Seorang pria berkemeja putih dengan bagian lengan baju yang dilipat ke atas terlihat sedang duduk menyendiri di salah satu sudut ruangan. Wajahnya tampak pucat dan dengan napas yang terengah-engah, ia kembali menenggak wine-nya yang entah sudah gelas ke berapa hingga tandas.
“Sial! Kenapa masih tidak hilang juga?” gumam Alaric sembari menggigit rahangnya kuat-kuat. Pria itu terus merasa haus yang tak tertahankan. Padahal, biasanya dengan segelas wine saja sudah cukup untuk menghilangkan rasa hausnya untuk sementara waktu. Bartender yang ada di hadapannya pun mengangguk patuh ketika Alaric memberi kode untuk menuangkan wine itu lagi. Namun, sewaktu hendak kembali menenggaknya, ia terkejut saat ada yang menyentuh pundaknya dari belakang. “Hai, sedang menunggu seseorang?” sapa wanita berambut pirang lurus seraya langsung duduk di bangku kosong sebelahnya. “Ingin minum beberapa gelas lagi denganku?” Alaric menatap wanita cantik itu sejenak lantas menaruh gelas wine yang tadi hendak diminumnya ke atas meja. “Tidak. Aku sedang ingin sendirian.” “Oh, ayolah! Menyedihkan sekali rasanya kalau kau hanya minum-minum sendirian di sini. Apa kau baru saja putus cinta? Atau ... sekadar butuh hiburan karena lelah bekerja barangkali?” balas wanita itu sembari mengusap paha lawan bicaranya dengan tatapan menggoda. Aku? Butuh hiburan? Pft - Hahaha! Alaric terkekeh seraya berdecih kecil. Sudut bibirnya memberikan kesan mengejek seolah-olah itu adalah hal remeh yang bahkan tak pernah ia pikirkan. “Well, baiklah kalau begitu. Setelah kulihat-lihat, sepertinya aku memang perlu mencoba hiburan. Setidaknya sekali dalam seumur hidup, bukan?” “Yeah, tentu saja. Jadi, mau kutemani? Aku bisa membuat malam ini menjadi malam yang tidak akan terlupakan untukmu.” Seringaian miring Alaric semakin terangkat. Parasnya menunjukkan ketertarikan misterius. Ia kemudian beralih menatap bartender tadi yang kini sedang melirik mereka berdua dengan rasa penasaran. Bartender itu sontak terkesiap, mengerti apa yang dimaksud olehnya. “Uh-oh, ruangan VIP ... ada di lorong sebelah kanan, Tuan. Kau bisa langsung menggunakannya sesuai keperluanmu.” Alaric pun beranjak dari tempat duduk lalu melingkarkan lengannya di pinggang wanita itu. Mereka lantas berjalan pergi dari sana serta menghilang di balik dinding kaca. Sewaktu tiba di depan ruangan VIP yang dibicarakan, Alaric melepaskan pelukannya. Ia masuk terlebih dahulu ke dalam dan duduk di sebuah single sofa sementara wanita tadi segera menutup pintu. Tanpa diminta, wanita berambut pirang itu langsung menghampiri Alaric lalu duduk di pangkuannya. Ia mengusap dada bidang pria itu sembari mendekatkan wajahnya. “Oh, kau tampan sekali. Boleh kutahu siapa namamu?” Alaric menggeleng pelan. “Aku tidak mau bersenang-senang dengan wanita yang sama dua kali.” Wanita tersebut tampak sedikit kecewa. Kendati begitu, sentuhan jemarinya yang nakal tak lepas dari bagian sensitif tubuh Alaric. “Baiklah, kita lihat nanti. Kau pasti akan membuat pengecualian untukku.” “Yeah, silakan ... dengan senang hati.” Alaric merentangkan kedua tangannya pasrah. Wanita itu tertawa pelan kemudian melepas satu per satu kancing kemeja Alaric. Dibuangnya sembarangan dasi pria itu ke lantai. Alaric diam saja. Ia tak peduli apa yang akan dilakukan oleh wanita itu karena ada hal lain yang lebih menggodanya ketimbang bercumbu, bahkan dengan wanita tercantik