Kurasakan panas menyengat tubuh. Terbakar dari ujung kaki hingga ke kepala lalu menyentak tubuhku seketika. Aku terbangun. Melotot. Mendapati diri tengah terduduk dengan kedua kaki terselonjor. Tegang. Bingung. Namun menghela napas dalam-dalam, kemudian mencoba tenang, aku berpikir bahwa mimpi buruk seharusnya bukan perkara lagi untuk dipusingkan. Aku hanya harus terbiasa.
Kedua kaki menapak hati-hati di lantai dan berjalan ke jendela. Kusingkap tirai gorden dengan berani dan ternyata mentari sudah terang benderang. Pancaran sinarnya menyororti tempat tidurku dan debu-debu halus terlihat mengudara. Jam di dinding menunjukkan pukul sebelas sementara suhu badan terasa masih malam. Aku menunduk. Menyibak surai.
Melihat kedua kaki yang jari-jemarinya sudah tidak bengkak lagi membuatku sadar kala mengangkat ibu jari di sana untuk menghentak-hentakannya pelan seperti ketukan lagu. Sudah sembuh, ya?
Pertama-tama, yang akan dikatakan semua orang tentang hal baik adalah: Alhamdulillah, bersyukur atas kesehatan dan nikmat hidup yang diberikan Tuhan pagi ini. Tubuh masih utuh tak kurang satu apapun dan ambisi tidak dilahap waktu meski semuanya sudah terlambat untuk dimulai. Tapi tak dapat dipungkiri, keanehan pun menjalar mengitari hal tersebut.
Aneh karena dislokasiku bisa sembuh dalam semalam tanpa ada rasa nyeri sedikitpun. Aneh rasanya karena saat bercermin aku menemukan debu melapisi kulit wajahku. Saat kupastikan langit-langit kamar, sarang debu atau semacam jaring laba-laba tidak ada di sana. Aku jadi curiga saat merasakan perutku tak lama merasakan lapar yang tak tertahankan. Apa, jangan-jangan?
Brrrm,,, mpssss,
Aku berpaling keluar jendela. Melihat pick up memarkir diri di depan kos yang tak lama dua orang di depan keluar untuk menurunkan beberapa barang besar dibungkus kertas krep coklat dibelakangnya—digotong masuk ke dalam kamar tepat di sampingku. Aku menarik tirai untuk mengintip. Melihat Esa yang tengah berdiri di tengah halaman memantau kegiatan tersebut hampir dua puluh menitan sampai semuanya selesai. Setelahnya, supir dari pengendara pick up serta satu orang temannya mengacungkan jempol, kemudian membawa mobilnya keluar dari halaman kos dengan cepat.
Tunggu-tunggu. Bukannya itu tadi manajer sekaligus kasir di Larasa, ya? matanya kan sipit. Aku membuka pintu dan melangkahkan kaki keluar. Masih dengan surai yang berantakan, kotoran di ujung mata, muka yang sembab, juga baju piyama motif parangritis, dengan gagah berani menatap lawan yang nampak bersinar di bawah pantulan sinar matahari.
Esa sendiri tercenung. Dia terdiam seribu bahasa karena terpaku padaku yang berbentuk setengah rupa. Aku yang sadar diri paling jelek hanya berusaha meluruskan helai rambut dan mengusap wajah pelan. Ia memakai kaus pendek merah bertuliskan “fight” dengan gambar kobaran api pada bordernya. Jeans selutut mengekspose warna kakinya yang putih-bersih, berjalan mendekat dengan sesekali mengelus surainya yang terlihat mengkilap. Tapi meski begitu, nuansa tatapannya dalam dan gelap.
“Kamu kenal manajer di Larasa, ya?” tanyaku.
Tanpa basa-basi aku langsung menuding begitu. Ia me-loading pertanyaan dengan lambat meski jawabannya hanya sekadar anggukan kepala sebelum pandangannya beralih pada tangannya yang memegang kenop pintu dengan tergesa.
“Kok bisa?”
Aku menahannya dan ia jadi menjeda pergerakan. Kali ini dengan jelas menatapku tidak suka sambil mengkerutkan alis. Kamar kami bersebelahan dan tembok penghalangnya dibuat seperti perosotan, jadi para tetangga bisa saling menyapa dengan lebih leluasa.
“Memangnya, anda ada perlu apa, ya?”
“Eh—” dadaku mencelos. Apa yang ia katakan barusan? Anda?
Aku bungkam beberapa detik.
Kau tahu, belakangan ini aku mulai bermain mobile legend hingga larut malam setiap hari sampai mimisan karena kurang tidur dan aku jadi tahu kalau pertanyaan barusan rasanya seperti tertembak stun dari lawan.
“Anda, kenal saya?” tambahnya lagi. Aku jadi tak mengerti.
“Kamu nggak ingat, aku siapa? sama sekali?”
Ia berpikir cukup lama. Mencari-cari siapa aku di dalam kepalanya sambil beradu tatap tanpa berkedip. Bergeming, menimbulkan inisiatifku untuk memajukan dagu padanya. Ia mencermatiku dalam-dalam, dan kukatakan dengan begitu jelas.
“Aku pacarmu, Esa.”
Ekspetasiku dengan responnya berbeda. Barusan itu hanya hening, dibarengi dengan tatapan tidak mengerti. Ia jelas tidak semudah itu percaya, tapi responnya begitu biasa. Refleks pandangannya melompat ke arah lain, dengan santai mengabaikanku sambil bergegas masuk ke dalam kamarnya. Bahkan telingaku mendengar jelas bunyi pintu yang dikunci rapat-rapat. Aku berpikir beberapa detik. Sebegitu alerginya ia dengan manusia? Apa jangan-jangan, karena amnesianya?atau karena aku jelek? Aku memiringkan kepala dan mendesis, tapi kalau lupa sama orang yang baru ditemui satu hari yang lalu, bukannya itu keterlaluan?
Ceklek,
Dia membuka pintu lagi dan muncul dengan sekantong besar paper bag yang isinya bahan masakan. Aku bisa melihat daun sawi dan daun bawang mencuat dari sana membuat mataku terbelalak saat ia menyodorkan semuanya padaku.
“Apa ini?” tanyaku, bingung.
“Katamu, kamu jago masak apa saja selain air dan kamu sudah janji mau masakin aku, kan?”
Aku terkejut.
“Iya, kamu ingat?”
Ia menarik napas sambil memejamkan mata, entah kenapa kelihatannya nyaris menjadi murka.
“Yaiyalah, jelas! itu sudah tujuh hari yang lalu, tahu!”
“Hahh?!!”
***
Sekarang pukul setengah dua belas siang. Matahari terik. Suhu aspal menguap. Kumbang-kumbang berdengung bersaing dengan bunyi jarum jam yang berdentang. Angin kering sesekali berhembus membawa debu pasir ke pintu rumah-rumah yang jendelanya terbuka. Aku diam mengamati Esa yang sibuk berbicara dengan seseorang di telfon sementara isi dunia sedang berputar-putar di atas kepalaku. Bingung. Pening. Gelisah, bergabung membentuk pusaran angin tornado yang membentuk gumpalan penyesalan: Apa yang telah kuperbuat pada tujuh hari berhargaku selama ini?
Hidup ini luar biasa teman-teman. Alurnya tidak bisa ditebak dan akhir kisahnya tidak mampu diprediksi. Semua orang tahu itu, tapi baru kali kini aku menyadari kekuatan sihir dari sebuah teori. Tubuhku membeku di tempat, masih memegang bahan masakan tadi dengan pandangan ke halaman kos yang sudutnya ditanami lidah buaya oleh bu Ros.
Ngomong-ngomong tentang lidah buaya, aku ingat tumbuhan itu dulu hanya bibit mungil seukuran pohon tauge berumur tujuh hari, di dalam sebuah pot kecil dengan tanah kering yang kuprediksi bisa bertahan hidup sekitar nol koma nol satu persen dari sepuluh. Tetapi, setelah dipindah oleh bu Ros ke dalam pot yang lebih besar dengan tanah yang sudah digemburkan serta dicampurkan pupuk, lalu setiap hari disiram dan dipuji dengan rajin, alhasil lidah buayanya lama-kelamaan menjadi bertunas dan beranak-pinak dengan subur sampai sekarang. Percaya tidak percaya, daunnya kini jadi sebesar lengan manusia.
Aku tidak tahu menahu apa urusan diriku dengan lidah buaya tersebut namun sekilas perubahan yang dialaminya membuatku tersadar betapa mengejutkannya kehidupan. Bu Ros telah merawatnya dengan ketulusan hati meski orang lain memprediksi lidah buaya tidak akan bisa bertahan, namun lidah buaya tidak menggubris sebab ia tahu kasih sayang Bu Ros padanya takkan pernah berubah. Jadi, yang perlu ia lakukan hanya berfokus pada dirinya sendiri dengan berfotosintesis dengan giat dan terus berkembang hingga menjadi lidah buaya yang terbaik.
Aku merasa payah karena cara menjalani hidup lidah buaya lebih baik daripada diriku. Jika sadar lebih awal, seharusnya aku bisa seperti lidah buaya. Giat berfotosintetis dan terus berkembang kala Tuhan tidak memiliki batasan dalam hal kasih sayang.
“Noumi…?”
“Eh—?” aku jadi lupa sampai dimana tadi. Esa kelihatannya bingung, jadi ia bertanya.
“Kamu, sudah sehat?”
“Apa?”
“Kakimu…”
“Oh.” Aku menunduk. “Sudah.”
Mengingat tadi aku sempat terkejut sebelum jawabannya terkuak diluar kewajaran. Selanjutnya Esa juga sempat tidak percaya alasan aku mangkrak dari radarnya selama tujuh hari penuh karena itu, tapi kukatakan bahwa ini bahkan sudah terjadi untuk yang kedua kalinya, dan aku beruntung bisa bangun dan bernapas seperti sedia kala.
“Tapi, tidur selama itu, memangnya tidak lapar?”
Iya. Aku baru sadar kalau aku lapar. Tanganku memegang perut, menunjukkan senyum meringis. Ia menatap nanar sebelum mendengus sambil menggeleng.
“Lima belas menit lagi aku bakal kedatangan tamu. Masakin aku lain kali saja, ya.”
“Tapi, ini?”
“Buat kamu masak sendiri. Buat kamu makan sendiri juga,” tukasnya sambil memastikan jam pada layar ponselnya lagi. Aku segera menampik keputusan tersebut.
“Eh, nggak lah, nggak mau. Aku masaknya sebentar, kok. Kita makan bareng-bareng saja.”
“Makan bareng-bareng? Memangnya bisa?”
