Kau pasti tahu, bagaimana suaranya orang yang berbisik-bisik. Tadinya aku tidak hiraukan, namun entah kenapa suara bisikan itu kedengarannya dekat sekali. Aku berjalan keluar rumah di tengah malam. Semuanya gelap seperti sedang terjadi pemadaman listrik. Tidak ada siapapun. Hanya suara desis. Hal itu jelas menakutkan tapi kedua kaki tanpa alas dan tanpa tahu kenapa terus berjalan menyusuri aspal yang terasa sangat dingin sehabis hujan. Aku sudah tidak bisa melihat apapun selain mendengar suara itu. Aku takut dan mudah kepikiran. Dan pikiran ini menjadi semakin buruk.
Suara orang berbisik-bisik itu mulai terdengar jelas, tapi anehnya, tanpa menggunakan bahasa yang kumengerti. Orang-orang Lombok biasanya menggunakan bahasa Sasak, namun ini tidak. Mereka juga tidak pakai bahasa Indonesia, apalagi bahasa Inggris. Aku tahu yang dikatakan mereka asal-asalan dan tidak benar. Tapi kenapa aku merasa terganggu sekali dengan suara itu? walaupun tidak jelas dan berdengung… namun begitu sesak. Gelisah mulai merangkak naik. Aku tidak bisa mengendalikan situasi ini dan aku jadi ketakutan.
Suara-suara itu terdengar keras dan semakin keras. Naik dan naik lagi sampai melengking. Aku tidak bisa menahan lebih lama tapi sayangnya kedua kaki ini tidak bisa beranjak pergi. Dua kali lipat rasa ketakutan hadir jika kuputuskan untuk kembali. Yang kulakukan hanya berdiam diri dan membiarkan kedua kakiku mati gemetaran. Berusaha menutup kedua telinga dan memejamkan mata kuat-kuat.
Dari kejauhan, hentakan kaki banyak orang tengah berlari ke arahku sambil berteriak. Aku semakin takut dan tidak berani membuka mata. Aku menangis. Orang-orang membentak dan berteriak kencang sekali sampai telingaku berdarah dan—TOLONG!!!
Ya Tuhan.
Aku terbangun dari tidurku.
—Itu mimpi buruk.
***
02.40 wita. 27 Desember 2020
Sudah biasa. Aku sudah terbiasa bangun begitu pagi dengan cara yang aneh: membuka mataku begitu saja dengan kesadaran penuh. Belakangan ini, ada banyak sekali hal yang mulai kupikirkan sampai aku tidak menyadari aktivitas apapun yang kulakukan jadi terganggu. Tidurku sangat larut, tapi terbangun pun terlalu pagi. Mimpi-mimpiku kebanyakan mimpi buruk. Mulai dari dikejar-kejar Dinosaurus, hantu yang melambaikan tangan kepadaku, orang yang tak dikenal, bencana alam atau bahkan seputar obrolan orang-orang kantoran. Barusan tadi mimpi yang cukup buruk, sampai-sampai aku takut untuk kembali tidur.
Rasa-rasanya aku sudah mulai bosan. Setiap hari, aku seperti hanya pergi bekerja dan melakukan pekerjaan rumah dengan setengah hati. Tidak ada semangat untuk mengangkat kaki agar mau pergi ke mana-mana. Duduk di ranjang, aku hanya melamun. Mencoba berbaring dan mematikan lampu. Pikiran tidak bagus lagi-lagi bertamu. Memberiku kaset tentang memori masa lalu bersama lagu-lagunya yang begitu menyedihkan. Aku ingat, sebuah keluarga yang lengkap tapi tidak utuh. Aku ingat, masa kecil yang penuh rasa khawatir jika kedua orang tuaku tidak ada di rumah. Bukan rumah kami, maksudku rumah nenekku yang dihuni oleh dua kepala keluarga. Di rumah semua orang yang menjadi satu tersebut, adik-kakak yang sudah dewasa itu, yang sudah memiliki suami atau istri mereka dan memiliki anak-anak mereka, termasuk aku, mereka tidak kenal kata akur sama sekali. Membuatku menangis.
