Bulan menggantung semakin rendah di kaki langit. Dilihat dari posisinya, pasti sudah melewati puncak malam. Callista berdiri di depan sebuah pagar setinggi tiga meter dari rumah besar yang berada di ujung jalan. Rumah tersebut tampak mewah.
Mewah karena yang ada di depan mata gadis itu kini adalah sebongkah bangunan besar berlantai dua dengan pilar-pilar raksasa di sudutnya, undakan marmer di depan pintu, balkon luas di tiap jendela, beserta segala tetek bengek yang menandakan bahwa hanya orang kayalah yang tinggal di sana. Namun, ia berubah pikiran setelah teringat dengan wajah menyebalkan dari si pemilik. “Payah! Rumahnya ternyata suram seperti rumah hantu yang tidak berpenghuni,” ejeknya sambil berkacak pinggang. Setelah beberapa hari ini mengamati model bangunan rumah Alaric, Callista akhirnya menemukan celah untuk bisa menyelinap masuk ke dalam. Tentu ia tidak mungkin menekan bel sambil memasang muka memelas hanya agar diperbolehkan menggeledah tanpa surat izin. Gadis itu lebih senang cara ilegal yang menantang adrenalin ketimbang repot-repot memohon pada Inspektur Hugh cuma demi selembar kertas. Callista melirik arlojinya. Pukul setengah dua dini hari. Waktu yang tepat untuk memulai penyelidikan secara mandiri. “Aku bersumpah akan menyeretmu ke kantor polisi lagi, Dokter gadungan!” tekadnya kemudian mengendap-endap ke tembok belakang rumah Alaric. Ia menoleh ke sana-kemari—barangkali saja ada tetangga yang lewat lalu meneriakinya maling—diraihnya tali karmantel yang telah dibuat simpul. Callista sudah merakitnya sedemikian rupa agar dapat langsung digunakan. Sebelum menjadi detektif—mengikuti jejak sang ayah, dulu ia pernah bercita-cita menjadi atlet panjat tebing. Samantha merupakan satu-satunya saksi atas hal gila apa saja yang sudah pernah dilakukan gadis itu. Setelah memastikan jangkar menempel kuat di balik tembok, Callista pun mulai memanjat naik. Hanya dalam satu kali percobaan, ia langsung berhasil mendarat dengan mulus di sekitar beranda rumah tersebut. Sekarang di hadapannya kini ada sebuah kolam renang. Airnya jernih, namun sedikit muncul bunga es karena suhu udara menjelang musim dingin. Callista berjalan menyusuri pinggir kolam, menuju pintu belakang di dekat sana. Tapi, sayangnya pintu itu telah terkunci rapat. Ia beralih mencari pintu-pintu lain dan ternyata semuanya memang sudah terkunci juga dari dalam. “Sial! Lewat mana lagi kalau begini caranya?” Ia berdecak kemudian melihat ke pilar-pilar. Kebetulan sekali tepat di atas kepalanya ada pegangan besi balkon. Ide cemerlangnya pun muncul. “Memanjat balkon? Kenapa tidak?” Gadis itu kembali meraih tali karmantel kemudian memutar-mutarnya seperti seorang koboi dan melemparnya ke atas sana. Nice shoot! Jangkar kecil di ujung tali itu langsung terpaut ke besi. Ia pun tanpa pikir panjang lagi segera memanjat. Di depan balkon tersebut, ada sepasang jendela yang tertutup gorden tipis. Callista mengintip ke dalam. Lalu, menempelkan telinganya ke jendela. Tidak ada pergerakan apa-apa. Pasti semua penghuni rumah ini sudah tertidur pulas. Callista meraba sudut-sudut kusen jendela dan berusaha membukanya. Kali ini ia sangat beruntung karena bagian itu tidak terkunci. Dengan bersemangat, ia menarik jendela itu dan buru-buru menyelinap masuk ke dalam. Kondisi ruangan yang Callista masuki ternyata sangat gelap gulita. Pantas saja ia tidak bisa melihat apapun tadi. Mungkin ini hanya gudang atau tempat penyimpanan barang tak terpakai. Refleks, tangannya pun segera menyusuri dinding mencari saklar lampu. “Ah, ini dia!” gumamnya setelah menemukan saklar tersebut. Tetapi, begitu lampu menyala terang, Callista terbelalak saat melihat pemandangan yang ada di depannya. “Wah-wah, coba lihat siapa yang datang?” sapa Alaric sembari tersenyum miring. Ia