Alaric melepaskan gigitannya. Wanita berambut pirang itu sudah dalam kondisi tidak sadarkan diri di lantai. Pada bagian lehernya, terdapat dua lubang bekas gigitan yang tampak membiru. Tubuhnya kini juga sudah tak bergerak sama sekali.
Setelah rasa haus tadi hilang, Alaric segera bangkit berdiri sembari menyeka sudut bibirnya yang masih meneteskan darah segar. Mata merahnya berangsur-angsur kembali seperti normal. Dan tepat pada saat itu, seseorang tiba-tiba saja menodongkan pistol di belakang kepalanya. “Angkat tangan!” Alaric seketika tertegun. Gerakannya terhenti di tempat. ”Kau terlalu menikmati santapanmu sampai tidak menyadari kalau aku sudah ada di dalam, Tuan!” ujar Callista. Perasaan puas menggelora di dadanya. Selang beberapa saat, lima orang polisi lain juga tampak menyusul masuk ke dalam ruangan. Mereka ikut menodongkan pistol ke arah Alaric sedangkan Callista lanjut menarik pelatuknya. “Cepat angkat tangan sebelum kuhancurkan kepalamu!” Alaric pun mengangkat tangan seraya berbalik perlahan. Matanya menyipit kala bertatapan dengan Callista. ”Ah, kau lagi rupanya.” “Kenapa? Kaget karena aku berhasil memergokimu?” ”Tidak juga. Aku sudah bisa menebak.” Callista mendengkus. “Kupastikan kau akan membusuk di penjara, Brengsek!” ujarnya sembari memborgol tangan Alaric secara waswas. Ia lalu mendorong pria itu, menyerahkannya ke lima orang polisi tadi. ”Bawa dia!” Malam itu, suara sirine mobil polisi terdengar menggaung di sepanjang jalan. Para pengunjung di klub mewah tersebut pun terkejut melihat kedatangan segerombolan polisi. Sebagian pengunjung ada yang takut dan berusaha kabur sementara sebagian lainnya menonton, penasaran dengan apa yang sudah terjadi. “Cale!” Samantha berteriak seraya berlari menghampiri sahabatnya. “Cale, kau masih hidup? Apa ada yang terluka?” Callista tersenyum bangga. “Tidak ada. Memangnya buronan mana yang berani melawan seorang Callista?” Mendengar hal tersebut, Samantha pun langsung melayangkan kepalan tinjunya pada bahu gadis itu. “Apa kau sudah lupa? Kau pernah hampir mati tertabrak kereta cuma gara-gara mengejar pencopet kelas teri yang kabur! Lalu minggu kemarin, kau juga nyaris jatuh dari gedung lantai dua puluh karena strategi penangkapan konyolmu itu!” “Hei, tidak usah membahasnya lagi! Yang penting aku masih hidup,” balas Callista sembari mengibaskan tangan tak acuh. Ia kemudian berjalan masuk menuju mobilnya kembali. “Ayo, cepat kita pergi dari sini! Aku sudah tidak sabar menginterogasi psikopat sialan itu!” “Wah, kau sungguh sakit jiwa. Aku akan bersyukur kalau ada mafia yang ingin mencuci otakmu, Cale!” ujar Samantha sarkastik. Sesampainya di kantor polisi, Callista pun segera memanggil Andrew Jenkins—anak magang baru yang masuk anggota timnya—untuk menyiapkan ruang interogasi selagi ia mengganti baju. Gaun pendek membuatnya ingin mencolok mata pria keranjang mana pun yang berani mendelik ke arahnya. *** “Duduklah!” Seorang petugas kepolisian langsung menyuruh Alaric untuk duduk di sebuah ruangan yang cukup terang. Ia menyuruh Alaric menunggu sampai petugas bagian penyidik lain datang. Pandangan mata pria itu menelaah ke sekeliling. Ada sebuah cermin besar di sebelah kiri, kamera di sudut, dan satu kursi kosong di hadapannya. Melihat dari ciri-ciri yang ada, Alaric yakin bahwa dirinya kini berada di ruangan interogasi. Ia sudah familiar dengan situasi semacam