Alaric melepaskan gigitannya. Wanita berambut pirang itu sudah dalam kondisi tidak sadarkan diri di lantai. Pada bagian lehernya, terdapat dua lubang bekas gigitan yang tampak membiru. Tubuhnya kini juga sudah tak bergerak sama sekali.
Setelah rasa haus tadi hilang, Alaric segera bangkit berdiri sembari menyeka sudut bibirnya yang masih meneteskan darah segar. Mata merahnya berangsur-angsur kembali seperti normal. Dan tepat pada saat itu, seseorang tiba-tiba saja menodongkan pistol di belakang kepalanya. “Angkat tangan!” Alaric seketika tertegun. Gerakannya terhenti di tempat. ”Kau terlalu menikmati santapanmu sampai tidak menyadari kalau aku sudah ada di dalam, Tuan!” ujar Callista. Perasaan puas menggelora di dadanya. Selang beberapa saat, lima orang polisi lain juga tampak menyusul masuk ke dalam ruangan. Mereka ikut menodongkan pistol ke arah Alaric sedangkan Callista lanjut menarik pelatuknya. “Cepat angkat tangan sebelum kuhancurkan kepalamu!” Alaric pun mengangkat tangan seraya berbalik perlahan. Matanya menyipit kala bertatapan dengan Callista. ”Ah, kau lagi rupanya.” “Kenapa? Kaget karena aku berhasil memergokimu?” ”Tidak juga. Aku sudah bisa menebak.” Callista mendengkus. “Kupastikan kau akan membusuk di penjara, Brengsek!” ujarnya sembari memborgol tangan Alaric secara waswas. Ia lalu mendorong pria itu, menyerahkannya ke lima orang polisi tadi. ”Bawa dia!” Malam itu, suara sirine mobil polisi terdengar menggaung di sepanjang jalan. Para pengunjung di klub mewah tersebut pun terkejut melihat kedatangan segerombolan polisi. Sebagian pengunjung ada yang takut dan berusaha kabur sementara sebagian lainnya menonton, penasaran dengan apa yang sudah terjadi. “Cale!” Samantha berteriak seraya berlari menghampiri sahabatnya. “Cale, kau masih hidup? Apa ada yang terluka?” Callista tersenyum bangga. “Tidak ada. Memangnya buronan mana yang berani melawan seorang Callista?” Mendengar hal tersebut, Samantha pun langsung melayangkan kepalan tinjunya pada bahu gadis itu. “Apa kau sudah lupa? Kau pernah hampir mati tertabrak kereta cuma gara-gara mengejar pencopet kelas teri yang kabur! Lalu minggu kemarin, kau juga nyaris jatuh dari gedung lantai dua puluh karena strategi penangkapan konyolmu itu!” “Hei, tidak usah membahasnya lagi! Yang penting aku masih hidup,” balas Callista sembari mengibaskan tangan tak acuh. Ia kemudian berjalan masuk menuju mobilnya kembali. “Ayo, cepat kita pergi dari sini! Aku sudah tidak sabar menginterogasi psikopat sialan itu!” “Wah, kau sungguh sakit jiwa. Aku akan bersyukur kalau ada mafia yang ingin mencuci otakmu, Cale!” ujar Samantha sarkastik. Sesampainya di kantor polisi, Callista pun segera memanggil Andrew Jenkins—anak magang baru yang masuk anggota timnya—untuk menyiapkan ruang interogasi selagi ia mengganti baju. Gaun pendek membuatnya ingin mencolok mata pria keranjang mana pun yang berani mendelik ke arahnya. *** “Duduklah!” Seorang petugas kepolisian langsung menyuruh Alaric untuk duduk di sebuah ruangan yang cukup terang. Ia menyuruh Alaric menunggu sampai petugas bagian penyidik lain datang. Pandangan mata pria itu menelaah