BRAKK!
Beberapa petugas lain tiba-tiba saja datang mendobrak pintu ruangan itu. Seorang pria berumur empat puluh tahunan dengan wajah garang yang ditemani tiga orang perwira polisi kemudian melangkah masuk ke dalam. “Nona Cale!” panggil Hugh Malcom—kepala inspektur kepolisian pusat Edinburgh. “Apa yang sedang kau lakukan?” “Inspektur Hugh? Aku ....” Callista melirik Alaric. Pria itu bisa-bisanya sudah kembali menjadi manusia normal. “Aku sedang melakukan interogasi.” “Interogasi?! Kau mau dikeluarkan dari kepolisian?” Inspektur Hugh bertolak pinggang. “Bebaskan dia!” “Apa?! Inspektur Hugh, kita tidak bisa membebaskannya begitu saja. Dia adalah tersangka utama dari kasus pembunuhan berantai yang selama ini kita cari!” “Mana, di mana buktinya?” “Wanita berambut pirang yang ada di TKP. Dia sudah membunuh wanita itu!” “Cale,” sela Samantha dari ambang pintu. Ia sekonyong-konyong datang bersama seorang wanita berambut pirang di belakangnya. “Ini! Wanita ini yang kau maksud?” tanya Inspektur Hugh. Callista menggeleng tak percaya. “Tidak mungkin ....” Ia sontak mendelik ke arah Alaric. “Bagaimana kau melakukannya? Aku jelas-jelas melihatmu menggigit leher wanita itu!” Alaric mengerutkan wajah, berpura-pura tidak mengerti. “Apa maksudmu? Aku tidak melakukan apapun. Dia adalah kekasihku dan apakah itu termasuk tindakan kejahatan jika aku memberi tanda kepemilikanku di lehernya?” Callista pun buru-buru menghampiri wanita itu dan hendak menyibak rambut panjangnya. Akan tetapi, wanita tadi justru langsung menepis tangan Callista. “Hei, apakah petugas kepolisian sekarang tidak tahu yang namanya sopan santun? Kau sudah melanggar etika!” “Sorry, Miss. Tapi kau tidak perlu merasa takut untuk berkata jujur. Kami akan melindungimu jika ada seseorang yang berani mengancammu.” “Kau tidak perlu repot-repot melindungiku. Dia adalah kekasihku dan kami sudah lama berpacaran!” “Tidak. Kau pasti berbohong. Coba perlihatkan lehermu!” Callista tetap berusaha menyibak rambut wanita itu. “Cukup, Nona Cale!” tukas Inspektur Hugh jengkel. “Aku betul-betul akan mengeluarkanmu dari kepolisian jika kau terus bersikap seperti ini!” “Tapi, Inspektur Hugh, kau harus percaya padaku. Aku tidak berbohong!” Pria berseragam itu pun menghela napas panjang. “Apa kau tidak tahu siapa orang yang sudah kau tangkap sembarangan ini?” Callista menundukkan kepala serta menggeleng pelan. Ia memang belum sempat mencari tahu lebih detail siapa Alaric karena saat ini, yang ada dalam pikirannya hanyalah menangkap si pembunuh. “Kalau begitu cari tahu dulu kebenarannya sebelum bertindak! Jangan membuat kantor polisi menjadi seperti taman bermain kanak-kanak!” balasnya tegas. Ia lalu menoleh pada Alaric. “Kau dibebaskan, Sir. Maaf atas tindakan ceroboh dari pihak kami.” Alaric mengangguk. “Ya, tak apa. Aku bisa memakluminya. Detektif amatir memang masih perlu banyak belajar.” Alis kanan Callista sontak terangkat. ”Bilang apa kau barusan? Detektif amatir?!” ”Ck! Anak ini—” Inspektur Hugh langsung mendelik. ”Cepat minta maaf! Dan setelah itu jangan lupa jemput surat peringatanmu di ruanganku. Benar-benar memalukan!” Inspektur Hugh dan ketiga petugas polisi tadi pun kemudian segera pergi dari sana sambil geleng-geleng kepala heran, sementara Callista kembali menatap Alaric dengan sangat tajam. Rasa jengkelnya kini membumbung lebih tinggi ketimbang rasa takut bahwa pria yang ada di hadapannya ini bukanlah seorang manusia. “Tunggu apa lagi?! Jangan harap aku akan sudi meminta maaf padamu!” “Yeah, aku tahu. Sudah terlihat dari tatapan mematikan itu. Ah, tadi kau sempat bilang belum tahu siapa aku, bukan?” ujar Alaric santai seraya memberikan kartu namanya. Callista langsung merebut kartu nama tersebut dengan kasar. “Perkenalkan, namaku Alaric ... Alaric Theodore. Aku adalah salah satu dokter spesialis forensik dan medikolegal paling kompeten dari Rumah Sakit Caldwell. Kau bisa memanggilku darling, honey, atau apapun terserahmu bebas.” “Kau sungguh mau cari mati denganku?” Alaric mengangkat bahu enteng, memasang raut remeh kemudian berjalan melewatinya dengan gerakan tak acuh. Callista pun menyambar buku catatan kasus di meja dan melemparkannya ke arah pria itu. Akan tetapi, Alaric dengan cepat menghindar sehingga buku itu hanya terbang menembus udara kosong. “Awas saja kau, Dasar psikopat gila!!!” Bersambung ...Setelah mengambil semua barang-barangnya yang tadi disita, Alaric keluar dari kantor polisi tersebut dengan mesra bersama si wanita berambut pirang agar mereka tidak dicurigai. Ia lalu menarik wanita itu ke tempat yang agak sepi untuk meluruskan keadaan.