Setelah mengambil semua barang-barangnya yang tadi disita, Alaric keluar dari kantor polisi tersebut dengan mesra bersama si wanita berambut pirang agar mereka tidak dicurigai. Ia lalu menarik wanita itu ke tempat yang agak sepi untuk meluruskan keadaan.
“Jangan salah paham. Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih padamu,” ujar Alaric. “Yeah, anggap saja itu adalah hadiah dariku karena kau tadi sudah mau bersenang-senang bersamaku, Tuan. Kuakui kau memang ahli, aku sempat merasa seperti jiwaku ikut terisap bersama ciumanmu,” balas wanita itu sambil sedikit terkekeh. Senyuman licik terukir di sudut bibirnya. “Well, untung saja tadi ada temanmu yang memberitahuku. Kalau tidak, mungkin aku tidak bisa membantumu.” “Teman?” “Ya, dia temanmu, bukan?” tanya wanita itu seraya mengedikkan dagu ke arah seseorang yang sedang berjalan menghampiri mereka. “Malvin?” Alaric berkerut heran ketika melihat sosok pria lugu tersebut adalah Malvin Atkinson, asisten pribadinya sendiri. “Kau benar-benar dalam masalah besar, Alaric!” kata Malvin ketika mereka sudah berjarak tiga langkah. “Dari mana kau tahu kalau aku ada di sini?” “Itu tidak penting. Lebih baik sekarang kita pergi dari sini,” balasnya seraya memberikan segepok uang tunai pada wanita berambut pirang tadi. “Thank you, Miss.” Ia lalu menyeret Alaric masuk ke dalam mobilnya yang terparkir tak jauh dari sana. *** “Tunggu, Malvin. Kau dari tadi belum menjelaskannya padaku. Sebenarnya, apa yang sudah terjadi denganku? Kenapa belakangan ini aku terus merasa haus darah?” protes Alaric ketika mereka berdua sudah sampai di rumah. Pria itu menghempaskan diri ke arah sofa panjang yang ada di ruang tamu. “Itu karena tubuhmu mulai kebal dengan obat yang biasa kau pakai,” jawab Malvin sembari menyalakan perapian. Udara sudah mulai terasa jauh lebih dingin sejak bulan-bulan menjelang musim salju. “Kebal bagaimana maksudmu? Aku tidak mengerti.” “Virus V-Type01 yang ada di dalam tubuhmu sudah membuat imun yang membuat obatku jadi tidak bisa bekerja secara maksimal. Kau bisa kapan saja lepas kendali dan menggigit orang lain lagi seperti tadi. Untung saja wanita itu tidak mati. Kalau kau mengisap darahnya sampai habis kau akan mendekam di penjara selama-lamanya!” Alaric mendengkus. “Aku bisa kabur dari sana dengan mudah.” “Ya, tapi kau akan menjadi buronan seumur hidup. Apa kau mau?” “Kalau begitu naikkan saja lagi dosis obatnya. Mudah, bukan?” Malvin memutar bola mata. “Ini tidak semudah yang kau bayangkan, Alaric. Jangan mentang-mentang virus itu tidak menular melalui gigitan kau bisa berbuat seenaknya.” “Jadi apa yang harus kulakukan?” “Kau harus bisa menahannya untuk sementara waktu sampai aku berhasil menemukan obat penawar untuk menyembuhkanmu.” “Itu tidak berhasil. Aku sudah mencoba menahannya dengan meminum wine. Kau tahu, biasanya satu sampai dua gelas saja ampuh untuk menahan rasa haus darahku buat sementara waktu, tapi aku tadi sudah minum lebih dari delapan gelas. Dan tetap saja aku justru semakin haus, apalagi saat wanita berambut pirang itu datang. Dia yang menggodaku duluan,” ujar Alaric sembari memijat-mijat pangkal hidungnya. Malvin beralih menyalakan komputer yang sering ia gunakan untuk meneliti. Di sana terdapat banyak data-data penting tentang perkembangan Virus V-Type01 di tubuh Alaric. “Baiklah. Aku akan menaikkan dosisnya, tapi kau tidak boleh terlalu sering menggunakannya karena aku sendiri juga masih belum tahu pasti apa efek sampingnya