sedang dalam posisi rebahan seperti di pantai, menatap Callista dengan antusias. Pria itu hanya memakai jubah tidur yang talinya sengaja diikat sedikit longgar. “Kau?! Apa yang sedang kau lakukan di sini?” sergah gadis itu panik. “Seharusnya aku yang bertanya padamu. Sedang apa kau di sini? Ini adalah kamar pribadiku,” balas Alaric seraya beranjak turun dari kasur. Wajah Callista seketika merah padam. Persetan! Bisa-bisanya aku salah pilih jendela. Alaric melipat kedua tangannya di depan dada. “Jadi? Apa kau bisa menjelaskan padaku maksud dan tujuanmu datang kemari, Nona penyusup—sorry, maksudku, Nona Cale?” Callista merengut. Harga dirinya anjlok. Ia merasa dirinya seperti seorang penguntit sekaligus penyusup amatiran yang sedang tertangkap basah. Benar-benar menjengkelkan! “Well, kuharap kedatanganmu bukan untuk menjebakku dengan tuduhan yang aneh-aneh.” “Aneh-aneh bagaimana maksudmu?” “Yeah, kau tahu, belakangan ini sedang marak sekali modus pemerasan. Seperti ... karena kau ada di sini, aku dikira menculikmu dengan tuduhan penjahat kelamin. Lalu, kau akan meminta ganti rugi atau malah memenjarakanku jika tidak bisa membayar uang kompensasi sebesar yang kau minta.” “Cih, Dasar sinting!” Callista memasang raut jengkel. “Aku bukan gadis jalang seperti yang kau pikirkan!” “Ya-ya, baiklah. Aku tahu,” balas Alaric sembari manggut-manggut mengerti. Ia kemudian duduk di pinggir kasur lagi dengan santai—membuat kedua alis Callista sontak saling bertautan. “Dengar, Tuan Theodore, kalau kau mengaku sekarang, aku berjanji akan membantu meringankan hukumanmu di pengadilan. Atau kalau kau ingin pengacara terbaik, aku juga bisa mendapatkannya untukmu.” Alaric malah terkekeh. “Buat apa aku menyerahkan diri? Aku tidak membunuh siapa pun. Kau juga lihat sendiri wanita itu masih hidup ... sehat walafiat.” “Tapi korban-korban yang sebelumnya juga pasti itu ulah kau, ‘kan?!” “Oh, jangan asal menuduh. Memangnya kau punya bukti kalau aku yang sudah membunuh korban-korban itu?” balas Alaric. “Apa di TKP kau menemukan sidik jariku? Sehelai rambutku? Atau mungkin jejak sepatuku barangkali?” Callista pun terdiam sembari memutar otak. Semua jasad korban dan kondisi TKP yang ia temukan memang selalu bersih. Tak ada bukti sama sekali. Lalu bagaimana caranya ia bisa menangkap pelaku kalau bukti saja tidak punya? “Kenapa? Apa sekarang kau putus asa karena tidak punya bukti?” ejek Alaric setelah Callista lama terdiam. “Ya, kuakui sekarang aku memang tidak punya bukti. Tapi, lihat saja nanti. Aku tidak akan menyerah sebelum melihat kau ada di balik jeruji!” Pria itu menarik sudut bibirnya ke bawah. “Kalau begitu simpan saja dulu teorimu dan tangkaplah aku saat kau sudah mempunyai bukti-bukti yang kuat. Setidaknya, jangan sampai mempermalukan dirimu sendiri di depan jaksa dan hakim, Nona Cale. Kudengar reputasimu sudah buruk, jadi jangan membuatnya bertambah buruk.” Kedua tangan Callista pun terkepal. Baru kali ini ia dihina oleh seorang pria yang sangat menyebalkan, bahkan ayahnya sendiri tidak pernah menyinggung soal reputasi gadis itu—yang sebenarnya memang sudah buruk dari awal masuk ke akademi kepolisian. “So, apa kau mau menginap di sini? Kebetulan masih ada satu kamar kosong lagi di bawah.” “Tidak. Terima kasih! Aku tidak sudi satu atap dengan pria tengik sepertimu!” tukas Callista seraya menjejakkan kaki, berderap pergi dari sana. “Tengik? Memangnya badanku bau?” Alaric mengerutkan kening seraya mengendus jubah tidurnya. Kemudian, “Hei, kau salah jalan. Pintu keluarnya ada di sebelah kiri!” Bersambung ...