Tiap kali mengingat tangisan itu, aku jadi ikut menangis. Aku menemukan kembali diriku dimasa kecil yang berusaha bersembunyi dibalik selimut saat situasi terasa mulai memanas. Aku menjadi ketakutan setengah mati ketika mendengar kata ancaman bahwa Ayahku akan dibunuh jika berani menginjakkan kaki di rumah itu lagi. Sosok diriku dengan kedua bola mata yang nampak bergetar, tidak pernah mengerti tentang jalan pikiran orang dewasa. Aku saja yang masih kecil sangat takut jika membunuh orang lain. Tapi orang dewasa sangat berbeda.
Orang dewasa cenderung lebih banyak melakukan kekerasan entah untuk berbagai alasan. Jika tidak menggunakan kaki atau tangan, biasanya mereka menggunakan mulut. Ketiganya menghasilkan luka yang sama dengan rasa sakit yang berbeda. Menurutku, anak-anak yang sering dipukul secara fisik tumbuh menjadi berandal bermental pecundang. Kalau anak-anak yang sering mendengar gunjingan dan perkataan kasar, biasanya tumbuh menjadi seseorang yang tidak kenal etika dan sopan santun. Kalau anak yang menerima tindak kekerasan keduanya, maka ia akan tumbuh menjadi seseorang yang pemalu, minder, anti sosial, mudah tersinggung, sangat tertutup dan enggan berekspresi. Lalu, untuk sepanjang hidupnya, ia selalu menyalahkan dirinya sendiri, menuntut kesempurnaan yang hanya diciptakan oleh mulut orang lain atau merasa tidak pernah nyaman jika berada di dekat orang-orang di sekitarnya. Khawatirnya lebih-lebih tidak masuk akal lagi, seperti: khawatir akan tidak disukai oleh orang lain atau tidak mau mendengar candaan orang lain yang berpotensi menyakiti hatinya sendiri. Ini hanya menurutku. Sebab kurasa… aku masuk kategori terakhir: Anak pengidap penyakit ‘bermental lemah’.
Sejak kecil, kupikir aku akan terbiasa. Namun nyatanya ini menjadi lebih parah. Kebiasaan tidak nyaman itu terbawa dan tanpa sengaja membentuk kepribadianku. Aku jadi anak pendiam. Di sekolah dasar aku sempat jadi korban Bullying dan entah kenapa aku tidak pernah punya keberanian untuk melawan meski aku ingin. Tubuh gemuk dan kulit hitam itu seolah sebuah kesalahan. Aku tidak pernah membenci orang lain tapi aku pendendam yang handal. Aku tidak ekspresif seperti anak perempuan seusiaku. Aku lebih terbiasa berbicara sendiri dan memperhatikan sekitarku tanpa gerakan yang mencurigakan. Aku suka segala hal yang baru tapi tidak dengan manusia. Bertemu orang baru, berteman, itu tidak pernah ada dalam kamusku. Aku jadi orang yang begitu dingin jika terlihat sekilas. Cara bicaraku begitu hati-hati agar tidak menyakiti orang lain, namun anehnya aku mudah sekali sakit hati dengan cibiran orang. Sedikit saja kesalahan maka aku akan mencambuk diriku berkali-kali. Sedih berlarut-larut dan melamun setiap malam.
Tapi sesekali, saat aku sudah begitu lelah mempertanyakan jutaan jawaban rahasia yang disimpan alam semesta, aku hanya akan melihat langit-langit kamarku dengan tatapan kosong. Entah kenapa terkadang mereka terasa begitu gemerlap. Mengalahkan aslinya yang menggantung di luar sana.