jika digunakan dalam jangka panjang. Masalah besar bisa muncul kapan saja. Aku tidak ingin kau menjadi vampir ganas yang berkeliaran mencari mangsa di tengah kota, mengerti?” “Ya, thank's. Lagi pula, aku juga tidak mau sampai menggigit orang sembarangan, apalagi mayat di tempatku bekerja.” Alaric beranjak bangkit dan hendak masuk ke dalam kamar. Namun, langkah kakinya terhenti ketika ia teringat dengan sesuatu hal. “Ah ya, aku hampir lupa. Detektif wanita itu ... siapa namanya? Cale ... Cally? Bukan, Callista! Ya, dia sempat memergokiku saat mengisap darah, Malvin. Apa yang harus kulakukan padanya?” “Jauhi dia. Jangan sampai detektif itu tahu kalau kau adalah seorang vampir.” “Hmm, kurasa bagian itu sudah terlambat. Dia sudah terlanjur tahu kalau aku ini vampir. Aku tadi juga sempat sengaja berubah wujud di hadapannya. Kupikir dia akan takut, tapi ternyata otak gadis itu sepertinya agak miring. Dia bahkan terus mengikuti sejak kemarin. Itulah alasannya mengapa aku bisa tertangkap tadi.” Malvin mengusap wajahnya. “Kau memang cari mati, Alaric!” “Sorry, itu terjadi di luar dugaanku.” *** “Sialan! Ini tidak bisa dibiarkan lagi.” Callista menendang kaki meja dengan perasaan dongkol. Ia terus menggerutu sepanjang malam di kantor polisi karena Inspektur Hugh malah membebaskan Alaric begitu saja. “Seharusnya dia meminta keterangan lebih lanjut!” ocehnya untuk yang kesekian kali. Samantha dan Andrew yang masih ada di ruangan kerja tim sontak melirik Callista dengan wajah penat. Mereka dan anggota tim kepolisian lain memang sering bekerja sampai larut, apalagi jika mendadak ada kasus baru atau permasalahan besar yang belum tuntas. “Cale, apa kau tidak lelah mengumpat semalaman?” sindir Samantha sambil menghembuskan napas bosan. Telinganya sudah terasa panas mendengar kata-kata mutiara yang sejak tadi terlontar dari mulut Callista. “Sam, kau harus percaya padaku! Dia adalah pembunuh berantai yang selama ini kita cari dan pria brengsek itu ... dia juga adalah seorang vampir! Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri!” “Oh, kurasa lebih baik sekarang kau pulang. Sepertinya kau butuh istirahat. Aku akan membantu mengajukan cuti untukmu, Cale.” Callista berdecak kesal. Lalu, menghampiri Andrew yang sedang mengutak-atik komputer kerjanya. “Bagaimana? Sudah ketemu?” Andrew mengangguk. “Ya, sudah ketemu. Ini adalah data diri dari orang yang ingin kau cari.” Callista buru-buru ikut melihat ke layar komputer tersebut. Ia tadi sempat meminta Andrew untuk segera mencari biodata diri Alaric dari data kepolisian. Gadis itu curiga kalau kartu nama yang diberikan Alaric hanyalah sebuah identitas palsu. “Kau bisa lihat sendiri, Nona Cale. Nama, foto, pekerjaan, dan identitas lainnya memang sesuai dengan yang tertera di kartu nama,” kata Andrew sambil menjelaskan. Samantha menggeleng-gelengkan kepala. “Kau memilih target yang salah. Dia adalah seorang dokter!” “Hei, jangan tertipu. Dia itu otak kriminal! Di zaman modern seperti ini ada banyak psikopat yang berkedok sebagai dokter,” bantah Callista. Gadis itu rupanya berpendirian kuat dengan apa yang dilihat dan diyakininya. “Lihat saja, bahkan wajahnya tidak seperti seorang dokter. Siapa tahu dia itu cuma dokter gadungan.” “Ya, dia memang tidak cocok jadi dokter. Wajahnya tampan sekali. Lebih cocok jadi model.” Andrew menggigit rongga dalam pipinya. Tertawa bukanlah reaksi yang bagus untuk saat ini. Callista memasang ekspresi malas. Ia kemudian membaca kembali