ini. Tak lama kemudian, Callista pun melangkah masuk ke dalam ruangan tersebut. “Sudah siap menerima hukuman?” sapanya sembari menarik kursi untuk duduk. “Kau bisa memanggil pengacara kalau kau mau.” Alaric tersenyum mengejek. “Dengar, Nona penguntit—” “Callista! Namaku Callista Bradley! Panggil aku Nona Cale!” “Oke, Nona Cale, aku tidak tahu apa yang sebenarnya ada di dalam otakmu sampai kau terus mengikutiku. Tapi yang jelas, aku tidak punya masalah apapun denganmu. Dan juga tentang pemandangan tadi, kau salah paham.” “Salah paham kau bilang?” Callista mengangkat satu alisnya. “Kau sudah membunuhnya, Sialan!” “Hei, jangan menuduh sembarangan. Aku tidak membunuhnya. Kau sendiri yang datang di waktu yang tidak tepat. Aku hanya bersenang-senang, sebagai seorang pria pada umumnya.” Callista mengepalkan tangan. Ia menatap Alaric dengan nyalang. Kesabarannya yang hanya setipis tisu dibelah tujuh sudah habis. Ia kemudian bangkit berdiri, mematikan kamera dan mengunci pintu ruangan interogasi. Para penyidik lain yang berada di balik cermin pun kebingungan dengan apa yang akan dilakukan oleh gadis itu. “Berhentilah bersandiwara! Aku sudah tahu siapa kau sebenarnya. Kau adalah seorang vampir, bukan?” “Lantas? Kau tidak takut denganku? Aku bisa saja melepas borgol ini dan menghisap darahmu dalam sekejap.” “Cih, coba saja! Buat apa aku takut dengan makhluk terkutuk sepertimu?” Senyuman mengejek pun kembali terbit di wajah Alaric. Pria itu ikut bangkit berdiri. Lalu, mengangkat kedua pergelangan tangannya di depan wajah Callista. Mata Callista membelalak ketika melihat borgol itu ternyata sudah terlepas dengan sangat rapi. Alaric kemudian berjalan keluar dari meja, mendekati gadis itu sembari menjatuhkan borgol tersebut ke lantai. “Kau lihat? Aku tidak membual,” katanya. Callista sontak melangkah mundur. “Jangan mendekat atau kau—” Namun, Alaric tahu-tahu menghilang dan muncul kembali persis di hadapannya. Iris mata pria itu berubah menjadi semerah darah. Gigi taring dan kukunya juga memanjang. Callista terkesiap. ”Kau benar-benar seorang vampir ...!” gumamnya di antara sela-sela gigi yang terkatup rapat. Bersambung ...BRAKK! Beberapa petugas lain tiba-tiba saja datang mendobrak pintu ruangan itu. Seorang pria berumur empat puluh tahunan dengan wajah garang yang ditemani tiga orang perwira polisi kemudian melangkah masuk ke dalam. “Nona Cale!” panggil Hugh Malcom—kepala inspektur kepolisian pusat Edinburgh. “Apa yang sedang kau lakukan?” “Inspektur Hugh? Aku ....” Callista melirik Alaric. Pria itu bisa-bisanya sudah kembali menjadi manusia normal. “Aku sedang melakukan interogasi.” “Interogasi?! Kau mau dikeluarkan dari kepolisian?” Inspektur Hugh bertolak pinggang. “Bebaskan dia!” “Apa?! Inspektur Hugh, kita tidak bisa membebaskannya begitu saja. Dia adalah tersangka utama dari kasus pembunuhan berantai yang selama ini kita cari!” “Mana, di mana buktinya?” “Wanita berambut pirang yang ada di TKP. Dia sudah membunuh wanita itu!” “Cale,” sela Samantha dari ambang pintu. Ia sekonyong-konyong datang bersama seorang wanita berambut pirang di belakangnya. “Ini! Wanita ini yang kau maksud?” tanya