Aku mengangguk antusias, tapi keningnya mengkerut.
“Tapi, tamuku bagaimana?”
“Memangnya, tamu kamu ada berapa orang? Biar sekalian aku masakin yang banyak.”
“Hm—” Ia berpikir dengan menggigit bibir bawahnya yang kukira akan memberi solusi diluar pilihan, tapi tak tahunya, “anak-anak kecil, lima orang. Kamu bisa?”
***
Aku menguncir surai tinggi-tinggi di depan wastafel sebelum menggunakan celemek. Berpikir mau memasak apa setelah mengintip isi paper bag yang tadi sembari mengeluarkan isinya satu per satu. Ada satu slot telur, wortel, kentang, seledri, bawang putih, cabai, tomat, daging ayam, jamur shitake, sawi putih dan daun bawang.
Jujur, selama hidup dua puluh tahun di dunia ini, aku tidak pernah mau menghabiskan uang hanya untuk belanja bahan masakan di supermarket. Jelas saja hitungannya jadi rugi jika dibandingkan dengan berbelanja langsung di pasar. Kalau dipikir-pikir, Esa cukup berduit juga. Kira-kira, dia kerja apa, ya?
Aku menggeleng, menghilangkan dengan cepat prasangka negatif yang berkelebat di dalam kepala dengan mengalihkan fokus ke panci yang kutaruh di atas kompor yang akan digunakan untuk merebus ayam. Ketika memasukkan ayamnya setelah kucuci bersih, sekilas aku mengingat pesan Esa yang mengatakan untuk tidak memberi perasa terlalu banyak saat tanganku tengah membuka toples garam. “Sebisa mungkin jangan sampai asin,” katanya. Karena takut kelebihan setelah kutengok kanan-kiri, kuambil hanya sejuput lalu kutaburkan di atas airnya.
Katanya, mengurus anak-anak repotnya sebelas dua belas dengan mengurus bayi. Cuma bedanya, kalau anak-anak kecil biasanya sudah bisa makan sendiri, tapi aku tidak tahu umur berapa anak-anak yang akan datang nanti, jadi takaran komposisinya kubuat senetral mungkin.
Aku membersihkan seluruh bahan untuk kupotong seukuran gigitan. Kentangnya kupotong dadu. Wortelnya kuiris agak tipis supaya matangnya bisa bersamaan dengan kentang. Seledrinya di cincang kecil-kecil, begitu juga dengan daun bawang, jangan lupa dengan tomat. Kalau tomat sengaja kupotong besar-besar seperti ukuran sawi putih karena fungsinya memang sebagai sayur.
Bumbunya ada bawang putih, bawang merah, merica halus, ketumbar, gula dan garam secukupnya. Untuk menghaluskannya, kebetulan aku hanya punya blender jus yang sebenarnya satu paket dengan blender bumbu, tapi karena pisau blendernya tidak tajam dan selalu macet-macetan saat dipakai, alhasil kubuat kegunaan blender jus menjadi duofungsi. Mantap! (Dilarang meniru kebiasaan ini.)
Aku menumis bumbu dengan api sedang. Aroma yang menyengat hidung langsung mengisi ruangan dan membuatku jadi bersin-bersin. Aku memasak dengan pintu kamar yang terbuka dan tak lama bisa kuprediksi suara motor menepi dan anak-anak terdengar bergerumbul di depan kamar Esa. Entah kenapa aku jadi deg-degan. Dengan cepat kumasukan sayur ke dalam wajan sebelum semuanya kutumpah setelah beberapa menit ke dalam panci tempat merebus ayam tadi. Jika lama-kelamaan isi panci tersebut sudah mirip sop ayam, baru kompornya kumatikan. Sepuluh butir telur kukocok cepat dalam mangkuk dan kugoreng perlahan tanpa garam. Beberapa menit setelahnya, telurnya kusajikan pada piring besar sebelum kututup pintunya kembali untuk segera mandi.
***
“Hahhh…”
Aku menghela napas lega. Shower kuhidupkan. Kubiarkan pucuk kepala hingga ujung kaki terguyur air hingga aroma lemon sabun dan sampo pun memenuhi ruangan.
Ternyata, bisa punya pengalaman tidur selama tujuh hari itu cukup menyenangkan. Tidak seburuk yang kuduga. Entah itu baik atau buruk terhadap kondisi kesehatanku secara medis, tapi untuk saat ini aku merasa bugar. Apalagi bisa bertemu air untuk keramas. Ada sebuah kalimat disuatu buku yang pernah kubaca, katanya salah satu cara menghilangkan stress yang paling ampuh adalah dengan terguyur air. Aku percaya hal itu sebab disetiap kali mandi kurasakan seluruh pegal ditubuhku menghilang, seolah Overthinkingku hanyut bersama busa dari sabun yang meleleh.
Setelah selesai mandi. Aku memilih mengenakan kaus pendek biru bertuliskan ‘Lets go!’ dengan bawahan celana hitam selutut sementara suraiku yang sebahu kukeringkan dengan hair dryer. Aku mengoleskan body lotion wangi aloevera dikedua tangan, kaki dan leher. Bahkan sudah seperti kencan pertama, aku memoles bibir dengan lip balm.
Waktunya keluar.
Aku menghirup udara dalam-dalam lalu menghela napas panjang. Ini selalu menjadi bagian tersulit dalam hidup: menampakkan diri dihadapan orang baru. Kau tahu, perasaan ketika kau harus menghadiri acara arisan ibu-ibu tapi kau terlambat datang dan kedatanganmu menjadi pusat atensi semua orang? Itu yang paling kubenci. Dulu Ibuku sering absen dari arisan komplek karena kesibukannya sebagai guru pramuka, sementara yang ditunjuk untuk menggantikan pun bukan penggemar sosialita. Dua tahun yang lalu aku baru tahu kalau penyakit pengecutku ini dinamakan introvert, setelah ratusan kali mencoba bersikap seperti lawannya (ekstrovert,) membuatku sukses menengak obat antidepresan sebab overhang, dan akhirnya aku menyudahi drama untuk fokus menemukan diriku sendiri.
Aku banyak membaca artikel tentang introvert dan perlahan mulai menemukan keindahan sebuah pribadi. Aku dianugrahi rasa ingin tahu yang tinggi dan cenderung menghabiskan waktu sendiri untuk mencari tahu banyak hal tentang dunia. Syukurnya, aku juga dianugrahi otak yang maha luar biasa oleh sang pencipta agar aku bisa membuat dunia seperti yang kuinginkan di masa depan. Walau tak sedikit, introvert selalu punya kelemahan.
Introvert itu kurang mudah tersenyum. Terlalu pemilih, sedikit berbicara, terlalu banyak berpikir, terlalu peka dan sensitif, overthinking, dan sedikit action. Kupikir Esa juga menunjukkan sikap yang serupa. Kuperhatikan ia hanya berbicara pada pokoknya saja dan belum pernah kudapati suka berbasa-basi.
Jadi, dengan melangkahkan satu kaki bersama jantung yang berdebar kencang, aku mulai menengok keadaan kamar Esa tepat di depan pintunya. Sekilas anak-anak yang terlihat berdiri menatap monitor komputer membelakangi arah pintu dibelakang punggung Esa, (dimana posisi Esa tengah duduk persis di depan komputer), seketika menoleh ke arahku karena menemukan bayangan di dinding.
Kami sontak sama-sama terkejut sebelum kututupi dengan senyuman canggung sampai menyentuh pipi sebelum berhasil menyapa mereka dengan ramah.
“Oh, halo…!”
Mendengar suaraku Esa pun ikut menoleh. Aku yang berpegang kuat pada kusein pintu hanya menyipitkan mataku untuk menyapanya juga.
“Oh, halo juga…” perlahan ia menurunkan satu gadis cilik yang berada dipangkuannya sebelum berkata, “ayo, beri salam pada Bu Guru Noumi!”
Bu Guru? Belum sempat mencerna situasi, mereka semua langsung berderet memasang postur siap untuk berseru kompak.
“Halo, Bu Guru Noumi!!!”
Aku tergugu di tempat. Baru kali ini dipanggil Bu Guru dan rasanya agak aneh. kuberitahu saja ya tentang kekuranganku yang kedua. Banyak orang yang salah paham dengan umurku. Katanya aku berpenampilan seperti umur tiga puluh tahun didukung dengan pembawaanku yang begitu dewasa. Sepuluh tahun lebih tua dari usia sesungguhnya, bahkan mungkin lebih.
“Ah, iya, halo, hai…”
Aku berkedip dua kali, tiba-tiba merasa kosong. Kalau sudah menyapa, selanjutnya apa lagi?
“Kalian lagi apa, nih?”
Aku melihat Esa yang masih dalam mode gembira kedatangan tamu, tapi kondisinya sekarang beberapa pasang mata bulat pemberani tengah menyorotku dengan rasa ingin tahu yang sangat amat tinggi. Aku jadi gugup.
“Kita lagi belajar aplikasi CorelDraw, bu Guru Noumi,” kata satu anak laki-laki yang pipinya gembil. Ia tersenyum lebar padaku.
“Oh, ya? siapa yang ajari?”
“Kak Dwi.” Dua anak laki-laki yang lain juga menyahut.
“Kak Dwi? Siapa?”
“Kak Dwi, ini!”
Mereka berusaha menunjukkan Esa dengan antusiasme tinggi sementara Esa sendiri terlihat biasa saja. Namun cara mereka memangil Esa dengan nama yang lain, juga dengan sebutan ‘kak,’ membuatku iri setengah mati.
“Kak Dwi?”
“Iya Bu Guru Noumi. Kak Dwi ini jago pakai CorelDraw, loh. Photoshop juga bisa.”
“Oh, begitu.” Aku tersenyum. Mencoba mendekat untuk menyentuh pipi mereka yang dari tadi membuatku gemas. “Nama kamu, siapa?” tanyaku pada salah satunya.
“Toto.”
“Toto…? Toto umurnya berapa tahun?”
“7 tahun.”
“Wow, keren.” Aku kagum dengan usianya. Seketika teringat Rebung, anakan dari pohon bambu yang entah mengapa bisa dijadikan perbandingan dari umurnya hanya karena rebung dikonsumsi saat tanaman itu baru muncul dari tanah.
“Kalau kamu?”
“Aku juga 7 tahun.”
“Oh, kamu juga seumuran dengan Toto, ya. Nama kamu siapa?”
Ia dengan lekas mengulurkan tangan. Tersenyum cerah padaku. “Aku kembarannya Toto, tapi tidak identik. Namaku Tato.”