Di malam yang begitu sesak, sepoi-sepoi angin membawa anganku pergi bersamanya. Bagaimana jika seandainya aku memiliki bintangku sendiri? oh! atau bagaimana kalau aku yang menjadi seperti bintang? Memiliki cahaya yang begitu bersinar di angkasa? Ah, tapi, saat kenyataan menebas tengkukku dengan bongkahan es raksasa, aku jadi tersadar tengah melamun lagi. Bintang-bintang itu telah menghilang.
Di luar, langit hitam yang terasa semakin pekat menemaniku menangis. Tidak ada yang tahu dan tidak ada yang bisa menghentikannya. Tidak ada yang mendengar dan tidak ada yang ingin mendengarkan. Semua orang hanya sibuk bercerita tentang diri mereka sendiri dan menyisakanku untuk menjadi pendengarnya. Egois sekali. Semua orang yang berjenis ‘manusia,’ memang terlahir dengan bakat egois yang paling luar biasa dimuka bumi ini. Bibirnya bisa berkata yang seolah dapat membuatnya terlihat baik, namun perilakunya sering kali melenceng. Para bibir itu lebih gemar berkata tentang kebaikan dibanding berbuat tentang kebaikan.
Ah, sakit sekali. Kalau kupikir-pikir aku jadi sakit hati sendiri. Entah ini sudah ke-berapa milyar kalinya aku mengorbankan hati sendiri untuk merasakan sakit yang paling tidak masuk akal. Mungkin bagimu yang sehat, aku ini aneh. Tapi orang-orang sepertiku tidak memiliki kendali untuk menghentikannya. Bahkan dengan hal yang paling dasar sekalipun. Konsep bersyukur itu hanya omong kosong. Tuhan bukan lagi penyelamat. Keluarga adalah rumusan kegagalan. Bunuh diri adalah tujuan, dan akan terus berada dalam lingkaran itu hingga menemukan keberanian. Entah itu keberanian untuk benar-benar menghabisi nyawa sendiri atau keberanian menerobos badai tornado yang telah menerjang keberanianku. Tentu saja sulit, namun tak ada opsi lebih. Dalam kesulitan bernapas pun aku harus memilih satu diantara keduanya.
Aku menengok jendela dan angin masih berhembus kencang di sana. Beberapa jendela tetangga terdengar terhempas keras. Berdiri lalu berjalan ke ambang jendela, aku merasakan dingin anginnya membuat tubuhku menggigil. Karena tidak tahan, segera kututup rapat-rapat.
Ruangan yang sepi, hanya aku sendiri. Berbaring kembali untuk mencoba tidur—tidak bisa. Tidak dapat tidur hanya membuatku sakit kepala. Selama ini aku tidak pernah terpikirkan untuk minum obat tidur, tapi entah kenapa sekarang iya. Saat kurasa diriku sudah tidak berguna lagi, tidak akan ada masa depan lagi, aku tiba-tiba ingat bisikan lembut yang selalu berkata begini, “hei, Noumi Roula yang baik hati. Tidak apa-apa. Kau bisa gunakan aku sebagai teman. Aku satu-satunya orang yang akan terus bersamamu tidak peduli sesakit apapun itu. Kamu sudah melakukan yang terbaik, Roula. Kamu hebat.”
Itu membuatku tersenyum. Sesaat dadaku mulai terasa longgar. Berpikir sejenak, sadar akan hal itu membuatku menangis haru. Gema suara itu bukanlah siapa-siapa, bukan khayalan atau ilusi pendengaran. Itu hanyalah separuh bagianku yang berbicara sendiri guna menghibur separuh bagiannya yang lain. Aku, orang yang pada akhirnya berkata semua akan baik-baik saja meski jiwa terasa tidak utuh lagi, kini menyibak selimut dan menyalakan lampu meja belajar.
Sekarang sudah pukul tiga pagi dan rasanya akan sulit untuk tertidur lagi. Pena yang kugenggam kini kugores-gores asal di atas kertas. Kubuat banyak coretan sampai tidak ada lagi ruang yang tersisa. Sejenak, aku berhenti karena melamun. Melamun menatap jauh ke luar jendela dari ventilasi udara. Membayangkan cahaya rembulan yang membias dengan lautan lepas.