biodata yang ada di hadapannya secara intens. “Ah, rupanya dia tinggal di sekitar kawasan Royal Mile.” “Kenapa? Kau mau pergi ke sana dan menyelinap masuk ke dalam rumahnya?” “Damn! Ide bagus, Sam!” Callista langsung bersorak girang seolah baru menemukan ide brilian. Samantha pun mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. “Oh, God! Please, I can't hold it anymore.” Bersambung ...Bulan menggantung semakin rendah di kaki langit. Dilihat dari posisinya, pasti sudah melewati puncak malam. Callista berdiri di depan sebuah pagar setinggi tiga meter dari rumah besar yang berada di ujung jalan. Rumah tersebut tampak mewah.Mewah karena yang ada di depan mata gadis itu kini adalah sebongkah bangunan besar berlantai dua dengan pilar-pilar raksasa di sudutnya, undakan marmer di depan pintu, balkon luas di tiap jendela, beserta segala tetek bengek yang menandakan bahwa hanya orang kayalah yang tinggal di sana.Namun, ia berubah pikiran setelah teringat dengan wajah menyebalkan dari si pemilik.“Payah! Rumahnya ternyata suram seperti rumah hantu yang tidak berpenghuni,” ejeknya sambil berkacak pinggang.Setelah beberapa hari ini mengamati model bangunan rumah Alaric, Callista akhirnya menemukan celah untuk bisa menyelinap masuk ke dalam. Tentu ia tidak mungkin menekan bel sambil memasang muka memelas hanya agar diperbolehkan menggeledah tanpa surat izin. Gadis itu lebih s
“Brengsek! Berani-beraninya dia mengatakan reputasiku buruk. Dia pikir dia siapa bisa menghinaku dengan seenaknya?!” Callista menyibak rambutnya sembari menerobos pintu keluar dengan wajah kesal.Gadis itu tidak terima. Ingin sekali ia mematahkan leher Alaric atau mencelupkan kepalanya ke dalam jamban. Pria itu benar-benar membuat pekerjaannya semakin sulit. Bagaimana ia bisa membuat ayahnya bangga kalau satu kasus saja tidak selesai-selesai?Yeah, jangankan kasus besar, kasus kecil pun Callista tidak pernah mendapat kesempatan bagus. Entah karena dirinya hanya kurang kompeten atau karena ia memang sudah ditakdirkan bernasib sial sejak awal.“Kalau tahu begini mending aku buka toko kelontong saja daripada susah payah jadi detektif. Lebih untung!” oceh Callista seraya menggulung lengan blazernya. Ia mendengkus sinis kemudian lanjut berjalan menuju pagar depan. Namun, langkah kakinya sontak terhenti ketika ia melihat ada sebuah mobil mewah berwarna hitam metalik yang terparkir manis di
Callista meraba-raba permukaan nakas yang ada di sebelah ranjang tidurnya, mematikan alarm yang sejak tadi terus berbunyi. Gadis itu akhirnya ketiduran setelah begadang memelototi layar ponselnya semalaman. Ia betul-betul tidak ingin ketinggalan pergerakan Alaric sedikit pun.“Di mana ponselku?” ujar Callista berdialog dengan diri sendiri. Tangan kanannya sibuk menyingkirkan bantal-bantal ke pinggir, sedangkan satu tangan yang lain mengucek-ngucek matanya yang masih sayu. “Oh, di sini ....”Setelah mendapatkan ponselnya, ia pun segera mengecek kembali lokasi mobil Alaric. Kendaraan beroda empat itu kini ternyata sudah berpindah posisi dari sebelumnya. Mobil tersebut sekarang terlihat sedang bergerak menyusuri kawasan Old Town, daerah tertua di Edinburgh.Tanpa pikir panjang lagi, Callista langsung menyambar jaketnya dan menghambur keluar dari kamar.“Morning!” sapa Robert saat melihat Callista berlari tergopoh-gopoh sembari memakai sepatu.“Yeah. Pagi juga, Ayah!” balasnya singkat.“W