“Wah, aku baru pertama kali lihat kembar yang tidak identik, lho. Nama kalian juga unik sekali. Papa kalian jago bikin Tato, ya?”
Sejenak, mereka saling pandang sebelum memberi jawaban dengan menggunakan bahasa Sasak.
“Ndek… amak ite kuat nginem1,” sahut Toto dengan enteng.
“Kuat nginem?”
“Nggih, kance main nine,2” balas Tato kali ini.
Kemudian mereka tertawa. Kepalaku terasa dipalu. Keterjutan mendadak akibat serangan realita anak-anak berumur 7 tahun membuat suara itu menggema dalam ruang hampa. Mereka masih kecil tapi sudah tahu kalau papanya main perempuan. Namun, nampaknya itu tidak menjadi beban yang membuat mereka malu. Terlihat bahkan dari cara mereka cengengesan setelah membeberkan perilaku keluarga sendiri.
“Kalau aku, kak? Namaku jago buat bikin apa?”
Satu anak lagi yang lupa kutanya namanya menarik-narik ujung bajuku. Aku segera menyadarkan diri.
“Oh, iya. Memangnya, nama kamu siapa?”
“Rico!”
“Hm… kalau nama panjangnya?”
“Ricolo Sebastian.”
“Wah, nama yang bagus.”
Aku sejenak terpana dengan anak yang satu ini. Ia paling ramah dan bersemangat. Kulitnya bersih, matanya bulat bening, alisnya melengkung sempurna bagai pelangi. Warna dan bentuk bibirnya layaknya buah plum. Alisnya tebal, surainya tebal, pipinya juga tebal. Badannya, gendut menggemaskan pula.
“Masak, sih?”
Lah, dia malah tidak percaya.
“Iya! nama kamu mirip pelukis, Piccolo. Rico pasti jago melukis, kan?”
Tiba-tiba aku melihat Esa menggeleng, menarik garis bibirnya ke bawah.
“Picasso, Nom. Bukan Piccolo.”
“Oh.”
Seharusnya ia tidak mengoreksi kesalahan orang lain di hadapan anak-anak begini, tapi Ricolo sendiri juga ikut menggeleng. Tak lama ia pun menunjuk seorang gadis yang berdiri paling ujung di sebelah kanan dengan bibir mengerucut.
“Yang paling jago melukis itu dia ... Pakai kuas lagi.”
Setahuku, dimana-mana kalau melukis pasti menggunakan kuas, tapi segera saja kugeser pandanganku ke arah gadis yang ditunjuk untuk mempertemukan radar kami berdua. Aku percaya takdir itu dipertemukan dengan cara yang paling sederhana, meski gadis tersebut tidak ingin tersenyum karena lebih memilih mengangguk untuk mengiyakan perkataan Rico, aku tetap tahu maksudnya itu pasti terbalik. Jika mendengar suaranya sendiri di antara banyak orang akan membuatnya kikuk, maka dari itu kebanyakan introvert selalu terlihat pendiam. Aku menunduk untuk menyapanya.
“Hai… nama kamu, siapa?”
Tak lama ia memberanikan diri menatapku lagi, dan dengan gagah berani mengulurkan tangan mungilnya.
“Yange, Rahajeng Putu Swatara. Umur 8 tahun. Dipanggil Ajeng.”
Tuh, kan benar. Dia itu langsung to the point agar tidak ditanya-tanya lagi. Coba saja bertanya basa-basi, pasti jawabannya hanya ‘iya’ dan ‘tidak.’ Aku mengangguk, membalas dengan menggenggam tangannya.
“Salam kenal juga Ajeng. Aku Noumi. Panggil saja kakak Noumi.”
Ajeng mengangguk.
Benar lagi. Kali ini jawabannya hanya mengangguk, dan sengaja kupertegas panggilan ‘kakak’ agar mereka paham bahwa tulisan dikeningku ini dibaca, ‘masih muda.’ Jangan salahkan aku yang terlihat tua, sebab tidak semua orang dilahirkan dengan porsi kolagen yang berlebih. Rico saja terlihat membulatkan mulut, terkena paham.
“Ngomong-ngomong, kak Noumi kok, bisa jegeg1 banget, Kenapa?”
Wow, apa katanya tadi? Bisa lebih keras? aku tidak percaya yang mengatakan itu Ajeng, dengan muka terheran-heran pula.
“Masak, sih?”
“Iya, menurutku, kak Noumi ini jegeg banget. Mirip Amanda Manopo.”
Aku sekarang sedang membayangkan bagaimana rasanya layang-layang bisa melayang tinggi di angkasa sebelum benang yang lain membuatnya terputus sebab Esa menahan tawa layaknya teman perempuan yang berkawan karib tapi saling menusuk secara perlahan. Iri bilang bos!
“Mungkin itu hanya menurut Ajeng, tapi, makasih banyak sudah puji kak Noumi jegeg… Ajeng juga jegeg banget, kok. Kulitnya kuning langsat pula.”
“Kulit kuning langsat itu, apa kak?”
“Kulitnya orang Indonesia.”
“Memangnya kulit kak Noumi bukan kuning langsat?”
“Bukan, kulit kak Noumi agak sawo matang.”
“Berarti, kak Noumi bukan orang Indonesia?”
“Orang Indonesia, kok.”
Ajeng jadi bingung. Aku juga. Tapi tiba-tiba Esa menyahut asal.
“Bukan! kak Noumi itu orang Korea.”
Seketika membuat Ajeng terkejut bukan kepalang.
“Kak Noumi orang Korea?!” tanyanya sambil memasang ekspresi syok, membekap mulut sendiri dengan kedua tangan dan tak disangka malah bersorak, “aku juga suka banget Korea!! Aku suka BTS!!!!”
“Wahh!” Aku ikut terkejut. “Kakak juga suka BTS!!!!”
“Aaaaakhhh!!!”
Jelas saja orang korea berkulit putih, namun kami menjerit seolah bahagia telah turun ke bumi dalam bentuk hujan setelah kemarau melanda selama setahun, kemudian berpelukan erat. Sudah kubilang, ini takdir, sampai Esa dan yang lain saja jadi bingung kami ini kenapa.
Bukan rahasia umum lagi kalau nama BTS telah mendunia. Namun menemukan orang yang sejalan itu akan membuat harimu terasa lebih baik, percaya deh. Kami berpelukan dan Ajeng masih sebegitu senangnya sampai kakinya mengudara demi memeluk leherku. Bayangkan saja, siapa yang bisa membuat dua orang asing jadi seakrab ini dihari pertama bertemu? Aku tak menyangka K-pop bisa melakukan ini. Bukan-bukan, maksudku, aku tak menyangka K-pop bisa menjadi alasan kuat dalam mempersatukan umat di dunia, yang tentu saja itu hanya menurut K-popers. Ajeng melepas pelukan lalu tersenyum lebar padaku. Melihat rautnya, aku jadi tahu seberapa besar rasa cinta yang ia beri pada BTS seperti saat aku awal-awal mengidolakan mereka.
“Kak Noumi. Kapan-kapan, ajari aku bahasa Korea, boleh?”
Aku balas tersenyum.
“Boleh dong. Kalau hari ini, mau?!”
Matanya langsung membulat berlinang. “Mau banget!” kaki mungilnya langsung menghentak-hentak kegirangan.
“Tapi, eh, pak guru Dwi kasih izin, tidak?”
Aku melirik pemilik nama sebelum memaksanya untuk segera mengambil keputusan dengan tatapan yang tajam. Esa menarik napas sambil mengerling malas.
“Boleh... boleh. Apa saja boleh.”
“Asyik!”
Ajeng kegirangan lagi.
“Tapi, eh. Bagaimana kalau sebelum belajar, kita semua makan dulu?”
Rico seketika jadi bersemangat dan Esa menjawab lagi dengan kalimat yang sama.
“Boleh… boleh. Apa saja boleh.”
***
Setelah memutuskan untuk makan di ruang tengah kamar Esa, aku meminta tolong kepada Ajeng, Rico, Tato dan Toto, untuk membawa perlengkapan makan dari tempatku. Mereka beriring-iringan dengan bawaan mereka sesuai kemampuan. Tato dan Toto membawa Botol besar air minum, gelas, piring, dan sendok. Kemudian Rico dan Ajeng membawa telur dadar dan nasi dalam bakul plastik. Sisanya, aku membawa sop ayam semangkuk besar.
Mereka langsung meletakkan semuanya di lantai yang baru saja selesai disapu oleh pemiliknya dan diizinkan begitu saja. Aku sedikit terkejut.
“Eh… memangnya nggak ada alas, ya? kayak tikar begitu?” tanyaku masih belum mau mendaratkan sop ayam langsung di atas keramik putih tersebut. Esa terlihat bingung.
“Kenapa memangnya? Lantainya kan sudah bersih.”
“Kan kotor kalau nggak pakai alas.”
Esa sejenak melirik anak-anak yang mendongak menonton kami sebelum kembali menatapku datar.
“Kamu nggak tahu anak-anak kalau makan selalu berceceran? dipakaikan alas itu hanya menambah pekerjaan, Nom. Siapkan saja lantai supaya mereka bebas berkarya. Nanti selesainya tinggal di pel. Mudah, bukan?”
“Bukan.”
Aku secara sukarela mengalah karena jawaban darinya sangat masuk akal. Kita harus memberi setidaknya kebebasan anak-anak dalam menentukan cara mereka menyantap makanan. Banyak peraturan hanya akan membuat mereka tidak nyaman. Kalau tidak nyaman, mereka tidak mau makan. Kalau tidak makan, daya imun mereka mengurang, dimana hal tersebut dapat menyebabkan mereka rentan terserang penyakit. Kalau sudah terserang penyakit, mereka bisa-bisa berurusan dengan rumah sakit, selang infus, dan obat-obatan. Kan kasihan kalau tidak bisa bermain lagi. Terlebih sekarang pandemi masih berlangsung cukup lama.
“Aku suka makan sayur! kak Noumi, ambilkan Rico wortelnya yang banyaak!”
Rico berseru ketika Esa baru saja duduk bergabung setelah aku selesai menyendokan satu setengah centong nasi untuk piring Ajeng. Aku terkekeh ketika Esa menjawil pipi anak tersebut dengan gaya kejut sebelum menyampaikan pesan dengan nada lembut.
“Ricolo Sebastian. Lain kali kalau mau meminta sesuatu kepada siapapun itu, biasakan diawali dengan kata, ‘tolong,’ atau ‘minta tolong, ya.’”
Terpikirkan dalam benakku beberapa detik yang lalu namun entah mengapa aku tidak mengatakannya. Syukur saja Esa peka.
“Memangnya kenapa? Kenapa harus begitu?”
