamu? Pak Januar?” Membuatku jadi ingin tertawa. Aku tahu betul yang dimaksud bukan begitu. Hanya saja ia tidak ingin membawa suasananya menjadi keruh. Aku menghela napas panjang sesekali lalu menatapnya berbinar-binar.“Makasih, ya. Lain kali akan kubalas. Sepuluh kali lipat.”D

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-08
  • Dream first class   31. Tentang cinta

    Sudah cukup lama aku mempelajari asmara dan relationship dari berbagai sumber di internet. Dari bentuk video sampai artikel, semua kujabani. Tapi apa jadinya teori tanpa praktek? itu sama saja dengan belajar sebatas hafalan. Katanya, ciri-ciri pria yang ingin serius itu adalah yang lebih banyak ‘melakukan’ dibanding ‘perkataannya.’ Sementara yang sering kurasakan, Esa dominan dengan kata-kata indah yang membuatku yakin kalau ia jodohku. Untuk memvalidasi hal tersebut, hampir setiap hari aku mengujinya dengan trik-trik kecil agar keraguan dalam dada ini sedikitnya meluntur. Seperti meminta bantuan apapun padanya. “Sayang?” Ia sedang sibuk mengerjakan pekerjaannya dengan laptop dan tablet di atas meja makan sementara anak-anak tengah bermain di ruang tengah. Ini jam makan siang. “Sayang
!” Ia akhirnya menoleh. Terkejut. “Hm? Kenapa sayang?” tanyanya. Aku mengkerutkan alis. “Ini, nih. Kenapa kompor di sebelah kanan nyalanya lebih kecil dari yang sebelah kiri, ya? Aku dari tadi nguku

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-09
  • Dream first class   32. Cara berdebat dengan benar

    “Cinta? Cinta dari mana? Apa kamu nggak berpikir mungkin ini bisa jadi eksploitasi terhadap anak-anak?” Ia mengkerutkan alis. Menegakkan punggung sambil memandangiku terheran-heran. “Kok, eksploitasi, sih? Kamu nggak lihat anak-anak enjoy aja dalam melakukan aktivitas mereka? Memang anak-anak pernah ngeluh sama kamu kalau mereka dipaksa? Nggak, kan?” Oke. Dari pertanyaan tegas tersebut aku jadi tersadar kalau Esa merasa tersinggung dan mungkin cara bicaraku tadi salah. “Aku bingung sama kamu. Sebenarnya ada apa, sih? Kenapa kamu banyak mencurigai aku sampai sebegitunya? Jelas aku sayang banget sama anak-anak. Tato dan Toto pengen aku adopsi biar mereka nggak kena kekerasan lagi dari Ayah kandungnya. Kasihan. Tapi kamu malah berpikir mereka di sini dieksploitasi?” Aku tahu aku salah. Tapi sedari kecil, aku tak pernah bisa mengatakan maaf kepada orang yang kulukai. Namun sebagai gantinya, aku bersedia terdiam untuk menerima celotehannya dan merasa terluka. Di sisi lain, aku masih sa

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-09
  • Dream first class   33. Richie

    “Richie ke mana, ya, selama ini? Kok, aku nggak pernah lihat?” tanyaku penasaran. Tiba-tiba kepikiran beliau yang tidak pernah nampak saat aku pergi ke cafĂ©. Esa yang tengah mengemudi berdeham pelan.“Aku belum cerita, ya?”“Belum. Cerita apa?”“Richie bawa kabur uang. Mangkanya nggak pernah kelihatan.”“Hah?!” Aku terkejut. Jantungku terasa mau copot.“Bawa lari uang? berapa?”“Lima puluh juta.”Aku menutup mulut dengan kedua tangan. Memastikan sekali lagi. “Lima puluh juta?!”“Hm.” Matanya memejam sekejap dengan santainya. Berpikir sebentar mungkin uang segitu bukan apa-apa baginya, tapi bagaimana bisa ia biarkan begitu saja?“Aku sudah cerita ‘ini’ belum?”“Ini? Apa lagi? belum!”Ia memiringkan kepala sambil mengeratkan pegangannya pada stir mobil. Aku masih menunggu dengan getir.“Sebenarnya Richie itu hacker dulu. Kami ketemu di perusahaan Ayahnya Rico dan ia sebagai white hacker atau sering dibilang; yang melindungi keamanan sistem lah. Aku manajemen property. Tapi karena aku ka

