enjoy reading.🥰
Bab 42 Surprise (Tamat) "Mas Agha, kenapa beliau yang datang?""Hah, aku juga nggak tahu, Ra.""Ishh, bohong kamu, Mas."Agha berusaha lari ke dapur untuk menghindar sebelum kena timpuk Rania.Di sinilah saat ini, dua keluarga yang saling bersua untuk satu tujuan baik yakni menyatukan dua insan yang awalnya bersepakat dengan sebuah perjanjian. Ruang tamu berisi keluarga Abi dan juga Pak Joko sebagai tuan rumah. Sementara itu, Rania duduk dengan kursi terpisah, karena kursi kayu yang mengisi ruang tamu terbatas.Setelah basa-basi perkenalan, papa Abi mengutarakan maksud kedatangan keluarganya untuk melamar Rania.Seketika Rania tersentak, sekilas beradu pandang dengan Abi, lalu memutus kontak dengan mengalihkan netra kearah sang bapak. "Maaf, izinkan saya berbicara berdua dengan Pak Abi," mohon Rania dengan menangkupkan kedua tangannya.Mama Abi yang semula berbinar wajahnya sedikit meredup. Ada sorot khawatir jika Rania akan menolak. Namun, Rania memberikan senyuman sekilas membuat h
PROLOGGelap baru saja melipat terang. Ruang tamu rumah Rania sunyi. Rania akrab disapa Ara duduk di kursi, menunduk.Suara gelas membentur lantai menyentak kesadaran Rania. Di hadapannya, serpihan gelas berhamburan ke segala penjuru. "Pak, maafkan Ara! Sungguh itu bukan mau Ara, Pak." Gadis dua puluh tahun itu bersimpuh dengan bahu bergetar menahan isakan. Jemari meremas bagian bawah tunik yang dia kenakan."Bapak dulu bilang apa?! Semiskin-miskinnya kita, jangan pernah menjual kehormatan. Lalu apa?! Sekarang kamu mengingkarinya. Angkat kaki dari rumah ini! Kamu sudah bikin malu bapak dan ibu!""Ini salah paham, Pak!""Salah paham katamu?! Siapa yang ada di foto itu?! Bapak tidak buta, Ra!"Tubuh Rania gemetar seakan bumi sedang diguncang gempa, saat melihat bara di sepasang manik mata sang bapak. Memilih bergeming, dia tidak bisa menyangkal, benar adanya foto yang tersebar seantero grup medsos kampung adalah dirinya."Ara akan buktikan kalau Ara tidak bikin malu bapak dan ibu," lir
“Siapa ingin sukses di dunia harus dengan ilmu. Bahagia di akhirat juga butuh ilmu. Jika ingin keduanya, maka hendaklah dengan ilmu. Ilmu tak punya kaki untuk menghampiri kita, maka kita yang harus menghampirinya dengan cara belajar.”*****Rania berdiri di depan pintu kos dengan napas terengah-engah. Dia berusaha menetralkan diri dengan menarik oksigen sebanyak-banyaknya lalu menghembuskan perlahan. Melihat jam di ponsel menunjukkan lima belas menit berlalu dari jam sepuluh, bahunya melorot.Nasib masih berpihak padanya. Dengan dalih jam malam kos hampir terlewat, Rania berhasil lepas dari mimpi buruknya memenuhi keinginan Pak Herman. Dia sangat bersyukur malam ini bisa melepaskan diri. Namun dia belum memikirkan untuk malam selanjutnya.Dengan merapalkan doa, Rania memegang knop pintu dengan jantung berdebar."Alhamdulillah." Rasa lega mengembang di dada saat mengetahui pintu kos belum terkunci. Biasanya jam malam di kosnya adalah jam sepuluh. Kali ini keberuntungan masih berpihak p
"Ci..., maaf aku selalu merepotkanmu.""Aku tidak punya uang sebanyak itu, tapi kita bisa kumpulin sama-sama, Nia. Percayalah!" Rania mengangguk dan berterima kasih pada sahabatnya dengan sebuah pelukan.Esok paginya, hari-hari di kampus dirasakan Rania dengan debaran jantung tidak normal. Seperti seseorang yang takut kedapatan mencuri barang, Rania selalu was-was. Wajahnya celingukan ke kanan kiri manatahu berpapasan dengan orang yang ditakutkannya."Nia!"Deg."Astaghfirullah, Ci. Jangan ngagetin aku kayak gini. Lama-lama aku bisa jantungan," ujar Rania sembari mengelus dada."Sttt, kamu bisa tenang Nia. Pak Herman perjalanan dinas ke luar kota seminggu. Aku dengar infonya di ruang kemahasiswaan tadi."Serius, Ci?" Cika mengangguk dengan seulas senyum menenangkan sahabatnya. Rania tiba-tiba terharu, tanpa diminta setetes cairan bening mengalir dari mata indahnya."Ci, kamu sahabat terbaikku. Jangan pernah ninggalin aku dalam situasi apapun, ya!" rengeknya."Astaga, Nia. Kenapa kamu