Esa menarik napas dan berkedip sedikit lama. “Karena itu dinamakan tata krama.”
Rico tidak berkedip, juga tidak mengangguk. Ia hanya ingin tahu lebih banyak dengan binar-binar dimatanya.
“Orang Indonesia punya tata krama untuk saling menghargai satu sama lain. Meminta itu bahasanya lebih sopan dibandingkan kata ‘ambilkan’. Karena Rico meminta pertolongan kepada orang lain, jadi kalimat yang harus diucapkan pertama kali adalah…?”
“Minta tolong…”
“Seratus!” Esa mengacungkan jempol padanya. Semangat bocah tersebut jadi bertambah dua kali lipat.
Kuperhatikan ada satu gadis paling cilik diantara semua lamat-lamat meminta duduk dipangkuan Esa. Dari tadi aku tidak sempat menyapanya karena ia kelihatannya sangat pemalu. Selalu bersembunyi jika ditanya. Wajahnya sangat murung dan ia sangat mudah menangis. Aku takut kalau seandainya terlalu memperlihatkan perhatian, ia akan jadi benci padaku.
“Namanya siapa, Sa?” tanyaku pelan dengan gerakan bibir lebar-lebar kepada Esa. Esa mencoba membalas dengan cara yang sama.
“Nana.”
“Siapa?”
“Na…! na…!”
“Oh…” Aku mengangguk paham. Nana tidak mengetahuinya sebab ia menunduk, sedangkan aku mulai menyendokkan nasi untuknya.
“Nana… suka telur?”
Ia melihatku sebentar, kemudian meringis. Menggeliat risih. Esa berbisik ditelinganya dan ia hanya mengangguk. Masih meringis.
“Iya, katanya.”
Karena Nana suka telur dan aku juga suka Nana, jadi jatah telurku, kutaruh semua dipiringnya. Anak-anak mulai makan dengan lahap kecuali Nana. Ia tidak mau makan sendiri dan itu harus membuat Esa turun tangan untuk menyuapinya dengan kesabaran tingkat tinggi. Aku jadi prihatin. Dulu aku juga begitu. Terlalu alergi dengan orang baru. Kedatangan orang baru membuatku kurang nyaman karena aku jadi tidak leluasa melakukan apa yang kumau. Apa lebih baik, aku pergi saja?
“Kenapa…?”
Esa bertanya semudah itu hanya karena pandangan kami bertemu. Padahal aku tidak melakukan apapun.
“Kenapa, apanya?”
Ia melihat satu piring kosong tidak terisi apapun, seperti mencari-cari alasan dari pertanyaannya sendiri.
“Kenapa nggak makan?” tanyanya heran.
“Aku sudah makan.”
“Kapan?”
“Tadi, waktu selesai masak.” Tiba-tiba saja perutku terasa mual. “Eh, aku ke kamar dulu, ya. Nanti kalau sudah selesai, aku bakal balik lagi ke sini.”
Buru-buru kuangkat bokong dan ingin segera melarikan diri. Tapi, “hei.”
Esa meletakkan telur dadar miliknya ke atas piring kosong tersebut sebelum menyodorkannya padaku. Tatapanku serupa dengan piring itu sebelum terisi telur dadar.
“Apa?” tanyaku tak mengerti namun ia langsung menjawab seolah menutupi rasa prihatinnya.
“Bawa ini, aku nggak makan telur.”
***
Sekarang pukul dua lebih lima belas menit. Aku tengah berdiri menopang tubuh di depan wastafel yang krannya sengaja kuhidupkan. Menunduk memperhatikan sepotong telur dadar yang terasa menyedihkan. Dulu untuk makan telur itu bagiku adalah sesuatu yang spesial. Tapi sekarang ketika melihatnya di depan mata juga karena ingatan bagaimana caranya ia dipindah dari piring seseorang ke piring ini, membuatku berpikir bahwa telur sebenarnya tidak spesial. Ia digampangkan oleh sebagian orang karena cara mendapatkannya cukup mudah. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku menangis. Ini benar-benar sulit dimengerti. Orang lain memberimu makanan secara sukarela, kau bukannya bersyukur tapi malah menangis? yang benar saja.
Beginilah cara penyakitku kambuh dalam suatu kondisi. Jika berkumpul dengan orang lain, pikiran jelekku terus mengkerukut tanpa kendali sampai aku sendiri sakit kepala. Itu yang membuatku harus menarik diri dari kerumunan agar aku bisa merasakan ketenangan. Jika sendirian, aku tidak lagi melihat orang lain, tidak lagi berpikir jelek tentang mereka, tidak memperhatikan gerakan apapun dari yang mereka lakukan, dan setidaknya, tidak menyiksa diriku sendiri.
Aku terduduk merosot menyandarkan punggung di sana, menekuk lutut untuk menopang tangan kananku yang menyeka air mata. Lagi-lagi masa lalu sialan. Kuharap aku tidak punya masa lalu kalau tahu ia akan membentukku menjadi tidak waras begini. Meski berkawan karib sudah lama, hidup susah tetap tidak bisa kutunjukkan kepada orang-orang dengan rasa bangga seperti orang tua yang pamer prestasi anaknya.
Yah, meski aku enjoy dengan diriku yang sekarang, tapi aku tidak bisa mengatakan kalau kemiskinan telah mengajariku banyak hal tentang kesabaran. Itu bullshit! Omong kosong! Tidak ada namanya kesabaran dalam hidup jika kau tidak menghasilkan uang. Dan sekarang aku pengangguran. Tidak berniat mencari pekerjaan sedikitpun karena tak tahunya memasak makanan untuk anak-anak kecil yang entah berasal dari mana, datang ke rumah Esa untuk apa, dan mengapa satu diantaranya tidak menerima kehadiranku, sungguh mudah membuatku mengalami mental breakdown sekarang.
Esa tentu saja orang asing. Ia baru kutemui tujuh hari yang lalu namun anehnya kami bersikap seolah sudah kenal lama. Biasanya kepercayaan yang seperti itu akan menghasilkan kekecewaan yang mendalam, sebab diam-diam, aku ingin mengandalkan dia lebih banyak untuk perlahan mengambil kontrol atas semuanya. Ingin menjadikannya seperti yang kumau dan bisa ditebak esok tanpa diduga ia akan menghilang secara mendadak karena tidak tahan dengan keegoisanku. Bukannya manusia memang seperti itu? tentu saja aku egois karena aku juga manusia, maka dari itu aku harus membatasi interaksi dengan orang yang berkaitan agar rencana jahat tadi tidak terjadi.
Memandang jarum jam yang terus berdetak tanpa henti membuatku gugup. Dari pada berdiam diri tidak menghasilkan uang begini, aku memilih untuk mengecek info loker di i*******m. Tetapi sudah sekian menit melihat-lihat, tidak ada satupun yang dapat membuatku berangkat ke TKP pada detik itu juga. Aku berpikir sekilas untuk menghasilkan uang dari rumah atau sekadar searching di g****e dengan keyword: cara cepat dapat duit tanpa kerja lewat internet. Dan itu tidak benar-benar memberi solusi karena pengerjaannya masih memerlukan effort dimana ekspetasi sebelumnya adalah ‘tidurpun menghasilkan uang.’
Sepuluh menit terpakai untuk melihat info loker namun tiga puluh menit terbuang sia-sia karena ketagihan menonton Suga yang selalu muncul di beranda.
Kalau dipikir-pikir, apa penghasilan Esa didapat dari mengajar anak-anak tadi? Kalau benar, berapa uang yang ia dapatkan dari satu anak? Ia bisa mengajarkan anak-anak apa saja? memangnya ia tidak butuh guru tambahan lagi? tapi, tadi ia memperkenalkanku sebagai Ibu Guru kepada anak-anak, apa itu tandanya aku bisa mengajar juga di sana? Apa ia akan membayarku kalau aku melamar kerja sebagai guru padanya? Aku bisa apa saja, ya? bahasa Korea juga masih belajar.
Tok, tok…!
Beberapa manusia dengan tangan mungilnya terdengar mengetuk pintuku sebelum disusul dengan seruan, “Bu Guru Noumi…!” membuatku terkekeh geli karena merasakan tekad yang tidak biasa untuk menjadi Guru. Aku berjalan membuka pintu kemudian melihat mereka tersenyum lebar dengan memegang piring masing-masing yang isinya telah habis tak tersisa.
“Hai… kalian sudah selesai makan, ya? wah, piringnya langsung bersih!”
Kutemukan Nana juga ikut berdiri diantara mereka. Aku memberikannya senyuman paling hangat namun tetap tidak menunjukkan perhatian berlebih, karena segala sesuatu yang berlebihan akan mengurangi bagian yang lain.
“Kalau sudah selesai, kalian bisa tidak, mencuci piring kalian masing-masing?”
“Bisa!”
Hanya Ajeng yang menyanggupi sebab ia paling dewasa dari yang lain.
“Oke, ikuti Bu Guru, ya, karena semua harus bisa mencuci piring sendiri.”
Tato dan Toto hanya mengikuti perintah sedangkan Rico, sambil berjalan masuk, ia mencebik.
“Tapi aku nggak bisa cuci piring sendiri, Bu Guru!”
Aku menyiapkan dingklik di depan wastafel dan meminta Ajeng yang pertama kali menaikinya kemudian menoleh ke arah Rico. Anak-anak yang lain dengan rapi menaruh piring mereka di sebelah wastafel untuk menunggu giliran mencuci.
“Kenapa?”
Ia menggeleng, memasang ekspresi tidak mengerti tentang mengapa dirinya begitu sementara yang lain kini kuamati mulai memanjat kasur untuk bermain dengan telapak kaki yang kotor. Aku menghela napas.
“Ya sudah… kalau Rico nggak bisa, mulai dari sekarang Bu Guru akan ajarkan caranya mencuci piring dengan baik dan benar, oke?!”
“Yah..”
Aku tahu ia terkejut luar biasa karena alasan malasnya jadi tidak mempan. Mau tidak mau ia harus melaksanakan perintah. Jadi aku tersenyum puas.
“Begini kan caranya, Bu Guru?”
Ajeng memberikan sabun cair hijau beraroma lemon ke spon cucinya, lalu ia basahi sedikit sebelum digosok pada permukaan piring. Aku mengangguk dan memberikannya dua jempol sembari memegang punggungnya untuk menjaga keseimbangan sebab dingklik yang ia pijaki agak bergoyang.
“Ngomong-ngomong, Ajeng sudah berapa lama nih, belajar sama Pak Guru Dwi?”
Aku iseng-iseng bertanya, beruntungnya Ajeng dengan sukarela menjawab.