Di atas kapal yang bobotnya terlalu berat, aku menenggelamkan seluruh isinya ke dalam samudra untuk membiarkan badan kapalnya berlayar dengan ringan. Terombang-ambing ombak yang begitu dahsyat dan berlayar sepanjang malam, menyusuri samudra.
Dan dalam hidup ini, seperti sebuah kapal, aku juga ingin terus berlayar tanpa pernah tahu kapan akan berlabuh.
***
~DRRTT!! DRTT!!!! Bergetar. ~DRRTT!!! Hanphone itu bergetar digenggaman dan aku tersadar. Hal yang pertama kali aku lihat saat membuka mata adalah langit-langit kamarku. Aku mendesis kesakitan dan menghela napas panjang ketika mencoba duduk dan menenangkan diri. Menunduk, perlahan menjambak rambutku sendiri untuk menghilangkan pening, mengatur napas. Jantungku berdebar keras. Ketindihan itu cukup mengerikan. Kurasa, hampir setengah jam lamanya aku mati-matian bangun dari ragaku yang tertidur pulas seperti ditinggal nyawa. Syukurnya aku tidur dengan headset dan hanphone digenggaman, sebab jika tidak begitu, katanya, aku bisa meninggal. Orang yang ketindihan sangat lama itu katanya bisa berakhir dengan kematian. Dan tadi itu termasuk ketindihan terlama yang pernah kualami dan jujur saja, itu menakutkan. “Halo…” “Halo, la? Ya ampun, akhirnya. Kamu di mana?!” sebelum
Kalau kutinggal sendiri, kamu nggak apa-apa? -Pemuda di alam mimpi- --- Bila hidup yang telah dijalani, memang apa saja opsi sebelumnya? Kematian? Sebelum hidup tentu saja mati, oh atau mungkin saja ini semua terbalik? hidup itu adalah kematian dan kematian adalah kehidupan yang abadi? Sebelum terlahir dan menjadi hidup begini kita disebut apa? Tidak mati dan tidak hidup? hahh,, aku tidak percaya ini adalah pikiran yang muncul tepat setelah aku membuka mata dipagi hari pukul sembilan lebih sepuluh menit. Mataku melirik ke sekeliling dan merasa lega masih berada di tempat yang sama. Kantung mata rasanya sudah semakin merosot. Aku benci menua. Hoam… kantuk ini terasa bagus, tidak seperti biasanya. Aku meregangkan tubuh dan lamat-lamat berusaha menurunkan kedua kaki ke permukaan lantai. Berjalan membuka tirai gorden—menyapa sinar mentari yang terasa ceria luar biasa. “Watsa
Jika ada rasa yang katanya paling sakit di dunia ini, aku ingin tahu sekarang juga. Berbekal minyak oles dan keahlian tangan, operasi ini berjalan dengan kesadaran penuh pasiennya. Sangat menegangkan. “Tahan, ya, dek.” KREKK,, Aaarghkk. “Di sini sakit?” KREKK,, AAAKHHH!!! Aku merengut tidak tahan. Pak Rumi benar-benar berani memutar balikan tulang seolah ia tukang sulap. Istrinya masi
Kurasakan panas menyengat tubuh. Terbakar dari ujung kaki hingga ke kepala lalu menyentak tubuhku seketika. Aku terbangun. Melotot. Mendapati diri tengah terduduk dengan kedua kaki terselonjor. Tegang. Bingung. Namun menghela napas dalam-dalam, kemudian mencoba tenang, aku berpikir bahwa mimpi buruk seharusnya bukan perkara lagi untuk dipusingkan. Aku hanya harus terbiasa. Kedua kaki menapak hati-hati di lantai dan berjalan ke jendela. Kusingkap tirai gorden dengan berani dan ternyata mentari sudah terang benderang. Pancaran sinarnya menyororti tempat tidurku dan debu-debu halus terlihat mengudara. Jam di dinding menunjukkan pukul sebelas sementara suhu badan terasa masih malam. Aku menunduk. Menyibak surai. Melihat kedua kaki yang jari-jemarinya sudah tidak bengkak lagi membuatku sadar kala mengangkat ibu jari di sana untuk menghentak-hentakannya pelan seperti ketukan lagu. Sudah sembuh, ya? Pertama-tama, yang akan dikatak
