Beranda / Romansa / Dr. Vampire: Who is the Predator? / 06 - Just wait and see, Asshole!

Share

06 - Just wait and see, Asshole!

Bulan menggantung semakin rendah di kaki langit. Dilihat dari posisinya, pasti sudah melewati puncak malam. Callista berdiri di depan sebuah pagar setinggi tiga meter dari rumah besar yang berada di ujung jalan. Rumah tersebut tampak mewah.

Mewah karena yang ada di depan mata gadis itu kini adalah sebongkah bangunan besar berlantai dua dengan pilar-pilar raksasa di sudutnya, undakan marmer di depan pintu, balkon luas di tiap jendela, beserta segala tetek bengek yang menandakan bahwa hanya orang kayalah yang tinggal di sana.

Namun, ia berubah pikiran setelah teringat dengan wajah menyebalkan dari si pemilik.

“Payah! Rumahnya ternyata suram seperti rumah hantu yang tidak berpenghuni,” ejeknya sambil berkacak pinggang.

Setelah beberapa hari ini mengamati model bangunan rumah Alaric, Callista akhirnya menemukan celah untuk bisa menyelinap masuk ke dalam. Tentu ia tidak mungkin menekan bel sambil memasang muka memelas hanya agar diperbolehkan menggeledah tanpa surat izin. Gadis itu lebih senang cara ilegal yang menantang adrenalin ketimbang repot-repot memohon pada Inspektur Hugh cuma demi selembar kertas.

Callista melirik arlojinya. Pukul setengah dua dini hari. Waktu yang tepat untuk memulai penyelidikan secara mandiri.

“Aku bersumpah akan menyeretmu ke kantor polisi lagi, Dokter gadungan!” tekadnya kemudian mengendap-endap ke tembok belakang rumah Alaric. Ia menoleh ke sana-kemari—barangkali saja ada tetangga yang lewat lalu meneriakinya maling—diraihnya tali karmantel yang telah dibuat simpul.

Callista sudah merakitnya sedemikian rupa agar dapat langsung digunakan. Sebelum menjadi detektif—mengikuti jejak sang ayah, dulu ia pernah bercita-cita menjadi atlet panjat tebing. Samantha merupakan satu-satunya saksi atas hal gila apa saja yang sudah pernah dilakukan gadis itu.

Setelah memastikan jangkar menempel kuat di balik tembok, Callista pun mulai memanjat naik. Hanya dalam satu kali percobaan, ia langsung berhasil mendarat dengan mulus di sekitar beranda rumah tersebut. Sekarang di hadapannya kini ada sebuah kolam renang. Airnya jernih, namun sedikit muncul bunga es karena suhu udara menjelang musim dingin.

Callista berjalan menyusuri pinggir kolam, menuju pintu belakang di dekat sana. Tapi, sayangnya pintu itu telah terkunci rapat. Ia beralih mencari pintu-pintu lain dan ternyata semuanya memang sudah terkunci juga dari dalam.

“Sial! Lewat mana lagi kalau begini caranya?” Ia berdecak kemudian melihat ke pilar-pilar. Kebetulan sekali tepat di atas kepalanya ada pegangan besi balkon. Ide cemerlangnya pun muncul. “Memanjat balkon? Kenapa tidak?”

Gadis itu kembali meraih tali karmantel kemudian memutar-mutarnya seperti seorang koboi dan melemparnya ke atas sana. Nice shoot! Jangkar kecil di ujung tali itu langsung terpaut ke besi. Ia pun tanpa pikir panjang lagi segera memanjat.

Di depan balkon tersebut, ada sepasang jendela yang tertutup gorden tipis. Callista mengintip ke dalam. Lalu, menempelkan telinganya ke jendela. Tidak ada pergerakan apa-apa. Pasti semua penghuni rumah ini sudah tertidur pulas.

Callista meraba sudut-sudut kusen jendela dan berusaha membukanya. Kali ini ia sangat beruntung karena bagian itu tidak terkunci. Dengan bersemangat, ia menarik jendela itu dan buru-buru menyelinap masuk ke dalam.

Kondisi ruangan yang Callista masuki ternyata sangat gelap gulita. Pantas saja ia tidak bisa melihat apapun tadi. Mungkin ini hanya gudang atau tempat penyimpanan barang tak terpakai. Refleks, tangannya pun segera menyusuri dinding mencari saklar lampu.

“Ah, ini dia!” gumamnya setelah menemukan saklar tersebut. Tetapi, begitu lampu menyala terang, Callista terbelalak saat melihat pemandangan yang ada di depannya.