Setelah mengambil semua barang-barangnya yang tadi disita, Alaric keluar dari kantor polisi tersebut dengan mesra bersama si wanita berambut pirang agar mereka tidak dicurigai. Ia lalu menarik wanita itu ke tempat yang agak sepi untuk meluruskan keadaan.“Jangan salah paham. Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih padamu,” ujar Alaric.“Yeah, anggap saja itu adalah hadiah dariku karena kau tadi sudah mau bersenang-senang bersamaku, Tuan. Kuakui kau memang ahli, aku sempat merasa seperti jiwaku ikut terisap bersama ciumanmu,” balas wanita itu sambil sedikit terkekeh. Senyuman licik terukir di sudut bibirnya. “Well, untung saja tadi ada temanmu yang memberitahuku. Kalau tidak, mungkin aku tidak bisa membantumu.”“Teman?”“Ya, dia temanmu, bukan?” tanya wanita itu seraya mengedikkan dagu ke arah seseorang yang sedang berjalan menghampiri mereka.“Malvin?” Alaric berkerut heran ketika melihat sosok pria lugu tersebut adalah Malvin Atkinson, asisten pribadinya sendiri.“Kau benar-benar da
Bulan menggantung semakin rendah di kaki langit. Dilihat dari posisinya, pasti sudah melewati puncak malam. Callista berdiri di depan sebuah pagar setinggi tiga meter dari rumah besar yang berada di ujung jalan. Rumah tersebut tampak mewah.Mewah karena yang ada di depan mata gadis itu kini adalah sebongkah bangunan besar berlantai dua dengan pilar-pilar raksasa di sudutnya, undakan marmer di depan pintu, balkon luas di tiap jendela, beserta segala tetek bengek yang menandakan bahwa hanya orang kayalah yang tinggal di sana.Namun, ia berubah pikiran setelah teringat dengan wajah menyebalkan dari si pemilik.“Payah! Rumahnya ternyata suram seperti rumah hantu yang tidak berpenghuni,” ejeknya sambil berkacak pinggang.Setelah beberapa hari ini mengamati model bangunan rumah Alaric, Callista akhirnya menemukan celah untuk bisa menyelinap masuk ke dalam. Tentu ia tidak mungkin menekan bel sambil memasang muka memelas hanya agar diperbolehkan menggeledah tanpa surat izin. Gadis itu lebih s
“Brengsek! Berani-beraninya dia mengatakan reputasiku buruk. Dia pikir dia siapa bisa menghinaku dengan seenaknya?!” Callista menyibak rambutnya sembari menerobos pintu keluar dengan wajah kesal.Gadis itu tidak terima. Ingin sekali ia mematahkan leher Alaric atau mencelupkan kepalanya ke dalam jamban. Pria itu benar-benar membuat pekerjaannya semakin sulit. Bagaimana ia bisa membuat ayahnya bangga kalau satu kasus saja tidak selesai-selesai?Yeah, jangankan kasus besar, kasus kecil pun Callista tidak pernah mendapat kesempatan bagus. Entah karena dirinya hanya kurang kompeten atau karena ia memang sudah ditakdirkan bernasib sial sejak awal.“Kalau tahu begini mending aku buka toko kelontong saja daripada susah payah jadi detektif. Lebih untung!” oceh Callista seraya menggulung lengan blazernya. Ia mendengkus sinis kemudian lanjut berjalan menuju pagar depan. Namun, langkah kakinya sontak terhenti ketika ia melihat ada sebuah mobil mewah berwarna hitam metalik yang terparkir manis di
Callista meraba-raba permukaan nakas yang ada di sebelah ranjang tidurnya, mematikan alarm yang sejak tadi terus berbunyi. Gadis itu akhirnya ketiduran setelah begadang memelototi layar ponselnya semalaman. Ia betul-betul tidak ingin ketinggalan pergerakan Alaric sedikit pun.“Di mana ponselku?” ujar Callista berdialog dengan diri sendiri. Tangan kanannya sibuk menyingkirkan bantal-bantal ke pinggir, sedangkan satu tangan yang lain mengucek-ngucek matanya yang masih sayu. “Oh, di sini ....”Setelah mendapatkan ponselnya, ia pun segera mengecek kembali lokasi mobil Alaric. Kendaraan beroda empat itu kini ternyata sudah berpindah posisi dari sebelumnya. Mobil tersebut sekarang terlihat sedang bergerak menyusuri kawasan Old Town, daerah tertua di Edinburgh.Tanpa pikir panjang lagi, Callista langsung menyambar jaketnya dan menghambur keluar dari kamar.“Morning!” sapa Robert saat melihat Callista berlari tergopoh-gopoh sembari memakai sepatu.“Yeah. Pagi juga, Ayah!” balasnya singkat.“W