Tak terasa senja mulai larut, lembayung melingkari angkasa sebelum perlahan awan tak lagi terlihat. Langit merah seperti menyemburkan tinta hitam yang lama-kelamaan mengubahnya menjadi malam, lalu bintik-bintik kristal pun muncul berkilauan. Saat aku membantu Ajeng yang terakhir naik ke atas motor Esa dalam sesi mengantar pulang pun, menjadi perpisahanku hari ini. Suara tawa mereka yang begitu renyah bagai keripik singkong sampai cara menangis yang tidak biasa, meninggalkan bekas disudut-sudut ruangan. Rico yang tadinya tidak mau berbicara dengan Esa karena kejadian rusuh tadi, secepat itu luluh saat dijanjikan es-krim di Indomart nanti ketika perjalanan pulang. Esa hanya menggaet
Kata nenekku, hujan yang begini namanya hujan awet. Sesekali lebat saat curahnya sedang tinggi. Terus menerus turun secara konstan. Aku dan Esa masih bingung caranya pulang meski jarak dari sini ke rumah kami tak lebih dari 100 meter. Warung lalapan tadi terpaksa tutup dan tanpa sengaja mengusir kami pergi, dan kami sekarang berada di pinggir ruko tepat di belakang tenda tersebut. Melihat kanan-kiri yang sudah sepi. Hanya sedikit kendaraan yang berlalu-lalang. “Pulang, yuk!” Ajak Esa tiba-tiba. Aku terdiam, lalu mendongak menatap langit. Ini bukan perihal mau pulang atau tidak, tapi aku bisa menggigil seperti orang malaria dan keesokan paginya akan jatuh sakit kalau sudah terkena hujan. Jiwaku ini suka menantang, tapi fisikku sendiri lemah. Selalu tak selaras. “Dari perkiraan cuaca, tiga jam kedepan masih hujan.” Ia memeriksa ramalan cuaca pada ponselnya lalu mendengus pelan. “Masih mau diam di sini tiga jam lagi? kamu nggak ngantuk?” D
Bu Ros message. 15 jan 18:55. —[Uang kos bulan kemarin belum dibayar. Tolong segera dilunasi. Trms.] 22 jan 20:23. —[Batas pembayaran terakhir sampai akhir bulan. Tolong segera dilunasi.] 25 jan 15:30. —[Tolong segera!] Aku terduduk, memantukkan kepala di atas meja belajar. Melempar ponselku hingga membentur tembok dan menutup laptop yang masih menyala dengan cukup kesal. Jarum jam di dinding lagi-lagi berdetak, saling beradu dengan detak jantung juga cenat-cenut dikepala. Aku mengintip ke luar jendela dimana cahaya emas senja sudah mulai memanjang pada tembok, dan ini sudah hampir akhir bulan. Nyawaku tinggal sedikit. Kini, pertanyaan-pertanyaan yang sudah lama kupendam dalam benak pun menyuarakan diri. “Sebenarnya, untuk apa sih, kamu hidup?” Bukan untuk yang pertama kali, ini sudah sering kali merundungku sampai-sampai berhasil membuat mata ini tidak bisa terpejam setiap
