Bulan menggantung semakin rendah di kaki langit. Dilihat dari posisinya, pasti sudah melewati puncak malam. Callista berdiri di depan sebuah pagar setinggi tiga meter dari rumah besar yang berada di ujung jalan. Rumah tersebut tampak mewah.
Mewah karena yang ada di depan mata gadis itu kini adalah sebongkah bangunan besar berlantai dua dengan pilar-pilar raksasa di sudutnya, undakan marmer di depan pintu, balkon luas di tiap jendela, beserta segala tetek bengek yang menandakan bahwa hanya orang kayalah yang tinggal di sana. Namun, ia berubah pikiran setelah teringat dengan wajah menyebalkan dari si pemilik. “Payah! Rumahnya ternyata suram seperti rumah hantu yang tidak berpenghuni,” ejeknya sambil berkacak pinggang. Setelah beberapa hari ini mengamati model bangunan rumah Alaric, Callista akhirnya menemukan celah untuk bisa menyelinap masuk ke dalam. Tentu ia tidak mungkin menekan bel sambil memasang muka memelas hanya agar diperbolehkan menggeledah tanpa surat izin. Gadis itu lebih senang cara ilegal yang menantang adrenalin ketimbang repot-repot memohon pada Inspektur Hugh cuma demi selembar kertas. Callista melirik arlojinya. Pukul setengah dua dini hari. Waktu yang tepat untuk memulai penyelidikan secara mandiri. “Aku bersumpah akan menyeretmu ke kantor polisi lagi, Dokter gadungan!” tekadnya kemudian mengendap-endap ke tembok belakang rumah Alaric. Ia menoleh ke sana-kemari—barangkali saja ada tetangga yang lewat lalu meneriakinya maling—diraihnya tali karmantel yang telah dibuat simpul. Callista sudah merakitnya sedemikian rupa agar dapat langsung digunakan. Sebelum menjadi detektif—mengikuti jejak sang ayah, dulu ia pernah bercita-cita menjadi atlet panjat tebing. Samantha merupakan satu-satunya saksi atas hal gila apa saja yang sudah pernah dilakukan gadis itu. Setelah memastikan jangkar menempel kuat di balik tembok, Callista pun mulai memanjat naik. Hanya dalam satu kali percobaan, ia langsung berhasil mendarat dengan mulus di sekitar beranda rumah tersebut. Sekarang di hadapannya kini ada sebuah kolam renang. Airnya jernih, namun sedikit muncul bunga es karena suhu udara menjelang musim dingin. Callista berjalan menyusuri pinggir kolam, menuju pintu belakang di dekat sana. Tapi, sayangnya pintu itu telah terkunci rapat. Ia beralih mencari pintu-pintu lain dan ternyata semuanya memang sudah terkunci juga dari dalam. “Sial! Lewat mana lagi kalau begini caranya?” Ia berdecak kemudian melihat ke pilar-pilar. Kebetulan sekali tepat di atas kepalanya ada pegangan besi balkon. Ide cemerlangnya pun muncul. “Memanjat balkon? Kenapa tidak?” Gadis itu kembali meraih tali karmantel kemudian memutar-mutarnya seperti seorang koboi dan melemparnya ke atas sana. Nice shoot! Jangkar kecil di ujung tali itu langsung terpaut ke besi. Ia pun tanpa pikir panjang lagi segera memanjat. Di depan balkon tersebut, ada sepasang jendela yang tertutup gorden tipis. Callista mengintip ke dalam. Lalu, menempelkan telinganya ke jendela. Tidak ada pergerakan apa-apa. Pasti semua penghuni rumah ini sudah tertidur pulas. Callista meraba sudut-sudut kusen jendela dan berusaha membukanya. Kali ini ia sangat beruntung karena bagian itu tidak terkunci. Dengan bersemangat, ia menarik jendela itu dan buru-buru menyelinap masuk ke dalam. Kondisi ruangan yang Callista masuki ternyata sangat gelap gulita. Pantas saja ia tidak bisa melihat apapun tadi. Mungkin ini hanya gudang atau tempat penyimpanan barang tak terpakai. Refleks, tangannya pun segera menyusuri dinding mencari saklar lampu. “Ah, ini dia!” gumamnya setelah menemukan saklar tersebut. Tetapi, begitu lampu menyala terang, Callista terbelalak saat melihat pemandangan yang ada di depannya. “Wah-wah, coba lihat siapa yang datang?” sapa Alaric sembari tersenyum miring. Ia