“Hm, sudah lama, sih. Kayaknya.”
“Oh, ya? memang sudah lamanya, berapa lama?”
“Minggu kemarin, kalau nggak salah.”
Aku ingin tertawa tapi kutahan. Jika benar begitu, aku dan dia sama-sama baru seminggu mengenal Esa. Aku baru ingat ia masih kecil, jadi kemampuan mengiranya tidak tepat. Dulu aku juga begitu. Dari senin ke minggu itu rasanya seperti sebulan.
“Diajari apa saja biasanya?”
“Hm… apa ya? apa saja, sih.” Mirip seperti yang tadi, lagi-lagi aku harus belajar bersabar menghadapinya.
“Oh, ya? memang apa sajanya itu, apa saja?”
“Hm, apa ya…?” Ajeng mulai berpikir, membiarkan air kran mengalir ditangannya.
“Bermain…?”
“Bermain?!”
“Iya!”
Aku jadi tidak mengerti.
“Jadi selama ini kalian nggak belajar, tapi malah… bermain?” tanyaku sambil mengerutkan alis. Ajeng meniru itu.
“Kami belajar, kok. Belajar caranya bermain.”
Hening.
Aku berkedip dua kali. Berpikir. Bagaimana caranya anak sekecil ini dapat memiliki kemampuan komunikasi sebaik itu? belajar caranya bermain katanya? Aku sama sekali tidak meremehkan, ini justru kagum dan tercengang dalam waktu bersamaan. Yang lebih membuatku tercengang lagi adalah otak dibalik ide tersebut. Aku sering memikirkan hal ini berulang kali. Anak-anak meski dimasa mereka waktunya bermain, namun cara bermain yang tidak baik cenderung membawa pengaruh pada kesehatan mental mereka dikemudian hari, bukan? Jika orang dewasa mengerti caranya menghabiskan waktu untuk bermain, dalam artian memuaskan keinginan atau membahagiakan diri sendiri, tentunya mereka akan memperhatikan kondisi mental anak-anak mereka dengan sangat baik. Pendidikan formal memang perlu, namun pendidikan karakter tetap nomor satu. Bukankah cikal bakal terbentuknya karakter yang baik tergantung dari cara mereka mengajarkan anak-anak mereka bermain? Aku jadi penasaran dengan ceritanya lebih lanjut.
“Memang, caranya bermain, bagaimana?”
***
Krskk!!!! Bssss…
Kertas layang berwarna putih dikibas lalu dibentangkan di atas lantai. Ruang tengah yang sekaligus menjadi kamar bagiku, itu hanya menjadi ruang kosong untuk Esa. Tidak ada kasur, TV, bahkan alas. Sekilas yang kuamati hanya lantai putih dan seperangkat komputer yang diletakkan di sudut dekat jendela bersama gudged lainnya. Kurasa Esa sangat paham mengenai teknologi. Dibanding melengkapi kebutuhan primer atau sekunder, ia lebih memilih memenuhi kebutuhan tersier seperti memasang wifi, membeli printer, harddisk, laptop, hanphone, tab, camera DSLR, dan mainan serba miniatur yang ia posisikan pada wadah gabus yang diberi pencahayaan. Dapurnya sekilas hanya diisi kompor, peralatan makan yang minim, juga mesin cuci.
“Buat apa ini?” tanyaku setelah terkena kibasan kertasnya, sementara ia tengah sibuk mencari peralatan kuas di dalam sebuah ransel untuk ia berikan pada Ajeng.
“Untuk dia melukis.”
Ajeng menerima dengan senang hati, sedangkan Esa tak lama tertangkap basah memperhatikanku saat mulutku tengah menganga.
“Kamu sudah makan?” tanyanya cepat. Aku langsung menggeleng. Salah, seharusnya aku mengangguk.
“Sudah, kok. Anak-anak juga sudah kuajari cara mencuci piring sendiri, dan aku sudah cucikan piringmu juga.”
“Ah, iya. Terima kasih.”
Ia jadi menggaruk tengkuk karena merasa tidak enak, sementara aku jadi malu lantaran tidak tahu harus berkata apa sampai perihal mencuci piring pun kusebut-sebut.
“Aku boleh ikut melukis kan?”
“Boleh dong. Tapi, sorry, aku nggak punya kuas lebih.”
“Aku punya sendiri, kok. Aku ambil dulu ya di kamar.”
Ia mengangguk membolehkan dan aku pun memacu kakiku secepat mungkin untuk mengambil barang itu dengan suka cita. Kembalinya aku langsung menumpahkan semua peralatannya di lantai. Memilih mana yang harus dipakai.
“Wah, Bu Guru juga punya cat acrylic, ya?” tanya Ajeng dengan mata yang berbinar sembari memegangnya, terkagum-kagum.
“Iya. sudah lama Bu Guru nggak pakai karena nggak tahu mau melukis apa.”
Tato dan Toto mulai mendekat namun mereka tidak berminat melukis sama sekali. Mereka punya passion yang berbeda.
“Kita mau main game saja!” seru mereka yang langsung beralih pada komputer. Esa menyalakan komputer kembali lalu menonton mereka bermain sambil memperhatikan kondisi sekitar.
“Rico mau ikut melukis?” tanyaku. Ia hanya menggeleng.
“Aku lebih suka memotret orang melukis.”
“Wow…”
Tiba-tiba saja ia jadi terlihat keren karena perkataannya barusan. Keimutannya sementara disimpan dulu.
“Coba foto kak Noumi sama Ajeng, Rik, nanti aku upload di shutterstock.” Esa menyahut dari tempatnya dengan muka enteng. Rico sendiri seperti tidak terlalu memperdulikan hal tersebut, sementara aku sekilas seperti pernah mendengar istilah yang Esa ucapkan tadi.
“Itu website tempat menjual foto kan? Shutterstock?”
“Iya.”
“Memangnya Rico pernah berhasil jual foto di sana?”
“Belum terjual, sih, tapi berhasil diaprrove satu dari dua puluh foto.”
“Oh, ya?! Pakai kamera apa?”
“Pakai kamera handphoneku.”
“Kenapa nggak pakai kamera DSLR itu? punyamu kan?”
Ia menengok benda yang kutunjuk dengan mengerucutkan bibir ke arah meja kerjanya, namun ia berpaling sambil menggaruk alis.
“Iya, sih, tapi itu cara settingnya sulit, Rico belum paham. Jadi sambil belajar, dia coba dulu lewat kamera ini. Lagi pula, zaman sekarang kualitas gambar yang dihasilkan handphone lumayan bagus. Bukan lumayan, sih. Bagus banget malah.”
“Masak, sih?”
“Kamu nggak percaya? Mau kukasih lihat hasil jepretan Rico?”
“Mau.”
Esa langsung membuka galeri untuk menunjukkan hasil jepretan Rico dengan senyum sumringah padaku. Mencoba menjelaskan detail dari makna yang terkandung dalam satu frame itu.
“Ini kupu-kupu kecil yang suka hinggap di bunga …. Itu kan sulit kalau difoto, tapi coba kamu perhatikan lebih jauh, kepakan sayapnya seolah hidup, bukan?”
—Bukan, (jawaban hati.)
Aku belum bisa sepenuhnya menilai, sebab itu hanya kupu-kupu di atas bunga… tidak terlihat hidup ataupun sayapnya terlihat nyata. Biasa saja, tapi jika reaksiku biasa-biasa saja atau malah mengkritik hal yang tidak kumengerti, itu jelas akan menorehkan luka di hati kecil Rico. Jika hati kecilnya terluka, maka seterusnya hati itu tidak akan bertumbuh besar. Tugas orang dewasa untuk membesarkannya, jadi, sambil menatap matanya yang berharap-harap cemas, aku mendaratkan dua jempol dikedua pipinya untuk berseru, “keren, Gila!” membuat mereka semua tertawa, termasuk Rico, meski ketawanya tidak terlalu membahana atau sedikit dari pecah, namun gerakan bahu mereka yang luwes karena tergelitik candaan membuat kehadiranku merasa diterima. Hawa dingin yang tadinya menyelubungi kami, perlahan menghangat. Baguslah, lagipula musim hujan sebentar lagi akan datang.
“Tapi, keren, gila? Maksudnya apa?”
Yang benar saja. Anak-anak ternyata hobi bertanya juga, ya. Aku baru tahu.
“Oh… orang Jakarta kalau ngomong suka bilang begitu: Keren, gila artinya keren banget. Kerennya di luar kendali. Mangkanya jadi keren gila.”
“Kenapa tiba-tiba jadi orang Jakarta?”
“Memang kamu tahu Jakarta di mana?”
“Tahu, di pulau Jawa, kan? Ibukota Indonesia.”
“Wah, hebat! Tahu darimana?”
“Dari berita-berita di TV.”
“Oh, jadi, kamu suka nonton berita, ya?”
“Nggak, papaku yang suka. Disetel setiap pagi sebelum pergi ke sekolah, isinya tentang Ibukota melulu.”
“Oh, begitu.”
“Tapi, kenapa?”
“Kenapa apanya?”
“Itu, ngomong kayak orang Jakarta?”
“Hm—”
Lumayan sulit juga ya berbicara dengan anak kecil. Esa sampai jadi malu sendiri karena melihatku kebingungan seolah menganggap ini situasi yang genting.
“Biasanya kita cenderung akan meniru hal-hal yang sering kita dengar, baca, tonton, atau rasakan. Nah, karena Bu Guru sering nonton channel kuliner orang Jakarta di youtube, mangkanya Bu Guru tanpa sadar ikut-ikutan cara ngomong mereka.”
“Aku juga suka nonton drakor, mangkanya aku ikut-ikutan ngomong pakai bahasa Korea. Anyeonghaseyo, begitu,” kata Ajeng mengutarakan pendapat serupa. Ia sudah menuangkan minyak ke dalam palet dan menyilangkan beberapa warna primer. Posisi tubuh tengkurap, selagi nyaman, tangan gemuknya dengan lihai mengoles cat ke permukaan kertas dengan seluwes-luwesnya. Rico sendiri mengangguk. Entahlah, ia sudah dalam mode paham atau tidak, aku tidak tahu, sebab kekosongan matanya terlihat masih lapar mencari-cari jawaban yang lebih dari kiranya.
“Spontanitas, Rik.” Esa mendesis. Ia mengambil posisi duduk bersebelahan dengan Rico sambil sesekali melirik khawatir kepada Nana yang tengah mengeruk-ngeruk lantai dengan oil pastel.