Kemarin mendung. Hari ini pun mendung. Sudah tiga hari ini mendung. Kabar awan disetiap pagi adalah mendung. Hujan menangis tidak seperti biasanya. Aku jadi menggigil dan mual. Angin di luar masuk melalui celah jendela yang minta ditutup dengan hati-hati sebelum kemudian aku duduk menepi di kasur untuk menutupi tubuh Meli yang tengah tertidur dengan selimut. Ia mendengkur pulas setelah tadi sempat berkelahi dengan adiknya saat mereka bertemu di dapur. Meli melayangkan kata-kata kasar dan menyayangkan kepergian sang ayah yang seharusnya bisa digantikan oleh adiknya itu. Baru kali ini kulihat ia berteriak marah dan mengaum bagai singa kelaparan, sebelum akhirnya jatuh terlarut dalam mimpi-mimpi indah yang katanya tidak pernah ia dapatkan selama ayahnya masih hidup. Imsomnianya mendadak berhenti total. Bahkan dipagi hari pun sanggup ia habiskan untuk tertidur. Aku jadi bingung harus bersikap bagaimana. Diluar kamar, para tetangga selalu meramaikan rumahny
Esa mengepak pakaian seadanya. Ia memasukan baju dan celana panjangnya secara serampangan ke dalam koper. Aku yang bersandar pada kusein pintu, yang sudah siap pergi dengan berpakaian rapi dan cantik, langsung tergerak untuk mendekat, membantunya mengeluarkan baju-baju itu kembali untuk dilipat. Ia menunggu dengan sabar di sampingku sementara aku berusaha tersenyum sambil mengusap pipinya. *** Hari H menuju kematian. Bandara Nusawiru, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Pukul 08.30, Esa memasangkan goggles padaku setelah dirinya selesai memakai jumpsuit. Perlengkapan untuk olahraga berbahaya ini sudah disiapkan oleh tim manajemen NSW Paracenter, namun entah mengapa ia lebih memilih untuk membeli semuanya sendiri. Dan itu tidak murah. “Kenapa nggak sewa aja, sih? Kan kita pakainya sekali.” Esa mengancingkan helmnya dengan erat. Lalu menghela napas sambil menaruh tangan di pinggang. “Aku sih, sekali. Tapi apa iya kamu hanya sekali?” “Maksudmu aku a
Pagi hari pukul 08.30 wita. Seperti biasa, aku melingkari angka dikalender. Tak terasa 6 bulan berlari begitu cepat secepat citah. Kuharap setelah melewati hari-hari penuh pemikiran yang dalam ini, Esa bisa mengubah keputusannya.Sejak hari terakhir kami di Gili Trawangan, pemuda berinisial E itu banyak melamun. Ia tidak lagi mengkonsumsi kafein secara berlebih. Tidak lagi menyisihkan sayur di piring makannya. Ia bahkan tidak pernah mengatakan kata-kata perpisahan selama kami menghabiskan seluruh sisa rencana kami hingga tanpa tahu, 6 bulan telah berlalu begitu saja. Apakah keputusannya sudah benar-benar berubah? Aku tak berani bertanya karena takut ia jadi terkecoh. Namun sebagai gantinya, aku berusaha ada disetiap kali ia butuhkan.Aku mendengarkannya bercerita, ikut memancing, berbicara padanya, bermain game di warnet, mencium pipinya ketika ia minta, membaca buku yang tidak begitu kusuka, mendengarkan musik Rock n roll kesukaan dia, menonton Netflix, bergandengan tangan di malam h
Berjalan-jalan sambil bergandengan tangan sepertinya bagian favorite Esa juga. Sebagian waktu kami dihabiskan untuk berjalan kaki sambil bergandengan tangan. Saat duduk makan, kami bergandengan tangan. Menari dan menikmati suasana pesta malam, bergandengan tangan. Berdansa, bergandengan tangan. Mengobrol dan bercerita sambil bergandengan tangan. Bahkan saat mau tidur setelah memesan dua kamar di satu hotel, Esa menawariku satu kasur berdua supaya bisa berpegangan tangan.Aku tahu dia punya rencana untuk memenggal waktunya sebentar lagi, namun tak lantas membuat kami harus tidur bersama—menghalalkan segala cara.“Kalau kamu mau fight untuk hidupmu dalam waktu yang lama …. pasti aku akan tidur sambil pegangan tangan setiap waktu sama kamu. Menghabiskan hari tua bersama. Jangan khawatir.”Ia tentu mengerti maksudku dengan terdiam kaku di atas kedua kakinya. Menatap penuh kehampaan di depan pintu kamarnya sendiri. “Aku ngerti, kok. Mengambil keputusan sampai di detik ini pasti nggak mud