ke sekeliling. Ada sebuah cermin besar di sebelah kiri, kamera di sudut, dan satu kursi kosong di hadapannya. Melihat dari ciri-ciri yang ada, Alaric yakin bahwa dirinya kini berada di ruangan interogasi. Ia sudah familiar dengan situasi semacam ini. Tak lama kemudian, Callista pun melangkah masuk ke dalam ruangan tersebut. “Sudah siap menerima hukuman?” sapanya sembari menarik kursi untuk duduk. “Kau bisa memanggil pengacara kalau kau mau.” Alaric tersenyum mengejek. “Dengar, Nona penguntit—” “Callista! Namaku Callista Bradley! Panggil aku Nona Cale!” “Oke, Nona Cale, aku tidak tahu apa yang sebenarnya ada di dalam otakmu sampai kau terus mengikutiku. Tapi yang jelas, aku tidak punya masalah apapun denganmu. Dan juga tentang pemandangan tadi, kau salah paham.” “Salah paham kau bilang?” Callista mengangkat satu alisnya. “Kau sudah membunuhnya, Sialan!” “Hei, jangan menuduh sembarangan. Aku tidak membunuhnya. Kau sendiri yang datang di waktu yang tidak tepat. Aku hanya bersenang-senang, sebagai seorang pria pada umumnya.” Callista mengepalkan tangan. Ia menatap Alaric dengan nyalang. Kesabarannya yang hanya setipis tisu dibelah tujuh sudah habis. Ia kemudian bangkit berdiri, mematikan kamera dan mengunci pintu ruangan interogasi. Para penyidik lain yang berada di balik cermin pun kebingungan dengan apa yang akan dilakukan oleh gadis itu. “Berhentilah bersandiwara! Aku sudah tahu siapa kau sebenarnya. Kau adalah seorang vampir, bukan?” “Lantas? Kau tidak takut denganku? Aku bisa saja melepas borgol ini dan menghisap darahmu dalam sekejap.” “Cih, coba saja! Buat apa aku takut dengan makhluk terkutuk sepertimu?” Senyuman mengejek pun kembali terbit di wajah Alaric. Pria itu ikut bangkit berdiri. Lalu, mengangkat kedua pergelangan tangannya di depan wajah Callista. Mata Callista membelalak ketika melihat borgol itu ternyata sudah terlepas dengan sangat rapi. Alaric kemudian berjalan keluar dari meja, mendekati gadis itu sembari menjatuhkan borgol tersebut ke lantai. “Kau lihat? Aku tidak membual,” katanya. Callista sontak melangkah mundur. “Jangan mendekat atau kau—” Namun, Alaric tahu-tahu menghilang dan muncul kembali persis di hadapannya. Iris mata pria itu berubah menjadi semerah darah. Gigi taring dan kukunya juga memanjang. Callista terkesiap. ”Kau benar-benar seorang vampir ...!” gumamnya di antara sela-sela gigi yang terkatup rapat. Bersambung ...BRAKK! Beberapa petugas lain tiba-tiba saja datang mendobrak pintu ruangan. Seorang pria berumur empat puluh tahunan dengan wajah garang yang ditemani tiga orang perwira polisi kemudian melangkah masuk ke dalam. “Nona Cale!” panggil Hugh Malcom—kepala inspektur kepolisian pusat Edinburgh. “Apa yang sedang kau lakukan?” “Inspektur Hugh? Aku ....” Callista melirik Alaric. Pria itu bisa-bisanya sudah kembali menjadi manusia normal. “Aku sedang melakukan interogasi.” “Interogasi?! Kau mau dikeluarkan dari kepolisian?” Inspektur Hugh bertolak pinggang. “Bebaskan dia!” “Apa?! Inspektur Hugh, kita tidak bisa membebaskannya begitu saja. Dia adalah tersangka utama dari kasus pembunuhan berantai yang selama ini kita cari!” “Mana, di mana buktinya?” “Wanita berambut pirang yang ada di TKP. Dia sudah membunuh wanita itu!” “Cale,” sela Samantha dari ambang pintu. Ia sekonyong-konyong datang bersama seorang wanita berambut pirang di belakangnya. “Ini! Wanita ini yang kau maksud?” t