“Brengsek! Berani-beraninya dia mengatakan reputasiku buruk. Dia pikir dia siapa bisa menghinaku dengan seenaknya?!” Callista menyibak rambutnya sembari menerobos pintu keluar dengan wajah kesal.Gadis itu tidak terima. Ingin sekali ia mematahkan leher Alaric atau mencelupkan kepalanya ke dalam jamban. Pria itu benar-benar membuat pekerjaannya semakin sulit. Bagaimana ia bisa membuat ayahnya bangga kalau satu kasus saja tidak selesai-selesai?Yeah, jangankan kasus besar, kasus kecil pun Callista tidak pernah mendapat kesempatan bagus. Entah karena dirinya hanya kurang kompeten atau karena ia memang sudah ditakdirkan bernasib sial sejak awal.“Kalau tahu begini mending aku buka toko kelontong saja daripada susah payah jadi detektif. Lebih untung!” oceh Callista seraya menggulung lengan blazernya. Ia mendengkus sinis kemudian lanjut berjalan menuju pagar depan. Namun, langkah kakinya sontak terhenti ketika ia melihat ada sebuah mobil mewah berwarna hitam metalik yang terparkir manis di
Callista meraba-raba permukaan nakas yang ada di sebelah ranjang tidurnya, mematikan alarm yang sejak tadi terus berbunyi. Gadis itu akhirnya ketiduran setelah begadang memelototi layar ponselnya semalaman. Ia betul-betul tidak ingin ketinggalan pergerakan Alaric sedikit pun.“Di mana ponselku?” ujar Callista berdialog dengan diri sendiri. Tangan kanannya sibuk menyingkirkan bantal-bantal ke pinggir, sedangkan satu tangan yang lain mengucek-ngucek matanya yang masih sayu. “Oh, di sini ....”Setelah mendapatkan ponselnya, ia pun segera mengecek kembali lokasi mobil Alaric. Kendaraan beroda empat itu kini ternyata sudah berpindah posisi dari sebelumnya. Mobil tersebut sekarang terlihat sedang bergerak menyusuri kawasan Old Town, daerah tertua di Edinburgh.Tanpa pikir panjang lagi, Callista langsung menyambar jaketnya dan menghambur keluar dari kamar.“Morning!” sapa Robert saat melihat Callista berlari tergopoh-gopoh sembari memakai sepatu.“Yeah. Pagi juga, Ayah!” balasnya singkat.“W
“Yuck! What is this?” Samantha menutup hidungnya dengan gerakan mau muntah setelah mengintip bingkisan yang dibawa oleh Callista. “Kau bawa apa itu, Cale? Baunya amis sekali ....”Callista yang baru datang ke kantor polisi langsung menjatuhkan bokongnya ke kursi. Ia melirik sahabatnya sekilas lalu menjawab dengan intonasi datar. “Darah babi.”“DARAH BABI?!” Kedua mata Samantha sontak membelalak. “Buat apa kau bawa-bawa itu kemari?”“Hanya untuk pembuktian.”“Pembuktian apa? Kau tidak melakukan ritual yang macam-macam, bukan?” tebaknya asal. Ia lalu mendekati Callista dengan tatapan memperingatkan. “Aku akan menghajarmu kalau kau sampai ikut sekte sesat atau organisasi penyembah setan, Cale!”“Ck! Kau ini berlebihan sekali. Ngapain juga aku ikut-ikut organisasi seperti itu? Ayahku bisa membunuhku kalau dia tahu aku membelot.”“Lantas untuk pembuktian apa?”“Kau ‘kan tidak percaya padaku kalau dokter gadungan yang kemarin kita tangkap itu adalah vampir! Jadi, ya ... aku hanya ingin memb
“Jadi? Keterangan apa yang kalian butuhkan dariku?” tanya Alaric seraya melirik arlojinya, mulai menghitung mundur dari waktu yang telah ia berikan.“Yeah, begini ....” Callista berdeham, melirik Samantha seraya meletakkan bingkisan yang berisi darah babi tadi ke pinggir sofa—tempat mereka duduk—dengan sangat hati-hati.Alaric ikut memperhatikan setiap gerak-gerik Callista. Mata birunya mengamati bingkisan paper bag berwarna hitam yang dibawa oleh gadis itu secara lekat-lekat.Ia lalu mendengkus. “Ah, kau masih tidak menyerah juga rupanya.”“Menyerah bagaimana? Aku tidak mengerti maksudmu,” balas Callista berpura-pura bingung.“Benarkah? Kau tidak mengerti apa yang kumaksud?”Samantha menatap mereka berdua sembari menggigit bagian dalam bibirnya dengan mimik tegang. “Ehm ... Tuan Theodore, aku minta maaf sebelumnya, kau tadi hanya memberikan waktu 15 menit pada kami. Jadi, bisakah kita sekarang langsung mulai ke intinya saja?” ujarnya, berinisiatif untuk mengalihkan perhatian Alaric.