Kami terdiam di mobil. Mengisi energi setelah mengobrol panjang dengan keluarga Pak Imron seharian. Esa tadi sempat meminta bantuan kepada Pak Imron untuk menghubunginya jika ada yang membutuhkan perabotan rumah tangga. Dan keesokan harinya rumah Esa tak henti-hentinya didatangi mobil pick up untuk mengangkut barang. Rumahnya menjadi kosong. Kami bahkan duduk termenung di tengah-tengah ruangan beralaskan lantai marmer tersebut. Merasakan sepi yang merasuki ulu hati. “Kamu nggak menyesal, kan?” tanyaku. Takut kalau-kalau ini tak sesuai ekspetasinya. Namun hebatnya ia mencebik sambil menggeleng. Meletakan kertas wish list di sampingnya dengan tenang. “Aku nggak pernah menyesali segala keputusanku, Nom. Ini udah seperti yang aku bayangkan, kok.” *** Wush~ “Ayo kejar aku!” kataku mengejeknya ketika mengkayuh pedal sepeda lebih cepat di sore hari. Pada naik-naikan jalan, pemuda itu ternyata sudah ngos-ngosan. Tak disangka ia lebih payah dariku yang bertubuh gempal begini. Aku menghen
“Bapak ada siapa aja nih, di rumah?” tanya Esa sesudah mencium tangannya. Aku secara otomatis juga melakukan hal tersebut sambil senyam-senyum canggung.“Istri sama anak saya, si Soleh.” Pak Imron langsung membalik muka seratus delapan puluh derajat. Mengumpulkan semua energi di dalam mulut sebelum menyemburkannya keras-keras ke dalam rumah.“BUK! ADA TAMU INI, BUK! LEH! KELUAR LEH!” Teriaknya semangat. Kemudian berbalik lagi. “Ayo! Ayo! mari masuk dulu.”Soleh sang anak tiba-tiba keluar dengan tergupuh-gupuh. Sontak Esa langsung mengajaknya untuk mengambil TV di mobil.“Nah, ini! Ayo bro, bantu aku ambil TV kamu di mobil. Siapa lagi temannya?”“Sendiri.”“Oke, deh. Ayo kita let’s go!”Si Soleh meski dengan alis yang terangkat riang, tak bisa memungkiri kebingungannya setengah mati. Ia tanpa mengerti kondisi langsung saja mengiyakan permintaan Esa yang sok akrab merangkulnya—mengajak keluar secara paksa. Cara menyapa laki-laki ini memang agak bar-bar. Maklumi saja. Aku terdiam bingu
“Tapi …. tapi—”“Udahlah sayang. Nggak usah terlalu dipikirin. Nih, kukasih tahu cara kerjanya.”Esa membuka laptopnya di atas meja bar dekat kolam. Aku ikut duduk di sampingnya sambil membawa rasa penasaran yang cukup besar dalam genggaman. Ia membuka laman facebook di website dan mengklik market place.“Karena yang kita mau jangkau orang-orang disekitaran Lombok aja, jadi kita pakai ini,” katanya. Jari-jarinya begitu cepat mengoperasikan benda tersebut. “Upload di sini gambarnya,” jelasnya. “Pilih kategori barangnya, terus barang dalam kondisi bagus-bekas klik centang, terus tentukan harganya centang, dan isi deskripsinya, deh.”“Kamu kan mau memberi, bukan menjual.”“Iya mangkanya tinggal diisi deskripsinya sayang.” Aku mengangguk. Menatap dengan kagum saat ia mulai mengetikan deskripsinya.Tidak dijual. Barang bekas mau pindahan. Khusus bagi orang yang membutuhkan. Kalau deal bisa langsung angkut ke rumah. Alamat:blablabla. Tidak pakai perantara. Siapa cepat dia dapat.Dan begitu
