Setelah mengambil semua barang-barangnya yang tadi disita, Alaric keluar dari kantor polisi tersebut dengan mesra bersama si wanita berambut pirang agar mereka tidak dicurigai. Ia lalu menarik wanita itu ke tempat yang agak sepi untuk meluruskan keadaan.
“Jangan salah paham. Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih padamu,” ujar Alaric. “Yeah, anggap saja itu adalah hadiah dariku karena kau tadi sudah mau bersenang-senang bersamaku, Tuan. Kuakui kau memang ahli, aku sempat merasa seperti jiwaku ikut terisap bersama ciumanmu,” balas wanita itu sambil sedikit terkekeh. Senyuman licik terukir di sudut bibirnya. “Well, untung saja tadi ada temanmu yang memberitahuku. Kalau tidak, mungkin aku tidak bisa membantumu.” “Teman?” “Ya, dia temanmu, bukan?” tanya wanita itu seraya mengedikkan dagu ke arah seseorang yang sedang berjalan menghampiri mereka. “Malvin?” Alaric berkerut heran ketika melihat sosok pria lugu tersebut adalah Malvin Atkinson, asisten pribadinya sendiri. “Kau benar-benar dalam masalah besar, Alaric!” kata Malvin ketika mereka sudah berjarak tiga langkah. “Dari mana kau tahu kalau aku ada di sini?” “Itu tidak penting. Lebih baik sekarang kita pergi dari sini,” balasnya seraya memberikan segepok uang tunai pada wanita berambut pirang tadi. “Thank you, Miss.” Ia lalu menyeret Alaric masuk ke dalam mobilnya yang terparkir tak jauh dari sana. *** “Tunggu, Malvin. Kau dari tadi belum menjelaskannya padaku. Sebenarnya, apa yang sudah terjadi denganku? Kenapa belakangan ini aku terus merasa haus darah?” protes Alaric ketika mereka berdua sudah sampai di rumah. Pria itu menghempaskan diri ke arah sofa panjang yang ada di ruang tamu. “Itu karena tubuhmu mulai kebal dengan obat yang biasa kau pakai,” jawab Malvin sembari menyalakan perapian. Udara sudah mulai terasa jauh lebih dingin sejak bulan-bulan menjelang musim salju. “Kebal bagaimana maksudmu? Aku tidak mengerti.” “Virus V-Type01 yang ada di dalam tubuhmu sudah membuat imun yang membuat obatku jadi tidak bisa bekerja secara maksimal. Kau bisa kapan saja lepas kendali dan menggigit orang lain lagi seperti tadi. Untung saja wanita itu tidak mati. Kalau kau mengisap darahnya sampai habis kau akan mendekam di penjara selama-lamanya!” Alaric mendengkus. “Aku bisa kabur dari sana dengan mudah.” “Ya, tapi kau akan menjadi buronan seumur hidup. Apa kau mau?” “Kalau begitu naikkan saja lagi dosis obatnya. Mudah, bukan?” Malvin memutar bola mata. “Ini tidak semudah yang kau bayangkan, Alaric. Jangan mentang-mentang virus itu tidak menular melalui gigitan kau bisa berbuat seenaknya.” “Jadi apa yang harus kulakukan?” “Kau harus bisa menahannya untuk sementara waktu sampai aku berhasil menemukan obat penawar untuk menyembuhkanmu.” “Itu tidak berhasil. Aku sudah mencoba menahannya dengan meminum wine. Kau tahu, biasanya satu sampai dua gelas saja ampuh untuk menahan rasa haus darahku buat sementara waktu, tapi aku tadi sudah minum lebih dari delapan gelas. Dan tetap saja aku justru semakin haus, apalagi saat wanita berambut pirang itu datang. Dia yang menggodaku duluan,” ujar Alaric sembari memijat-mijat pangkal hidungnya. Malvin beralih menyalakan komputer yang sering ia gunakan untuk meneliti. Di sana terdapat banyak data-data penting tentang perkembangan Virus V-Type01 di tubuh Alaric. “Baiklah. Aku akan menaikkan dosisnya, tapi kau tidak boleh terlalu sering menggunakannya karena aku sendiri juga masih belum tahu pasti apa efek sampingnya jika digunakan dalam jangka panjang. Masalah besar bisa muncul kapan saja. Aku tidak ingin kau menjadi vampir ganas yang berkeliaran mencari mangsa di tengah kota, mengerti?” “Ya, thank's. Lagi pula, aku juga tidak mau sampai menggigit orang sembarangan, apalagi mayat di tempatku bekerja.” Alaric beranjak bangkit dan hendak masuk ke dalam kamar. Namun, langkah kakinya terhenti ketika ia teringat dengan sesuatu hal. “Ah ya, aku hampir lupa. Detektif wanita itu ... siapa namanya? Cale ... Cally? Bukan, Callista! Ya, dia sempat memergokiku saat mengisap darah, Malvin. Apa yang harus kulakukan padanya?” “Jauhi dia. Jangan sampai