Home / Romansa / Dr. Vampire: Who is the Predator? / 03 - I swear, he's a vampire!

Share

03 - I swear, he's a vampire!

Alaric melepaskan gigitannya. Wanita berambut pirang itu sudah dalam kondisi tidak sadarkan diri di lantai. Pada bagian lehernya, terdapat dua lubang bekas gigitan yang tampak membiru. Tubuhnya kini juga sudah tak bergerak sama sekali.

Setelah rasa haus tadi hilang, Alaric segera bangkit berdiri sembari menyeka sudut bibirnya yang masih meneteskan darah segar. Mata merahnya berangsur-angsur kembali seperti normal.

Dan tepat pada saat itu, seseorang tiba-tiba saja menodongkan pistol di belakang kepalanya.

“Angkat tangan!”

Alaric seketika tertegun. Gerakannya terhenti di tempat.

”Kau terlalu menikmati santapanmu sampai tidak menyadari kalau aku sudah ada di dalam, Tuan!” ujar Callista. Perasaan puas menggelora di dadanya.

Selang beberapa saat, lima orang polisi lain juga tampak menyusul masuk ke dalam ruangan. Mereka ikut menodongkan pistol ke arah Alaric sedangkan Callista lanjut menarik pelatuknya.

“Cepat angkat tangan sebelum kuhancurkan kepalamu!”

Alaric pun mengangkat tangan seraya berbalik perlahan. Matanya menyipit kala bertatapan dengan Callista. ”Ah, kau lagi rupanya.”

“Kenapa? Kaget karena aku berhasil memergokimu?”

”Tidak juga. Aku sudah bisa menebak.”

Callista mendengkus. “Kupastikan kau akan membusuk di penjara, Brengsek!” ujarnya sembari memborgol tangan Alaric secara waswas. Ia lalu mendorong pria itu, menyerahkannya ke lima orang polisi tadi. ”Bawa dia!”

Malam itu, suara sirine mobil polisi terdengar menggaung di sepanjang jalan. Para pengunjung di klub mewah tersebut pun terkejut melihat kedatangan segerombolan polisi. Sebagian pengunjung ada yang takut dan berusaha kabur sementara sebagian lainnya menonton, penasaran dengan apa yang sudah terjadi.

“Cale!” Samantha berteriak seraya berlari menghampiri sahabatnya. “Cale, kau masih hidup? Apa ada yang terluka?”

Callista tersenyum bangga. “Tidak ada. Memangnya buronan mana yang berani melawan seorang Callista?”

Mendengar hal tersebut, Samantha pun langsung melayangkan kepalan tinjunya pada bahu gadis itu. “Apa kau sudah lupa? Kau pernah hampir mati tertabrak kereta cuma gara-gara mengejar pencopet kelas teri yang kabur! Lalu minggu kemarin, kau juga nyaris jatuh dari gedung lantai dua puluh karena strategi penangkapan konyolmu itu!”

“Hei, tidak usah membahasnya lagi! Yang penting aku masih hidup,” balas Callista sembari mengibaskan tangan tak acuh. Ia kemudian berjalan masuk menuju mobilnya kembali. “Ayo, cepat kita pergi dari sini! Aku sudah tidak sabar menginterogasi psikopat sialan itu!”

“Wah, kau sungguh sakit jiwa. Aku akan bersyukur kalau ada mafia yang ingin mencuci otakmu, Cale!” ujar Samantha sarkastik.

Sesampainya di kantor polisi, Callista pun segera memanggil Andrew Jenkins—anak magang baru yang masuk anggota timnya—untuk menyiapkan ruang interogasi selagi ia mengganti baju. Gaun pendek membuatnya ingin mencolok mata pria keranjang mana pun yang berani mendelik ke arahnya.

***

“Duduklah!” Seorang petugas kepolisian langsung menyuruh Alaric untuk duduk di sebuah ruangan yang cukup terang. Ia menyuruh Alaric menunggu sampai petugas bagian penyidik lain datang.

Pandangan mata pria itu menelaah ke sekeliling. Ada sebuah cermin besar di sebelah kiri, kamera di sudut, dan satu kursi kosong di hadapannya. Melihat dari ciri-ciri yang ada, Alaric yakin bahwa dirinya kini berada di ruangan interogasi. Ia sudah familiar dengan situasi semacam ini.

Tak lama kemudian, Callista pun melangkah masuk ke dalam ruangan tersebut.

“Sudah siap menerima hukuman?” sapanya sembari menarik kursi untuk duduk. “Kau bisa memanggil pengacara kalau kau mau.”

Alaric tersenyum mengejek. “Dengar, Nona penguntit—”

“Callista! Namaku Callista Bradley! Panggil aku Nona Cale!”

“Oke, Nona Cale, aku tidak tahu apa yang sebenarnya ada di dalam otakmu sampai kau terus mengikutiku. Tapi yang jelas, aku tidak punya masalah apapun denganmu. Dan juga tentang pemandangan tadi, kau salah paham.”

“Salah paham kau bilang?” Callista mengangkat satu alisnya. “Kau sudah membunuhnya, Sialan!”

“Hei, jangan menuduh sembarangan. Aku tidak membunuhnya. Kau sendiri yang datang di waktu yang tidak tepat. Aku hanya bersenang-senang, sebagai seorang pria pada umumnya.”

Callista mengepalkan tangan. Ia menatap Alaric dengan nyalang. Kesabarannya yang hanya setipis tisu dibelah tujuh sudah habis. Ia kemudian bangkit berdiri, mematikan kamera dan mengunci pintu ruangan interogasi. Para penyidik lain yang berada di balik cermin pun kebingungan dengan apa yang akan dilakukan oleh gadis itu.

“Berhentilah bersandiwara! Aku sudah tahu siapa kau sebenarnya. Kau adalah seorang vampir, bukan?”

“Lantas? Kau tidak takut denganku? Aku bisa saja melepas borgol ini dan menghisap darahmu dalam sekejap.”

“Cih, coba saja! Buat apa aku takut dengan makhluk terkutuk sepertimu?”

Senyuman mengejek pun kembali terbit di wajah Alaric. Pria itu ikut bangkit berdiri. Lalu, mengangkat kedua pergelangan tangannya di depan wajah Callista. Mata Callista membelalak ketika melihat borgol itu ternyata sudah terlepas dengan sangat rapi.

Alaric kemudian berjalan keluar dari meja, mendekati gadis itu sembari menjatuhkan borgol tersebut ke lantai.

“Kau lihat? Aku tidak membual,” katanya.

Callista sontak melangkah mundur. “Jangan mendekat atau kau—”

Namun, Alaric tahu-tahu menghilang dan muncul kembali persis di hadapannya. Iris mata pria itu berubah menjadi semerah darah. Gigi taring dan kukunya juga memanjang.

Callista terkesiap. ”Kau benar-benar seorang vampir ...!” gumamnya di antara sela-sela gigi yang terkatup rapat.

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status