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-09
  • Dream first class   34. Konten Sensitif

    “Jadi, Richie 
 gay?” tanyaku dengan tatapan membeku. Tak percaya dengan apa yang telah membuatku menarik kesimpulan demikian. Esa dengan tatapan penuh keberanian mengangguk membenarkan sementara tangannya mendadak diserang tremor kecil. Aku jadi tidak sanggup mengulik ceritanya lebih lanjut.“A-aku,” katanya ingin memberitahu sesuatu namun kusergah pelan.“Kita sebaiknya bayar ini dulu semua, baru lanjut ngobrol lagi di mobil, ya.”“Tapi aku bukan gay,” tukasnya, jelas. Aku tersentak. Mungkin beberapa orang yang berada tak jauh dari kami menghentikan gerakan karena tak sengaja mendengar hal itu. Aku yang sudah terbelalak kaget atas pernyataan dadakan tersebut, berharap setengah mati dalam hati orang-orang itu mau melabuhi pikirannya sendiri dengan spekulasi: mungkin salah dengar, atau, mungkin yang pemuda itu maksud adalah: tauge, atau jamur shitake, atau tomat gede, atau urge, village, jumat wage, hokage, dan hah! pokoknya selain kata itu, kumohon!“Aku laki-laki tulen! Aku bukan ga

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-09
  • Dream first class   35. Konten Sensitif pt2

    Selepas roda motornya si bujang mengerem, aku melompat turun. Cepat-cepat menghampiri gerbang besar rumah Esa.Ding dong!Bel untungnya masih berfungsi sebab tak berselang lama, Pak Januar membukakan gerbang tersebut dengan susah payah sendiri sambil menjulurkan kepala.“Oh! ada Esa, pak?” tanyaku cepat. Beliau menyipitkan mata.“Lho, bukannya sama mbaknya tadi?”Tuh, kan. Benar. Ia tidak ada di rumah. Aku menyibakkan rambut. Gusar.“Mungkin ke rumahnya kak Richie,” celetuk Maurer. Membuatku terkesiap.“Kamu tahu rumahnya Richie di mana?”***Punggung membungkuk, menyusuri jalan panjang. Di sisi lain, tubuhku menggigil diterpa angin malam. Kira-kira apa yang akan dilakukan Esa jika ia menemui Richie dalam kondisi seperti itu? Lagi pula buat apa Richie ada di rumahnya? Ia, kan, kabur membawa lari uang Esa?“Di sini rumahnya?” tanyaku, saat Maurer menurunkanku di salah satu rumah gelap yang di depannya ada pohon jambu dan anjing kelaparan. Rumahnya persis berada di pinggir jalan. Ada be

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-09
  • Dream first class   36. Konten Sensitif pt3

    “Sudah! nggak ada gunanya kita melarang-melarang mereka sekarang,” paparku saat berhasil melompat untuk menangkapnya. Anak ini sangat dipenuhi rasa kesal dan penasaran yang berkecambuk dalam dada. Kuperhatikan orang-orang di sini sangat mati kepedulian. Mereka tetap asyik dengan dunianya sendiri dan minum-minum hingga hilang kesadaran. Bahkan ada yang tiba-tiba menggelanyuti Maurer—mencoba ingin menciumnya.“Heh, pergi!” tukasku. Terkejut. Maurer hanya diam membiarkan aku membersihkan serangga yang menempel di pundaknya. Setelah itu ia menatap masih tak mengerti dengan perkataanku yang tadi.“Kenapa, kak?! kenapa kakak diam saja dikhianati orang yang sebentar lagi jadi suami kakak?! DIA GAY, LHO! KAKAK NGGAK BOLEH NIKAH SAMA DIA!”“Mangkanya aku bilang, ayo kita pulang saja! untuk apa melabrak orang yang sedang berhubungan? kamu juga masih anak kecil! seharusnya nggak berada di sini. Masalah menikah dengan siapa, biar aku yang selesaikan sendiri. Kita pulang saja sekarang. Ayo!”Aku m

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-09
  • Dream first class   37. Pertanyaan Seram

