Kata nenekku, hujan yang begini namanya hujan awet. Sesekali lebat saat curahnya sedang tinggi. Terus menerus turun secara konstan. Aku dan Esa masih bingung caranya pulang meski jarak dari sini ke rumah kami tak lebih dari 100 meter. Warung lalapan tadi terpaksa tutup dan tanpa sengaja mengusir kami pergi, dan kami sekarang berada di pinggir ruko tepat di belakang tenda tersebut. Melihat kanan-kiri yang sudah sepi. Hanya sedikit kendaraan yang berlalu-lalang.
“Pulang, yuk!” Ajak Esa tiba-tiba.
Aku terdiam, lalu mendongak menatap langit. Ini bukan perihal mau pulang atau tidak, tapi aku bisa menggigil seperti orang malaria dan keesokan paginya akan jatuh sakit kalau sudah terkena hujan. Jiwaku ini suka menantang, tapi fisikku sendiri lemah. Selalu tak selaras.
“Dari perkiraan cuaca, tiga jam kedepan masih hujan.” Ia memeriksa ramalan cuaca pada ponselnya lalu mendengus pelan. “Masih mau diam di sini tiga jam lagi? kamu nggak ngantuk?”
D
Halo semua! apa kabar? kuharap selalu dalam kondisi baik, ya. Aku sangat berterima kasih untuk kalian yang sudah baca sampai sini tanpa rasa bosan. Kedepannya, aku akan berusaha untuk membuat Dream first class menjadi cerita yang lebih menarik lagi. See you in the next part! Gamsahabnida!
Bu Ros message. 15 jan 18:55. —[Uang kos bulan kemarin belum dibayar. Tolong segera dilunasi. Trms.] 22 jan 20:23. —[Batas pembayaran terakhir sampai akhir bulan. Tolong segera dilunasi.] 25 jan 15:30. —[Tolong segera!] Aku terduduk, memantukkan kepala di atas meja belajar. Melempar ponselku hingga membentur tembok dan menutup laptop yang masih menyala dengan cukup kesal. Jarum jam di dinding lagi-lagi berdetak, saling beradu dengan detak jantung juga cenat-cenut dikepala. Aku mengintip ke luar jendela dimana cahaya emas senja sudah mulai memanjang pada tembok, dan ini sudah hampir akhir bulan. Nyawaku tinggal sedikit. Kini, pertanyaan-pertanyaan yang sudah lama kupendam dalam benak pun menyuarakan diri. “Sebenarnya, untuk apa sih, kamu hidup?” Bukan untuk yang pertama kali, ini sudah sering kali merundungku sampai-sampai berhasil membuat mata ini tidak bisa terpejam setiap
Kemarin mendung. Hari ini pun mendung. Sudah tiga hari ini mendung. Kabar awan disetiap pagi adalah mendung. Hujan menangis tidak seperti biasanya. Aku jadi menggigil dan mual. Angin di luar masuk melalui celah jendela yang minta ditutup dengan hati-hati sebelum kemudian aku duduk menepi di kasur untuk menutupi tubuh Meli yang tengah tertidur dengan selimut. Ia mendengkur pulas setelah tadi sempat berkelahi dengan adiknya saat mereka bertemu di dapur. Meli melayangkan kata-kata kasar dan menyayangkan kepergian sang ayah yang seharusnya bisa digantikan oleh adiknya itu. Baru kali ini kulihat ia berteriak marah dan mengaum bagai singa kelaparan, sebelum akhirnya jatuh terlarut dalam mimpi-mimpi indah yang katanya tidak pernah ia dapatkan selama ayahnya masih hidup. Imsomnianya mendadak berhenti total. Bahkan dipagi hari pun sanggup ia habiskan untuk tertidur. Aku jadi bingung harus bersikap bagaimana. Diluar kamar, para tetangga selalu meramaikan rumahny
Tepat sesaat setelah menutup pintu rumah Bu Ros, dalam lingkaran tempat kos sepuluh meter dari tempatku berpijak, aku melihat Esa yang entah sejak kapan sudah berdiri di depan kamarnya sambil menatapku dari kejauhan. Ia tidak tersenyum, tidak juga cemberut. Ia hanya diam seperti tengah menunggu. Siapa yang ia tunggu? Aku? Tatapannya jelas hanya tertuju padaku. Oh, apa karena rumor tentang hamil itu? Aku disangka ada ‘main’ dengannya dan berusaha menyembunyikan perut ini sehingga tidak kembali selama tiga hari. Padahal aku tengah berduka atas kepergian ayahnya Meli yang begitu mendadak. Kondisi Meli pun saat ini masih belum baik-baik saja. Malah aku berniat untuk rutin menginap di rumahnya agar ia tidak kesepian. Dan, hah! Baru tiga hari, loh! Tiga hari! kabar hamil pun sudah ditelan bulat-bulat bagai tahu bulat di masyarakat. Macam artis beken saja aku. “Hai,” sapanya dengan muka polos. Aku langsung membungkuk seperti di drama-drama Korea untuk menun