“Jangan salah paham. Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih padamu,” ujar Alaric.“Yeah, anggap saja itu adalah hadiah dariku karena kau tadi sudah mau bersenang-senang bersamaku, Tuan. Kuakui kau memang ahli, aku sempat merasa seperti jiwaku ikut terisap bersama ciumanmu,” balas wanita itu sambil sedikit terkekeh. Senyuman licik terukir di sudut bibirnya. “Well, untung saja tadi ada temanmu yang memberitahuku. Kalau tidak, mungkin aku tidak bisa membantumu.”“Teman?”“Ya, dia temanmu, bukan?” tanya wanita itu seraya mengedikkan dagu ke arah seseorang yang sedang berjalan menghampiri mereka.“Malvin?” Alaric berkerut heran ketika melihat sosok pria lugu tersebut adalah Malvin Atkinson, asisten pribadinya sendiri.“Kau benar-benar da
Bulan menggantung semakin rendah di kaki langit. Dilihat dari posisinya, pasti sudah melewati puncak malam. Callista berdiri di depan sebuah pagar setinggi tiga meter dari rumah besar yang berada di ujung jalan. Rumah tersebut tampak mewah.Mewah karena yang ada di depan mata gadis itu kini adalah sebongkah bangunan besar berlantai dua dengan pilar-pilar raksasa di sudutnya, undakan marmer di depan pintu, balkon luas di tiap jendela, beserta segala tetek bengek yang menandakan bahwa hanya orang kayalah yang tinggal di sana.Namun, ia berubah pikiran setelah teringat dengan wajah menyebalkan dari si pemilik.“Payah! Rumahnya ternyata suram seperti rumah hantu yang tidak berpenghuni,” ejeknya sambil berkacak pinggang.Setelah beberapa hari ini mengamati model bangunan rumah Alaric, Callista akhirnya menemukan celah untuk bisa menyelinap masuk ke dalam. Tentu ia tidak mungkin menekan bel sambil memasang muka memelas hanya agar diperbolehkan menggeledah tanpa surat izin. Gadis itu lebih s
“Brengsek! Berani-beraninya dia mengatakan reputasiku buruk. Dia pikir dia siapa bisa menghinaku dengan seenaknya?!” Callista menyibak rambutnya sembari menerobos pintu keluar dengan wajah kesal.Gadis itu tidak terima. Ingin sekali ia mematahkan leher Alaric atau mencelupkan kepalanya ke dalam jamban. Pria itu benar-benar membuat pekerjaannya semakin sulit. Bagaimana ia bisa membuat ayahnya bangga kalau satu kasus saja tidak selesai-selesai?Yeah, jangankan kasus besar, kasus kecil pun Callista tidak pernah mendapat kesempatan bagus. Entah karena dirinya hanya kurang kompeten atau karena ia memang sudah ditakdirkan bernasib sial sejak awal.“Kalau tahu begini mending aku buka toko kelontong saja daripada susah payah jadi detektif. Lebih untung!” oceh Callista seraya menggulung lengan blazernya. Ia mendengkus sinis kemudian lanjut berjalan menuju pagar depan. Namun, langkah kakinya sontak terhenti ketika ia melihat ada sebuah mobil mewah berwarna hitam metalik yang terparkir manis di
Callista meraba-raba permukaan nakas yang ada di sebelah ranjang tidurnya, mematikan alarm yang sejak tadi terus berbunyi. Gadis itu akhirnya ketiduran setelah begadang memelototi layar ponselnya semalaman. Ia betul-betul tidak ingin ketinggalan pergerakan Alaric sedikit pun.“Di mana ponselku?” ujar Callista berdialog dengan diri sendiri. Tangan kanannya sibuk menyingkirkan bantal-bantal ke pinggir, sedangkan satu tangan yang lain mengucek-ngucek matanya yang masih sayu. “Oh, di sini ....”Setelah mendapatkan ponselnya, ia pun segera mengecek kembali lokasi mobil Alaric. Kendaraan beroda empat itu kini ternyata sudah berpindah posisi dari sebelumnya. Mobil tersebut sekarang terlihat sedang bergerak menyusuri kawasan Old Town, daerah tertua di Edinburgh.Tanpa pikir panjang lagi, Callista langsung menyambar jaketnya dan menghambur keluar dari kamar.“Morning!” sapa Robert saat melihat Callista berlari tergopoh-gopoh sembari memakai sepatu.“Yeah. Pagi juga, Ayah!” balasnya singkat.“W