“Yuck! What is this?” Samantha menutup hidungnya dengan gerakan mau muntah setelah mengintip bingkisan yang dibawa oleh Callista. “Kau bawa apa itu, Cale? Baunya amis sekali ....”Callista yang baru datang ke kantor polisi langsung menjatuhkan bokongnya ke kursi. Ia melirik sahabatnya sekilas lalu menjawab dengan intonasi datar. “Darah babi.”“DARAH BABI?!” Kedua mata Samantha sontak membelalak. “Buat apa kau bawa-bawa itu kemari?”“Hanya untuk pembuktian.”“Pembuktian apa? Kau tidak melakukan ritual yang macam-macam, bukan?” tebaknya asal. Ia lalu mendekati Callista dengan tatapan memperingatkan. “Aku akan menghajarmu kalau kau sampai ikut sekte sesat atau organisasi penyembah setan, Cale!”“Ck! Kau ini berlebihan sekali. Ngapain juga aku ikut-ikut organisasi seperti itu? Ayahku bisa membunuhku kalau dia tahu aku membelot.”“Lantas untuk pembuktian apa?”“Kau ‘kan tidak percaya padaku kalau dokter gadungan yang kemarin kita tangkap itu adalah vampir! Jadi, ya ... aku hanya ingin memb
“Jadi? Keterangan apa yang kalian butuhkan dariku?” tanya Alaric seraya melirik arlojinya, mulai menghitung mundur dari waktu yang telah ia berikan.“Yeah, begini ....” Callista berdeham, melirik Samantha seraya meletakkan bingkisan yang berisi darah babi tadi ke pinggir sofa—tempat mereka duduk—dengan sangat hati-hati.Alaric ikut memperhatikan setiap gerak-gerik Callista. Mata birunya mengamati bingkisan paper bag berwarna hitam yang dibawa oleh gadis itu secara lekat-lekat.Ia lalu mendengkus. “Ah, kau masih tidak menyerah juga rupanya.”“Menyerah bagaimana? Aku tidak mengerti maksudmu,” balas Callista berpura-pura bingung.“Benarkah? Kau tidak mengerti apa yang kumaksud?”Samantha menatap mereka berdua sembari menggigit bagian dalam bibirnya dengan mimik tegang. “Ehm ... Tuan Theodore, aku minta maaf sebelumnya, kau tadi hanya memberikan waktu 15 menit pada kami. Jadi, bisakah kita sekarang langsung mulai ke intinya saja?” ujarnya, berinisiatif untuk mengalihkan perhatian Alaric.
Samantha sontak terkejut lantas bangkit berdiri. “Cale!”Callista ikut terkejut dan segera menatap Alaric. Namun, anehnya pria itu tak menunjukkan reaksi apapun. Ia hanya menatap genangan darah tersebut dengan raut datar. Callista mengernyitkan wajah heran. Kenapa dia biasa-biasa saja? Kenapa dia tidak berubah menjadi vampir?Selama sekian detik, gadis itu hanya mematung seolah menantikan sesuatu sementara Samantha sendiri gelagapan panik.“Tuan Theodore, kami minta maaf yang sebesar-besarnya. Rumahmu jadi kotor begini. Biar kami berdua yang bantu bersihkan,” katanya tidak enak hati.“Tidak perlu.” Alaric menggeleng. “Well, Miss. Moore, apa kau bisa menunggu di luar sebentar? Ada yang ingin aku bicarakan dulu dengan temanmu secara empat mata.”“Oh, y-ya, tidak masalah. Aku tunggu di mobil saja. Sekali lagi kami mohon maaf.”Alaric mengangguk mengiyakan. Setelah Samantha berjalan keluar, ia pun kembali mengamati Callista yang masih tetap bergeming di tempat.“Sayang sekali. Sepertinya
Malvin yang sudah paham dengan kondisi darurat di hadapannya pun langsung berlari menghampiri Alaric yang masih mengerang kesakitan di lantai. Ia cepat-cepat mengambil suntikan lain dari dalam kamarnya dan meminta Callista untuk segera menyingkir dari sana.“Pergilah! Cepat pergi dari sini!”Callista terkesiap. “Apa yang terjadi dengannya?”“Dia berusaha melawan dirinya sendiri untuk tidak menghisap darahmu! Maka dari itu pergilah! Kau bisa membunuhnya jika masih tetap berdiri di sini!”“Membunuhnya? Tidak, dia tidak boleh mati.” Callista menelan salivanya susah payah. Ia lekas beringsut mundur dan tergesa-gesa keluar dari dalam rumah tersebut; setengah berlari menghampiri mobilnya yang terparkir di luar pagar.“Cale, ada apa?” tanya Samantha begitu dirinya masuk ke dalam mobil. “Barusan aku melihat ada pemuda yang datang sambil membawa belanjaan. Dia tinggal di sini juga?”“Entahlah. Aku tidak tahu, Sam,” balasnya seraya menggeleng kecil.“Kau bawa apa itu?”“Ah, b-bukan apa-apa.” Ia