di dunia sekalipun. Tatapan matanya sejak tadi terus tertuju pada leher wanita tersebut. Ia bisa merasakan ada aliran darah yang mengalir deras di sana. “Apa kita bisa mulai sekarang?” tanya si wanita dan langsung mendapat anggukan persetujuan. Ia pun mulai menciumi Alaric, dan pria itu tanpa pikir panjang membalas dengan ciuman yang memabukkan. Hal ini tentu adalah keahliannya. Akan tetapi, ia kini betul-betul sudah tidak bisa menahan haus darah yang menguasainya. Aroma tubuh wanita itu membuatnya semakin menggila. Setelah memberikan ciuman panas, Alaric segera melepaskan lumatan bibirnya dari wanita tersebut. “Cukup ... aku ingin yang lain.” Wanita itu terkekeh. “Apapun akan kuberikan untukmu, Tuan.” Alaric tersenyum seraya bangkit berdiri dari sofa. Ia perlahan melangkah maju—menghimpit tubuh sang wanita ke dinding. Dipindahkannya rambut pirang wanita itu ke samping, memperlihatkan leher dan bahu yang begitu mulus tanpa cela. “Kau betul-betul akan memberikan apapun untukku?” Ia mengangguk. Tangannya menyelusup masuk ke balik kemeja. “Tentu saja.” “Kalau begitu, sekarang tutup matamu. Biar aku yang mengambil alih untuk bagian ini,” ujarnya lembut seraya menatap lekat. Wanita itu kembali mengangguk seolah telah terhipnotis dengan segala pesona yang dipancarkan oleh pria berparas rupawan ini. Satu tangan Alaric beralih memegangi leher belakang wanita itu. Ia segera membuka mulut dan dalam sekejap, kedua taring tajamnya muncul. Mata yang sebelumnya berwarna biru pucat pun kini tiba-tiba berubah menjadi semerah darah. Sesaat berikutnya, Alaric benar-benar menggigit leher wanita itu. Satu detik ... Dua detik ... Tiga detik ... Wanita berambut pirang tersebut mulai merintih kesakitan ketika Alaric berusaha mengisap darahnya dengan lebih agresif. Entah mengapa ia sungguh menyukai sensasi ini. Tidak ada yang lebih menyenangkan dibanding mendapat santapan gratis secara sukarela. Karena merasa kesaktian, wanita itu sontak berupaya melepaskan diri dari Alaric dengan mendorong tubuhnya. Ia menggeliat dan sedikit memberontak. Namun, Alaric yang seakan-akan sudah kehilangan kendali justru semakin mempertahankan gigitannya lebih dalam. Bersambung ...Hei, kau ini sudah gila, ya? adalah sebuah kalimat yang setiap hari dilontarkan oleh Samantha Moore pada Callista. Entah karena gigih atau lebih bermodalkan nekat, Callista selalu berhasil membuat sahabat sekaligus rekan satu timnya kewalahan, apalagi sejak mereka diberi tugas untuk memecahkan sebuah kasus pembunuhan berantai yang sudah terjadi di Kota Edinburgh selama beberapa tahun terakhir.“Berhentilah mengomel, Sam! Lebih baik sekarang kau membantuku mengawasi keadaan!” tukas Callista sembari mengobrak-abrik isi tas yang ada di bagian jok belakang mobil.“Oh, Cale! Aku setiap hari berdoa pada Tuhan untuk diberi umur panjang, tapi kau malah rela mempertaruhkan nyawa hanya demi beberapa lembar uang! Gaji kita itu kecil! Apa kau tidak ingin mencari pekerjaan lain yang lebih menjamin masa depan kita?” balas Samantha frustasi.“Tidak. Aku tidak akan berhenti sebelum berhasil menangkap vampir keparat itu! Aku yakin dia adalah pembunuhnya!”“Kau benar-benar sudah tidak waras. Mana ada v
