"Sstt, jangan teriak-teriak, Ci. Malu-maluin aja, dikira orang nanti aku bawa motor curian."
"Hush, kamu malah ngomong jelek gitu, sih."Rania memarkir motornya berjajar rapi dengan motor milik teman kos lainnya. Ada juga motor Cika tepat di sebelahnya."Gila, Nia! Motorku kalah bagus, nih.""Hmm, ini bukan motorku, Ci. Aku cuma dipinjami. Nanti malam juga sudah diambil balik," ungkap Rania santai sembari mengangkat cooler bag berisi susu murni."Sini aku bantuin! Kamu sudah bawa tas punggung pasti berat." Rania mengulas senyum. Tak lupa berterima kasih pada teman kosnya sekaligus sahabat di kampusnya itu. Suka duka sudah mereka alami bersama selama hampir mau empat semester. Sahabat yang selalu mengingatkan supaya Rania tidak terlalu lelah bekerja part time dan lebih fokus dengan belajar. Namun Rania tak mengindahkan, dengan dalih dia sangat butuh uang untuk membayar hutang, terutama hutangnya pada sosok yang ditakutinya di kampus."Sebentar lagi aku berangkat, Nia. Mau aku anterin sekalian ke kafe?" tawar Cika pada Rania yang wajahnya terlihat mengantuk."Tidak perlu, Ci. Aku bisa berangkat sendiri pakai motor Mas Agha.""Dih, jadi ini motornya pak polisi? Baru kali ini aku dengar ada cowok yang bisa mengambil hati sahabatku ini?" canda Cika. Dia tahu Rania tak mudah diluluhkan hatinya. Keinginannya mutlak tidak ingin menikah sebelum sukses membawa keluarganya bangkit dari keterpurukan. Bukan karena wajah yang tak laku, kesederhanaannya justru menambah pesonanya."Bukan siapa-siapa, Ci. Mas Agha tetanggaku yang baik dan senang membantu," terang Rania tak mau terjadi salah paham meskipun dia tak juga mengelak kalau terjadi yang sesungguhnya."Ya, ya. Tetangga dekat. Dari tetangga jadi suami. Dunia terasa tak selebar daun kelor," ucap Cika bak seorang sastrawan sedang beraksi di panggung. Rania pun memukul bahu sahabatnya."Aargh, sakit, Nia. Ayo jangan mengelak! Aku penasaran kayak gimana orangnya kalau lagi jalan sama kamu. Pasti dia alim, ya? Hmm kalem kayak ustadz.""Astaga, Cika. Mas Agha itu seorang polisi cerewet." Rania mengucap lirih sambil mengedarkan pandangan manatahu ada anak kos mendengarnya bisa jadi gosip hangat."Apa?!" teriak Cika histeris."Sstt, jangan keras-keras!"Reflek Cika menutup mulutnya dengan kedua tangan."Cerewetnya sama kamu doang, kan?" lirihnya diikuti kerjapan mata membuat Rania jengah."Aku nebeng dari rumah. Maunya turun di halte bus, tapi dia maksa nganter sampai Yogya."Cika senyum-senyum mendengarnya."Itu modus biar dia bisa deket sama kamu, Nia.""Ishh, nggak usah berlebihan, Ci.""Serius, Nia. Mas Agha pangkatnya apa? Mungkin aku bisa tanyakan Arif, kakak sepupunya juga polisi di Yogya. Rumahnya sih satu desa sama aku di Magelang. Pas pulang bisa aku cari info tentang Mas Agha.""Ya ampun, Ci. Ngapain jadi panjang amat ceritanya. Siapa yang mau cari infonya? Dia itu dipanggil Kapten sama temannya.""Hah? Fix nih, nggak main-main, Nia. Mas Agha orang penting. Jangan ditolak kalau dia mau jadi pacar...., eh calon suamimu!""Udah ah, nggak usah ngajakin aku bermimpi!"Rania nyelonong ke kamar dan menghempaskan badannya di kasur. Dia ingin istirahat barang sejam sebelum berangkat ke kafe. Cika berdecis kesal karena Rania tak sepakat dengan pendapatnya."Ya udah, Nia. Aku berangkat dulu ya! Kamu hati-hati bawa motornya, jangan sampai lecet kasian pemiliknya," kelakar Cika yang disambut