“Reaksi kak Ajeng tadi itu namanya spontanitas, dimana hal itu dilakukan secara tiba-tiba … mendadak, atau tanpa rencana, sedangkan ‘keren-gila’ itu adalah perilaku meniru. Kebiasaan suka menonton orang Jakarta diyoutube, drama korea, india, anime, membuat kita cenderung mengikuti apa yang kita tonton. Jadi, reaksi tadi namanya spontanitas, dan ‘keren-gila’ itu, namanya meniru.”
“Kenapa kita harus meniru?”
“Kita tidak harus meniru, tapi secara umum—”
“Umum itu apa?”
Mata anak itu tidak berkedip sama sekali sampai-sampai Esa nyaris tersedak liur sendiri.
“Ekhem,” dehamnya sedikit untuk pemanasan sebelum melanjutkan penjelasan. “Umum itu adalah orang banyak, secara menyeluruh, atau contohnya nih, kebanyakan orang biasanya melakukan hal yang sama, itu disebut ‘umum.’
Mata anak itu kali ini mengerjap, aku jadi ikut khawatir kalau seandainya ia akan mengambil ancang-ancang lagi untuk bertanya.
“Sampai situ paham?” Esa bertanya lembut. Rico mengangguk.
“Nah, karena secara umum manusia melakukan apa yang orang lain lakukan, tanpa disadari sekalipun, maka muncul lah kebiasaan meniru kayak yang dilakukan kak Noumi barusan.”
“Oh, tapi-tapi—
Nah, kan!
“Kata Bu Guru disekolah, kita dilarang meniru jawaban orang lain.”
“Itu bukan meniru, Ibu Gurunya mungkin salah ngomong. Itu namanya menjiplak.”
“Menjiplak itu apa? tahu dari mana kalau Ibu Guruku salah ngomong?”
“Menjiplak itu adalah tindakan menyalin atau mengcopy secara persis seratus persen hasil karya orang lain, atau sering disebut dengan plagiarisme. Kenapa Kak Esa bisa tahu? karena… hm, yah, tebak-tebakan aja. Kan, mungkin... mungkin saja bu Guru Rico salah ngomong.”
“Tapi, tebak-tebakan itu, beda bukan, sama teka-teki silang?”
Ya ampun, nyambungnya dimana, hei?
“Beda dong…”
“Bedanya apa?”
“Bedanya itu—”
Duh, aku jadi pusing sendiri mendengar percakapan mereka. Jika diteruskan begini bisa-bisa berlanjut sampai malam karena tanpa dinyana Esa sanggup menjawab hal-hal konyol yang Rico pertanyakan sampai satu jam setengah tanpa rasa jengkel sedikitpun. Bisa dipastikan bila itu aku, mungkin melempar tutup panci sampai melesat ke keluar rumah bisa dijadikan pengganti jawabannya.
Ajeng masih asyik dengan lukisannya sedangkan Nana sudah beralih membuat sebuah maha karya ditembok. Parahnya lagi, Tato dan Toto sama sekali tidak berkutik dari tempat duduk mereka di depan komputer. Kedua bola mata mereka fokus bermain game sampai level ke-semiliar mungkin. Luar biasa sekali orang-orang ini, tapi sebenarnya yang lebih luar biasanya lagi aku, duduk lalu berbaring di tempat untuk memperhatikan mereka semua yang melakukan sesuatu yang mereka sukai. Kurang kerjaan apa lagi aku ini?
“Ajeng kalau besar nanti, mau jadi pelukis, ya?” Posisiku kini sudah menyamping gaya mermaid, sambil menopang kepala, mulai menatap Ajeng dengan seksama.
“Nggak tahu.”
Berbeda dengan Rico, Ajeng lebih pemalas untuk mengutarakan maksudnya.
“Kenapa?”
“Nggak tahu aja. Misalnya kalau aku bilang mau jadi pelukis sekarang, pas besar nanti tahu-tahunya jadi penyanyi, gimana?”
Seketika aku terjeduk paham. Mataku berbinar-binar. Benar juga, tidak ada hal yang benar-benar terjadi sesuai ekspetasi di muka bumi ini. Aku berpikir demikian karena yang kurasakan hanya itu selama dua puluh tahun terakhir hidup. Dan kalau coba diingat lagi, perutku jadi bergolak saking mualnya.
“Kalau Bu Guru, dulu cita-citanya jadi guru, ya? mangkanya sekarang jadi Ibu Guru.”
Aku ingin terbahak namun miris pun datang bersamaan. Cita-cita, ya? itu hampir setiap detik mampir dikepalaku dan mengacaukan kedamaiannya. Cita-citaku tidak bisa dihitung dengan jari. Bahkan aku sendiri sudah lupa apa sebenarnya cita-citaku sebagai anak kecil dulu. Beranjak dewasa, aku lebih senang menyebutnya dengan sebutan mimpi, karena cita-cita itu berhubungan dengan segala keindahan yang kita bayangkan senyaman saat tengah tertidur. Aku pernah mendengar dari seseorang kalau dunia itu sebenarnya ada dua. Dimana yang pertama, ia terletak dalam fantasi, dan yang kedua adalah kenyataan yang sedang kita jalani. Kupikir selama ini aku terlalu dominan dengan fantasi, jadi sulit bagiku untuk menerima kenyataan. Jadi saat menginjak usia dua puluh tahun pertamaku sekaligus yang terakhir sebagai Noumi Roula, entah dikehidupan selanjutnya aku akan dilahirkan sebagai manusia lagi atau debu, aku tidak tahu, tapi aku tetap tidak ingin punya mimpi. Aku sadar kalau rasa sakitku kini disebabkan oleh fantasi yang kubangun dengan menguras pikiran. Pola makanku terganggu dan insomniaku semakin menggila.
Aku dibuat anemia sehingga mudah lelah dalam mengerjakan apapun. Menurutku, semua menjadi kacau semenjak kita menciptakan mimpi. Kuharap Ajeng tidak melakukan hal yang sama.
“Apa bu Guru nggak punya mimpi?”
Alisku menukik terkejut. Terheran-heran dengan mahluk mungil yang satu ini. Apa mudah baginya membaca pikiran orang lain yang sedang melamun?
“Kenapa tiba-tiba Ajeng tanyanya begitu?”
“Hm, nggak tahu,” jawabnya handal. Tangannya masih sibuk mewarnai kertas minyak dengan cat. “Ajeng Cuma penasaran aja apa mimpi bu Guru saat kecil dulu sampai bisa jadi Guru sekarang.”
Ada satu Dream cather yang kubeli di toko klontong ketika mengunjungi pantai Aan saat kelulusan SD delapan tahun lalu. Beberapa tahun kemudian aku tanpa sengaja menonton sebuah drama remaja, The Hers, yang diperankan Park Shin hye sebagai Cha eun sang kala itu. Pada episode awal, aku baru tahu barang yang kubeli beberapa tahun lalu namanya Dream Cather karena pada drama tersebut, Dream cather diartikan sebagai penangkap mimpi indah dikala mimpi buruk menyerang. Dan aku jadi berinisiatif untuk menggantungnya di depan kamar waktu itu, berharap benda tersebut dapat menangkap segala sesuatu yang baik, bahkan mungkin mendatangkan uang yang berlimpah untuk memperbaiki nasib sialku.
Sayangnya, persepsi hanyalah persepsi, sebelas dua belas dengan mengharapkan hujan uang. Dream Cather atau benda apapun itu tidak akan pernah bisa menangkap mimpi yang bermain bersama angin dikala malam mencekam, karena mungkin saja, mimpi indahlah yang seharusnya menangkap diriku.
“bu Guru nggak punya mimpi. Dan bu Guru bukan seorang guru.”
Ajeng mencelupkan kuas ke dalam cat warna merah dan ia terkejut. “Lho, kok gitu?” aku hanya menjawab dengan mengendikkan alis.
“Terus, bu Guru jadi apa dong sekarang kalau nggak jadi guru? Kan bu Guru jadi guru kami.”
Kuperhatikan Esa memperhatikan kami meski ia mencoba fokus mengajar Rico memotret miniatur orang di dalam mangkuk yang diisi air, (mungkin konsepnya kolam renang,) dan proses pengajarannya dalam mode serius tingkat tinggi, tapi aku masih melanjutkan perbincangan kembali dengan Ajeng sambil ikut membantunya melukis.
“Bu Guru hanya dipanggil “bu Guru” sama kalian, tapi bu Guru nggak semudah itu bisa jadi guru, karena seorang guru itu harus punya pengetahuan yang luas tentang dunia. Hanya karena Pak guru Dwi memperkenalkan bu Guru dengan sebutan bu Guru, jadi sekarang bu Guru jadi guru kalian, deh.”
Baru kali ini aku didengar oleh mata seorang anak yang berbinar terang. Seluruh panca indranya hanya dipasang untuk mendengarkanku lalu ditaruhkan empati yang semurni air telaga. Begitu polos dan bening. Aku melanjutkan.
“Tapi walaupun bu Guru bukan seorang guru beneran, bu Guru bisa mengajarkan pelajaran pakai gaya bu Guru sendiri, kok.”
Dua buah bola mata berkedip tanda memahami maksud sebelum menggeleng lembut untuk berkata dengan kesungguhan hatinya.
“Ajeng nggak peduli bu guru beneran itu harus bagaimana, tapi Ajeng suka bu Guru.”
Jika saja angin mendadak berhembus kencang sekarang, maka akan kujadikan alasan kuat tentang mataku yang berkaca-kaca. Terharu aku dibuatnya, ditambah lagi caranya mengungkapkan pernyataan itu sungguh menggemaskan.
“Ajeng suka sama bu Guru?”
“Iya.”
“Kenapa?”
Ia sudah tak canggung lagi untuk bertatap muka denganku, bahkan lebih dekat.
“Karena bu Guru mirip sama Ibuku.”
Oh, ya ampun. Kujadikan itu pujian yang lebih dari layak. Dimiripkan dengan pahlawan tanpa tanda jasa baginya, itu sangat sesuatu. Aku mendaratkan jemari di pucuk kepalanya, lalu mengusap surainya dengan lembut.
“Kalau bu Guru mirip sama Ibunya Ajeng, berarti Ibunya Ajeng mirip seperti malaikat, dong.”
“Kok bisa?”
“Bisa lah. Kan kamu mirip malaikat juga. Kamu nggak sadar, ya, mirip malaikat?”
“Malaikat apa dulu? soalnya kalau dipelajaran agama Islam, malaikat itu artinya Jibril.”
“Hah?” Oh, astaga. Aku tertawa. Geli menggelitik perut.
“Kok, Jibril?”
“Iya, kan itu nama malaikat.”
Aku mengusap air di sudut mata lalu menghela napas.