Alaric melepaskan gigitannya. Wanita berambut pirang itu sudah dalam kondisi tidak sadarkan diri di lantai. Pada bagian lehernya, terdapat dua lubang bekas gigitan yang tampak membiru. Tubuhnya kini juga sudah tak bergerak sama sekali.Setelah rasa haus tadi hilang, Alaric segera bangkit berdiri sembari menyeka sudut bibirnya yang masih meneteskan darah segar. Mata merahnya berangsur-angsur kembali seperti normal.Dan tepat pada saat itu, seseorang tiba-tiba saja menodongkan pistol di belakang kepalanya.“Angkat tangan!”Alaric seketika tertegun. Gerakannya terhenti di tempat.”Kau terlalu menikmati santapanmu sampai tidak menyadari kalau aku sudah ada di dalam, Tuan!” ujar Callista. Perasaan puas menggelora di dadanya.Selang beberapa saat, lima orang polisi lain juga tampak menyusul masuk ke dalam ruangan. Mereka ikut menodongkan pistol ke arah Alaric sedangkan Callista lanjut menarik pelatuknya.“Cepat angkat tangan sebelum kuhancurkan kepalamu!”Alaric pun mengangkat tangan seraya
BRAKK! Beberapa petugas lain tiba-tiba saja datang mendobrak pintu ruangan itu. Seorang pria berumur empat puluh tahunan dengan wajah garang yang ditemani tiga orang perwira polisi kemudian melangkah masuk ke dalam. “Nona Cale!” panggil Hugh Malcom—kepala inspektur kepolisian pusat Edinburgh. “Apa yang sedang kau lakukan?” “Inspektur Hugh? Aku ....” Callista melirik Alaric. Pria itu bisa-bisanya sudah kembali menjadi manusia normal. “Aku sedang melakukan interogasi.” “Interogasi?! Kau mau dikeluarkan dari kepolisian?” Inspektur Hugh bertolak pinggang. “Bebaskan dia!” “Apa?! Inspektur Hugh, kita tidak bisa membebaskannya begitu saja. Dia adalah tersangka utama dari kasus pembunuhan berantai yang selama ini kita cari!” “Mana, di mana buktinya?” “Wanita berambut pirang yang ada di TKP. Dia sudah membunuh wanita itu!” “Cale,” sela Samantha dari ambang pintu. Ia sekonyong-konyong datang bersama seorang wanita berambut pirang di belakangnya. “Ini! Wanita ini yang kau maksud?” tanya
Setelah mengambil semua barang-barangnya yang tadi disita, Alaric keluar dari kantor polisi tersebut dengan mesra bersama si wanita berambut pirang agar mereka tidak dicurigai. Ia lalu menarik wanita itu ke tempat yang agak sepi untuk meluruskan keadaan.“Jangan salah paham. Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih padamu,” ujar Alaric.“Yeah, anggap saja itu adalah hadiah dariku karena kau tadi sudah mau bersenang-senang bersamaku, Tuan. Kuakui kau memang ahli, aku sempat merasa seperti jiwaku ikut terisap bersama ciumanmu,” balas wanita itu sambil sedikit terkekeh. Senyuman licik terukir di sudut bibirnya. “Well, untung saja tadi ada temanmu yang memberitahuku. Kalau tidak, mungkin aku tidak bisa membantumu.”“Teman?”“Ya, dia temanmu, bukan?” tanya wanita itu seraya mengedikkan dagu ke arah seseorang yang sedang berjalan menghampiri mereka.“Malvin?” Alaric berkerut heran ketika melihat sosok pria lugu tersebut adalah Malvin Atkinson, asisten pribadinya sendiri.“Kau benar-benar da
Bulan menggantung semakin rendah di kaki langit. Dilihat dari posisinya, pasti sudah melewati puncak malam. Callista berdiri di depan sebuah pagar setinggi tiga meter dari rumah besar yang berada di ujung jalan. Rumah tersebut tampak mewah.Mewah karena yang ada di depan mata gadis itu kini adalah sebongkah bangunan besar berlantai dua dengan pilar-pilar raksasa di sudutnya, undakan marmer di depan pintu, balkon luas di tiap jendela, beserta segala tetek bengek yang menandakan bahwa hanya orang kayalah yang tinggal di sana.Namun, ia berubah pikiran setelah teringat dengan wajah menyebalkan dari si pemilik.“Payah! Rumahnya ternyata suram seperti rumah hantu yang tidak berpenghuni,” ejeknya sambil berkacak pinggang.Setelah beberapa hari ini mengamati model bangunan rumah Alaric, Callista akhirnya menemukan celah untuk bisa menyelinap masuk ke dalam. Tentu ia tidak mungkin menekan bel sambil memasang muka memelas hanya agar diperbolehkan menggeledah tanpa surat izin. Gadis itu lebih s