lambaian tangan Rania dengan posisi badan telungkup.Selesai salat Magrib, Rania bersiap ke kafe sekalian membawa cooler bag berisi susu. Dia shift malam hari ini. Melajukan motor milik Agha dengan hati-hati, Rania datang ke kafe penuh semangat. Harapannya, usaha menyalurkan produk susu dari daerahnya akan berhasil. Sebelumnya dia hanya kerja sebagai pelayan di kafe yang menyediakan minuman berbahan kopi dan susu serta aneka cemilan kawula muda. Sekarang dia dipercaya pemilik kafe untuk mensuplai susu dari daerahnya. "Selamat malam Pak Aldo," sapa Rania pada manajer kafe. Laki-laki berusia matang seorang duda dengan satu putri semata wayang sedang duduk di ruang kerjanya. Jika diperhatikan lekat, wajahnya begitu tegas dan berwibawa. Tak heran para karyawan sangat menghormatinya. Beberapa dari karyawan kadang menggosip tentang bosnya yang betah menduda."Masuk, Nia!""Ya, Pak. Ini saya bawakan produk susu murni dari daerah saya. Semoga kualitasnya memuaskan.""Sip, Nia. Bagus ini barangnya, langsung masukkan lemari penyimpanan. Pastikan suhunya sesuai aturan, ya!""Siap, Pak!"Rania kembali ke dapur untuk menuju ruang storage. Di sana sudah ada dua karyawan lain. Belum selesai memasukkan botol bening berisi susu, salah satu temannya bernama Budi meneriakkan namanya."Nia, tolong bantu bertugas di depan! Pengunjung mulai berdatangan!""Siap, Mas!""Sini, aku yang lanjutin! Kamu bantu di depan." Rania mengangguk, bergegas merapikan penampilannya serta pasmina yang diikat ke belakang."Selamat datang di kafe Ceria, kafe romantis untuk kawula muda."Rania memasang senyum semanis madu dengan suara dibuat semerdu seruling, tetapi apa daya sedikit malu masih dirasanya."Hmm, sepertinya kita pernah bertemu Nona?""Eh." Rania gelagapan mendengarnya"Selamat datang di kafe Ceria, kafe romantis untuk kawula muda."Rania memasang senyum semanis madu dengan suara dibuat semerdu seruling, tetapi apa daya sedikit malu masih dirasanya."Ehmm, sepertinya kita pernah bertemu Nona?""Eh." Rania gelagapan mendengarnya. Wajahnya tampak mengingat-ingat sesuatu tetapi tak juga ketemu siapa sosok di hadapannya sekarang. Dua laki-laki salah satu masih berpakaian olahraga lengkap dengan sepatu dan menenteng tas berisi raket. Sementara itu, satunya lagi memakai celana denim dan kemeja kasual serta sneakers hitam menghiasi kakinya.Tak bisa berbohong, Rania sempat takjub melihat paras laki-laki yang menyapanya duluan. Tampan iya, pesonanya tak kalah dengan Agha. Postur tubuh sedikit lebih tinggi Agha, karena tinggi Rania melebihi pundaknya. Mengenai parfum, fix pasti sama mahalnya dengan parfum milik Agha. Hanya saja aromanya mint lebih segar. Rania pun menyukainya. Dia bisa mengenal macam-macam parfum dari Cika. Sahabatnya itu suka membelikan par
"Ada apa, Ra? Kamu ada masalah dengannya?" Masih dalam posisi duduk, Agha bertanya pada Rania layaknya petugas sedang menginterogasi."Hmm, itu, Mas. Tadi aku nggak sengaja menyenggol motornya sampai lecet. Dia mau aku bertanggung jawab. Tapi beneran aku nggak tahu kejadiannya. Jadi, aku nggak berhenti," ucap Rania sembari tertunduk merasa bersalah."Mas minta ganti rugi?" Nada tegas reflek keluar dari mulut Agha."Nggak perlu. Dia sudah minta maaf, jadi impas," balas Abi penuh percaya diri."Itu motor saya. Kalau minta ganti rugi, Mas bisa hubungi saya!"Abi mengangguk dan tidak mempermasalahkan lagi goresan di motornya.Masing-masing pelanggan di dua meja berdekatan itu telah mendapatkan pesanan. Rania kembali ke counter minuman untuk menggantikan sementara temannya yang izin ke toilet.Abi terlihat menikmati pesanan yang baru saja disuguhkan. Ini kali pertama dia diajak Irvan mengunjungi kafe Ceria. Setelah studinya di Eropa selesai, Abi kembali mengabdi di tanah air hingga rezekin