    Rumah sakit. Hal yang pertama kali kulihat saat mata ini terbuka adalah langit-langit kamar rawat inap rumah sakit dan Maurer. Anak itu tersenyum padaku sebelum kemudian beranjak membuka jendela kamar agar sinar mentari bisa masuk. Sudah pagi rupanya.“Kakak sudah merasa baikan?” tanyanya. Aku melihat jarum infus yang menusuk punggung tanganku.“Aku sakit apa?” Ia pun menjawab. “Anemia.” Membuatku sadar akan tubuhku yang terasa lemas. Pelan-pelan kepalaku pusing dan detak jantungku berdenyut tidak karuan, sedangkan rol memori di kepalaku bergulir lambat menampilkan kejadian-kejadian tak mengenakan yang membuatku begini. Aku ingin bertanya tapi tidak berani. Yang bisa kulakukan hanya fokus untuk pulih agar cepat pulang.Pulang? Pulang, ya. Kenapa semua orang ingin pulang saat bahkan tempat untuk pulang pun tidak ada. Di kos tidak ada orang. Di rumah Esa, tidak ada anak-anak. Kepada siapa aku harus berpulang? Apakah harus menelpon orang-orang di Manado? Kenapa rasanya seperti tidak puny

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-09

Bab terbaru

  • Dream first class   71. Sky Diving (Tamat)

    Esa mengepak pakaian seadanya. Ia memasukan baju dan celana panjangnya secara serampangan ke dalam koper. Aku yang bersandar pada kusein pintu, yang sudah siap pergi dengan berpakaian rapi dan cantik, langsung tergerak untuk mendekat, membantunya mengeluarkan baju-baju itu kembali untuk dilipat. Ia menunggu dengan sabar di sampingku sementara aku berusaha tersenyum sambil mengusap pipinya. *** Hari H menuju kematian. Bandara Nusawiru, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Pukul 08.30, Esa memasangkan goggles padaku setelah dirinya selesai memakai jumpsuit. Perlengkapan untuk olahraga berbahaya ini sudah disiapkan oleh tim manajemen NSW Paracenter, namun entah mengapa ia lebih memilih untuk membeli semuanya sendiri. Dan itu tidak murah. “Kenapa nggak sewa aja, sih? Kan kita pakainya sekali.” Esa mengancingkan helmnya dengan erat. Lalu menghela napas sambil menaruh tangan di pinggang. “Aku sih, sekali. Tapi apa iya kamu hanya sekali?” “Maksudmu aku a

  • Dream first class   70. On the clock

    Pagi hari pukul 08.30 wita. Seperti biasa, aku melingkari angka dikalender. Tak terasa 6 bulan berlari begitu cepat secepat citah. Kuharap setelah melewati hari-hari penuh pemikiran yang dalam ini, Esa bisa mengubah keputusannya.Sejak hari terakhir kami di Gili Trawangan, pemuda berinisial E itu banyak melamun. Ia tidak lagi mengkonsumsi kafein secara berlebih. Tidak lagi menyisihkan sayur di piring makannya. Ia bahkan tidak pernah mengatakan kata-kata perpisahan selama kami menghabiskan seluruh sisa rencana kami hingga tanpa tahu, 6 bulan telah berlalu begitu saja. Apakah keputusannya sudah benar-benar berubah? Aku tak berani bertanya karena takut ia jadi terkecoh. Namun sebagai gantinya, aku berusaha ada disetiap kali ia butuhkan.Aku mendengarkannya bercerita, ikut memancing, berbicara padanya, bermain game di warnet, mencium pipinya ketika ia minta, membaca buku yang tidak begitu kusuka, mendengarkan musik Rock n roll kesukaan dia, menonton Netflix, bergandengan tangan di malam h

