"Sstt, jangan teriak-teriak, Ci. Malu-maluin aja, dikira orang nanti aku bawa motor curian."
"Hush, kamu malah ngomong jelek gitu, sih."Rania memarkir motornya berjajar rapi dengan motor milik teman kos lainnya. Ada juga motor Cika tepat di sebelahnya."Gila, Nia! Motorku kalah bagus, nih.""Hmm, ini bukan motorku, Ci. Aku cuma dipinjami. Nanti malam juga sudah diambil balik," ungkap Rania santai sembari mengangkat cooler bag berisi susu murni."Sini aku bantuin! Kamu sudah bawa tas punggung pasti berat." Rania mengulas senyum. Tak lupa berterima kasih pada teman kosnya sekaligus sahabat di kampusnya itu. Suka duka sudah mereka alami bersama selama hampir mau empat semester. Sahabat yang selalu mengingatkan supaya Rania tidak terlalu lelah bekerja part time dan lebih fokus dengan belajar. Namun Rania tak mengindahkan, dengan dalih dia sangat butuh uang untuk membayar hutang, terutama hutangnya pada sosok yang ditakutinya di kampus."Sebentar lagi aku berangkat, Nia. Mau aku anterin sekalian ke kafe?" tawar Cika pada Rania yang wajahnya terlihat mengantuk."Tidak perlu, Ci. Aku bisa berangkat sendiri pakai motor Mas Agha.""Dih, jadi ini motornya pak polisi? Baru kali ini aku dengar ada cowok yang bisa mengambil hati sahabatku ini?" canda Cika. Dia tahu Rania tak mudah diluluhkan hatinya. Keinginannya mutlak tidak ingin menikah sebelum sukses membawa keluarganya bangkit dari keterpurukan. Bukan karena wajah yang tak laku, kesederhanaannya justru menambah pesonanya."Bukan siapa-siapa, Ci. Mas Agha tetanggaku yang baik dan senang membantu," terang Rania tak mau terjadi salah paham meskipun dia tak juga mengelak kalau terjadi yang sesungguhnya."Ya, ya. Tetangga dekat. Dari tetangga jadi suami. Dunia terasa tak selebar daun kelor," ucap Cika bak seorang sastrawan sedang beraksi di panggung. Rania pun memukul bahu sahabatnya."Aargh, sakit, Nia. Ayo jangan mengelak! Aku penasaran kayak gimana orangnya kalau lagi jalan sama kamu. Pasti dia alim, ya? Hmm kalem kayak ustadz.""Astaga, Cika. Mas Agha itu seorang polisi cerewet." Rania mengucap lirih sambil mengedarkan pandangan manatahu ada anak kos mendengarnya bisa jadi gosip hangat."Apa?!" teriak Cika histeris."Sstt, jangan keras-keras!"Reflek Cika menutup mulutnya dengan kedua tangan."Cerewetnya sama kamu doang, kan?" lirihnya diikuti kerjapan mata membuat Rania jengah."Aku nebeng dari rumah. Maunya turun di halte bus, tapi dia maksa nganter sampai Yogya."Cika senyum-senyum mendengarnya."Itu modus biar dia bisa deket sama kamu, Nia.""Ishh, nggak usah berlebihan, Ci.""Serius, Nia. Mas Agha pangkatnya apa? Mungkin aku bisa tanyakan Arif, kakak sepupunya juga polisi di Yogya. Rumahnya sih satu desa sama aku di Magelang. Pas pulang bisa aku cari info tentang Mas Agha.""Ya ampun, Ci. Ngapain jadi panjang amat ceritanya. Siapa yang mau cari infonya? Dia itu dipanggil Kapten sama temannya.""Hah? Fix nih, nggak main-main, Nia. Mas Agha orang penting. Jangan ditolak kalau dia mau jadi pacar...., eh calon suamimu!""Udah ah, nggak usah ngajakin aku bermimpi!"Rania nyelonong ke kamar dan menghempaskan badannya di kasur. Dia ingin istirahat barang sejam sebelum berangkat ke kafe. Cika berdecis kesal karena Rania tak sepakat dengan pendapatnya."Ya udah, Nia. Aku berangkat dulu ya! Kamu hati-hati bawa motornya, jangan sampai lecet kasian pemiliknya," kelakar Cika yang disambut