Bab 10Detik berlalu makin cepat tergerus oleh menit hingga menit berlalu termakan oleh jam. Suasana ruang kuliah tampak riuh saat pelajaran Linguistik berlangsung. Pasalnya, mahasiswa mendapat tugas meneliti tentang cara berkomunikasi dengan anak berkebutuhan khusus.Ya, Rania mengambil jurusan sastra Indonesia sejak dua tahun yang lalu. Dia memiliki hobi membaca dan menulis, meski baru sebatas menulis di buku harian. Itupun sesekali saja, saat kesedihan yang tak terbendung melandanya.Baginya meluapkan segala emosi dalam bentuk tulisan mampu menyembuhkan luka yang tanpa disadari sedikit banyak menyayat hati. Rania teringat pesan seseorang di masa lalunya. Laki-laki yang meninggalkan kenangan sebuah tali rambut keropi beserta buku harian itu untuknya. "Jangan biarkan kesedihan menggerogoti hatimu. Ungkapkan resahmu dalam buku ini!" ucapnya kala itu.Senyum mengembang di bibir Rania setiap mengingat masa itu. Bayangan wajah laki-laki itu sungguh tidak bisa diingatnya. Tidak ada foto
Bab 11 MenyebalkanMasih dengan perasaan dongkol, Rania menarik napas panjang. Netranya memicing ke arah meja di sudut ruangan, ada papan nama, Dr. Abimanyu Nareswara. Namanya seperti tidak asing di benaknya. Setelah kepergian laki-laki yang dipanggil Abi itu, Rania fix menaruh dendam padanya. Bisa-bisanya laki-laki itu tidak bisa membaca bahasa tubuhnya.Benar adanya, bagi laki-laki, perempuan seringkali dipandang tidak jelas atau suka berputar-putar daripada langsung mengarah ke apa yang dimaksud. Kadang-kadang seorang laki-laki merasa seakan-akan dia disuruh menebak-nebak apa yang diinginkan si perempuan, atau dia diminta menjadi seorang pembaca pikiran.Ya, sepertinya Rania sia-sia saja mengandalkan kontak matanya untuk meminta pertolongan laki-laki yang baru pertama kali ditemuinya semalam di kafe. Pertemuan pertama yang buruk, karena terjadi adu pandang dan adu mulut dengan Agha.Satu-satunya harapan kini hanyalah membela diri sekuat tenaga jika monster di hadapannya kini mengaun
Bab 12 Memuaskan"Aku dengar kamu ada job baru sekarang?" cibir Almira."Apa maksudmu?" Rania bertanya balik dengan sorot mata mengharap jawaban."Apa sepupuku juga salah satu korbanmu, huh?" Rania tercengang mendengarnya. Dia menoleh ke kanan kiri berharap tidak ada orang lain yang menangkap pembicaraan mereka."Jaga bicaramu, Al! Kalian tidak punya bukti apa-apa hingga menuduhku seperti itu.""Haha, bukti?! Jelas-jelas Sherly dan Manda lihat malam akhir pekan lalu kamu diantar Pak Herman. Benar begitu, bukan? Tidak usah mengelak, kalian sama-sama menjalin hubungan mutualisme. Ada yang butuh uang dan ada yang butuh kesenangan."Memilih pergi, Rania tidak ingin meladeni mereka yang berujung ricuh. Merasa Rania tak acuh, Almira kesal setengah mati. Dia tidak rela kalau sepupunya memberi perhatian lebih pada gadis yang dianggapnya pesaing dalam hal prestasi sejak.di bangku sekolah hingga di kampus."Lihat saja, Nia. Aku akan membuktikan kalau kamu wanita yang tidak pantas untuk sepupuku.
