Share

Bab 2 Terlibat Skandal

“Siapa ingin sukses di dunia harus dengan ilmu. Bahagia di akhirat juga butuh ilmu. Jika ingin keduanya, maka hendaklah dengan ilmu. Ilmu tak punya kaki untuk menghampiri kita, maka kita yang harus menghampirinya dengan cara belajar.”

*****

Rania berdiri di depan pintu kos dengan napas terengah-engah. Dia berusaha menetralkan diri dengan menarik oksigen sebanyak-banyaknya lalu menghembuskan perlahan. Melihat jam di ponsel menunjukkan lima belas menit berlalu dari jam sepuluh, bahunya melorot.

Nasib masih berpihak padanya. Dengan dalih jam malam kos hampir terlewat, Rania berhasil lepas dari mimpi buruknya memenuhi keinginan Pak Herman. Dia sangat bersyukur malam ini bisa melepaskan diri. Namun dia belum memikirkan untuk malam selanjutnya.

Dengan merapalkan doa, Rania memegang knop pintu dengan jantung berdebar.

"Alhamdulillah." Rasa lega mengembang di dada saat mengetahui pintu kos belum terkunci. Biasanya jam malam di kosnya adalah jam sepuluh. Kali ini keberuntungan masih berpihak padanya. Membuka pintu perlahan sembari mengendap-endap, Rania ingin memastikan bu kos tidak menangkap basah dirinya pulang terlambat. Biasa anak kos akan terkena denda uang kas jika melewati jam malam.

Plak.

"Aargh." Jantung Rania seakan ingin loncat keluar. 

"Astaga Nia, ngapain jam segini keluyuran?" Napas yang tadi sudah normal kini kembali berkejaran. Dia mengusap dadanya berkali-kali.

"Kamu mau bikin aku jantungan, Ci?" Rania mendengkus kesal karena ulah sahabatnya. Dipikirnya bu kos yang memergoki kepulangannya.

"Kamu dari mana aja?"bisiknya membuat Rania menaruh telunjuknya di bibir, lalu menarik Cika ke kamarnya.

"Jangan lapor bu kos kalau aku terlambat ya, please! Uangku menipis kalau harus bayar denda." Cika tak tega melihat wajah sendu Rania. Sejujurnya wajah sendu itu bukan dikarenakan Rania terlambat pulang ke kos, melainkan masalah lain yakni dengan sosok yang baru saja mengantarnya pulang.

"Cerita sama aku, Nia! Sebenarnya ada apa? Wajahmu terlihat nggak baik-baik saja," cecar Cika membuat Rania menutup wajah dengan kedua tangannya. Hening, tiba-tiba bahu Rania bergetar. 

"Nia...." Tepukan di bahu Rania justru membuatnya semakin tergugu."

"Ci, gimana caranya mendapat uang 15 juta dalam seminggu?" ucap Rania terbata seakan ada duri yang tersangkut di tenggorokan.

"Apa maksudmu?! Li... lima be...las juta rupiah?!" ucapnya mengeja. Cika memandang lekat sorot sendu wajah Rania seraya memegang kedua bahunya. "Itu uang banyak sekali untuk apa, Nia?"

"Aku butuh uang itu, Ci. Aku..., keluargaku...."

Tangis Rania kembali pecah, ingin rasanya mencurahkan semua isi hatinya termasuk masalahnya dengan Pak Herman. Namun semua itu hanya tertahan di dada hingga sesak mendera bagai terhimpit beban berat.

"Minum dulu, Nia!" Cika menyodorkan botol minum yang tergeletak di ranjang dekat tas cangklong. Setelah sapuan cairan dingin terasa melegakan tenggorokan, Rania mulai sedikit tenang. Dia mulia bercerita dari kepergiannya menuju rumah di Boyolali hingga pulang kembali ke Yogya tengah malam.

"Apa?! Jadi, kamu terlibat masalah dengan Pak Herman?!" Rania mengangguk, sementara Cika memasang wajah khawatir. 

Dia berpikir hal buruk akan menimpa Rania, sedikit banyak Cika mendengar desas desus tentang sikap Pak Herman yang kurang sedap. Apalagi kalau sampai ada mahasiswa memergoki sahabatnya pernah jalan bersama beliau, bisa dipastikan gosip hangat itu akan menyebar bak kilatan cahaya.

"Aku harus gimana, Ci? Lima belas juta dalam seminggu atau aku harus..." Rania menjeda kalimatnya. "Aku harus menjadi penghiburnya. Aargh!"

Rania melepas pasmina dan mengacak rambutnya frustasi. Bagaimana mungkin dia harus menjadi penghibur laki-laki itu jika tidak bisa mengembalikan uang sesuai temponya. Rania bergidik ngeri membayangkannya.

"Ulur waktu, Nia! Sebisa mungkin ulur waktu, selagi kamu kumpulin uang. Aku dan Arif juga akan membantumu mengumpulkan uang."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status