  • Dream first class   69. Minta doa

    Berjalan-jalan sambil bergandengan tangan sepertinya bagian favorite Esa juga. Sebagian waktu kami dihabiskan untuk berjalan kaki sambil bergandengan tangan. Saat duduk makan, kami bergandengan tangan. Menari dan menikmati suasana pesta malam, bergandengan tangan. Berdansa, bergandengan tangan. Mengobrol dan bercerita sambil bergandengan tangan. Bahkan saat mau tidur setelah memesan dua kamar di satu hotel, Esa menawariku satu kasur berdua supaya bisa berpegangan tangan.Aku tahu dia punya rencana untuk memenggal waktunya sebentar lagi, namun tak lantas membuat kami harus tidur bersama—menghalalkan segala cara.“Kalau kamu mau fight untuk hidupmu dalam waktu yang lama 
. pasti aku akan tidur sambil pegangan tangan setiap waktu sama kamu. Menghabiskan hari tua bersama. Jangan khawatir.”Ia tentu mengerti maksudku dengan terdiam kaku di atas kedua kakinya. Menatap penuh kehampaan di depan pintu kamarnya sendiri. “Aku ngerti, kok. Mengambil keputusan sampai di detik ini pasti nggak mud

  • Dream first class   68. Gili Trawangan

    Kami terdiam di mobil. Mengisi energi setelah mengobrol panjang dengan keluarga Pak Imron seharian. Esa tadi sempat meminta bantuan kepada Pak Imron untuk menghubunginya jika ada yang membutuhkan perabotan rumah tangga. Dan keesokan harinya rumah Esa tak henti-hentinya didatangi mobil pick up untuk mengangkut barang. Rumahnya menjadi kosong. Kami bahkan duduk termenung di tengah-tengah ruangan beralaskan lantai marmer tersebut. Merasakan sepi yang merasuki ulu hati. “Kamu nggak menyesal, kan?” tanyaku. Takut kalau-kalau ini tak sesuai ekspetasinya. Namun hebatnya ia mencebik sambil menggeleng. Meletakan kertas wish list di sampingnya dengan tenang. “Aku nggak pernah menyesali segala keputusanku, Nom. Ini udah seperti yang aku bayangkan, kok.” *** Wush~ “Ayo kejar aku!” kataku mengejeknya ketika mengkayuh pedal sepeda lebih cepat di sore hari. Pada naik-naikan jalan, pemuda itu ternyata sudah ngos-ngosan. Tak disangka ia lebih payah dariku yang bertubuh gempal begini. Aku menghen

  • Dream first class   67. Jodoh

    “Bapak ada siapa aja nih, di rumah?” tanya Esa sesudah mencium tangannya. Aku secara otomatis juga melakukan hal tersebut sambil senyam-senyum canggung.“Istri sama anak saya, si Soleh.” Pak Imron langsung membalik muka seratus delapan puluh derajat. Mengumpulkan semua energi di dalam mulut sebelum menyemburkannya keras-keras ke dalam rumah.“BUK! ADA TAMU INI, BUK! LEH! KELUAR LEH!” Teriaknya semangat. Kemudian berbalik lagi. “Ayo! Ayo! mari masuk dulu.”Soleh sang anak tiba-tiba keluar dengan tergupuh-gupuh. Sontak Esa langsung mengajaknya untuk mengambil TV di mobil.“Nah, ini! Ayo bro, bantu aku ambil TV kamu di mobil. Siapa lagi temannya?”“Sendiri.”“Oke, deh. Ayo kita let’s go!”Si Soleh meski dengan alis yang terangkat riang, tak bisa memungkiri kebingungannya setengah mati. Ia tanpa mengerti kondisi langsung saja mengiyakan permintaan Esa yang sok akrab merangkulnya—mengajak keluar secara paksa. Cara menyapa laki-laki ini memang agak bar-bar. Maklumi saja. Aku terdiam bingu

  • Dream first class   66. Project amal pt 2

    “Tapi 
. tapi—”“Udahlah sayang. Nggak usah terlalu dipikirin. Nih, kukasih tahu cara kerjanya.”Esa membuka laptopnya di atas meja bar dekat kolam. Aku ikut duduk di sampingnya sambil membawa rasa penasaran yang cukup besar dalam genggaman. Ia membuka laman facebook di website dan mengklik market place.“Karena yang kita mau jangkau orang-orang disekitaran Lombok aja, jadi kita pakai ini,” katanya. Jari-jarinya begitu cepat mengoperasikan benda tersebut. “Upload di sini gambarnya,” jelasnya. “Pilih kategori barangnya, terus barang dalam kondisi bagus-bekas klik centang, terus tentukan harganya centang, dan isi deskripsinya, deh.”“Kamu kan mau memberi, bukan menjual.”“Iya mangkanya tinggal diisi deskripsinya sayang.” Aku mengangguk. Menatap dengan kagum saat ia mulai mengetikan deskripsinya.Tidak dijual. Barang bekas mau pindahan. Khusus bagi orang yang membutuhkan. Kalau deal bisa langsung angkut ke rumah. Alamat:blablabla. Tidak pakai perantara. Siapa cepat dia dapat.Dan begitu