Bab 13"Kamu bekerja melayani saya!" "Hah?" Mata Rania membola, kenapa tidak di kampus atau di luar kampus tawaran macam ini yang didapatnya. "Saya bisa memberi berapa yang kamu butuhkan, bahkan saya bisa memberi bonus tambahan jika pelayanannya memuaskan." Rania tercengang mendengarnya."Tapi, Pak. Saya....""Saya yakin kamu tidak akan menolaknya kalau sudah memulainya." Rania heran kenapa bosnya begitu yakin dirinya mau menerima pekerjaan ekstra itu. Apa boleh buat, Rania sedang dalam keadaan sulit dan tertekan. Memilih merenungkan dalam sehari, dia berharap keputusannya tidak buruk. Bekerja dengan bos yang sudah dikenalnya tidak lebih buruk dibanding memuaskan Pak Herman yang belum dikenalnya."Beri saya waktu sehari untuk memutuskannya, Pak!""Ya, saya tunggu jawabannya besok. Jika kamu siap, maka kita mulai besok malam."Rania tertegun, secepat itukah dia akan bekerja dan mendapatkan uang yang diinginkan. Namun, pikiran warasnya masih bekerja. Bagaimana dengan orang tuanya jika
Bab 14Mentari bersinar menyambut pagi yang cerah. Secerah hati Rania hari ini yang sejenak melupakan panggilan dari Sari semalam. Gegas dia mematut diri di cermin dengan stelan andalan ke kampusnya, apalagi kalau bukan tunik floral. Sampai detik ini, Rania bernapas lega sudah menjadi mahasiswi menginjak semester 4. Sudah setengah perjalanan meraih impiannya.Rania menjadi salah satu mahasiswi yang aktif di kelas dan juga sering ikut event lomba seperti lomba menulis. Belum banyak memang predikat juara yang diperolehnya. Namun, dia tetap semangat dengan impiannya menjadi pengajar sekaligus penulis. Sederhana saja, alasan Rania masih sama yakni termotivasi oleh seseorang di masa lalunya. Ares seorang mahasiswa yang dulu KKN di kampungnya, kini tidak diketahui di mana keberadaannya.Meskipun sekarang sedang dekat dengan Agha, Rania tetap menyimpan nama Ares di lubuk hati terdalamnya. Laki-laki sederhana yang mampu mengubah hidupnya. Semangat yang diberikannya membuat kepercayaan diri Ran
Bab 15 Amplop berisi uang"Eh apa ini?!" Rasa penasaran menghinggapi wajah Sherly dan Manda saat melihat benda jatuh.Sebuah amplop coklat yang terselip di dalam berkas jatuh ke lantai.Semua mata tertuju pada benda itu. Sherly segera memungutnya dan penasaran dia mengeluarkan isinya. Rania tercengang, jantungnya seakan ingin meloncat keluar.Gegas dia berusaha merebut benda itu. Namun Sherly menghindar dan bersembunyi di balik punggung Manda."Lihatlah, apa yang kita khawatirkan kemarin teman-teman. Ini bukti nyata Rania mendapat uang banyak dari siapa?!"Gelak tawa mengiringi teriakan Sherly. Senyum mengejek pun hadir dari bibir Manda. Jelas-jelas keduanya puas membuat Rania terpojok. "Hentikan, Sher! Kalian berdua tidak tahu apa-apa." Rania berusaha membela diri dibantu Cika dengan menenangkan teman-teman yang seketika memandang sinis keduanya. Beberapa pasang mata berbisik-bisik. Tak sedikit dari mereka mengumbar celaan yang ditujukan ke Rania."Dasar perempuan tak tahu diri. Men
Bab 42 Surprise (Tamat) "Mas Agha, kenapa beliau yang datang?""Hah, aku juga nggak tahu, Ra.""Ishh, bohong kamu, Mas."Agha berusaha lari ke dapur untuk menghindar sebelum kena timpuk Rania.Di sinilah saat ini, dua keluarga yang saling bersua untuk satu tujuan baik yakni menyatukan dua insan yang awalnya bersepakat dengan sebuah perjanjian. Ruang tamu berisi keluarga Abi dan juga Pak Joko sebagai tuan rumah. Sementara itu, Rania duduk dengan kursi terpisah, karena kursi kayu yang mengisi ruang tamu terbatas.Setelah basa-basi perkenalan, papa Abi mengutarakan maksud kedatangan keluarganya untuk melamar Rania.Seketika Rania tersentak, sekilas beradu pandang dengan Abi, lalu memutus kontak dengan mengalihkan netra kearah sang bapak. "Maaf, izinkan saya berbicara berdua dengan Pak Abi," mohon Rania dengan menangkupkan kedua tangannya.Mama Abi yang semula berbinar wajahnya sedikit meredup. Ada sorot khawatir jika Rania akan menolak. Namun, Rania memberikan senyuman sekilas membuat h