Setelah mengambil semua barang-barangnya yang tadi disita, Alaric keluar dari kantor polisi tersebut dengan mesra bersama si wanita berambut pirang agar mereka tidak dicurigai. Ia lalu menarik wanita itu ke tempat yang agak sepi untuk meluruskan keadaan.“Jangan salah paham. Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih padamu,” ujar Alaric.“Yeah, anggap saja itu adalah hadiah dariku karena kau tadi sudah mau bersenang-senang bersamaku, Tuan. Kuakui kau memang ahli, aku sempat merasa seperti jiwaku ikut terisap bersama ciumanmu,” balas wanita itu sambil sedikit terkekeh. Senyuman licik terukir di sudut bibirnya. “Well, untung saja tadi ada temanmu yang memberitahuku. Kalau tidak, mungkin aku tidak bisa membantumu.”“Teman?”“Ya, dia temanmu, bukan?” tanya wanita itu seraya mengedikkan dagu ke arah seseorang yang sedang berjalan menghampiri mereka.“Malvin?” Alaric berkerut heran ketika melihat sosok pria lugu tersebut adalah Malvin Atkinson, asisten pribadinya sendiri.“Kau benar-benar da
Bulan menggantung semakin rendah di kaki langit. Dilihat dari posisinya, pasti sudah melewati puncak malam. Callista berdiri di depan sebuah pagar setinggi tiga meter dari rumah besar yang berada di ujung jalan. Rumah tersebut tampak mewah.Mewah karena yang ada di depan mata gadis itu kini adalah sebongkah bangunan besar berlantai dua dengan pilar-pilar raksasa di sudutnya, undakan marmer di depan pintu, balkon luas di tiap jendela, beserta segala tetek bengek yang menandakan bahwa hanya orang kayalah yang tinggal di sana.Namun, ia berubah pikiran setelah teringat dengan wajah menyebalkan dari si pemilik.“Payah! Rumahnya ternyata suram seperti rumah hantu yang tidak berpenghuni,” ejeknya sambil berkacak pinggang.Setelah beberapa hari ini mengamati model bangunan rumah Alaric, Callista akhirnya menemukan celah untuk bisa menyelinap masuk ke dalam. Tentu ia tidak mungkin menekan bel sambil memasang muka memelas hanya agar diperbolehkan menggeledah tanpa surat izin. Gadis itu lebih s
“Brengsek! Berani-beraninya dia mengatakan reputasiku buruk. Dia pikir dia siapa bisa menghinaku dengan seenaknya?!” Callista menyibak rambutnya sembari menerobos pintu keluar dengan wajah kesal.Gadis itu tidak terima. Ingin sekali ia mematahkan leher Alaric atau mencelupkan kepalanya ke dalam jamban. Pria itu benar-benar membuat pekerjaannya semakin sulit. Bagaimana ia bisa membuat ayahnya bangga kalau satu kasus saja tidak selesai-selesai?Yeah, jangankan kasus besar, kasus kecil pun Callista tidak pernah mendapat kesempatan bagus. Entah karena dirinya hanya kurang kompeten atau karena ia memang sudah ditakdirkan bernasib sial sejak awal.“Kalau tahu begini mending aku buka toko kelontong saja daripada susah payah jadi detektif. Lebih untung!” oceh Callista seraya menggulung lengan blazernya. Ia mendengkus sinis kemudian lanjut berjalan menuju pagar depan. Namun, langkah kakinya sontak terhenti ketika ia melihat ada sebuah mobil mewah berwarna hitam metalik yang terparkir manis di