Samantha sontak terkejut lantas bangkit berdiri. “Cale!”Callista ikut terkejut dan segera menatap Alaric. Namun, anehnya pria itu tak menunjukkan reaksi apapun. Ia hanya menatap genangan darah tersebut dengan raut datar. Callista mengernyitkan wajah heran. Kenapa dia biasa-biasa saja? Kenapa dia tidak berubah menjadi vampir?Selama sekian detik, gadis itu hanya mematung seolah menantikan sesuatu sementara Samantha sendiri gelagapan panik.“Tuan Theodore, kami minta maaf yang sebesar-besarnya. Rumahmu jadi kotor begini. Biar kami berdua yang bantu bersihkan,” katanya tidak enak hati.“Tidak perlu.” Alaric menggeleng. “Well, Miss. Moore, apa kau bisa menunggu di luar sebentar? Ada yang ingin aku bicarakan dulu dengan temanmu secara empat mata.”“Oh, y-ya, tidak masalah. Aku tunggu di mobil saja. Sekali lagi kami mohon maaf.”Alaric mengangguk mengiyakan. Setelah Samantha berjalan keluar, ia pun kembali mengamati Callista yang masih tetap bergeming di tempat.“Sayang sekali. Sepertinya
Malvin yang sudah paham dengan kondisi darurat di hadapannya pun langsung berlari menghampiri Alaric yang masih mengerang kesakitan di lantai. Ia cepat-cepat mengambil suntikan lain dari dalam kamarnya dan meminta Callista untuk segera menyingkir dari sana.“Pergilah! Cepat pergi dari sini!”Callista terkesiap. “Apa yang terjadi dengannya?”“Dia berusaha melawan dirinya sendiri untuk tidak menghisap darahmu! Maka dari itu pergilah! Kau bisa membunuhnya jika masih tetap berdiri di sini!”“Membunuhnya? Tidak, dia tidak boleh mati.” Callista menelan salivanya susah payah. Ia lekas beringsut mundur dan tergesa-gesa keluar dari dalam rumah tersebut; setengah berlari menghampiri mobilnya yang terparkir di luar pagar.“Cale, ada apa?” tanya Samantha begitu dirinya masuk ke dalam mobil. “Barusan aku melihat ada pemuda yang datang sambil membawa belanjaan. Dia tinggal di sini juga?”“Entahlah. Aku tidak tahu, Sam,” balasnya seraya menggeleng kecil.“Kau bawa apa itu?”“Ah, b-bukan apa-apa.” Ia
“Sial. Sial. Sial. Kenapa malah kepencet, sih?!” Callista buru-buru mematikan panggilannya yang sudah sempat berdering beberapa kali. Ia tidak bisa membayangkan mau taruh di mana mukanya jika Alaric tahu kalau ia yang menghubungi duluan karena merasa khawatir.Gadis itu kemudian melempar ponselnya ke atas meja sembari menggigiti kuku dengan panik. Tetapi sedetik kemudian, tiba-tiba saja ada panggilan dari nomor tak dikenal yang masuk. Ia pun langsung menyambar ponselnya kembali, melihat siapa yang menelepon.“Halo, Nona Cale!” sapa Andrew begitu Callista mengangkat panggilannya.“Andrew? Ugh, kau ini mengagetkanku saja! Kukira tadi siapa,” sahutnya sembari menghembuskan napas lega.Pemuda itu malah nyengir lebar. “Maaf. Aku tidak bermaksud untuk mengagetkanmu, Nona Cale. Aku barusan hanya ingin memberitahumu kalau ini adalah nomor baruku. Ponselku yang kemarin hilang dicuri orang.”“Apa? Dicuri orang? Bagaimana bisa?”“Entahlah. Kemarin aku sempat naik bus yang lumayan ramai penumpang
