Hei, kau ini sudah gila, ya? adalah sebuah kalimat yang setiap hari dilontarkan oleh Samantha Moore pada Callista. Entah karena gigih atau lebih bermodalkan nekat, Callista selalu berhasil membuat sahabat sekaligus rekan satu timnya kewalahan, apalagi sejak mereka diberi tugas untuk memecahkan sebuah kasus pembunuhan berantai yang sudah terjadi di Kota Edinburgh selama beberapa tahun terakhir.
“Berhentilah mengomel, Sam! Lebih baik sekarang kau membantuku mengawasi keadaan!” tukas Callista sembari mengobrak-abrik isi tas yang ada di bagian jok belakang mobil. “Oh, Cale! Aku setiap hari berdoa pada Tuhan untuk diberi umur panjang, tapi kau malah rela mempertaruhkan nyawa hanya demi beberapa lembar uang! Gaji kita itu kecil! Apa kau tidak ingin mencari pekerjaan lain yang lebih menjamin masa depan kita?” balas Samantha frustasi. “Tidak. Aku tidak akan berhenti sebelum berhasil menangkap vampir keparat itu! Aku yakin dia adalah pembunuhnya!” “Kau benar-benar sudah tidak waras. Mana ada vampir berkeliaran di klub malam?!” “Shut up, Sam! Pegang ini!” Callista melempar sebuah gaun pendek ke arah Samantha. “Cepat menghadap ke sana. Jangan mengintip!” “Cih, lagi pula kita ini sama-sama perempuan. Buat apa juga aku mengintip punyamu?” gerutunya seraya mengalihkan pandangan ke luar jendela mobil. “Tetap saja. Ini privasi dan satu-satunya asetku yang paling berharga!” Callista kemudian langsung melepas blazernya. Karena ruang mobil yang begitu sempit, gadis lajang berumur 24 tahun itu jadi sedikit kesulitan ketika melepas celana hingga lututnya terbentur setir mobil. “Aw, Dasar setir sialan!” “He-em, butuh bantuan?” Samantha berdeham seraya melirik ke arah Callista yang kini hanya mengenakan pakaian dalam. “Tidak, terima kasih!” Ia merebut gaun pendek tadi dari tangan Samantha dan buru-buru mengenakannya. Setelah selesai mengganti baju, Callista pun membuka ikatan, membiarkan rambut hitam panjangnya yang lebat terurai bebas. Diraihnya alat make-up dari laci dasbor. Ia kali ini berniat menyamar menjadi kupu-kupu malam di salah satu klub mewah agar bisa leluasa melancarkan aksi penangkapan yang sudah ditunggu-tunggunya sekian lama. “Bagaimana penampilanku, Sam? Mereka tidak akan mencurigaiku, bukan?” tanya Callista ketika sudah beres berdandan. Ia sengaja menggunakan make-up yang lebih menor dari biasanya. Samantha segera membalikkan badan dan ternganga ketika melihat penampilan sahabatnya sendiri—lipstik merah cabai, blush on yang super tebal, dan berikut bulu mata anti badai melekat di wajah Callista. “What the hell? Kau terlihat seperti tante-tante girang yang kurang belaian, Cale ....” Callista sontak memutar bola matanya dengan malas. “Aku serius! Bagaimana penampilanku? Sudah seksi belum? Atau aku perlu menambahkan balon di bokongku?” Samantha hanya geleng-geleng kepala. “Yang benar saja! Kujamin pria mana pun akan langsung kabur kalau kau mendekati mereka!” ujarnya dan kembali mendapat pelototan garang dari Callista. “Sudah kau tunggu saja di sini! Jangan hubungi tim kepolisian sebelum aku memberi aba-aba.” “Tidak bisa. Kita tunggu sampai yang lain datang dulu. Ini berbahaya! Kalau pembunuh itu benaran ada di dalam dan malah membunuh kau bagaimana?” Callista tersenyum miring. Ia mengambil pistol dan melingkarkan handgun holster di pahanya agar tidak dicurigai karena tertutup gaun. “Jangan khawatir. Biar aku yang mengantarnya ke neraka sekalian.” “Tunggu, Cale! Cale!!!” teriak Samantha. Namun, tak dihiraukan. Sahabatnya itu serta-merta melompat turun dari mobil dan berjalan ke arah seberang. Suasana ingar-bingar dan gelak tawa langsung menyambut Callista begitu ia melangkahkan kaki masuk ke dalam klub malam