Callista meraba-raba permukaan nakas yang ada di sebelah ranjang tidurnya, mematikan alarm yang sejak tadi terus berbunyi. Gadis itu akhirnya ketiduran setelah begadang memelototi layar ponselnya semalaman. Ia betul-betul tidak ingin ketinggalan pergerakan Alaric sedikit pun.“Di mana ponselku?” ujar Callista berdialog dengan diri sendiri. Tangan kanannya sibuk menyingkirkan bantal-bantal ke pinggir, sedangkan satu tangan yang lain mengucek-ngucek matanya yang masih sayu. “Oh, di sini ....”Setelah mendapatkan ponselnya, ia pun segera mengecek kembali lokasi mobil Alaric. Kendaraan beroda empat itu kini ternyata sudah berpindah posisi dari sebelumnya. Mobil tersebut sekarang terlihat sedang bergerak menyusuri kawasan Old Town, daerah tertua di Edinburgh.Tanpa pikir panjang lagi, Callista langsung menyambar jaketnya dan menghambur keluar dari kamar.“Morning!” sapa Robert saat melihat Callista berlari tergopoh-gopoh sembari memakai sepatu.“Yeah. Pagi juga, Ayah!” balasnya singkat.“W
“Yuck! What is this?” Samantha menutup hidungnya dengan gerakan mau muntah setelah mengintip bingkisan yang dibawa oleh Callista. “Kau bawa apa itu, Cale? Baunya amis sekali ....”Callista yang baru datang ke kantor polisi langsung menjatuhkan bokongnya ke kursi. Ia melirik sahabatnya sekilas lalu menjawab dengan intonasi datar. “Darah babi.”“DARAH BABI?!” Kedua mata Samantha sontak membelalak. “Buat apa kau bawa-bawa itu kemari?”“Hanya untuk pembuktian.”“Pembuktian apa? Kau tidak melakukan ritual yang macam-macam, bukan?” tebaknya asal. Ia lalu mendekati Callista dengan tatapan memperingatkan. “Aku akan menghajarmu kalau kau sampai ikut sekte sesat atau organisasi penyembah setan, Cale!”“Ck! Kau ini berlebihan sekali. Ngapain juga aku ikut-ikut organisasi seperti itu? Ayahku bisa membunuhku kalau dia tahu aku membelot.”“Lantas untuk pembuktian apa?”“Kau ‘kan tidak percaya padaku kalau dokter gadungan yang kemarin kita tangkap itu adalah vampir! Jadi, ya ... aku hanya ingin memb
“Jadi? Keterangan apa yang kalian butuhkan dariku?” tanya Alaric seraya melirik arlojinya, mulai menghitung mundur dari waktu yang telah ia berikan.“Yeah, begini ....” Callista berdeham, melirik Samantha seraya meletakkan bingkisan yang berisi darah babi tadi ke pinggir sofa—tempat mereka duduk—dengan sangat hati-hati.Alaric ikut memperhatikan setiap gerak-gerik Callista. Mata birunya mengamati bingkisan paper bag berwarna hitam yang dibawa oleh gadis itu secara lekat-lekat.Ia lalu mendengkus. “Ah, kau masih tidak menyerah juga rupanya.”“Menyerah bagaimana? Aku tidak mengerti maksudmu,” balas Callista berpura-pura bingung.“Benarkah? Kau tidak mengerti apa yang kumaksud?”Samantha menatap mereka berdua sembari menggigit bagian dalam bibirnya dengan mimik tegang. “Ehm ... Tuan Theodore, aku minta maaf sebelumnya, kau tadi hanya memberikan waktu 15 menit pada kami. Jadi, bisakah kita sekarang langsung mulai ke intinya saja?” ujarnya, berinisiatif untuk mengalihkan perhatian Alaric.