detektif itu tahu kalau kau adalah seorang vampir.” “Hmm, kurasa bagian itu sudah terlambat. Dia sudah terlanjur tahu kalau aku ini vampir. Aku tadi juga sempat sengaja berubah wujud di hadapannya. Kupikir dia akan takut, tapi ternyata otak gadis itu sepertinya agak miring. Dia bahkan terus mengikuti sejak kemarin. Itulah alasannya mengapa aku bisa tertangkap tadi.” Malvin mengusap wajahnya. “Kau memang cari mati, Alaric!” “Sorry, itu terjadi di luar dugaanku.” *** “Sialan! Ini tidak bisa dibiarkan lagi.” Callista menendang kaki meja dengan perasaan dongkol. Ia terus menggerutu sepanjang malam di kantor polisi karena Inspektur Hugh malah membebaskan Alaric begitu saja. “Seharusnya dia meminta keterangan lebih lanjut!” ocehnya untuk yang kesekian kali. Samantha dan Andrew yang masih ada di ruangan kerja tim sontak melirik Callista dengan wajah penat. Mereka dan anggota tim kepolisian lain memang sering bekerja sampai larut, apalagi jika mendadak ada kasus baru atau permasalahan besar yang belum tuntas. “Cale, apa kau tidak lelah mengumpat semalaman?” sindir Samantha sambil menghembuskan napas bosan. Telinganya sudah terasa panas mendengar kata-kata mutiara yang sejak tadi terlontar dari mulut Callista. “Sam, kau harus percaya padaku! Dia adalah pembunuh berantai yang selama ini kita cari dan pria brengsek itu ... dia juga adalah seorang vampir! Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri!” “Oh, kurasa lebih baik sekarang kau pulang. Sepertinya kau butuh istirahat. Aku akan membantu mengajukan cuti untukmu, Cale.” Callista berdecak kesal. Lalu, menghampiri Andrew yang sedang mengutak-atik komputer kerjanya. “Bagaimana? Sudah ketemu?” Andrew mengangguk. “Ya, sudah ketemu. Ini adalah data diri dari orang yang ingin kau cari.” Callista buru-buru ikut melihat ke layar komputer tersebut. Ia tadi sempat meminta Andrew untuk segera mencari biodata diri Alaric dari data kepolisian. Gadis itu curiga kalau kartu nama yang diberikan Alaric hanyalah sebuah identitas palsu. “Kau bisa lihat sendiri, Nona Cale. Nama, foto, pekerjaan, dan identitas lainnya memang sesuai dengan yang tertera di kartu nama,” kata Andrew sambil menjelaskan. Samantha menggeleng-gelengkan kepala. “Kau memilih target yang salah. Dia adalah seorang dokter!” “Hei, jangan tertipu. Dia itu otak kriminal! Di zaman modern seperti ini ada banyak psikopat yang berkedok sebagai dokter,” bantah Callista. Gadis itu rupanya berpendirian kuat dengan apa yang dilihat dan diyakininya. “Lihat saja, bahkan wajahnya tidak seperti seorang dokter. Siapa tahu dia itu cuma dokter gadungan.” “Ya, dia memang tidak cocok jadi dokter. Wajahnya tampan sekali. Lebih cocok jadi model.” Andrew menggigit rongga dalam pipinya. Tertawa bukanlah reaksi yang bagus untuk saat ini. Callista memasang ekspresi malas. Ia kemudian membaca kembali biodata yang ada di hadapannya secara intens. “Ah, rupanya dia tinggal di sekitar kawasan Royal Mile.” “Kenapa? Kau mau pergi ke sana dan menyelinap masuk ke dalam rumahnya?” “Damn! Ide bagus, Sam!” Callista langsung bersorak girang seolah baru menemukan ide brilian. Samantha pun mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. “Oh, God! Please, I can't hold it anymore.” Bersambung ...Bulan menggantung semakin rendah di kaki langit. Dilihat dari posisinya, pasti sudah melewati puncak malam. Callista berdiri di depan sebuah pagar setinggi tiga meter dari rumah besar yang berada di ujung jalan. Rumah tersebut tampak mewah.Mewah karena yang ada di depan mata gadis itu kini adalah sebongkah bangunan besar berlantai dua dengan pilar-pilar raksasa di sudutnya, undakan marmer di depan pintu, balkon luas di tiap jendela, beserta segala tetek bengek yang menandakan bahwa hanya orang kayalah yang tinggal di sana.Namun, ia berubah pikiran setelah teringat dengan wajah menyebalkan dari si pemilik.“Payah! Rumahnya ternyata suram seperti rumah hantu yang tidak berpenghuni,” ejeknya sambil berkacak pinggang.Setelah beberapa hari ini mengamati model bangunan rumah Alaric, Callista akhirnya menemukan celah untuk bisa menyelinap masuk ke dalam. Tentu ia tidak mungkin menekan bel sambil memasang muka memelas hanya agar diperbolehkan menggeledah tanpa surat izin. Gadis itu lebih s