sedang dalam posisi rebahan seperti di pantai, menatap Callista dengan antusias. Pria itu hanya memakai jubah tidur yang talinya sengaja diikat sedikit longgar. “Kau?! Apa yang sedang kau lakukan di sini?” sergah gadis itu panik. “Seharusnya aku yang bertanya padamu. Sedang apa kau di sini? Ini adalah kamar pribadiku,” balas Alaric seraya beranjak turun dari kasur. Wajah Callista seketika merah padam. Persetan! Bisa-bisanya aku salah pilih jendela. Alaric melipat kedua tangannya di depan dada. “Jadi? Apa kau bisa menjelaskan padaku maksud dan tujuanmu datang kemari, Nona penyusup—sorry, maksudku, Nona Cale?” Callista merengut. Harga dirinya anjlok. Ia merasa dirinya seperti seorang penguntit sekaligus penyusup amatiran yang sedang tertangkap basah. Benar-benar menjengkelkan! “Well, kuharap kedatanganmu bukan untuk menjebakku dengan tuduhan yang aneh-aneh.” “Aneh-aneh bagaimana maksudmu?” “Yeah, kau tahu, belakangan ini sedang marak sekali modus pemerasan. Seperti ... karena kau ada di sini, aku dikira menculikmu dengan tuduhan penjahat kelamin. Lalu, kau akan meminta ganti rugi atau malah memenjarakanku jika tidak bisa membayar uang kompensasi sebesar yang kau minta.” “Cih, Dasar sinting!” Callista memasang raut jengkel. “Aku bukan gadis jalang seperti yang kau pikirkan!” “Ya-ya, baiklah. Aku tahu,” balas Alaric sembari manggut-manggut mengerti. Ia kemudian duduk di pinggir kasur lagi dengan santai—membuat kedua alis Callista sontak saling bertautan. “Dengar, Tuan Theodore, kalau kau mengaku sekarang, aku berjanji akan membantu meringankan hukumanmu di pengadilan. Atau kalau kau ingin pengacara terbaik, aku juga bisa mendapatkannya untukmu.” Alaric malah terkekeh. “Buat apa aku menyerahkan diri? Aku tidak membunuh siapa pun. Kau juga lihat sendiri wanita itu masih hidup ... sehat walafiat.” “Tapi korban-korban yang sebelumnya juga pasti itu ulah kau, ‘kan?!” “Oh, jangan asal menuduh. Memangnya kau punya bukti kalau aku yang sudah membunuh korban-korban itu?” balas Alaric. “Apa di TKP kau menemukan sidik jariku? Sehelai rambutku? Atau mungkin jejak sepatuku barangkali?” Callista pun terdiam sembari memutar otak. Semua jasad korban dan kondisi TKP yang ia temukan memang selalu bersih. Tak ada bukti sama sekali. Lalu bagaimana caranya ia bisa menangkap pelaku kalau bukti saja tidak punya? “Kenapa? Apa sekarang kau putus asa karena tidak punya bukti?” ejek Alaric setelah Callista lama terdiam. “Ya, kuakui sekarang aku memang tidak punya bukti. Tapi, lihat saja nanti. Aku tidak akan menyerah sebelum melihat kau ada di balik jeruji!” Pria itu menarik sudut bibirnya ke bawah. “Kalau begitu simpan saja dulu teorimu dan tangkaplah aku saat kau sudah mempunyai bukti-bukti yang kuat. Setidaknya, jangan sampai mempermalukan dirimu sendiri di depan jaksa dan hakim, Nona Cale. Kudengar reputasimu sudah buruk, jadi jangan membuatnya bertambah buruk.” Kedua tangan Callista pun terkepal. Baru kali ini ia dihina oleh seorang pria yang sangat menyebalkan, bahkan ayahnya sendiri tidak pernah menyinggung soal reputasi gadis itu—yang sebenarnya memang sudah buruk dari awal masuk ke akademi kepolisian. “So, apa kau mau menginap di sini? Kebetulan masih ada satu kamar kosong lagi di bawah.” “Tidak. Terima kasih! Aku tidak sudi satu atap dengan pria tengik sepertimu!” tukas Callista seraya menjejakkan kaki, berderap pergi dari sana. “Tengik? Memangnya badanku bau?” Alaric mengerutkan kening seraya mengendus jubah tidurnya. Kemudian, “Hei, kau salah jalan. Pintu keluarnya ada di sebelah kiri!” Bersambung ...