Edinburgh, 26 December 1932.Margareth Theodore, itulah nama yang tercantum pada name tag dari seorang wanita berambut cokelat gelap dengan mata biru jernih yang sedang berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Perutnya yang kini sudah mulai membuncit membuat suasana hatinya semakin hari semakin bertambah bahagia. Karena tidak lama lagi, ia akan menjadi seorang ibu.“Sayang, kenapa kau belum pulang? Aku sudah bilang padamu lebih baik kau beristirahat saja di rumah. Biar aku yang melanjutkan penelitiannya.” Damien segera menghampiri istrinya yang justru kembali ke laboratorium. Ia langsung sigap menggandeng tangan Margareth dan memintanya untuk duduk dengan hati-hati.Margareth hanya tersenyum manis. “Aku tidak ingin membiarkanmu bekerja sendirian semalaman di sini. Aku baru akan pulang kalau kau juga pulang.”“Tapi nanti kau bisa kelelahan. Aku tidak ingin anak kita sampai kenapa-kenapa.” Damien menghela napas. Tangannya beralih mengusap perut istrinya dengan lembut.“Kau tidak perlu kha
Orang itu membuka tudung jubahnya sembari menyeringai. “Apa kabar, dr. Huggins? Kau masih ingat denganku? Sudah lama kita tidak bertemu sejak prosedur autopsi terakhir kali.”dr. Huggins berpegangan pada nakas di belakangnya. Mata merah dan kulit putih pucat kedua makhluk tersebut membuat tungkainya seketika lemas seolah tak bersendi. Salah satu vampir berambut pirang yang bernama Draco itu pun membuka buku kecil—bertuliskan BRITISH PASSPORT—yang sedang dipegangnya tadi. Ia mengambil tiket pesawat yang terselip di sana.ECONOMY CLASSFrom: Edinburgh – ScotlandTo : Bukares – Romania“Wah-wah, coba lihat! Sepertinya kau memiliki rencana liburan ke luar negeri hari ini. Apa kau tidak berniat mengajak kami?”dr. Huggins menggeleng cepat. “T-tidak. Kembalikan ... kembalikan benda itu padaku!”“Seharusnya kalau kau ingin pergi berlibur, kau tinggal katakan saja pada tuanku, dr. Huggins. Dia bisa membelikanmu tiket pesawat business class yang paling mahal dan kami juga akan dengan sangat s
128 Calton Road, Block 4A.Leon menatap secarik kertas yang dipegangnya dengan cermat. Laki-laki itu kemudian berjalan mendekati sebuah rumah bangunan kuno berlantai dua yang berjarak selang beberapa meter di hadapannya. Ia baru saja mendapatkan alamat tempat tinggal dr. Huggins dari Andrew dan memutuskan untuk segera menemui dokter forensik itu. Setelah menganalisis semua arsip yang diberikan oleh Samantha kemarin, Leon semakin yakin ada sesuatu yang tidak beres, terutama dengan seluruh laporan hasil autopsi yang ada.Menurutnya, laporan itu terkesan cukup tidak masuk akal serta patut dipertanyakan kembali keabsahannya. Semua orang yang bersangkutan harus diperiksa tanpa terkecuali. Dan karena sekarang kasus ini juga sudah menjadi tanggung jawabnya, ia tentu memiliki wewenang untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut.RUMAH INI DIJUAL. SILAKAN HUBUNGI NOMOR PERANTARA DI BAWAH UNTUK MENDAPATKAN INFORMASI LEBIH LANJUT.Leon mengerutkan kening ketika melihat plang bertuliskan FOR SALE