“Brengsek! Berani-beraninya dia mengatakan reputasiku buruk. Dia pikir dia siapa bisa menghinaku dengan seenaknya?!” Callista menyibak rambutnya sembari menerobos pintu keluar dengan wajah kesal.Gadis itu tidak terima. Ingin sekali ia mematahkan leher Alaric atau mencelupkan kepalanya ke dalam jamban. Pria itu benar-benar membuat pekerjaannya semakin sulit. Bagaimana ia bisa membuat ayahnya bangga kalau satu kasus saja tidak selesai-selesai?Yeah, jangankan kasus besar, kasus kecil pun Callista tidak pernah mendapat kesempatan bagus. Entah karena dirinya hanya kurang kompeten atau karena ia memang sudah ditakdirkan bernasib sial sejak awal.“Kalau tahu begini mending aku buka toko kelontong saja daripada susah payah jadi detektif. Lebih untung!” oceh Callista seraya menggulung lengan blazernya. Ia mendengkus sinis kemudian lanjut berjalan menuju pagar depan. Namun, langkah kakinya sontak terhenti ketika ia melihat ada sebuah mobil mewah berwarna hitam metalik yang terparkir manis di
Callista meraba-raba permukaan nakas yang ada di sebelah ranjang tidurnya, mematikan alarm yang sejak tadi terus berbunyi. Gadis itu akhirnya ketiduran setelah begadang memelototi layar ponselnya semalaman. Ia betul-betul tidak ingin ketinggalan pergerakan Alaric sedikit pun.“Di mana ponselku?” ujar Callista berdialog dengan diri sendiri. Tangan kanannya sibuk menyingkirkan bantal-bantal ke pinggir, sedangkan satu tangan yang lain mengucek-ngucek matanya yang masih sayu. “Oh, di sini ....”Setelah mendapatkan ponselnya, ia pun segera mengecek kembali lokasi mobil Alaric. Kendaraan beroda empat itu kini ternyata sudah berpindah posisi dari sebelumnya. Mobil tersebut sekarang terlihat sedang bergerak menyusuri kawasan Old Town, daerah tertua di Edinburgh.Tanpa pikir panjang lagi, Callista langsung menyambar jaketnya dan menghambur keluar dari kamar.“Morning!” sapa Robert saat melihat Callista berlari tergopoh-gopoh sembari memakai sepatu.“Yeah. Pagi juga, Ayah!” balasnya singkat.“W
“Yuck! What is this?” Samantha menutup hidungnya dengan gerakan mau muntah setelah mengintip bingkisan yang dibawa oleh Callista. “Kau bawa apa itu, Cale? Baunya amis sekali ....”Callista yang baru datang ke kantor polisi langsung menjatuhkan bokongnya ke kursi. Ia melirik sahabatnya sekilas lalu menjawab dengan intonasi datar. “Darah babi.”“DARAH BABI?!” Kedua mata Samantha sontak membelalak. “Buat apa kau bawa-bawa itu kemari?”“Hanya untuk pembuktian.”“Pembuktian apa? Kau tidak melakukan ritual yang macam-macam, bukan?” tebaknya asal. Ia lalu mendekati Callista dengan tatapan memperingatkan. “Aku akan menghajarmu kalau kau sampai ikut sekte sesat atau organisasi penyembah setan, Cale!”“Ck! Kau ini berlebihan sekali. Ngapain juga aku ikut-ikut organisasi seperti itu? Ayahku bisa membunuhku kalau dia tahu aku membelot.”“Lantas untuk pembuktian apa?”“Kau ‘kan tidak percaya padaku kalau dokter gadungan yang kemarin kita tangkap itu adalah vampir! Jadi, ya ... aku hanya ingin memb
“Jadi? Keterangan apa yang kalian butuhkan dariku?” tanya Alaric seraya melirik arlojinya, mulai menghitung mundur dari waktu yang telah ia berikan.“Yeah, begini ....” Callista berdeham, melirik Samantha seraya meletakkan bingkisan yang berisi darah babi tadi ke pinggir sofa—tempat mereka duduk—dengan sangat hati-hati.Alaric ikut memperhatikan setiap gerak-gerik Callista. Mata birunya mengamati bingkisan paper bag berwarna hitam yang dibawa oleh gadis itu secara lekat-lekat.Ia lalu mendengkus. “Ah, kau masih tidak menyerah juga rupanya.”“Menyerah bagaimana? Aku tidak mengerti maksudmu,” balas Callista berpura-pura bingung.“Benarkah? Kau tidak mengerti apa yang kumaksud?”Samantha menatap mereka berdua sembari menggigit bagian dalam bibirnya dengan mimik tegang. “Ehm ... Tuan Theodore, aku minta maaf sebelumnya, kau tadi hanya memberikan waktu 15 menit pada kami. Jadi, bisakah kita sekarang langsung mulai ke intinya saja?” ujarnya, berinisiatif untuk mengalihkan perhatian Alaric.