“Maksud bu guru bukan begitu, tapi sini, deh, tak kasih tahu. Malaikat itu ada 10 dalam ajaran Islam.” Ajeng memperhatikan dengan seksama saat aku meregangkan jari jemari untuk mulai berhitung. “Pertama Jibril, Mikail, Israfil, Izrail, Munkar, Nakir, Raqib, Atit, Malik, dan Ridwan.”
“Kok banyak banget?”
“Sebenarnya nama Malaikat masih lebih banyak lagi dari itu, tapi hanya 10 diantaranya yang diketahui. Sebagai perwakilan.”
“Kenapa?”
“Karena nggak ada yang benar-benar tahu, berapa pastinya Tuhan memiliki malaikat. Mungkin saja seratus, dua ratus? Atau malah satu juta malaikat? Nggak ada yang pernah tahu pastinya berapa. Jadi sebagai perwakilannya, muncul lah 10 nama malaikat tersebut.”
“Oh, begitu. Cara munculnya bagaimana?”
“Hm… itu sudah ada di dalam Al-Quran, kok.”
“Al-Quran itu, apa?”
“Al-Quran itu adalah kitab suci umat Islam.”
“Kenapa dibilang kitab suci?”
“Karena isinya petunjuk untuk berbuat kebaikan.”
“Oh, jadi kalau berbuat baik itu tandanya kita sudah suci, ya?”
Pintar juga caranya mengambil kesimpulan. Aku jadi tidak bisa untuk tidak berkata, “iya,” sambil mengangguk mantap.
“Kalau dalam agama Hindu, bagaimana?” tanyaku balik, mungkin ia tahu banyak tentang agamanya sendiri.
“Hm, kami nggak punya malaikat, sih, bu Guru, tapi kami punya banyak dewa.”
“Oh, ya? dewa apa saja? Kalau makna dari gelang yang kamu pakai ini, apa? kenapa warnanya belang tiga? Merah, putih, hitam?”
“Ini namanya gelang Tridatu. Artinya apa, ya? oh! ini hanya sebagai tanda kalau kami orang Hindu. Kalau maknanya aku nggak tahu. Pokoknya ini aku dapat kalau ada upacara sembayangan di Pura.”
“Oh, begitu.”
“Iya. Kak Noumi mau pakai gelang ini?”
“Eh—”
Barusan ia memanggilku kak? Bukan bu guru lagi?
“Nggak… emangnya bu Guru boleh pakai gelang Tridatu walau nggak ikut sembahyangan di Pura?”
“Boleh aja, kok, kan banyak gelang yang kayak begini dijual di toko-toko aksesoris.”
“Oh, bu Guru baru tahu.”
“Kalau mau, besok Ajeng bawain, ya.”
“Boleh. Makasih, ya…”
“Kalau bahasa Koreanya, ‘sama-sama,’ apa?”
“Cheonmanneyo”
“Oh, cheongmaneyo.”
“Bukan cheongmaneyo, tapi cheon-man-ne-yo.”
“Oh, Cheon-man-ne-yo, begitu?”
Aku mengangguk.
“Aku bisa bilang Anyeonghaseyo dan anyeonghigeseyo.”
“Artinya apa?”
“bu Guru nggak tahu? artinya kan ‘halo’ dan ‘selamat tinggal.’”
“Oh, iya, terus-terus, apa lagi?”
“Hm… aku juga bisa bilang Arigato gozaimasu... koniciwa… spasiba… bonjour… xie xie… nihouma—”
“Wow!”
“Saranghae… mianhae… grazie… obrigado… swadikap… kopunkhap… danke… danje… merci… syukron… hvala… thank ye, thenk ye, multumesc, shur-nur-ah-gah-lem, dan tujechhe.”
Aku dan Esa bertukar pandang sejenak, kemudian bertepuk tangan secara meriah.
“Wow, Keren…!” Senyum Esa mengembang dengan mata yang berbinar. Ia masih bertepuk tangan sambil menganggukkan kepala. Aku tidak tahu pasti apakah yang Ajeng sebut barusan itu adalah bahasa asal-asalan atau benar dari berbagai Negara, tapi aku sudah terlanjur gemas.
“Kok kamu bisa hebat banget, sih? Sini cium dulu!”
Anak itu tidak menolak saat kudekap kuat untuk kucium kedua pipinya. Ia malah memejamkan matanya erat dan tertawa seperti tengah digelitik.
“Saranghae…” aku membuat bentuk hati di atas kepala dengan kedua tanganku, lalu Ajeng membalas, “nado saranghae…” dengan gaya paling imutnya. Seperti bahasa Inggris, saranghae atau I love u tidak hanya ditujukan kepada pasangan, tapi kita boleh mengatakannya kepada siapapun atau orang terkasih sebagai tanda kasih sayang.
Kebanyakan orang Indonesia, biasanya mempopulerkan ‘saranghae’ sebagai bahan candaan atau sapaan saat bertemu orang yang terlihat seperti orang Korea. Dulu pernah waktu di suatu Mall, aku, tiga orang temanku, dan satu orang tak dikenal lainnya, berada dalam satu lift dengan orang Korea. Karena penasaran ingin memastikan, teman-temanku bertanya, Where are you from? Dan saat mereka menjawab from Korea, sontak bapak-bapak dibelakangku langsung berkata saranghae dibanding mengatakan anyeonghaseyo lebih dulu, (padahal orang Koreanya itu laki-laki semua,) membuat kami tertawa terbahak-bahak, tanpa kecuali orang Korea itu sendiri, meski mereka membalas ungkapan tersebut dengan nada yang sama, namun moment itu sukses menjadi legend dalam hidupku.
“Bilang saranghae juga dong ke pak Guru,” pintaku. Ajeng langsung memancarkan pesonanya.
“pak Guru, saranghae…”
Esa tahu banget gaya menangkap nyamuk di udara dengan kedua tangan lalu menelannya sebelum tersenyum lebar dengan memiringkan kepala.
“Saranghae juga, Ajeng…”
Rico merasa iri karena kulihat ia cemberut. Kedua pipi bakpaonya nyaris bergelinding di lantai karena merosot.
“Tuh, bilang saranghae juga ke Rico,” pintaku gesit. Kemudian lagi-lagi Ajeng memberikan ekspresi lembut nan ceria kepada anak laki-laki tersebut.
“Saranghaeyo, Rico…”
Rico tak membalas senyum. Ia hanya berdeham, “hm,” dengan malasnya. Aku terkikik.
“Lha, kok jawabnya begitu?” Esa menjawil pipinya sambil menatap jenaka secara lekat. Yang ditatap mencoba membuang muka.
“Mau dicium juga, hm? Kayak kak Ajeng tadi? Hm, hm?”
Tawaran Cuma-Cuma tanpa kesepakatan bersama itu pun langsung dilaksanakan sepihak oleh Esa. Pipi Rico yang pulen dicap dengan stempel bibir secara brutal sampai anak itu menjerit tidak terima lalu Esa membuatnya berguling-guling dilantai. Aku dan Ajeng dibuat tertawa-tawa melihat mereka berdua bagai kutu yang bertumpukan bila diadu, bahkan keseruan mereka mengundang atensi dua anak kembar yang dari tadi bermain game zuma di depan komputer. Tato dan Toto yang kesannya tak peduli perlahan mulai memberi minat untuk bergabung bersama kami. Nana yang tadinya sibuk mengecat tembok sendiri, kini terdiam bingung menatap tak mengerti atas kemenangan apa yang telah terjadi hingga mereka berdua rela membuat selebrasi sekonyol itu. Rico sendiri pun setelahnya dibuat bagai orang babak belur. Terduduk lemas dengan muka lesu karena tidak sanggup adu kekuatan dengan Esa, membuat yang menjahilinya tertawa puas karena melihat sang korban menderita.
“Hohohoho…”
Aku menggeleng, mencoba merapikan surainya yang jigrak. Menyingkirkan beberapa helai rambut yang berkeringat dan mengusap wajahnya sebelum memberi kecupan singkat dikening serta berakhir dengan menyembunyikannya ke dalam pelukan.
Kasihan. Meski kami semua tertawa melihat fisiknya yang lucu, namun ia terlihat sama sekali tidak senang, malah cenderung sedih. Dan benar saja, tak lama setelah itu, mendadak ia jadi menangis kencang dipelukanku.
“Akkhhhhh!!!”
Suaranya membahana membuat kami semua terkejut, termasuk Esa. Ia kebingungan setengah mati setelah aku menatapnya dengan mata membulat karena telah membuat anak ini menangis. Karena aku tak bisa berkata kasar kepada Esa sekarang sebab anak-anak menatap kami dengan muka serius, Esa pun mencoba menaikan alisnya seolah bertanya padaku.
“Kenapa?”
Alisku menukik.
“Kau apakan dia?!”
“Aku hanya main-main…!”
“Main-main bukan begitu caranya!”
Ia segera menciut dengan menurunkan pandangan, menunjukkan gestur bersalah. “Maaf. Aku nggak tahu kalau jadinya bakal begini.”
Itu membuatku jengah. Kurotasi bola mataku dengan sengaja seolah tengah melimpahkan kekesalan padanya untuk membuat Rico merasa baikan, sementara dalam posisi kepompong, kutepuk-tepuk punggung dan bokong anak ini karena ia terus cegukan.
“Uuu… nggak apa-apa, kenapa menangis? Siapa yang nakal, pak guru Dwi, ya? Oh, iya… sudah bu guru pukul, kok. Cup, cup, cup, ya?”
Esa mengusap hidung. Menatap anak-anak yang lain, lalu tersenyum canggung. Meyakinkan kepada mereka bahwa ini hanya masalah sepele yang tak perlu bantuan polisi sama sekali kalau hanya untuk sekadar membantu muka mereka kembali tenang.
“Maafin bu guru juga, ya. Kami nggak ada maksud apapun apalagi sampai bikin Rico menangis, kok. Pak guru Dwi juga niatnya hanya bercanda sama Rico, iya kan pak guru Dwi?”
“Iya, maafin pak Guru, Rik.”
Aku menarik diri namun ia tak mau lepas, terus mendesak wajahnya di bawah dadaku sementara aku khawatir ia tidak bisa bernapas. Kuputar melalui tengkuknya ke arah berlawanan dengan Esa untuk mengusap air matanya yang membanjiri pipi. Hanya sedikit saja dan itu langsung membuatnya lega bukan main. Kudapati keringatnya banyak bercucuran. Kelopak matanya sudah bengkak seperti tersengat lebah dan hidungnya tak berhenti mengeluarkan ingus sehingga mau tak mau harus kuseka dengan tanganku sendiri. Saat Esa dan yang lain mulai berisik, aku berbicara dengan nada berbisik.