“Brengsek! Berani-beraninya dia mengatakan reputasiku buruk. Dia pikir dia siapa bisa menghinaku dengan seenaknya?!” Callista menyibak rambutnya sembari menerobos pintu keluar dengan wajah kesal.Gadis itu tidak terima. Ingin sekali ia mematahkan leher Alaric atau mencelupkan kepalanya ke dalam jamban. Pria itu benar-benar membuat pekerjaannya semakin sulit. Bagaimana ia bisa membuat ayahnya bangga kalau satu kasus saja tidak selesai-selesai?Yeah, jangankan kasus besar, kasus kecil pun Callista tidak pernah mendapat kesempatan bagus. Entah karena dirinya hanya kurang kompeten atau karena ia memang sudah ditakdirkan bernasib sial sejak awal.“Kalau tahu begini mending aku buka toko kelontong saja daripada susah payah jadi detektif. Lebih untung!” oceh Callista seraya menggulung lengan blazernya. Ia mendengkus sinis kemudian lanjut berjalan menuju pagar depan. Namun, langkah kakinya sontak terhenti ketika ia melihat ada sebuah mobil mewah berwarna hitam metalik yang terparkir manis di
Callista meraba-raba permukaan nakas yang ada di sebelah ranjang tidurnya, mematikan alarm yang sejak tadi terus berbunyi. Gadis itu akhirnya ketiduran setelah begadang memelototi layar ponselnya semalaman. Ia betul-betul tidak ingin ketinggalan pergerakan Alaric sedikit pun.“Di mana ponselku?” ujar Callista berdialog dengan diri sendiri. Tangan kanannya sibuk menyingkirkan bantal-bantal ke pinggir, sedangkan satu tangan yang lain mengucek-ngucek matanya yang masih sayu. “Oh, di sini ....”Setelah mendapatkan ponselnya, ia pun segera mengecek kembali lokasi mobil Alaric. Kendaraan beroda empat itu kini ternyata sudah berpindah posisi dari sebelumnya. Mobil tersebut sekarang terlihat sedang bergerak menyusuri kawasan Old Town, daerah tertua di Edinburgh.Tanpa pikir panjang lagi, Callista langsung menyambar jaketnya dan menghambur keluar dari kamar.“Morning!” sapa Robert saat melihat Callista berlari tergopoh-gopoh sembari memakai sepatu.“Yeah. Pagi juga, Ayah!” balasnya singkat.“W
“Yuck! What is this?” Samantha menutup hidungnya dengan gerakan mau muntah setelah mengintip bingkisan yang dibawa oleh Callista. “Kau bawa apa itu, Cale? Baunya amis sekali ....”Callista yang baru datang ke kantor polisi langsung menjatuhkan bokongnya ke kursi. Ia melirik sahabatnya sekilas lalu menjawab dengan intonasi datar. “Darah babi.”“DARAH BABI?!” Kedua mata Samantha sontak membelalak. “Buat apa kau bawa-bawa itu kemari?”“Hanya untuk pembuktian.”“Pembuktian apa? Kau tidak melakukan ritual yang macam-macam, bukan?” tebaknya asal. Ia lalu mendekati Callista dengan tatapan memperingatkan. “Aku akan menghajarmu kalau kau sampai ikut sekte sesat atau organisasi penyembah setan, Cale!”“Ck! Kau ini berlebihan sekali. Ngapain juga aku ikut-ikut organisasi seperti itu? Ayahku bisa membunuhku kalau dia tahu aku membelot.”“Lantas untuk pembuktian apa?”“Kau ‘kan tidak percaya padaku kalau dokter gadungan yang kemarin kita tangkap itu adalah vampir! Jadi, ya ... aku hanya ingin memb
“Jadi? Keterangan apa yang kalian butuhkan dariku?” tanya Alaric seraya melirik arlojinya, mulai menghitung mundur dari waktu yang telah ia berikan.“Yeah, begini ....” Callista berdeham, melirik Samantha seraya meletakkan bingkisan yang berisi darah babi tadi ke pinggir sofa—tempat mereka duduk—dengan sangat hati-hati.Alaric ikut memperhatikan setiap gerak-gerik Callista. Mata birunya mengamati bingkisan paper bag berwarna hitam yang dibawa oleh gadis itu secara lekat-lekat.Ia lalu mendengkus. “Ah, kau masih tidak menyerah juga rupanya.”“Menyerah bagaimana? Aku tidak mengerti maksudmu,” balas Callista berpura-pura bingung.“Benarkah? Kau tidak mengerti apa yang kumaksud?”Samantha menatap mereka berdua sembari menggigit bagian dalam bibirnya dengan mimik tegang. “Ehm ... Tuan Theodore, aku minta maaf sebelumnya, kau tadi hanya memberikan waktu 15 menit pada kami. Jadi, bisakah kita sekarang langsung mulai ke intinya saja?” ujarnya, berinisiatif untuk mengalihkan perhatian Alaric.