“Yuck! What is this?” Samantha menutup hidungnya dengan gerakan mau muntah setelah mengintip bingkisan yang dibawa oleh Callista. “Kau bawa apa itu, Cale? Baunya amis sekali ....”Callista yang baru datang ke kantor polisi langsung menjatuhkan bokongnya ke kursi. Ia melirik sahabatnya sekilas lalu menjawab dengan intonasi datar. “Darah babi.”“DARAH BABI?!” Kedua mata Samantha sontak membelalak. “Buat apa kau bawa-bawa itu kemari?”“Hanya untuk pembuktian.”“Pembuktian apa? Kau tidak melakukan ritual yang macam-macam, bukan?” tebaknya asal. Ia lalu mendekati Callista dengan tatapan memperingatkan. “Aku akan menghajarmu kalau kau sampai ikut sekte sesat atau organisasi penyembah setan, Cale!”“Ck! Kau ini berlebihan sekali. Ngapain juga aku ikut-ikut organisasi seperti itu? Ayahku bisa membunuhku kalau dia tahu aku membelot.”“Lantas untuk pembuktian apa?”“Kau ‘kan tidak percaya padaku kalau dokter gadungan yang kemarin kita tangkap itu adalah vampir! Jadi, ya ... aku hanya ingin memb
“Jadi? Keterangan apa yang kalian butuhkan dariku?” tanya Alaric seraya melirik arlojinya, mulai menghitung mundur dari waktu yang telah ia berikan.“Yeah, begini ....” Callista berdeham, melirik Samantha seraya meletakkan bingkisan yang berisi darah babi tadi ke pinggir sofa—tempat mereka duduk—dengan sangat hati-hati.Alaric ikut memperhatikan setiap gerak-gerik Callista. Mata birunya mengamati bingkisan paper bag berwarna hitam yang dibawa oleh gadis itu secara lekat-lekat.Ia lalu mendengkus. “Ah, kau masih tidak menyerah juga rupanya.”“Menyerah bagaimana? Aku tidak mengerti maksudmu,” balas Callista berpura-pura bingung.“Benarkah? Kau tidak mengerti apa yang kumaksud?”Samantha menatap mereka berdua sembari menggigit bagian dalam bibirnya dengan mimik tegang. “Ehm ... Tuan Theodore, aku minta maaf sebelumnya, kau tadi hanya memberikan waktu 15 menit pada kami. Jadi, bisakah kita sekarang langsung mulai ke intinya saja?” ujarnya, berinisiatif untuk mengalihkan perhatian Alaric.
Samantha sontak terkejut lantas bangkit berdiri. “Cale!”Callista ikut terkejut dan segera menatap Alaric. Namun, anehnya pria itu tak menunjukkan reaksi apapun. Ia hanya menatap genangan darah tersebut dengan raut datar. Callista mengernyitkan wajah heran. Kenapa dia biasa-biasa saja? Kenapa dia tidak berubah menjadi vampir?Selama sekian detik, gadis itu hanya mematung seolah menantikan sesuatu sementara Samantha sendiri gelagapan panik.“Tuan Theodore, kami minta maaf yang sebesar-besarnya. Rumahmu jadi kotor begini. Biar kami berdua yang bantu bersihkan,” katanya tidak enak hati.“Tidak perlu.” Alaric menggeleng. “Well, Miss. Moore, apa kau bisa menunggu di luar sebentar? Ada yang ingin aku bicarakan dulu dengan temanmu secara empat mata.”“Oh, y-ya, tidak masalah. Aku tunggu di mobil saja. Sekali lagi kami mohon maaf.”Alaric mengangguk mengiyakan. Setelah Samantha berjalan keluar, ia pun kembali mengamati Callista yang masih tetap bergeming di tempat.“Sayang sekali. Sepertinya
Malvin yang sudah paham dengan kondisi darurat di hadapannya pun langsung berlari menghampiri Alaric yang masih mengerang kesakitan di lantai. Ia cepat-cepat mengambil suntikan lain dari dalam kamarnya dan meminta Callista untuk segera menyingkir dari sana.“Pergilah! Cepat pergi dari sini!”Callista terkesiap. “Apa yang terjadi dengannya?”“Dia berusaha melawan dirinya sendiri untuk tidak menghisap darahmu! Maka dari itu pergilah! Kau bisa membunuhnya jika masih tetap berdiri di sini!”“Membunuhnya? Tidak, dia tidak boleh mati.” Callista menelan salivanya susah payah. Ia lekas beringsut mundur dan tergesa-gesa keluar dari dalam rumah tersebut; setengah berlari menghampiri mobilnya yang terparkir di luar pagar.“Cale, ada apa?” tanya Samantha begitu dirinya masuk ke dalam mobil. “Barusan aku melihat ada pemuda yang datang sambil membawa belanjaan. Dia tinggal di sini juga?”“Entahlah. Aku tidak tahu, Sam,” balasnya seraya menggeleng kecil.“Kau bawa apa itu?”“Ah, b-bukan apa-apa.” Ia