“Sial. Sial. Sial. Kenapa malah kepencet, sih?!” Callista buru-buru mematikan panggilannya yang sudah sempat berdering beberapa kali. Ia tidak bisa membayangkan mau taruh di mana mukanya jika Alaric tahu kalau ia yang menghubungi duluan karena merasa khawatir.Gadis itu kemudian melempar ponselnya ke atas meja sembari menggigiti kuku dengan panik. Tetapi sedetik kemudian, tiba-tiba saja ada panggilan dari nomor tak dikenal yang masuk. Ia pun langsung menyambar ponselnya kembali, melihat siapa yang menelepon.“Halo, Nona Cale!” sapa Andrew begitu Callista mengangkat panggilannya.“Andrew? Ugh, kau ini mengagetkanku saja! Kukira tadi siapa,” sahutnya sembari menghembuskan napas lega.Pemuda itu malah nyengir lebar. “Maaf. Aku tidak bermaksud untuk mengagetkanmu, Nona Cale. Aku barusan hanya ingin memberitahumu kalau ini adalah nomor baruku. Ponselku yang kemarin hilang dicuri orang.”“Apa? Dicuri orang? Bagaimana bisa?”“Entahlah. Kemarin aku sempat naik bus yang lumayan ramai penumpang
Orang itu membuka tudung jubahnya sembari menyeringai. “Apa kabar, dr. Huggins? Kau masih ingat denganku? Sudah lama kita tidak bertemu sejak prosedur autopsi terakhir kali.”dr. Huggins berpegangan pada nakas di belakangnya. Mata merah dan kulit putih pucat kedua makhluk tersebut membuat tungkainya seketika lemas seolah tak bersendi. Salah satu vampir berambut pirang yang bernama Draco itu pun membuka buku kecil—bertuliskan BRITISH PASSPORT—yang sedang dipegangnya tadi. Ia mengambil tiket pesawat yang terselip di sana.ECONOMY CLASSFrom: Edinburgh – ScotlandTo : Bukares – Romania“Wah-wah, coba lihat! Sepertinya kau memiliki rencana liburan ke luar negeri hari ini. Apa kau tidak berniat mengajak kami?”dr. Huggins menggeleng cepat. “T-tidak. Kembalikan ... kembalikan benda itu padaku!”“Seharusnya kalau kau ingin pergi berlibur, kau tinggal katakan saja pada tuanku, dr. Huggins. Dia bisa membelikanmu tiket pesawat business class yang paling mahal dan kami juga akan dengan sangat s
128 Calton Road, Block 4A.Leon menatap secarik kertas yang dipegangnya dengan cermat. Laki-laki itu kemudian berjalan mendekati sebuah rumah bangunan kuno berlantai dua yang berjarak selang beberapa meter di hadapannya. Ia baru saja mendapatkan alamat tempat tinggal dr. Huggins dari Andrew dan memutuskan untuk segera menemui dokter forensik itu. Setelah menganalisis semua arsip yang diberikan oleh Samantha kemarin, Leon semakin yakin ada sesuatu yang tidak beres, terutama dengan seluruh laporan hasil autopsi yang ada.Menurutnya, laporan itu terkesan cukup tidak masuk akal serta patut dipertanyakan kembali keabsahannya. Semua orang yang bersangkutan harus diperiksa tanpa terkecuali. Dan karena sekarang kasus ini juga sudah menjadi tanggung jawabnya, ia tentu memiliki wewenang untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut.RUMAH INI DIJUAL. SILAKAN HUBUNGI NOMOR PERANTARA DI BAWAH UNTUK MENDAPATKAN INFORMASI LEBIH LANJUT.Leon mengerutkan kening ketika melihat plang bertuliskan FOR SALE