“Yuck! What is this?” Samantha menutup hidungnya dengan gerakan mau muntah setelah mengintip bingkisan yang dibawa oleh Callista. “Kau bawa apa itu, Cale? Baunya amis sekali ....”Callista yang baru datang ke kantor polisi langsung menjatuhkan bokongnya ke kursi. Ia melirik sahabatnya sekilas lalu menjawab dengan intonasi datar. “Darah babi.”“DARAH BABI?!” Kedua mata Samantha sontak membelalak. “Buat apa kau bawa-bawa itu kemari?”“Hanya untuk pembuktian.”“Pembuktian apa? Kau tidak melakukan ritual yang macam-macam, bukan?” tebaknya asal. Ia lalu mendekati Callista dengan tatapan memperingatkan. “Aku akan menghajarmu kalau kau sampai ikut sekte sesat atau organisasi penyembah setan, Cale!”“Ck! Kau ini berlebihan sekali. Ngapain juga aku ikut-ikut organisasi seperti itu? Ayahku bisa membunuhku kalau dia tahu aku membelot.”“Lantas untuk pembuktian apa?”“Kau ‘kan tidak percaya padaku kalau dokter gadungan yang kemarin kita tangkap itu adalah vampir! Jadi, ya ... aku hanya ingin memb
“Jadi? Keterangan apa yang kalian butuhkan dariku?” tanya Alaric seraya melirik arlojinya, mulai menghitung mundur dari waktu yang telah ia berikan.“Yeah, begini ....” Callista berdeham, melirik Samantha seraya meletakkan bingkisan yang berisi darah babi tadi ke pinggir sofa—tempat mereka duduk—dengan sangat hati-hati.Alaric ikut memperhatikan setiap gerak-gerik Callista. Mata birunya mengamati bingkisan paper bag berwarna hitam yang dibawa oleh gadis itu secara lekat-lekat.Ia lalu mendengkus. “Ah, kau masih tidak menyerah juga rupanya.”“Menyerah bagaimana? Aku tidak mengerti maksudmu,” balas Callista berpura-pura bingung.“Benarkah? Kau tidak mengerti apa yang kumaksud?”Samantha menatap mereka berdua sembari menggigit bagian dalam bibirnya dengan mimik tegang. “Ehm ... Tuan Theodore, aku minta maaf sebelumnya, kau tadi hanya memberikan waktu 15 menit pada kami. Jadi, bisakah kita sekarang langsung mulai ke intinya saja?” ujarnya, berinisiatif untuk mengalihkan perhatian Alaric.
Samantha sontak terkejut lantas bangkit berdiri. “Cale!”Callista ikut terkejut dan segera menatap Alaric. Namun, anehnya pria itu tak menunjukkan reaksi apapun. Ia hanya menatap genangan darah tersebut dengan raut datar. Callista mengernyitkan wajah heran. Kenapa dia biasa-biasa saja? Kenapa dia tidak berubah menjadi vampir?Selama sekian detik, gadis itu hanya mematung seolah menantikan sesuatu sementara Samantha sendiri gelagapan panik.“Tuan Theodore, kami minta maaf yang sebesar-besarnya. Rumahmu jadi kotor begini. Biar kami berdua yang bantu bersihkan,” katanya tidak enak hati.“Tidak perlu.” Alaric menggeleng. “Well, Miss. Moore, apa kau bisa menunggu di luar sebentar? Ada yang ingin aku bicarakan dulu dengan temanmu secara empat mata.”“Oh, y-ya, tidak masalah. Aku tunggu di mobil saja. Sekali lagi kami mohon maaf.”Alaric mengangguk mengiyakan. Setelah Samantha berjalan keluar, ia pun kembali mengamati Callista yang masih tetap bergeming di tempat.“Sayang sekali. Sepertinya