“Beberapa hari yang lalu aku bertemu Rici.” “Richie?” “Hm. Dia ada di café master pedas. Jadi kasir,” kataku sambil membantu Ajeng membuat pesawat dan burung-burungan dari kertas origami. Esa sedang mengerjakan sesuatu di garasi, sementara aku menemani anak-anak melukis di atas kertas layang. (Project Ajeng yang minggu lalu sempat dimulai bersamaku.) “Kamu say hai?” Esa melirikku sejenak yang duduk di ambang pintu. Sedangkan ia tengah sibuk membelah batang bambu menjadi tipis-tipis untuk dipakai membuat layang-layang di garasi. “Iya lah. Dia kan teman dekatmu.” “Kata siapa?” “Katanya.” Ia mendengus lirih. Menanggapiku sekenanya. “Temanmu itu sebenarnya kerja apa, sih?” “Kan katamu tadi kasir.” “Bukan… aduh, salahku. Maksudku, dia itu sebenarnya siapa? Katanya kemarin ia pemilik café larasa di dekat pom bensin itu, terus sekarang tempat makan. Dia pengusaha?” “Mana ku
“Nom.” “Hm?” Entah sejak kapan Esa sudah berpeluh keringat. Ia memintaku membukakan pengait gendongan di punggungnya. “Kamu tolong jagain anak-anak sebentar, ya. Aku mau beli minum,” ucapnya sambil menyodorkan Nana padaku. Aku gerogi. Takut ia menangis. “Nggak perlu,” sergahku cepat saat Esa akan memasangkan gendongan itu kepadaku. Aku tahu Nana pasti bakal jenuh kalau sampai kepanasan karena tidak nyaman mendekap dalam pelukan orang asing sepertiku. Bisa kupastikan ia hanya akan menangis sepanjang waktu untuk menunggu Esa kembali. Aku tidak mau stress sendiri. “Dia bisa bermain-main sendiri nanti. Aku akan awasi.” Esa terdiam sejenak karena mendengar alasanku. Tak lama ia mengangguk pelan, ragu-ragu. “Karena kamu sendiri yang pilih aku buat jadi guru mereka, kamu pasti percaya juga dong kalau aku bisa jagain mereka,” ujarku dengan nada mendikte. Esa pun langsung mengangguk panjang. Bertatapan sebentar dengan Nana y
“Yatim piatu?” Esa mengangguk. Membukakan aku botol air yang berisi cairan penambah ion. Aku masih menopang kepala anak-anak di pahaku sembari memperhatikan Ajeng yang masih tertidur pulas dengan seksama. Pipinya kuelus-elus. Ia menghadap ke perutku seolah untuk mencari kehangatan. “Ibunya meninggal karena penyakit kanker payudara. Kemudian sebulan setelahnya ayahnya meninggal karena kecelakaan tunggal tengah malam. Diduga karena sedang mabuk, tapi ibunya bilang anaknya nggak pernah mabuk-mabukan.” “Ajeng punya nenek?” “Iya. Nenek dan kakek yang masih segar bugar. Mereka bahkan menjual berkilo-kilo semangka di pasar. Kalau dilihat sekilas, mungkin nggak ada yang tahu kalau Ajeng itu cucu mereka karena terlihat seperti orang tua dan anak pada umumnya.” “Oh, ya? Kamu pernah bertemu mereka?” “Setiap hari,” katanya menselonjorkan kaki. Kemudian ia menyentuh pipi gembil Rico. “Bapaknya anak ini, memintaku untuk mencarikan distributor buah-b
Aku yakin mungkin ada sedikitnya kebohongan yang ia katakan tadi sebab aku tak percaya. Jangan mudah dibohongi begitu Noumi. Jangan mudah berempati hanya karena ia mampu menggendong empat orang bocah dalam satu pelukan. Ia orang aneh, tapi tidak dapat dipungkiri aku terkagum juga saat melihat pundak lebarnya berjalan di depanku dengan dua anak menopang kepala di pundak sementara yang dua lagi di dadanya. Anak-anak punya firasat yang kuat jika berada dalam tangan penjahat. Bisa jadi Esa memang bukan orang jahat. “Noumi,” panggilnya saat berdiri di depan mobil yang tadi kupesan lewat grab. Ia berusaha menengok dengan kuwalahan sementara aku bergegas membuka pintu mobil. “Kamu masuk dulu,” katanya supaya bisa mengoper anak-anak kepangkuanku lagi. Nana sendiri dipelukanku sudah terbangun dari tidurnya dan mulai merasakan senja yang terlarut dalam gelap. Suhu AC mobil menyadarkannya. “Hai, sayang,” sapaku sambil mengusap kepalanya dengan lembut kemudian m
“Esa…!” panggilku keras dalam nada berbisik. Ia menoleh gagap. “Apa?” “Kamu mau taruh anak-anak di mana?” “Di kamarku.” “Kamu nggak antar mereka pulang dulu? Nanti dicari orang tuanya, gimana?” Esa mengapit kedua belah bibir sambil memejamkan matanya kuat-kuat. Menyuruhku diam sebentar sembari mengikutinya masuk ke dalam kamar. Aku pun terkejut setelah melihat ke-empat bocah tersebut dibaringkan berjajar di atas lantai yang dingin seperti ikan pindang setelah itu Esa mengambil Nana dariku untuk dibaringkan di tempat yang sama. “Hei, kamu mau biarkan mereka semua tidur tanpa alas begini?” Esa melongo. Gusar melanda mentalnya. “Aku tidak punya kasur. Kamu nggak keberatan kalau mereka malam ini tidur di kamarmu semua?” “Kasurku tidak muat buat lima anak.” “Ya sudah biarkan dulu begini. Mau diantar pulang pun nggak bisa karena pada tidur semua.” “Kenapa tidak diantar pulang dulu ke rumah masing-masing pakai