Callista pun menggelengkan kepala untuk mengenyahkan pikiran kotornya yang berkecamuk.“Nona Cale?” ujar Alaric membuat dirinya terkesiap.“Ugh, ya? Ada apa?”“Kau mau minum wine juga?”“Tidak.”“Lalu kenapa kau terus menatapku seperti itu?”“Aku ... aku tidak menatapmu,” sangkalnya panik. Ia mengerjap beberapa kali sambil mencari alasan. “Tadi aku cuma sedang ... eh ... anu ... gelas wine-mu bagus. Kau beli di mana?”Alaric memiringkan kepala dan menoleh ke gelas yang sedang dipegangnya. “Oh, ini aku memesannya secara khusus. Gelas ini terbuat dari kristal yang diproduksi oleh ahli profesional di Slovakia. Waktu itu aku beli satu buah gelas ini dengan harga sekitar £280 karena termasuk edisi spesial.”“Satu gelas ini harganya £280?!”“Yeah, kau mau beli?”Callista menggeleng cepat. “Sorry, aku tidak ingin menghabiskan uang gajianku hanya untuk sebuah gelas. Lagi pula, memangnya kau tidak mabuk minum wine terus-terusan?”Malvin tiba-tiba malah terbahak. “Tidak ada zamannya Alaric mabu
RINGGG!Suara alarm dari ponsel di atas nakas membuat Callista tersentak kaget mendengarnya. Gadis itu pun mengucek-ngucek mata dan mengerjap beberapa kali. Ia tertegun bingung sewaktu mendapati dirinya sekarang malah berada di atas kasur dengan balutan selimut hangat.“Loh, kenapa aku di sini?” gumamnya keheranan; teringat kalau terakhir kali ia tertidur di kursi meja kerja. Callista celingukan ke sana-kemari dan menemukan ada seseorang yang sedang berdiri di area balkon. Gadis itu cepat-cepat menyibak selimutnya lantas berjalan mendekat.“Alaric …?”Ia pun menoleh ke arah Callista dan tersenyum. “Kau sudah bangun?”“Ya, aku barusan terbangun. Kau sendiri sudah sembuh?” tanyanya seraya kembali memegang kening pria itu—terasa dingin seperti es. “Wow, kelihatannya obatnya bekerja dengan baik.”“Yeah, aku baik-baik saja sekarang. Terima kasih kau tadi sudah mau menolongku, Nona Cale.”Callista mengangguk, tetapi masih ada sedikit kekhawatiran yang terpancar dari matanya. “Kau sedang ap
“Bajingan kikir! Dia pikir nyawa orang bisa dibeli pakai uang?!” Callista menggulung lengan blazernya sembari mengumpat secara terang-terangan. Ia baru saja selesai memaki-maki seorang pria kaya sombong yang ditangkap karena mengendarai mobil ugal-ugalan di jalan. Sebenarnya menegur pelanggar lalu lintas bukanlah tugasnya, tapi gadis itu sudah terlanjur emosi duluan melihat kelakukan tengik pria itu.“Awas saja kalau aku sampai bertemu dia di jalan! Akan kuhajar wajah dungunya itu sampai babak belur!” makinya lagi. Ia menghembuskan napas kasar lalu melirik jam tangannya, sudah pukul lima sore sekarang. Callista pun memutuskan kembali ke ruang kerja timnya lagi untuk beberes. Marah-marah membuatnya jadi malas melanjutkan pekerjaan. Lebih baik sekarang ia pulang, mandi, dan tidur.Tapi sewaktu baru berjalan sekian langkah dari tempat berdiri tadi, ponselnya tahu-tahu berdering. Callista meraba saku celana belakangnya dan sontak menaikkan satu alis begitu melihat siapa yang menelepon.“V
“Maaf, Honey. Saat ini masih belum ada perkembangan yang signifikan lagi. Setelah disuntikan virus yang genetiknya sudah kami rekayasa, orang-orang itu seperti kehilangan kendali atas diri mereka sendiri,” kata Olive ketika Alaric menanyakan tentang keadaan manusia yang digunakan untuk objek eksperimen pada siang hari di rumah sakit.Alaric menghela napas resah. “Aku tidak habis pikir. Sebetulnya apa tujuan Profesor Ignatius melakukan eksperimen ini, dr. Rodriguez? Kau tahu bukan, apa yang kalian lakukan itu sangat tidak manusiawi?”“Ya, aku tahu. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Semua anggota tim penelitian ini sudah terlanjur menandatangani perjanjian kontrak. Kalau kami melanggar, kami bisa dipecat atau bahkan dipenjara.” Olive menundukkan kepala, sedangkan Alaric menyentuh pelipisnya berpikir.“Apa kalian juga membuat obat untuk menyembuhkan orang-orang yang sudah terinfeksi itu?”“Sudah, tetapi tidak ada yang berhasil. Setiap kami merekayasa genetik virus itu, kami juga