“Wah-wah, coba lihat siapa yang datang?” sapa Alaric sembari tersenyum miring. Ia sedang dalam posisi rebahan seperti di pantai, menatap Callista dengan antusias. Pria itu hanya memakai jubah tidur yang talinya sengaja diikat sedikit longgar.

“Kau?! Apa yang sedang kau lakukan di sini?” sergah gadis itu panik.

“Seharusnya aku yang bertanya padamu. Sedang apa kau di sini? Ini adalah kamar pribadiku,” balas Alaric seraya beranjak turun dari kasur.

Wajah Callista seketika merah padam. Persetan! Bisa-bisanya aku salah pilih jendela.

Alaric melipat kedua tangannya di depan dada. “Jadi? Apa kau bisa menjelaskan padaku maksud dan tujuanmu datang kemari, Nona penyusup—sorry, maksudku, Nona Cale?”

Callista merengut. Harga dirinya anjlok. Ia merasa dirinya seperti seorang penguntit sekaligus penyusup amatiran yang sedang tertangkap basah. Benar-benar menjengkelkan!

“Well, kuharap kedatanganmu bukan untuk menjebakku dengan tuduhan yang aneh-aneh.”

“Aneh-aneh bagaimana maksudmu?”

“Yeah, kau tahu, belakangan ini sedang marak sekali modus pemerasan. Seperti ... karena kau ada di sini, aku dikira menculikmu dengan tuduhan penjahat kelamin. Lalu, kau akan meminta ganti rugi atau malah memenjarakanku jika tidak bisa membayar uang kompensasi sebesar yang kau minta.”

“Cih, Dasar sinting!” Callista memasang raut jengkel. “Aku bukan gadis jalang seperti yang kau pikirkan!”

“Ya-ya, baiklah. Aku tahu,” balas Alaric sembari manggut-manggut mengerti. Ia kemudian duduk di pinggir kasur lagi dengan santai—membuat kedua alis Callista sontak saling bertautan.

“Dengar, Tuan Theodore, kalau kau mengaku sekarang, aku berjanji akan membantu meringankan hukumanmu di pengadilan. Atau kalau kau ingin pengacara terbaik, aku juga bisa mendapatkannya untukmu.”

Alaric malah terkekeh. “Buat apa aku menyerahkan diri? Aku tidak membunuh siapa pun. Kau juga lihat sendiri wanita itu masih hidup ... sehat walafiat.”

“Tapi korban-korban yang sebelumnya juga pasti itu ulah kau, ‘kan?!”

“Oh, jangan asal menuduh. Memangnya kau punya bukti kalau aku yang sudah membunuh korban-korban itu?” balas Alaric. “Apa di TKP kau menemukan sidik jariku? Sehelai rambutku? Atau mungkin jejak sepatuku barangkali?”

Callista pun terdiam sembari memutar otak. Semua jasad korban dan kondisi TKP yang ia temukan memang selalu bersih. Tak ada bukti sama sekali. Lalu bagaimana caranya ia bisa menangkap pelaku kalau bukti saja tidak punya?

“Kenapa? Apa sekarang kau putus asa karena tidak punya bukti?” ejek Alaric setelah Callista lama terdiam.

“Ya, kuakui sekarang aku memang tidak punya bukti. Tapi, lihat saja nanti. Aku tidak akan menyerah sebelum melihat kau ada di balik jeruji!”

Pria itu menarik sudut bibirnya ke bawah. “Kalau begitu simpan saja dulu teorimu dan tangkaplah aku saat kau sudah mempunyai bukti-bukti yang kuat. Setidaknya, jangan sampai mempermalukan dirimu sendiri di depan jaksa dan hakim, Nona Cale. Kudengar reputasimu sudah buruk, jadi jangan membuatnya bertambah buruk.”

Kedua tangan Callista pun terkepal. Baru kali ini ia dihina oleh seorang pria yang sangat menyebalkan, bahkan ayahnya sendiri tidak pernah menyinggung soal reputasi gadis itu—yang sebenarnya memang sudah buruk dari awal masuk ke akademi kepolisian.

“So, apa kau mau menginap di sini? Kebetulan masih ada satu kamar kosong lagi di bawah.”

“Tidak. Terima kasih! Aku tidak sudi satu atap dengan pria tengik sepertimu!” tukas Callista seraya menjejakkan kaki, berderap pergi dari sana.

“Tengik? Memangnya badanku bau?” Alaric mengerutkan kening seraya mengendus jubah tidurnya. Kemudian, “Hei, kau salah jalan. Pintu keluarnya ada di sebelah kiri!”

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status