Seminggu berlalu.... "Ra, buruan jangan lama-lama. Kasian Mas Agha kelamaan nunggunya!" teriakan Bu Minah tak urung menghentikan kesibukan Rania mematut diri di depan cermin sembari membetulkan pasminanya. "Sebentar lagi, Bu." "Saya panggil Rania dulu, Mas Agha. Maaf, ya harus menunggu lama!" Laki-laki muda itu bernama Agha Rahmawan, berusia 28 tahun. Anak salah satu tetangga berselisih tiga rumah dari rumahnya. Agha berprofesi sebagai polisi, berkantor di kota Yogya. "Nggak papa, Bu. Biar Rania selesaikan dulu, takutnya ada yang ketinggalan." Senyum merekah yang terlukis di wajah Agha selalu meneduhkan hati Cklek, "Kamu sudah cantik, butuh berapa lama lagi Agha harus menunggumu, Ra?" "Ini dah mau selesai, Bu." Senyum tersungging di bibirnya memperlihatkan lesung pipit yang menjadi sumber pesonanya. "Astaga, Ra!" "Kenapa, Bu?" tanya Rania heran karena ekspresi terkejut ibunya. "Jangan sering mengobral senyum! Ibu khawatir Pipi yang merah merona ini bisa membuat laki-laki jat
"Yuk, Mas!" Agha melihat Rania membawa cooler bag. Hatinya amat tersentuh saat melihat semangat gadis yang berselisih lebih dari lima tahun dengan usianya. "Ra, kamu nggak masalah kuliah sambil kerja?" "Memangnya kenapa, Mas?""Aku khawatir kamu nggak bisa atur waktu. Nanti kuliahmu justru terbengkalai." Rania duduk sebentar di samping Agha dengan memberi jarak cooler bag di tengahnya, karena kursi yang tersedia lumayan panjang."Nggak gitu juga, Mas. Aku malah bisa latihan wirausaha. Kan di kampus ada mata kuliah kewirausahaan sekarang." Rania menjelaskan dengan wajah sumringah."Ya sudah, yang penting fokus pada kuliahmu biar cepat lulus dan...." Agha menjeda kalimatnya. Dia tak yakin kalimat selanjutnya akan membuat Rania senang mendengarnya."Dan bisa kerja lalu dapat uang banyak," sambung Rania seraya tertawa renyah. Agha sedikit kecewa ternyata kalimat lanjutannya beda dengan yang dipikirkan Rania."Kenapa, Mas?""Haha, iya iya dapat uang banyak biar cepat kaya raya lalu lupa
"Kapten? Apa posisi Mas Agha atasan mereka?" Rania tertunduk malu, semakin minder dibuatnya. Dia tidak tahu menahu pangkat di anggota kepolisian. Dia bisa melihat berbagai badge terpasang di seragam orang-orang yang berdiri tegap di depan Agha. Ada tanda balok berwarna emas tersemat di sana. Namun Rania jelas tidak bisa menemukan tanda itu di pakaian Agha, karena belum memakai seragam. Mencoba mengingat-ingat saat bertemu di Polda, Rania menyayangkan dirinya saat itu tidak fokus melihat badge pada seragam yang dipakai Agha."Mas, Mas Agha jabatannya apa sih?" bisiknya sembari mendekat. Agha sedikit merendahkan badannya, karena tinggi Rania hanya sebatas pundaknya."Nggak usah tahu, Ra, kalau itu hanya akan membuatmu menjauh dariku," balasnya dengan tak kalah berbisik.Deg,"Perasaan macam apa ini? Kenapa aku jadi segugup ini.""Ckk, menyebalkan. Kita juga nggak sedekat itu kali," gerutu Rania yang disambut gelak tawa Agha."Yang pasti kita tetangga dekat," bisiknya lagi ditelinga Rani
"Sstt, jangan teriak-teriak, Ci. Malu-maluin aja, dikira orang nanti aku bawa motor curian.""Hush, kamu malah ngomong jelek gitu, sih."Rania memarkir motornya berjajar rapi dengan motor milik teman kos lainnya. Ada juga motor Cika tepat di sebelahnya."Gila, Nia! Motorku kalah bagus, nih.""Hmm, ini bukan motorku, Ci. Aku cuma dipinjami. Nanti malam juga sudah diambil balik," ungkap Rania santai sembari mengangkat cooler bag berisi susu murni."Sini aku bantuin! Kamu sudah bawa tas punggung pasti berat." Rania mengulas senyum. Tak lupa berterima kasih pada teman kosnya sekaligus sahabat di kampusnya itu. Suka duka sudah mereka alami bersama selama hampir mau empat semester. Sahabat yang selalu mengingatkan supaya Rania tidak terlalu lelah bekerja part time dan lebih fokus dengan belajar. Namun Rania tak mengindahkan, dengan dalih dia sangat butuh uang untuk membayar hutang, terutama hutangnya pada sosok yang ditakutinya di kampus."Sebentar lagi aku berangkat, Nia. Mau aku anterin s