tersebut. Laser-laser lampu yang berwarna-warni menyorot tak beraturan. Gadis itu mengernyitkan wajah ketika bau alkohol yang menguar ke seisi ruangan menyerang saluran pernapasannya. Di area meja kasino, terlihat ada beberapa pelayan yang menggunakan seragam maid dengan belahan tubuh di mana-mana sedang membagikan kartu-kartu poker pada sekumpulan pria bertampang preman. Callista berjalan melewati orang-orang itu dengan sangat waspada. Namun, seorang pria berjanggut tipis yang sedang mabuk berat tiba-tiba saja datang merangkul bahunya. “Hai, Sexy! Mau bersenang-senang bersamaku?” Callista pun langsung menyentakkan lengan pria itu dengan kasar. “Singkirkan tanganmu, Brengsek! Atau kurobek ginjalmu!” “Ugh, kau galak sekali!” protes pria itu kemudian jalan terhuyung-huyung pergi dari sana. Callista berdecak. Ia benci disentuh, apalagi dengan pria bajingan yang tidak bermoral. Gadis itu lanjut menjelajah ke sisi ruangan lain dan berakhir menghampiri salah satu petugas kebersihan. “Permisi, apa kau tahu di mana ruangan CCTV?” tanyanya pada petugas paruh baya itu dengan nada hati-hati. Petugas tersebut hanya tersenyum tipis. “Sorry, Miss. Aku tidak bisa memberitahumu. Itu dilarang.” “Aku akan memberikan toleransi kalau kau mau bekerja sama denganku, Sir.” “Sekali lagi mohon maaf, kau tidak bisa memaksa dan aku di sini hanya berusaha untuk mematuhi peraturan yang ada.” Callista menghela napas panjang. Bola matanya bergerak ke sana-kemari, mengawasi keadaan sekitar. Ia pun terpaksa menunjukkan ID Card-nya. “Tolong beri tahu aku.” Petugas kebersihan itu sontak tertegun, sedikit terkejut melihat ID Card yang memperlihatkan foto wajah seorang detektif wanita dari kantor departemen kepolisian pusat Edinburgh bernama Callista Bradley. Ia menundukkan kepala kemudian dengan takut-takut menunjuk ke sebuah ruangan tersembunyi yang berada tak jauh dari sekitar panggung. “Di sebelah sana, Miss. Ruangan CCTV-nya sedang kosong karena sedang ada pergantian penjaga.” Callista mendengkus. “Terima kasih.” Di dalam ruangan tersebut, semua kamera CCTV tampak tengah beroperasi. Sebagian besar layar monitor menunjukkan aktivitas para pengunjung, sedangkan sisanya memantau area luar gedung. Callista mendekati monitor utama dan menggeser kursornya, memutar ulang satu per satu rekaman CCTV sembari mengamati dengan saksama. Setelah beberapa menit mencari, ia akhirnya bisa dengan mudah menemukan keberadaan target. Ditatapnya seorang pria berkemeja putih bersama wanita berambut pirang yang terlihat berjalan masuk ke ruangan VIP. Callista lalu segera memberi aba-aba lewat earpiece yang sejak tadi sudah terhubung dengan Samantha. “Sam, aku sudah menemukannya! Panggil tim kepolisian sekarang juga. Malam ini kita akan menangkap psikopat sialan itu!” “Baiklah, kau tunggu dulu di sana. Mereka sudah dalam perjalanan. Jangan bertindak sendirian atau—” Bipp! Callista langsung mematikan earpiece-nya kembali lantas menghambur keluar dari ruang pusat kendali CCTV dan berlari menuju sang target. “Bersiaplah untuk membusuk di penjara, Mr. Vampire!” Bersambung ...Alaric melepaskan gigitannya. Wanita berambut pirang itu sudah dalam kondisi tidak sadarkan diri di lantai. Pada bagian lehernya, terdapat dua lubang bekas gigitan yang tampak membiru. Tubuhnya kini juga sudah tak bergerak sama sekali.Setelah rasa haus tadi hilang, Alaric segera bangkit berdiri sembari menyeka sudut bibirnya yang masih meneteskan darah segar. Mata merahnya berangsur-angsur kembali seperti normal.Dan tepat pada saat itu, seseorang tiba-tiba saja menodongkan pistol di belakang kepalanya.“Angkat tangan!”Alaric seketika tertegun. Gerakannya terhenti di tempat.”Kau terlalu menikmati santapanmu sampai tidak menyadari kalau aku sudah ada di dalam, Tuan!” ujar Callista. Perasaan puas menggelora di dadanya.Selang beberapa saat, lima orang polisi lain juga tampak menyusul masuk ke dalam ruangan. Mereka ikut menodongkan pistol ke arah Alaric sedangkan Callista lanjut menarik pelatuknya.“Cepat angkat tangan sebelum kuhancurkan kepalamu!”Alaric pun mengangkat tangan seraya