lambaian tangan Rania dengan posisi badan telungkup.Selesai salat Magrib, Rania bersiap ke kafe sekalian membawa cooler bag berisi susu. Dia shift malam hari ini. Melajukan motor milik Agha dengan hati-hati, Rania datang ke kafe penuh semangat. Harapannya, usaha menyalurkan produk susu dari daerahnya akan berhasil. Sebelumnya dia hanya kerja sebagai pelayan di kafe yang menyediakan minuman berbahan kopi dan susu serta aneka cemilan kawula muda. Sekarang dia dipercaya pemilik kafe untuk mensuplai susu dari daerahnya. "Selamat malam Pak Aldo," sapa Rania pada manajer kafe. Laki-laki berusia matang seorang duda dengan satu putri semata wayang sedang duduk di ruang kerjanya. Jika diperhatikan lekat, wajahnya begitu tegas dan berwibawa. Tak heran para karyawan sangat menghormatinya. Beberapa dari karyawan kadang menggosip tentang bosnya yang betah menduda."Masuk, Nia!""Ya, Pak. Ini saya bawakan produk susu murni dari daerah saya. Semoga kualitasnya memuaskan.""Sip, Nia. Bagus ini barangnya, langsung masukkan lemari penyimpanan. Pastikan suhunya sesuai aturan, ya!""Siap, Pak!"Rania kembali ke dapur untuk menuju ruang storage. Di sana sudah ada dua karyawan lain. Belum selesai memasukkan botol bening berisi susu, salah satu temannya bernama Budi meneriakkan namanya."Nia, tolong bantu bertugas di depan! Pengunjung mulai berdatangan!""Siap, Mas!""Sini, aku yang lanjutin! Kamu bantu di depan." Rania mengangguk, bergegas merapikan penampilannya serta pasmina yang diikat ke belakang."Selamat datang di kafe Ceria, kafe romantis untuk kawula muda."Rania memasang senyum semanis madu dengan suara dibuat semerdu seruling, tetapi apa daya sedikit malu masih dirasanya."Hmm, sepertinya kita pernah bertemu Nona?""Eh." Rania gelagapan mendengarnya"Selamat datang di kafe Ceria, kafe romantis untuk kawula muda."Rania memasang senyum semanis madu dengan suara dibuat semerdu seruling, tetapi apa daya sedikit malu masih dirasanya."Ehmm, sepertinya kita pernah bertemu Nona?""Eh." Rania gelagapan mendengarnya. Wajahnya tampak mengingat-ingat sesuatu tetapi tak juga ketemu siapa sosok di hadapannya sekarang. Dua laki-laki salah satu masih berpakaian olahraga lengkap dengan sepatu dan menenteng tas berisi raket. Sementara itu, satunya lagi memakai celana denim dan kemeja kasual serta sneakers hitam menghiasi kakinya.Tak bisa berbohong, Rania sempat takjub melihat paras laki-laki yang menyapanya duluan. Tampan iya, pesonanya tak kalah dengan Agha. Postur tubuh sedikit lebih tinggi Agha, karena tinggi Rania melebihi pundaknya. Mengenai parfum, fix pasti sama mahalnya dengan parfum milik Agha. Hanya saja aromanya mint lebih segar. Rania pun menyukainya. Dia bisa mengenal macam-macam parfum dari Cika. Sahabatnya itu suka membelikan par
"Ada apa, Ra? Kamu ada masalah dengannya?" Masih dalam posisi duduk, Agha bertanya pada Rania layaknya petugas sedang menginterogasi."Hmm, itu, Mas. Tadi aku nggak sengaja menyenggol motornya sampai lecet. Dia mau aku bertanggung jawab. Tapi beneran aku nggak tahu kejadiannya. Jadi, aku nggak berhenti," ucap Rania sembari tertunduk merasa bersalah."Mas minta ganti rugi?" Nada tegas reflek keluar dari mulut Agha."Nggak perlu. Dia sudah minta maaf, jadi impas," balas Abi penuh percaya diri."Itu motor saya. Kalau minta ganti rugi, Mas bisa hubungi saya!"Abi mengangguk dan tidak mempermasalahkan lagi goresan di motornya.Masing-masing pelanggan di dua meja berdekatan itu telah mendapatkan pesanan. Rania kembali ke counter minuman untuk menggantikan sementara temannya yang izin ke toilet.Abi terlihat menikmati pesanan yang baru saja disuguhkan. Ini kali pertama dia diajak Irvan mengunjungi kafe Ceria. Setelah studinya di Eropa selesai, Abi kembali mengabdi di tanah air hingga rezekin