Samantha sontak terkejut lantas bangkit berdiri. “Cale!”Callista ikut terkejut dan segera menatap Alaric. Namun, anehnya pria itu tak menunjukkan reaksi apapun. Ia hanya menatap genangan darah tersebut dengan raut datar. Callista mengernyitkan wajah heran. Kenapa dia biasa-biasa saja? Kenapa dia tidak berubah menjadi vampir?Selama sekian detik, gadis itu hanya mematung seolah menantikan sesuatu sementara Samantha sendiri gelagapan panik.“Tuan Theodore, kami minta maaf yang sebesar-besarnya. Rumahmu jadi kotor begini. Biar kami berdua yang bantu bersihkan,” katanya tidak enak hati.“Tidak perlu.” Alaric menggeleng. “Well, Miss. Moore, apa kau bisa menunggu di luar sebentar? Ada yang ingin aku bicarakan dulu dengan temanmu secara empat mata.”“Oh, y-ya, tidak masalah. Aku tunggu di mobil saja. Sekali lagi kami mohon maaf.”Alaric mengangguk mengiyakan. Setelah Samantha berjalan keluar, ia pun kembali mengamati Callista yang masih tetap bergeming di tempat.“Sayang sekali. Sepertinya
Orang itu membuka tudung jubahnya sembari menyeringai. “Apa kabar, dr. Huggins? Kau masih ingat denganku? Sudah lama kita tidak bertemu sejak prosedur autopsi terakhir kali.”dr. Huggins berpegangan pada nakas di belakangnya. Mata merah dan kulit putih pucat kedua makhluk tersebut membuat tungkainya seketika lemas seolah tak bersendi. Salah satu vampir berambut pirang yang bernama Draco itu pun membuka buku kecil—bertuliskan BRITISH PASSPORT—yang sedang dipegangnya tadi. Ia mengambil tiket pesawat yang terselip di sana.ECONOMY CLASSFrom: Edinburgh – ScotlandTo : Bukares – Romania“Wah-wah, coba lihat! Sepertinya kau memiliki rencana liburan ke luar negeri hari ini. Apa kau tidak berniat mengajak kami?”dr. Huggins menggeleng cepat. “T-tidak. Kembalikan ... kembalikan benda itu padaku!”“Seharusnya kalau kau ingin pergi berlibur, kau tinggal katakan saja pada tuanku, dr. Huggins. Dia bisa membelikanmu tiket pesawat business class yang paling mahal dan kami juga akan dengan sangat s
128 Calton Road, Block 4A.Leon menatap secarik kertas yang dipegangnya dengan cermat. Laki-laki itu kemudian berjalan mendekati sebuah rumah bangunan kuno berlantai dua yang berjarak selang beberapa meter di hadapannya. Ia baru saja mendapatkan alamat tempat tinggal dr. Huggins dari Andrew dan memutuskan untuk segera menemui dokter forensik itu. Setelah menganalisis semua arsip yang diberikan oleh Samantha kemarin, Leon semakin yakin ada sesuatu yang tidak beres, terutama dengan seluruh laporan hasil autopsi yang ada.Menurutnya, laporan itu terkesan cukup tidak masuk akal serta patut dipertanyakan kembali keabsahannya. Semua orang yang bersangkutan harus diperiksa tanpa terkecuali. Dan karena sekarang kasus ini juga sudah menjadi tanggung jawabnya, ia tentu memiliki wewenang untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut.RUMAH INI DIJUAL. SILAKAN HUBUNGI NOMOR PERANTARA DI BAWAH UNTUK MENDAPATKAN INFORMASI LEBIH LANJUT.Leon mengerutkan kening ketika melihat plang bertuliskan FOR SALE