Samantha sontak terkejut lantas bangkit berdiri. “Cale!”Callista ikut terkejut dan segera menatap Alaric. Namun, anehnya pria itu tak menunjukkan reaksi apapun. Ia hanya menatap genangan darah tersebut dengan raut datar. Callista mengernyitkan wajah heran. Kenapa dia biasa-biasa saja? Kenapa dia tidak berubah menjadi vampir?Selama sekian detik, gadis itu hanya mematung seolah menantikan sesuatu sementara Samantha sendiri gelagapan panik.“Tuan Theodore, kami minta maaf yang sebesar-besarnya. Rumahmu jadi kotor begini. Biar kami berdua yang bantu bersihkan,” katanya tidak enak hati.“Tidak perlu.” Alaric menggeleng. “Well, Miss. Moore, apa kau bisa menunggu di luar sebentar? Ada yang ingin aku bicarakan dulu dengan temanmu secara empat mata.”“Oh, y-ya, tidak masalah. Aku tunggu di mobil saja. Sekali lagi kami mohon maaf.”Alaric mengangguk mengiyakan. Setelah Samantha berjalan keluar, ia pun kembali mengamati Callista yang masih tetap bergeming di tempat.“Sayang sekali. Sepertinya
Malvin yang sudah paham dengan kondisi darurat di hadapannya pun langsung berlari menghampiri Alaric yang masih mengerang kesakitan di lantai. Ia cepat-cepat mengambil suntikan lain dari dalam kamarnya dan meminta Callista untuk segera menyingkir dari sana.“Pergilah! Cepat pergi dari sini!”Callista terkesiap. “Apa yang terjadi dengannya?”“Dia berusaha melawan dirinya sendiri untuk tidak menghisap darahmu! Maka dari itu pergilah! Kau bisa membunuhnya jika masih tetap berdiri di sini!”“Membunuhnya? Tidak, dia tidak boleh mati.” Callista menelan salivanya susah payah. Ia lekas beringsut mundur dan tergesa-gesa keluar dari dalam rumah tersebut; setengah berlari menghampiri mobilnya yang terparkir di luar pagar.“Cale, ada apa?” tanya Samantha begitu dirinya masuk ke dalam mobil. “Barusan aku melihat ada pemuda yang datang sambil membawa belanjaan. Dia tinggal di sini juga?”“Entahlah. Aku tidak tahu, Sam,” balasnya seraya menggeleng kecil.“Kau bawa apa itu?”“Ah, b-bukan apa-apa.” Ia
Seorang pria berkemeja putih dengan bagian lengan baju yang dilipat ke atas terlihat sedang duduk menyendiri di salah satu sudut ruangan. Wajahnya tampak pucat dan dengan napas yang terengah-engah, ia kembali menenggak wine-nya yang entah sudah gelas ke berapa hingga tandas.“Sial! Kenapa masih tidak hilang juga?” gumam Alaric sembari menggigit rahangnya kuat-kuat. Pria itu terus merasa haus yang tak tertahankan. Padahal, biasanya dengan segelas wine saja sudah cukup untuk menghilangkan rasa hausnya untuk sementara waktu.Bartender yang ada di hadapannya pun mengangguk patuh ketika Alaric memberi kode untuk menuangkan wine itu lagi. Namun, sewaktu hendak kembali menenggaknya, ia terkejut saat ada yang menyentuh pundaknya dari belakang.“Hai, sedang menunggu seseorang?” sapa wanita berambut pirang lurus seraya langsung duduk di bangku kosong sebelahnya. “Ingin minum beberapa gelas lagi denganku?”Alaric menatap wanita cantik itu sejenak lantas menaruh gelas wine yang tadi hendak diminu
Hei, kau ini sudah gila, ya? adalah sebuah kalimat yang setiap hari dilontarkan oleh Samantha Moore pada Callista. Entah karena gigih atau lebih bermodalkan nekat, Callista selalu berhasil membuat sahabat sekaligus rekan satu timnya kewalahan, apalagi sejak mereka diberi tugas untuk memecahkan sebuah kasus pembunuhan berantai yang sudah terjadi di Kota Edinburgh selama beberapa tahun terakhir.“Berhentilah mengomel, Sam! Lebih baik sekarang kau membantuku mengawasi keadaan!” tukas Callista sembari mengobrak-abrik isi tas yang ada di bagian jok belakang mobil.“Oh, Cale! Aku setiap hari berdoa pada Tuhan untuk diberi umur panjang, tapi kau malah rela mempertaruhkan nyawa hanya demi beberapa lembar uang! Gaji kita itu kecil! Apa kau tidak ingin mencari pekerjaan lain yang lebih menjamin masa depan kita?” balas Samantha frustasi.“Tidak. Aku tidak akan berhenti sebelum berhasil menangkap vampir keparat itu! Aku yakin dia adalah pembunuhnya!”“Kau benar-benar sudah tidak waras. Mana ada v