Callista pun menggelengkan kepala untuk mengenyahkan pikiran kotornya yang berkecamuk.“Nona Cale?” ujar Alaric membuat dirinya terkesiap.“Ugh, ya? Ada apa?”“Kau mau minum wine juga?”“Tidak.”“Lalu kenapa kau terus menatapku seperti itu?”“Aku ... aku tidak menatapmu,” sangkalnya panik. Ia mengerjap beberapa kali sambil mencari alasan. “Tadi aku cuma sedang ... eh ... anu ... gelas wine-mu bagus. Kau beli di mana?”Alaric memiringkan kepala dan menoleh ke gelas yang sedang dipegangnya. “Oh, ini aku memesannya secara khusus. Gelas ini terbuat dari kristal yang diproduksi oleh ahli profesional di Slovakia. Waktu itu aku beli satu buah gelas ini dengan harga sekitar £280 karena termasuk edisi spesial.”“Satu gelas ini harganya £280?!”“Yeah, kau mau beli?”Callista menggeleng cepat. “Sorry, aku tidak ingin menghabiskan uang gajianku hanya untuk sebuah gelas. Lagi pula, memangnya kau tidak mabuk minum wine terus-terusan?”Malvin tiba-tiba malah terbahak. “Tidak ada zamannya Alaric mabu
RINGGG!Suara alarm dari ponsel di atas nakas membuat Callista tersentak kaget mendengarnya. Gadis itu pun mengucek-ngucek mata dan mengerjap beberapa kali. Ia tertegun bingung sewaktu mendapati dirinya sekarang malah berada di atas kasur dengan balutan selimut hangat.“Loh, kenapa aku di sini?” gumamnya keheranan; teringat kalau terakhir kali ia tertidur di kursi meja kerja. Callista celingukan ke sana-kemari dan menemukan ada seseorang yang sedang berdiri di area balkon. Gadis itu cepat-cepat menyibak selimutnya lantas berjalan mendekat.“Alaric …?”Ia pun menoleh ke arah Callista dan tersenyum. “Kau sudah bangun?”“Ya, aku barusan terbangun. Kau sendiri sudah sembuh?” tanyanya seraya kembali memegang kening pria itu—terasa dingin seperti es. “Wow, kelihatannya obatnya bekerja dengan baik.”“Yeah, aku baik-baik saja sekarang. Terima kasih kau tadi sudah mau menolongku, Nona Cale.”Callista mengangguk, tetapi masih ada sedikit kekhawatiran yang terpancar dari matanya. “Kau sedang ap
“Bajingan kikir! Dia pikir nyawa orang bisa dibeli pakai uang?!” Callista menggulung lengan blazernya sembari mengumpat secara terang-terangan. Ia baru saja selesai memaki-maki seorang pria kaya sombong yang ditangkap karena mengendarai mobil ugal-ugalan di jalan. Sebenarnya menegur pelanggar lalu lintas bukanlah tugasnya, tapi gadis itu sudah terlanjur emosi duluan melihat kelakukan tengik pria itu.“Awas saja kalau aku sampai bertemu dia di jalan! Akan kuhajar wajah dungunya itu sampai babak belur!” makinya lagi. Ia menghembuskan napas kasar lalu melirik jam tangannya, sudah pukul lima sore sekarang. Callista pun memutuskan kembali ke ruang kerja timnya lagi untuk beberes. Marah-marah membuatnya jadi malas melanjutkan pekerjaan. Lebih baik sekarang ia pulang, mandi, dan tidur.Tapi sewaktu baru berjalan sekian langkah dari tempat berdiri tadi, ponselnya tahu-tahu berdering. Callista meraba saku celana belakangnya dan sontak menaikkan satu alis begitu melihat siapa yang menelepon.“V
“Maaf, Honey. Saat ini masih belum ada perkembangan yang signifikan lagi. Setelah disuntikan virus yang genetiknya sudah kami rekayasa, orang-orang itu seperti kehilangan kendali atas diri mereka sendiri,” kata Olive ketika Alaric menanyakan tentang keadaan manusia yang digunakan untuk objek eksperimen pada siang hari di rumah sakit.Alaric menghela napas resah. “Aku tidak habis pikir. Sebetulnya apa tujuan Profesor Ignatius melakukan eksperimen ini, dr. Rodriguez? Kau tahu bukan, apa yang kalian lakukan itu sangat tidak manusiawi?”“Ya, aku tahu. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Semua anggota tim penelitian ini sudah terlanjur menandatangani perjanjian kontrak. Kalau kami melanggar, kami bisa dipecat atau bahkan dipenjara.” Olive menundukkan kepala, sedangkan Alaric menyentuh pelipisnya berpikir.“Apa kalian juga membuat obat untuk menyembuhkan orang-orang yang sudah terinfeksi itu?”“Sudah, tetapi tidak ada yang berhasil. Setiap kami merekayasa genetik virus itu, kami juga