  • Dream first class   65. Project amal

    “Di sini ada yang suka baca?” Tidak ada yang menjawab. Mereka semua meski tertib di suruh duduk rapi dan punya semangat untuk selalu berteriak-teriak heboh setiap saat, namun dalam hal respon tanggap mereka lumayan lambat. “Ada yang mau jadi penulis?” tanyaku lagi. Kali ini ada satu anak berkepala plotos yang mengacungkan telunjuknya. Aku menjadi antusias. “Siapa namanya, sayang?” “Ali.” “Oh, Ali,” sahutku pelan. Namun Esa menyahut jenaka. “Kepanjangannya siapa Ali? Alibaba?” Sontak membuat anak-anak tertawa. Aku mencoleknya dengan siku sambil memastikan kondisi wajah Ali. “Ali. Hm, aku mau tanya dong. Kenapa kamu mau jadi penulis?” Tidak dijawab. Mungkin anak laki-laki dengan muka polos sepolos kepalanya tersebut belum mengetahui alasan mengapa ia ingin menjadi penulis. “Tapi Ali tahu, kan, penulis itu apa?” Ia mengangguk. “Kira-kira, penulis itu apa, sih?” pancingku lagi agar ia mau berusaha berpikir. “Yang nulis cerita?” tanyanya memastikan. Aku langsung menepuk tangan se

  • Dream first class   64. Do Dream

    Ia tidak lantas menjawab karena teralihkan pada alisku yang bergerak-gerak aneh. “Kamu baca whatssapp-ku, ya?” tanyanya curiga. Yang tak disangka-sangka tahu padahal sudah kupastikan tadi dia sama sekali tidak menoleh. Hal itu sungguh membuatku tak bisa berkilah. “Hm, anu, aku—” “Lain kali jangan kayak gitu, ya.” Membuat lidahku menggantung di langit-langit. Mengira ia bakal marah besar, ternyata hanya sebatas peringatan. “Oke!” seruku kemudian. Berusaha memperbaiki suasana. “Tapi, untuk beberapa hari ke depan 
. kamu bakal membahas hal ini, kan?” Esa menghirup cairan di hidungnya keras-keras setelah berpikir keras, sekeras menyedot cairan itu. “Nggak dulu,” katanya. Menelisik visi yang seolah sedang tergambar jelas di depan hidungnya. “Aku hanya ingin hidup 6 bulan lagi. Di waktu 2 bulan terakhir 
. mungkin aku bakal bahas itu.” *** Aku mengamati kalender tahun 2020 yang menempel di badan pintu kamar kosan. Di zaman serba cepat saat itu, bisa-bisanya seorang Noumi Roula meng

  • Dream first class   63. Sisa Waktu

    Esa mengeluarkan semua uneg-unegnya sebelum berakhir mengurung diri di kamar. Ia tidak bisa mengunci pintunya karena aku yang pegang. Lantas, setelah lama memberinya waktu menyendiri, aku pun akhirnya pelan-pelan mengarahkan kenop pintu ke bawah untuk melangkahkan kaki masuk ke dalam. Ia sedang duduk memunggungi pintu di ujung kasur. Menunduk terseguk-seguk. “Hei,” kataku menghampirinya. Mengulurkan tangan kanan dengan legowo. “Aku minta maaf, ya.” Seperti anak kecil yang tidak sengaja membuat temannya menangis. Ia mengusap mukanya sendiri sebelum dengan berat hati mengangkat dagu. Dari sudut pandangku, ia tidak pernah malu memperlihatkan air mata dan muka jeleknya saat menangis. “
.” Aku masih mengulurkan tangan. Mengangkat alis untuk mengajaknya berbaikan. Namun ia tak berminat diajak salaman. Bokongnya malah bergeser untuk meraih obat di atas laci yang membuatku jadi menemukan luka dibalik kerah lengannya. “Itu kenapa?” tanyaku. Ia secara spontan menarik kerah itu lalu menepis

DMCA.com Protection Status