“Rico kesal karena bu Guru nggak bilang Saranghae ke Rico, ya? atau karena Rico nggak suka dicium pak Guru Dwi?”
Ia tak menjawab sedangkan aku sibuk mengusap keringatnya dengan tangan. Entah itu benar atau salah namun yang pasti tak ada salahnya menanyakan penyebab utama dari akar permasalahannya agar hatinya tidak selalu digunakan untuk menyimpan amarah.
“Kenapa Rico nangis? Rico marah sama siapa, hm?”
Kulihat bibirnya semakin memerah saat ia basahi dengan air liur. Saat kugenggam tangannya, ia tetap tak bergeming. Kubawa ia berayun-ayun pelan dan bersenandung untuk sesekali kutengok, ia sedang melamun. Ia sebenarnya menangis karena apa, sih? Membuatku penasaran. Tapi setelah berlama-lama ketika Esa mulai berisik dengan yang lain, lalu aku mulai berbicara dengan nada berbisik lagi, Rico mengatakan yang sebenarnya.
“Aku sebenarnya sedih karena bu Guru peluk aku.”
***
HALO SEMUA! SENENG BANGET BISA BERTEMU KALIAN DI BAB INI. AKU JUGA INGIN TAHU BAGAIMANA PERASAAN KALIAN SAAT MEMBACA DREAM FIRST CLASS. JADI, PASTI AKAN LEBIH SERU KALAU KITA BISA SALING TERHUBUNG MELALUI KOLOM KOMENTAR. KALIAN BOLEH CERITA APAPUN YANG KALIAN MAU, KOK. AKU BAKAL SELALU MENUNGGU KALIAN! SEE YOU THE NEXT PART!
Tak terasa senja mulai larut, lembayung melingkari angkasa sebelum perlahan awan tak lagi terlihat. Langit merah seperti menyemburkan tinta hitam yang lama-kelamaan mengubahnya menjadi malam, lalu bintik-bintik kristal pun muncul berkilauan. Saat aku membantu Ajeng yang terakhir naik ke atas motor Esa dalam sesi mengantar pulang pun, menjadi perpisahanku hari ini. Suara tawa mereka yang begitu renyah bagai keripik singkong sampai cara menangis yang tidak biasa, meninggalkan bekas disudut-sudut ruangan. Rico yang tadinya tidak mau berbicara dengan Esa karena kejadian rusuh tadi, secepat itu luluh saat dijanjikan es-krim di Indomart nanti ketika perjalanan pulang. Esa hanya menggaet
Kata nenekku, hujan yang begini namanya hujan awet. Sesekali lebat saat curahnya sedang tinggi. Terus menerus turun secara konstan. Aku dan Esa masih bingung caranya pulang meski jarak dari sini ke rumah kami tak lebih dari 100 meter. Warung lalapan tadi terpaksa tutup dan tanpa sengaja mengusir kami pergi, dan kami sekarang berada di pinggir ruko tepat di belakang tenda tersebut. Melihat kanan-kiri yang sudah sepi. Hanya sedikit kendaraan yang berlalu-lalang. “Pulang, yuk!” Ajak Esa tiba-tiba. Aku terdiam, lalu mendongak menatap langit. Ini bukan perihal mau pulang atau tidak, tapi aku bisa menggigil seperti orang malaria dan keesokan paginya akan jatuh sakit kalau sudah terkena hujan. Jiwaku ini suka menantang, tapi fisikku sendiri lemah. Selalu tak selaras. “Dari perkiraan cuaca, tiga jam kedepan masih hujan.” Ia memeriksa ramalan cuaca pada ponselnya lalu mendengus pelan. “Masih mau diam di sini tiga jam lagi? kamu nggak ngantuk?” D
Bu Ros message. 15 jan 18:55. —[Uang kos bulan kemarin belum dibayar. Tolong segera dilunasi. Trms.] 22 jan 20:23. —[Batas pembayaran terakhir sampai akhir bulan. Tolong segera dilunasi.] 25 jan 15:30. —[Tolong segera!] Aku terduduk, memantukkan kepala di atas meja belajar. Melempar ponselku hingga membentur tembok dan menutup laptop yang masih menyala dengan cukup kesal. Jarum jam di dinding lagi-lagi berdetak, saling beradu dengan detak jantung juga cenat-cenut dikepala. Aku mengintip ke luar jendela dimana cahaya emas senja sudah mulai memanjang pada tembok, dan ini sudah hampir akhir bulan. Nyawaku tinggal sedikit. Kini, pertanyaan-pertanyaan yang sudah lama kupendam dalam benak pun menyuarakan diri. “Sebenarnya, untuk apa sih, kamu hidup?” Bukan untuk yang pertama kali, ini sudah sering kali merundungku sampai-sampai berhasil membuat mata ini tidak bisa terpejam setiap
Kemarin mendung. Hari ini pun mendung. Sudah tiga hari ini mendung. Kabar awan disetiap pagi adalah mendung. Hujan menangis tidak seperti biasanya. Aku jadi menggigil dan mual. Angin di luar masuk melalui celah jendela yang minta ditutup dengan hati-hati sebelum kemudian aku duduk menepi di kasur untuk menutupi tubuh Meli yang tengah tertidur dengan selimut. Ia mendengkur pulas setelah tadi sempat berkelahi dengan adiknya saat mereka bertemu di dapur. Meli melayangkan kata-kata kasar dan menyayangkan kepergian sang ayah yang seharusnya bisa digantikan oleh adiknya itu. Baru kali ini kulihat ia berteriak marah dan mengaum bagai singa kelaparan, sebelum akhirnya jatuh terlarut dalam mimpi-mimpi indah yang katanya tidak pernah ia dapatkan selama ayahnya masih hidup. Imsomnianya mendadak berhenti total. Bahkan dipagi hari pun sanggup ia habiskan untuk tertidur. Aku jadi bingung harus bersikap bagaimana. Diluar kamar, para tetangga selalu meramaikan rumahny
Tepat sesaat setelah menutup pintu rumah Bu Ros, dalam lingkaran tempat kos sepuluh meter dari tempatku berpijak, aku melihat Esa yang entah sejak kapan sudah berdiri di depan kamarnya sambil menatapku dari kejauhan. Ia tidak tersenyum, tidak juga cemberut. Ia hanya diam seperti tengah menunggu. Siapa yang ia tunggu? Aku? Tatapannya jelas hanya tertuju padaku. Oh, apa karena rumor tentang hamil itu? Aku disangka ada ‘main’ dengannya dan berusaha menyembunyikan perut ini sehingga tidak kembali selama tiga hari. Padahal aku tengah berduka atas kepergian ayahnya Meli yang begitu mendadak. Kondisi Meli pun saat ini masih belum baik-baik saja. Malah aku berniat untuk rutin menginap di rumahnya agar ia tidak kesepian. Dan, hah! Baru tiga hari, loh! Tiga hari! kabar hamil pun sudah ditelan bulat-bulat bagai tahu bulat di masyarakat. Macam artis beken saja aku. “Hai,” sapanya dengan muka polos. Aku langsung membungkuk seperti di drama-drama Korea untuk menun
“Beberapa hari yang lalu aku bertemu Rici.” “Richie?” “Hm. Dia ada di café master pedas. Jadi kasir,” kataku sambil membantu Ajeng membuat pesawat dan burung-burungan dari kertas origami. Esa sedang mengerjakan sesuatu di garasi, sementara aku menemani anak-anak melukis di atas kertas layang. (Project Ajeng yang minggu lalu sempat dimulai bersamaku.) “Kamu say hai?” Esa melirikku sejenak yang duduk di ambang pintu. Sedangkan ia tengah sibuk membelah batang bambu menjadi tipis-tipis untuk dipakai membuat layang-layang di garasi. “Iya lah. Dia kan teman dekatmu.” “Kata siapa?” “Katanya.” Ia mendengus lirih. Menanggapiku sekenanya. “Temanmu itu sebenarnya kerja apa, sih?” “Kan katamu tadi kasir.” “Bukan… aduh, salahku. Maksudku, dia itu sebenarnya siapa? Katanya kemarin ia pemilik café larasa di dekat pom bensin itu, terus sekarang tempat makan. Dia pengusaha?” “Mana ku
“Nom.” “Hm?” Entah sejak kapan Esa sudah berpeluh keringat. Ia memintaku membukakan pengait gendongan di punggungnya. “Kamu tolong jagain anak-anak sebentar, ya. Aku mau beli minum,” ucapnya sambil menyodorkan Nana padaku. Aku gerogi. Takut ia menangis. “Nggak perlu,” sergahku cepat saat Esa akan memasangkan gendongan itu kepadaku. Aku tahu Nana pasti bakal jenuh kalau sampai kepanasan karena tidak nyaman mendekap dalam pelukan orang asing sepertiku. Bisa kupastikan ia hanya akan menangis sepanjang waktu untuk menunggu Esa kembali. Aku tidak mau stress sendiri. “Dia bisa bermain-main sendiri nanti. Aku akan awasi.” Esa terdiam sejenak karena mendengar alasanku. Tak lama ia mengangguk pelan, ragu-ragu. “Karena kamu sendiri yang pilih aku buat jadi guru mereka, kamu pasti percaya juga dong kalau aku bisa jagain mereka,” ujarku dengan nada mendikte. Esa pun langsung mengangguk panjang. Bertatapan sebentar dengan Nana y
“Yatim piatu?” Esa mengangguk. Membukakan aku botol air yang berisi cairan penambah ion. Aku masih menopang kepala anak-anak di pahaku sembari memperhatikan Ajeng yang masih tertidur pulas dengan seksama. Pipinya kuelus-elus. Ia menghadap ke perutku seolah untuk mencari kehangatan. “Ibunya meninggal karena penyakit kanker payudara. Kemudian sebulan setelahnya ayahnya meninggal karena kecelakaan tunggal tengah malam. Diduga karena sedang mabuk, tapi ibunya bilang anaknya nggak pernah mabuk-mabukan.” “Ajeng punya nenek?” “Iya. Nenek dan kakek yang masih segar bugar. Mereka bahkan menjual berkilo-kilo semangka di pasar. Kalau dilihat sekilas, mungkin nggak ada yang tahu kalau Ajeng itu cucu mereka karena terlihat seperti orang tua dan anak pada umumnya.” “Oh, ya? Kamu pernah bertemu mereka?” “Setiap hari,” katanya menselonjorkan kaki. Kemudian ia menyentuh pipi gembil Rico. “Bapaknya anak ini, memintaku untuk mencarikan distributor buah-b