Bab 10Detik berlalu makin cepat tergerus oleh menit hingga menit berlalu termakan oleh jam. Suasana ruang kuliah tampak riuh saat pelajaran Linguistik berlangsung. Pasalnya, mahasiswa mendapat tugas meneliti tentang cara berkomunikasi dengan anak berkebutuhan khusus.Ya, Rania mengambil jurusan sastra Indonesia sejak dua tahun yang lalu. Dia memiliki hobi membaca dan menulis, meski baru sebatas menulis di buku harian. Itupun sesekali saja, saat kesedihan yang tak terbendung melandanya.Baginya meluapkan segala emosi dalam bentuk tulisan mampu menyembuhkan luka yang tanpa disadari sedikit banyak menyayat hati. Rania teringat pesan seseorang di masa lalunya. Laki-laki yang meninggalkan kenangan sebuah tali rambut keropi beserta buku harian itu untuknya. "Jangan biarkan kesedihan menggerogoti hatimu. Ungkapkan resahmu dalam buku ini!" ucapnya kala itu.Senyum mengembang di bibir Rania setiap mengingat masa itu. Bayangan wajah laki-laki itu sungguh tidak bisa diingatnya. Tidak ada foto
Bab 11 MenyebalkanMasih dengan perasaan dongkol, Rania menarik napas panjang. Netranya memicing ke arah meja di sudut ruangan, ada papan nama, Dr. Abimanyu Nareswara. Namanya seperti tidak asing di benaknya. Setelah kepergian laki-laki yang dipanggil Abi itu, Rania fix menaruh dendam padanya. Bisa-bisanya laki-laki itu tidak bisa membaca bahasa tubuhnya.Benar adanya, bagi laki-laki, perempuan seringkali dipandang tidak jelas atau suka berputar-putar daripada langsung mengarah ke apa yang dimaksud. Kadang-kadang seorang laki-laki merasa seakan-akan dia disuruh menebak-nebak apa yang diinginkan si perempuan, atau dia diminta menjadi seorang pembaca pikiran.Ya, sepertinya Rania sia-sia saja mengandalkan kontak matanya untuk meminta pertolongan laki-laki yang baru pertama kali ditemuinya semalam di kafe. Pertemuan pertama yang buruk, karena terjadi adu pandang dan adu mulut dengan Agha.Satu-satunya harapan kini hanyalah membela diri sekuat tenaga jika monster di hadapannya kini mengaun
Bab 12 Memuaskan"Aku dengar kamu ada job baru sekarang?" cibir Almira."Apa maksudmu?" Rania bertanya balik dengan sorot mata mengharap jawaban."Apa sepupuku juga salah satu korbanmu, huh?" Rania tercengang mendengarnya. Dia menoleh ke kanan kiri berharap tidak ada orang lain yang menangkap pembicaraan mereka."Jaga bicaramu, Al! Kalian tidak punya bukti apa-apa hingga menuduhku seperti itu.""Haha, bukti?! Jelas-jelas Sherly dan Manda lihat malam akhir pekan lalu kamu diantar Pak Herman. Benar begitu, bukan? Tidak usah mengelak, kalian sama-sama menjalin hubungan mutualisme. Ada yang butuh uang dan ada yang butuh kesenangan."Memilih pergi, Rania tidak ingin meladeni mereka yang berujung ricuh. Merasa Rania tak acuh, Almira kesal setengah mati. Dia tidak rela kalau sepupunya memberi perhatian lebih pada gadis yang dianggapnya pesaing dalam hal prestasi sejak.di bangku sekolah hingga di kampus."Lihat saja, Nia. Aku akan membuktikan kalau kamu wanita yang tidak pantas untuk sepupuku.