“Brengsek! Berani-beraninya dia mengatakan reputasiku buruk. Dia pikir dia siapa bisa menghinaku dengan seenaknya?!” Callista menyibak rambutnya sembari menerobos pintu keluar dengan wajah kesal.Gadis itu tidak terima. Ingin sekali ia mematahkan leher Alaric atau mencelupkan kepalanya ke dalam jamban. Pria itu benar-benar membuat pekerjaannya semakin sulit. Bagaimana ia bisa membuat ayahnya bangga kalau satu kasus saja tidak selesai-selesai?Yeah, jangankan kasus besar, kasus kecil pun Callista tidak pernah mendapat kesempatan bagus. Entah karena dirinya hanya kurang kompeten atau karena ia memang sudah ditakdirkan bernasib sial sejak awal.“Kalau tahu begini mending aku buka toko kelontong saja daripada susah payah jadi detektif. Lebih untung!” oceh Callista seraya menggulung lengan blazernya. Ia mendengkus sinis kemudian lanjut berjalan menuju pagar depan. Namun, langkah kakinya sontak terhenti ketika ia melihat ada sebuah mobil mewah berwarna hitam metalik yang terparkir manis di
Callista meraba-raba permukaan nakas yang ada di sebelah ranjang tidurnya, mematikan alarm yang sejak tadi terus berbunyi. Gadis itu akhirnya ketiduran setelah begadang memelototi layar ponselnya semalaman. Ia betul-betul tidak ingin ketinggalan pergerakan Alaric sedikit pun.“Di mana ponselku?” ujar Callista berdialog dengan diri sendiri. Tangan kanannya sibuk menyingkirkan bantal-bantal ke pinggir, sedangkan satu tangan yang lain mengucek-ngucek matanya yang masih sayu. “Oh, di sini ....”Setelah mendapatkan ponselnya, ia pun segera mengecek kembali lokasi mobil Alaric. Kendaraan beroda empat itu kini ternyata sudah berpindah posisi dari sebelumnya. Mobil tersebut sekarang terlihat sedang bergerak menyusuri kawasan Old Town, daerah tertua di Edinburgh.Tanpa pikir panjang lagi, Callista langsung menyambar jaketnya dan menghambur keluar dari kamar.“Morning!” sapa Robert saat melihat Callista berlari tergopoh-gopoh sembari memakai sepatu.“Yeah. Pagi juga, Ayah!” balasnya singkat.“W
“Yuck! What is this?” Samantha menutup hidungnya dengan gerakan mau muntah setelah mengintip bingkisan yang dibawa oleh Callista. “Kau bawa apa itu, Cale? Baunya amis sekali ....”Callista yang baru datang ke kantor polisi langsung menjatuhkan bokongnya ke kursi. Ia melirik sahabatnya sekilas lalu menjawab dengan intonasi datar. “Darah babi.”“DARAH BABI?!” Kedua mata Samantha sontak membelalak. “Buat apa kau bawa-bawa itu kemari?”“Hanya untuk pembuktian.”“Pembuktian apa? Kau tidak melakukan ritual yang macam-macam, bukan?” tebaknya asal. Ia lalu mendekati Callista dengan tatapan memperingatkan. “Aku akan menghajarmu kalau kau sampai ikut sekte sesat atau organisasi penyembah setan, Cale!”“Ck! Kau ini berlebihan sekali. Ngapain juga aku ikut-ikut organisasi seperti itu? Ayahku bisa membunuhku kalau dia tahu aku membelot.”“Lantas untuk pembuktian apa?”“Kau ‘kan tidak percaya padaku kalau dokter gadungan yang kemarin kita tangkap itu adalah vampir! Jadi, ya ... aku hanya ingin memb