BRAKK! Beberapa petugas lain tiba-tiba saja datang mendobrak pintu ruangan itu. Seorang pria berumur empat puluh tahunan dengan wajah garang yang ditemani tiga orang perwira polisi kemudian melangkah masuk ke dalam. “Nona Cale!” panggil Hugh Malcom—kepala inspektur kepolisian pusat Edinburgh. “Apa yang sedang kau lakukan?” “Inspektur Hugh? Aku ....” Callista melirik Alaric. Pria itu bisa-bisanya sudah kembali menjadi manusia normal. “Aku sedang melakukan interogasi.” “Interogasi?! Kau mau dikeluarkan dari kepolisian?” Inspektur Hugh bertolak pinggang. “Bebaskan dia!” “Apa?! Inspektur Hugh, kita tidak bisa membebaskannya begitu saja. Dia adalah tersangka utama dari kasus pembunuhan berantai yang selama ini kita cari!” “Mana, di mana buktinya?” “Wanita berambut pirang yang ada di TKP. Dia sudah membunuh wanita itu!” “Cale,” sela Samantha dari ambang pintu. Ia sekonyong-konyong datang bersama seorang wanita berambut pirang di belakangnya. “Ini! Wanita ini yang kau maksud?” tanya
Setelah mengambil semua barang-barangnya yang tadi disita, Alaric keluar dari kantor polisi tersebut dengan mesra bersama si wanita berambut pirang agar mereka tidak dicurigai. Ia lalu menarik wanita itu ke tempat yang agak sepi untuk meluruskan keadaan.“Jangan salah paham. Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih padamu,” ujar Alaric.“Yeah, anggap saja itu adalah hadiah dariku karena kau tadi sudah mau bersenang-senang bersamaku, Tuan. Kuakui kau memang ahli, aku sempat merasa seperti jiwaku ikut terisap bersama ciumanmu,” balas wanita itu sambil sedikit terkekeh. Senyuman licik terukir di sudut bibirnya. “Well, untung saja tadi ada temanmu yang memberitahuku. Kalau tidak, mungkin aku tidak bisa membantumu.”“Teman?”“Ya, dia temanmu, bukan?” tanya wanita itu seraya mengedikkan dagu ke arah seseorang yang sedang berjalan menghampiri mereka.“Malvin?” Alaric berkerut heran ketika melihat sosok pria lugu tersebut adalah Malvin Atkinson, asisten pribadinya sendiri.“Kau benar-benar da
Bulan menggantung semakin rendah di kaki langit. Dilihat dari posisinya, pasti sudah melewati puncak malam. Callista berdiri di depan sebuah pagar setinggi tiga meter dari rumah besar yang berada di ujung jalan. Rumah tersebut tampak mewah.Mewah karena yang ada di depan mata gadis itu kini adalah sebongkah bangunan besar berlantai dua dengan pilar-pilar raksasa di sudutnya, undakan marmer di depan pintu, balkon luas di tiap jendela, beserta segala tetek bengek yang menandakan bahwa hanya orang kayalah yang tinggal di sana.Namun, ia berubah pikiran setelah teringat dengan wajah menyebalkan dari si pemilik.“Payah! Rumahnya ternyata suram seperti rumah hantu yang tidak berpenghuni,” ejeknya sambil berkacak pinggang.Setelah beberapa hari ini mengamati model bangunan rumah Alaric, Callista akhirnya menemukan celah untuk bisa menyelinap masuk ke dalam. Tentu ia tidak mungkin menekan bel sambil memasang muka memelas hanya agar diperbolehkan menggeledah tanpa surat izin. Gadis itu lebih s