“Malvinnn! Apa kau lihat di mana sepatuku?” Alaric berteriak dari ruang tengah dengan suara lantang. Sejak tadi ia terus sibuk mondar-mandir hanya untuk mencari sepatunya yang hilang. Ini adalah kebiasaan buruknya—menaruh barang sembarangan dan ketika hilang, Malvin lah yang terkena imbasnya.Pagi ini pria itu sedang bersiap-siap untuk berangkat bekerja. Ia sudah memakai kemeja, dasi, celana panjang, bahkan sampai kaos kaki. Akan tetapi, tinggal satu hal yang kurang, yaitu sepatu. Ia sudah mencari ke mana-mana, namun anehnya tetap tidak ketemu.Di area dapur Malvin yang baru saja ingin menuang teh spontan menyahut, “Tidak tahu! Waktu pulang kerja kemarin kau taruh di mana?”“Aku taruh di sini, tapi kenapa sekarang malah tidak ada?”“Ck! Cari dulu yang benar,” balasnya. “Coba lihat juga di kamar! Barangkali ada di sana.”“Tidak ada …!”“Ya Tuhan!” Malvin pun menutup toples gulanya dan pergi menghampiri Alaric. “Kau ini kebiasaan. Hampir setiap pagi selalu ribut masalah sepatu.”“Ya maa
“Ini kuncinya, Miss. Mobilmu sudah selesai diperbaiki. Kau bisa langsung menggunakannya lagi setelah ini,” kata seorang montir dari bengkel setempat seraya mengembalikan kunci mobil milik Callista.Gadis itu segera meraihnya dan mengucapkan terima kasih. “Thank you, Sir!” imbuhnya, sedangkan montir tersebut membalas dengan murah senyum.Setelah memastikan kendaraannya selesai diperbaiki, Callista dan Leon pun pergi menuju kasir untuk membayar biaya service. Mereka mengantre sebentar sebelum giliran membayar. “Total semuanya jadi £250, Miss. Sudah termasuk potongan 10% karena kau adalah salah satu pelanggan tetap kami.”“Oh, okey. Thank’s a lot.” Ia membuka tasnya dan mengeluarkan dompet. Namun, Leon yang sedang berdiri di sampingnya dengan gerakan cepat berhasil menempelkan kartunya di mesin kasir duluan. Callista sontak melongo, menatap lelaki itu dengan ekspresi terkejut bercampur bingung. “Sersan, aku baru saja ingin membayarnya ....”“Tidak apa-apa. Tagihannya sudah kubayar.”Ia
Drrt ... Drrt ...Langkah kaki Malvin sontak terhenti ketika ia tak sengaja mendengar ada suara ponsel yang bergetar. Pemuda itu refleks merogoh saku celananya dan melihat menu kotak pesan masuk. Ternyata bukan ponsel miliknya yang bergetar. Ia pun memasukkan telepon genggamnya kembali kemudian lanjut berjalan ke arah kulkas, mencari bahan-bahan untuk membuat Hotpot sebagai sarapan pagi.Hotpot merupakan hidangan yang terdiri dari daging, bawang merah, serta irisan kentang yang dipanggang dengan api kecil. Ia sering membuat makanan itu karena mudah dibuat dan juga praktis.Drrt ... Drrt ...Suara ponsel itu terdengar kembali. Malvin pun menutup pintu kulkas dan memutuskan untuk mencari dari mana sumber suara itu berasal. Di atas meja marmer seberang kabinet dapur, terlihat ada sebuah ponsel yang tergeletak begitu saja. Layar ponsel tersebut berkedip-kedip menyala setiap ada pesan yang masuk.—Sersan Leon: “Callista, aku sudah ada di depan rumahmu.”“Callista?” gumam Malvin yang membac