Callista pun menggelengkan kepala untuk mengenyahkan pikiran kotornya yang berkecamuk.“Nona Cale?” ujar Alaric membuat dirinya terkesiap.“Ugh, ya? Ada apa?”“Kau mau minum wine juga?”“Tidak.”“Lalu kenapa kau terus menatapku seperti itu?”“Aku ... aku tidak menatapmu,” sangkalnya panik. Ia mengerjap beberapa kali sambil mencari alasan. “Tadi aku cuma sedang ... eh ... anu ... gelas wine-mu bagus. Kau beli di mana?”Alaric memiringkan kepala dan menoleh ke gelas yang sedang dipegangnya. “Oh, ini aku memesannya secara khusus. Gelas ini terbuat dari kristal yang diproduksi oleh ahli profesional di Slovakia. Waktu itu aku beli satu buah gelas ini dengan harga sekitar £280 karena termasuk edisi spesial.”“Satu gelas ini harganya £280?!”“Yeah, kau mau beli?”Callista menggeleng cepat. “Sorry, aku tidak ingin menghabiskan uang gajianku hanya untuk sebuah gelas. Lagi pula, memangnya kau tidak mabuk minum wine terus-terusan?”Malvin tiba-tiba malah terbahak. “Tidak ada zamannya Alaric mabu
RINGGG!Suara alarm dari ponsel di atas nakas membuat Callista tersentak kaget mendengarnya. Gadis itu pun mengucek-ngucek mata dan mengerjap beberapa kali. Ia tertegun bingung sewaktu mendapati dirinya sekarang malah berada di atas kasur dengan balutan selimut hangat.“Loh, kenapa aku di sini?” gumamnya keheranan; teringat kalau terakhir kali ia tertidur di kursi meja kerja. Callista celingukan ke sana-kemari dan menemukan ada seseorang yang sedang berdiri di area balkon. Gadis itu cepat-cepat menyibak selimutnya lantas berjalan mendekat.“Alaric …?”Ia pun menoleh ke arah Callista dan tersenyum. “Kau sudah bangun?”“Ya, aku barusan terbangun. Kau sendiri sudah sembuh?” tanyanya seraya kembali memegang kening pria itu—terasa dingin seperti es. “Wow, kelihatannya obatnya bekerja dengan baik.”“Yeah, aku baik-baik saja sekarang. Terima kasih kau tadi sudah mau menolongku, Nona Cale.”Callista mengangguk, tetapi masih ada sedikit kekhawatiran yang terpancar dari matanya. “Kau sedang ap
“Bajingan kikir! Dia pikir nyawa orang bisa dibeli pakai uang?!” Callista menggulung lengan blazernya sembari mengumpat secara terang-terangan. Ia baru saja selesai memaki-maki seorang pria kaya sombong yang ditangkap karena mengendarai mobil ugal-ugalan di jalan. Sebenarnya menegur pelanggar lalu lintas bukanlah tugasnya, tapi gadis itu sudah terlanjur emosi duluan melihat kelakukan tengik pria itu.“Awas saja kalau aku sampai bertemu dia di jalan! Akan kuhajar wajah dungunya itu sampai babak belur!” makinya lagi. Ia menghembuskan napas kasar lalu melirik jam tangannya, sudah pukul lima sore sekarang. Callista pun memutuskan kembali ke ruang kerja timnya lagi untuk beberes. Marah-marah membuatnya jadi malas melanjutkan pekerjaan. Lebih baik sekarang ia pulang, mandi, dan tidur.Tapi sewaktu baru berjalan sekian langkah dari tempat berdiri tadi, ponselnya tahu-tahu berdering. Callista meraba saku celana belakangnya dan sontak menaikkan satu alis begitu melihat siapa yang menelepon.“V
“Maaf, Honey. Saat ini masih belum ada perkembangan yang signifikan lagi. Setelah disuntikan virus yang genetiknya sudah kami rekayasa, orang-orang itu seperti kehilangan kendali atas diri mereka sendiri,” kata Olive ketika Alaric menanyakan tentang keadaan manusia yang digunakan untuk objek eksperimen pada siang hari di rumah sakit.Alaric menghela napas resah. “Aku tidak habis pikir. Sebetulnya apa tujuan Profesor Ignatius melakukan eksperimen ini, dr. Rodriguez? Kau tahu bukan, apa yang kalian lakukan itu sangat tidak manusiawi?”“Ya, aku tahu. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Semua anggota tim penelitian ini sudah terlanjur menandatangani perjanjian kontrak. Kalau kami melanggar, kami bisa dipecat atau bahkan dipenjara.” Olive menundukkan kepala, sedangkan Alaric menyentuh pelipisnya berpikir.“Apa kalian juga membuat obat untuk menyembuhkan orang-orang yang sudah terinfeksi itu?”“Sudah, tetapi tidak ada yang berhasil. Setiap kami merekayasa genetik virus itu, kami juga