Bab 13"Kamu bekerja melayani saya!" "Hah?" Mata Rania membola, kenapa tidak di kampus atau di luar kampus tawaran macam ini yang didapatnya. "Saya bisa memberi berapa yang kamu butuhkan, bahkan saya bisa memberi bonus tambahan jika pelayanannya memuaskan." Rania tercengang mendengarnya."Tapi, Pak. Saya....""Saya yakin kamu tidak akan menolaknya kalau sudah memulainya." Rania heran kenapa bosnya begitu yakin dirinya mau menerima pekerjaan ekstra itu. Apa boleh buat, Rania sedang dalam keadaan sulit dan tertekan. Memilih merenungkan dalam sehari, dia berharap keputusannya tidak buruk. Bekerja dengan bos yang sudah dikenalnya tidak lebih buruk dibanding memuaskan Pak Herman yang belum dikenalnya."Beri saya waktu sehari untuk memutuskannya, Pak!""Ya, saya tunggu jawabannya besok. Jika kamu siap, maka kita mulai besok malam."Rania tertegun, secepat itukah dia akan bekerja dan mendapatkan uang yang diinginkan. Namun, pikiran warasnya masih bekerja. Bagaimana dengan orang tuanya jika
Bab 14Mentari bersinar menyambut pagi yang cerah. Secerah hati Rania hari ini yang sejenak melupakan panggilan dari Sari semalam. Gegas dia mematut diri di cermin dengan stelan andalan ke kampusnya, apalagi kalau bukan tunik floral. Sampai detik ini, Rania bernapas lega sudah menjadi mahasiswi menginjak semester 4. Sudah setengah perjalanan meraih impiannya.Rania menjadi salah satu mahasiswi yang aktif di kelas dan juga sering ikut event lomba seperti lomba menulis. Belum banyak memang predikat juara yang diperolehnya. Namun, dia tetap semangat dengan impiannya menjadi pengajar sekaligus penulis. Sederhana saja, alasan Rania masih sama yakni termotivasi oleh seseorang di masa lalunya. Ares seorang mahasiswa yang dulu KKN di kampungnya, kini tidak diketahui di mana keberadaannya.Meskipun sekarang sedang dekat dengan Agha, Rania tetap menyimpan nama Ares di lubuk hati terdalamnya. Laki-laki sederhana yang mampu mengubah hidupnya. Semangat yang diberikannya membuat kepercayaan diri Ran
Bab 15 Amplop berisi uang"Eh apa ini?!" Rasa penasaran menghinggapi wajah Sherly dan Manda saat melihat benda jatuh.Sebuah amplop coklat yang terselip di dalam berkas jatuh ke lantai.Semua mata tertuju pada benda itu. Sherly segera memungutnya dan penasaran dia mengeluarkan isinya. Rania tercengang, jantungnya seakan ingin meloncat keluar.Gegas dia berusaha merebut benda itu. Namun Sherly menghindar dan bersembunyi di balik punggung Manda."Lihatlah, apa yang kita khawatirkan kemarin teman-teman. Ini bukti nyata Rania mendapat uang banyak dari siapa?!"Gelak tawa mengiringi teriakan Sherly. Senyum mengejek pun hadir dari bibir Manda. Jelas-jelas keduanya puas membuat Rania terpojok. "Hentikan, Sher! Kalian berdua tidak tahu apa-apa." Rania berusaha membela diri dibantu Cika dengan menenangkan teman-teman yang seketika memandang sinis keduanya. Beberapa pasang mata berbisik-bisik. Tak sedikit dari mereka mengumbar celaan yang ditujukan ke Rania."Dasar perempuan tak tahu diri. Men