“Brengsek! Berani-beraninya dia mengatakan reputasiku buruk. Dia pikir dia siapa bisa menghinaku dengan seenaknya?!” Callista menyibak rambutnya sembari menerobos pintu keluar dengan wajah kesal.Gadis itu tidak terima. Ingin sekali ia mematahkan leher Alaric atau mencelupkan kepalanya ke dalam jamban. Pria itu benar-benar membuat pekerjaannya semakin sulit. Bagaimana ia bisa membuat ayahnya bangga kalau satu kasus saja tidak selesai-selesai?Yeah, jangankan kasus besar, kasus kecil pun Callista tidak pernah mendapat kesempatan bagus. Entah karena dirinya hanya kurang kompeten atau karena ia memang sudah ditakdirkan bernasib sial sejak awal.“Kalau tahu begini mending aku buka toko kelontong saja daripada susah payah jadi detektif. Lebih untung!” oceh Callista seraya menggulung lengan blazernya. Ia mendengkus sinis kemudian lanjut berjalan menuju pagar depan. Namun, langkah kakinya sontak terhenti ketika ia melihat ada sebuah mobil mewah berwarna hitam metalik yang terparkir manis di
Callista meraba-raba permukaan nakas yang ada di sebelah ranjang tidurnya, mematikan alarm yang sejak tadi terus berbunyi. Gadis itu akhirnya ketiduran setelah begadang memelototi layar ponselnya semalaman. Ia betul-betul tidak ingin ketinggalan pergerakan Alaric sedikit pun.“Di mana ponselku?” ujar Callista berdialog dengan diri sendiri. Tangan kanannya sibuk menyingkirkan bantal-bantal ke pinggir, sedangkan satu tangan yang lain mengucek-ngucek matanya yang masih sayu. “Oh, di sini ....”Setelah mendapatkan ponselnya, ia pun segera mengecek kembali lokasi mobil Alaric. Kendaraan beroda empat itu kini ternyata sudah berpindah posisi dari sebelumnya. Mobil tersebut sekarang terlihat sedang bergerak menyusuri kawasan Old Town, daerah tertua di Edinburgh.Tanpa pikir panjang lagi, Callista langsung menyambar jaketnya dan menghambur keluar dari kamar.“Morning!” sapa Robert saat melihat Callista berlari tergopoh-gopoh sembari memakai sepatu.“Yeah. Pagi juga, Ayah!” balasnya singkat.“W
“Yuck! What is this?” Samantha menutup hidungnya dengan gerakan mau muntah setelah mengintip bingkisan yang dibawa oleh Callista. “Kau bawa apa itu, Cale? Baunya amis sekali ....”Callista yang baru datang ke kantor polisi langsung menjatuhkan bokongnya ke kursi. Ia melirik sahabatnya sekilas lalu menjawab dengan intonasi datar. “Darah babi.”“DARAH BABI?!” Kedua mata Samantha sontak membelalak. “Buat apa kau bawa-bawa itu kemari?”“Hanya untuk pembuktian.”“Pembuktian apa? Kau tidak melakukan ritual yang macam-macam, bukan?” tebaknya asal. Ia lalu mendekati Callista dengan tatapan memperingatkan. “Aku akan menghajarmu kalau kau sampai ikut sekte sesat atau organisasi penyembah setan, Cale!”“Ck! Kau ini berlebihan sekali. Ngapain juga aku ikut-ikut organisasi seperti itu? Ayahku bisa membunuhku kalau dia tahu aku membelot.”“Lantas untuk pembuktian apa?”“Kau ‘kan tidak percaya padaku kalau dokter gadungan yang kemarin kita tangkap itu adalah vampir! Jadi, ya ... aku hanya ingin memb
“Jadi? Keterangan apa yang kalian butuhkan dariku?” tanya Alaric seraya melirik arlojinya, mulai menghitung mundur dari waktu yang telah ia berikan.“Yeah, begini ....” Callista berdeham, melirik Samantha seraya meletakkan bingkisan yang berisi darah babi tadi ke pinggir sofa—tempat mereka duduk—dengan sangat hati-hati.Alaric ikut memperhatikan setiap gerak-gerik Callista. Mata birunya mengamati bingkisan paper bag berwarna hitam yang dibawa oleh gadis itu secara lekat-lekat.Ia lalu mendengkus. “Ah, kau masih tidak menyerah juga rupanya.”“Menyerah bagaimana? Aku tidak mengerti maksudmu,” balas Callista berpura-pura bingung.“Benarkah? Kau tidak mengerti apa yang kumaksud?”Samantha menatap mereka berdua sembari menggigit bagian dalam bibirnya dengan mimik tegang. “Ehm ... Tuan Theodore, aku minta maaf sebelumnya, kau tadi hanya memberikan waktu 15 menit pada kami. Jadi, bisakah kita sekarang langsung mulai ke intinya saja?” ujarnya, berinisiatif untuk mengalihkan perhatian Alaric.