“Malvinnn! Apa kau lihat di mana sepatuku?” Alaric berteriak dari ruang tengah dengan suara lantang. Sejak tadi ia terus sibuk mondar-mandir hanya untuk mencari sepatunya yang hilang. Ini adalah kebiasaan buruknya—menaruh barang sembarangan dan ketika hilang, Malvin lah yang terkena imbasnya.Pagi ini pria itu sedang bersiap-siap untuk berangkat bekerja. Ia sudah memakai kemeja, dasi, celana panjang, bahkan sampai kaos kaki. Akan tetapi, tinggal satu hal yang kurang, yaitu sepatu. Ia sudah mencari ke mana-mana, namun anehnya tetap tidak ketemu.Di area dapur Malvin yang baru saja ingin menuang teh spontan menyahut, “Tidak tahu! Waktu pulang kerja kemarin kau taruh di mana?”“Aku taruh di sini, tapi kenapa sekarang malah tidak ada?”“Ck! Cari dulu yang benar,” balasnya. “Coba lihat juga di kamar! Barangkali ada di sana.”“Tidak ada …!”“Ya Tuhan!” Malvin pun menutup toples gulanya dan pergi menghampiri Alaric. “Kau ini kebiasaan. Hampir setiap pagi selalu ribut masalah sepatu.”“Ya maa
“Ini kuncinya, Miss. Mobilmu sudah selesai diperbaiki. Kau bisa langsung menggunakannya lagi setelah ini,” kata seorang montir dari bengkel setempat seraya mengembalikan kunci mobil milik Callista.Gadis itu segera meraihnya dan mengucapkan terima kasih. “Thank you, Sir!” imbuhnya, sedangkan montir tersebut membalas dengan murah senyum.Setelah memastikan kendaraannya selesai diperbaiki, Callista dan Leon pun pergi menuju kasir untuk membayar biaya service. Mereka mengantre sebentar sebelum giliran membayar. “Total semuanya jadi £250, Miss. Sudah termasuk potongan 10% karena kau adalah salah satu pelanggan tetap kami.”“Oh, okey. Thank’s a lot.” Ia membuka tasnya dan mengeluarkan dompet. Namun, Leon yang sedang berdiri di sampingnya dengan gerakan cepat berhasil menempelkan kartunya di mesin kasir duluan. Callista sontak melongo, menatap lelaki itu dengan ekspresi terkejut bercampur bingung. “Sersan, aku baru saja ingin membayarnya ....”“Tidak apa-apa. Tagihannya sudah kubayar.”Ia
Drrt ... Drrt ...Langkah kaki Malvin sontak terhenti ketika ia tak sengaja mendengar ada suara ponsel yang bergetar. Pemuda itu refleks merogoh saku celananya dan melihat menu kotak pesan masuk. Ternyata bukan ponsel miliknya yang bergetar. Ia pun memasukkan telepon genggamnya kembali kemudian lanjut berjalan ke arah kulkas, mencari bahan-bahan untuk membuat Hotpot sebagai sarapan pagi.Hotpot merupakan hidangan yang terdiri dari daging, bawang merah, serta irisan kentang yang dipanggang dengan api kecil. Ia sering membuat makanan itu karena mudah dibuat dan juga praktis.Drrt ... Drrt ...Suara ponsel itu terdengar kembali. Malvin pun menutup pintu kulkas dan memutuskan untuk mencari dari mana sumber suara itu berasal. Di atas meja marmer seberang kabinet dapur, terlihat ada sebuah ponsel yang tergeletak begitu saja. Layar ponsel tersebut berkedip-kedip menyala setiap ada pesan yang masuk.—Sersan Leon: “Callista, aku sudah ada di depan rumahmu.”“Callista?” gumam Malvin yang membac