Samantha sontak terkejut lantas bangkit berdiri. “Cale!”Callista ikut terkejut dan segera menatap Alaric. Namun, anehnya pria itu tak menunjukkan reaksi apapun. Ia hanya menatap genangan darah tersebut dengan raut datar. Callista mengernyitkan wajah heran. Kenapa dia biasa-biasa saja? Kenapa dia tidak berubah menjadi vampir?Selama sekian detik, gadis itu hanya mematung seolah menantikan sesuatu sementara Samantha sendiri gelagapan panik.“Tuan Theodore, kami minta maaf yang sebesar-besarnya. Rumahmu jadi kotor begini. Biar kami berdua yang bantu bersihkan,” katanya tidak enak hati.“Tidak perlu.” Alaric menggeleng. “Well, Miss. Moore, apa kau bisa menunggu di luar sebentar? Ada yang ingin aku bicarakan dulu dengan temanmu secara empat mata.”“Oh, y-ya, tidak masalah. Aku tunggu di mobil saja. Sekali lagi kami mohon maaf.”Alaric mengangguk mengiyakan. Setelah Samantha berjalan keluar, ia pun kembali mengamati Callista yang masih tetap bergeming di tempat.“Sayang sekali. Sepertinya
Malvin yang sudah paham dengan kondisi darurat di hadapannya pun langsung berlari menghampiri Alaric yang masih mengerang kesakitan di lantai. Ia cepat-cepat mengambil suntikan lain dari dalam kamarnya dan meminta Callista untuk segera menyingkir dari sana.“Pergilah! Cepat pergi dari sini!”Callista terkesiap. “Apa yang terjadi dengannya?”“Dia berusaha melawan dirinya sendiri untuk tidak menghisap darahmu! Maka dari itu pergilah! Kau bisa membunuhnya jika masih tetap berdiri di sini!”“Membunuhnya? Tidak, dia tidak boleh mati.” Callista menelan salivanya susah payah. Ia lekas beringsut mundur dan tergesa-gesa keluar dari dalam rumah tersebut; setengah berlari menghampiri mobilnya yang terparkir di luar pagar.“Cale, ada apa?” tanya Samantha begitu dirinya masuk ke dalam mobil. “Barusan aku melihat ada pemuda yang datang sambil membawa belanjaan. Dia tinggal di sini juga?”“Entahlah. Aku tidak tahu, Sam,” balasnya seraya menggeleng kecil.“Kau bawa apa itu?”“Ah, b-bukan apa-apa.” Ia
Seorang pria berkemeja putih dengan bagian lengan baju yang dilipat ke atas terlihat sedang duduk menyendiri di salah satu sudut ruangan. Wajahnya tampak pucat dan dengan napas yang terengah-engah, ia kembali menenggak wine-nya yang entah sudah gelas ke berapa hingga tandas.“Sial! Kenapa masih tidak hilang juga?” gumam Alaric sembari menggigit rahangnya kuat-kuat. Pria itu terus merasa haus yang tak tertahankan. Padahal, biasanya dengan segelas wine saja sudah cukup untuk menghilangkan rasa hausnya untuk sementara waktu.Bartender yang ada di hadapannya pun mengangguk patuh ketika Alaric memberi kode untuk menuangkan wine itu lagi. Namun, sewaktu hendak kembali menenggaknya, ia terkejut saat ada yang menyentuh pundaknya dari belakang.“Hai, sedang menunggu seseorang?” sapa wanita berambut pirang lurus seraya langsung duduk di bangku kosong sebelahnya. “Ingin minum beberapa gelas lagi denganku?”Alaric menatap wanita cantik itu sejenak lantas menaruh gelas wine yang tadi hendak diminu