“Di sini ada yang suka baca?” Tidak ada yang menjawab. Mereka semua meski tertib di suruh duduk rapi dan punya semangat untuk selalu berteriak-teriak heboh setiap saat, namun dalam hal respon tanggap mereka lumayan lambat. “Ada yang mau jadi penulis?” tanyaku lagi. Kali ini ada satu anak berkepala plotos yang mengacungkan telunjuknya. Aku menjadi antusias. “Siapa namanya, sayang?” “Ali.” “Oh, Ali,” sahutku pelan. Namun Esa menyahut jenaka. “Kepanjangannya siapa Ali? Alibaba?” Sontak membuat anak-anak tertawa. Aku mencoleknya dengan siku sambil memastikan kondisi wajah Ali. “Ali. Hm, aku mau tanya dong. Kenapa kamu mau jadi penulis?” Tidak dijawab. Mungkin anak laki-laki dengan muka polos sepolos kepalanya tersebut belum mengetahui alasan mengapa ia ingin menjadi penulis. “Tapi Ali tahu, kan, penulis itu apa?” Ia mengangguk. “Kira-kira, penulis itu apa, sih?” pancingku lagi agar ia mau berusaha berpikir. “Yang nulis cerita?” tanyanya memastikan. Aku langsung menepuk tangan se
Ia tidak lantas menjawab karena teralihkan pada alisku yang bergerak-gerak aneh. “Kamu baca whatssapp-ku, ya?” tanyanya curiga. Yang tak disangka-sangka tahu padahal sudah kupastikan tadi dia sama sekali tidak menoleh. Hal itu sungguh membuatku tak bisa berkilah. “Hm, anu, aku—” “Lain kali jangan kayak gitu, ya.” Membuat lidahku menggantung di langit-langit. Mengira ia bakal marah besar, ternyata hanya sebatas peringatan. “Oke!” seruku kemudian. Berusaha memperbaiki suasana. “Tapi, untuk beberapa hari ke depan …. kamu bakal membahas hal ini, kan?” Esa menghirup cairan di hidungnya keras-keras setelah berpikir keras, sekeras menyedot cairan itu. “Nggak dulu,” katanya. Menelisik visi yang seolah sedang tergambar jelas di depan hidungnya. “Aku hanya ingin hidup 6 bulan lagi. Di waktu 2 bulan terakhir …. mungkin aku bakal bahas itu.” *** Aku mengamati kalender tahun 2020 yang menempel di badan pintu kamar kosan. Di zaman serba cepat saat itu, bisa-bisanya seorang Noumi Roula meng
Esa mengeluarkan semua uneg-unegnya sebelum berakhir mengurung diri di kamar. Ia tidak bisa mengunci pintunya karena aku yang pegang. Lantas, setelah lama memberinya waktu menyendiri, aku pun akhirnya pelan-pelan mengarahkan kenop pintu ke bawah untuk melangkahkan kaki masuk ke dalam. Ia sedang duduk memunggungi pintu di ujung kasur. Menunduk terseguk-seguk. “Hei,” kataku menghampirinya. Mengulurkan tangan kanan dengan legowo. “Aku minta maaf, ya.” Seperti anak kecil yang tidak sengaja membuat temannya menangis. Ia mengusap mukanya sendiri sebelum dengan berat hati mengangkat dagu. Dari sudut pandangku, ia tidak pernah malu memperlihatkan air mata dan muka jeleknya saat menangis. “….” Aku masih mengulurkan tangan. Mengangkat alis untuk mengajaknya berbaikan. Namun ia tak berminat diajak salaman. Bokongnya malah bergeser untuk meraih obat di atas laci yang membuatku jadi menemukan luka dibalik kerah lengannya. “Itu kenapa?” tanyaku. Ia secara spontan menarik kerah itu lalu menepis