“Malvinnn! Apa kau lihat di mana sepatuku?” Alaric berteriak dari ruang tengah dengan suara lantang. Sejak tadi ia terus sibuk mondar-mandir hanya untuk mencari sepatunya yang hilang. Ini adalah kebiasaan buruknya—menaruh barang sembarangan dan ketika hilang, Malvin lah yang terkena imbasnya.Pagi ini pria itu sedang bersiap-siap untuk berangkat bekerja. Ia sudah memakai kemeja, dasi, celana panjang, bahkan sampai kaos kaki. Akan tetapi, tinggal satu hal yang kurang, yaitu sepatu. Ia sudah mencari ke mana-mana, namun anehnya tetap tidak ketemu.Di area dapur Malvin yang baru saja ingin menuang teh spontan menyahut, “Tidak tahu! Waktu pulang kerja kemarin kau taruh di mana?”“Aku taruh di sini, tapi kenapa sekarang malah tidak ada?”“Ck! Cari dulu yang benar,” balasnya. “Coba lihat juga di kamar! Barangkali ada di sana.”“Tidak ada …!”“Ya Tuhan!” Malvin pun menutup toples gulanya dan pergi menghampiri Alaric. “Kau ini kebiasaan. Hampir setiap pagi selalu ribut masalah sepatu.”“Ya maa
“Ini kuncinya, Miss. Mobilmu sudah selesai diperbaiki. Kau bisa langsung menggunakannya lagi setelah ini,” kata seorang montir dari bengkel setempat seraya mengembalikan kunci mobil milik Callista.Gadis itu segera meraihnya dan mengucapkan terima kasih. “Thank you, Sir!” imbuhnya, sedangkan montir tersebut membalas dengan murah senyum.Setelah memastikan kendaraannya selesai diperbaiki, Callista dan Leon pun pergi menuju kasir untuk membayar biaya service. Mereka mengantre sebentar sebelum giliran membayar. “Total semuanya jadi £250, Miss. Sudah termasuk potongan 10% karena kau adalah salah satu pelanggan tetap kami.”“Oh, okey. Thank’s a lot.” Ia membuka tasnya dan mengeluarkan dompet. Namun, Leon yang sedang berdiri di sampingnya dengan gerakan cepat berhasil menempelkan kartunya di mesin kasir duluan. Callista sontak melongo, menatap lelaki itu dengan ekspresi terkejut bercampur bingung. “Sersan, aku baru saja ingin membayarnya ....”“Tidak apa-apa. Tagihannya sudah kubayar.”Ia
Drrt ... Drrt ...Langkah kaki Malvin sontak terhenti ketika ia tak sengaja mendengar ada suara ponsel yang bergetar. Pemuda itu refleks merogoh saku celananya dan melihat menu kotak pesan masuk. Ternyata bukan ponsel miliknya yang bergetar. Ia pun memasukkan telepon genggamnya kembali kemudian lanjut berjalan ke arah kulkas, mencari bahan-bahan untuk membuat Hotpot sebagai sarapan pagi.Hotpot merupakan hidangan yang terdiri dari daging, bawang merah, serta irisan kentang yang dipanggang dengan api kecil. Ia sering membuat makanan itu karena mudah dibuat dan juga praktis.Drrt ... Drrt ...Suara ponsel itu terdengar kembali. Malvin pun menutup pintu kulkas dan memutuskan untuk mencari dari mana sumber suara itu berasal. Di atas meja marmer seberang kabinet dapur, terlihat ada sebuah ponsel yang tergeletak begitu saja. Layar ponsel tersebut berkedip-kedip menyala setiap ada pesan yang masuk.—Sersan Leon: “Callista, aku sudah ada di depan rumahmu.”“Callista?” gumam Malvin yang membac