Bab 41 Mengejutkan Netranya menangkap sosok laki-laki berperawakan tinggi memakai topi dan kaca mata hitam sedang melambaikan tangan ke arahnya. "Mas Ares. Benarkah itu Mas Ares?" lirihnya.Jantung Rania berdegup kencang. Namun, sedetik kemudian dia menyadari bahwa laki-laki itu bukan Ares, melainkan Agha.Ya, Agha memang berjanji menjemputnya bersamaan dengan Ares yang mengirimkan pesan akan menjemput juga. Alhasil, Rania tidak menolak keinginan satupun dari mereka."Mas Agha?" sapa Rania dengan memasang wajah ceria, meskipun sedikit kaku. Dia tak mau ketahuan sedang memikirkan seseorang yang ditunggunya. Agha menjawab salam dari Rania lalu mengulas senyum yang mengembang."Apa kabar? Kamu tambah cantik, Ra.""Ishh, nggak usah nggombal." Agha pun tergelak."Lama nggak ketemu. Mas apa kabar?""Baik. Ayo, masuk mobil dulu! Nanti ceritanya dilanjutkan lagi sambil jalan.""Ya, Mas." Rania tidak fokus dengan obrolan Agha selanjutnya, justru pandangannya berkeliaran sibuk mencari Ares. Pe
Bab 40 Aku Pulang, Pak, Bu.Waktu tak terasa bergulir begitu cepat, hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan. Terhitung sudah hampir 11 bulan Rania dan teman-temannya mengabdi di Austria. Rania hanya sekali berkirim pesan pada Ares dan mendapat balasan panjang lebar enam bulan lalu. Dia urung mengirim kembali, setelah melihat ares berganti profil WA dengan foto gadis kecil. Rania mengira pasti itu foto anaknya. Setitik nyeri itu hadir, dia harus menelan pil pahit. Seseorang yang diharapkan merengkuhnya kembali untuk bangkit ternyata sudah punya keluarga kecil. "Ah, payahnya diriku. Kenapa harus berharap pada manusia. Pada akhirnya kecewa yang kurasa." Hari ini, dia harus menghadiri acara perpisahan dengan pihak kampus yang mengadakan progam mengajar untuk anak WNI di Klagenfurt dan Vienna. Dalam acara nanti, panitia akan memberikan penghargaan pada mahasiswa yang telah sukarela melaksanakan tugasnya.Malam tiba, sambutan dari ketua panitia membuka acara pelepasan tim sukarela
Bab 39 Kontak"Ya, Mas. Sini nomernya kasih catatan di sini ya!""Kenapa nggak langsung diketik di ponsel?""Hmm, saya nggak bawa ponsel," kilahnya.Menggenggam secarik kertas, Rania sedikit gemetar membukanya sesaat setelah sampai di dorm. Dia memastikan teman satu kamarnya tidak melihat karena memang belum pulang dari bertugas mengajar. Gegas Rania menyalin nomer itu di buku catatan kecilnya.Kata hatinya menyuruh demikian, karena bisa jadi mahasiswa yang tadi menemuinya tidak akan mengulang hal yang sama. Rania berniat membeli ponsel akhir pekan ini. Dia perlu menghubungi dosen dikampusnya terkait mata kuliah yang dikerjakannya secara daring. Merebahkan badan di ranjang, Rania menatap langit-langit kamar. Pendingin ruangan segera dinyalakannya untuk mengurangi udara yang semakin terasa panas."Bapak, Ibu, Sari. Kalian apa kabar di sana? Semoga sehat-sehat semua. Kenapa beberapa hari ini mimpiku selalu tentang bapak. Mas Agha juga lagi bertugas, aku nggak bisa mendapat informasi lag
Bab 38 Kenangan ituSejak mengetahui berita skandal yang dialami Rania, Abi diserang sakit kepala yang amat sering. Sepertinya, sakit itu terkait dengan ingatannya yang sempat hilang pasca kecelakaan. Dia memutuskan cuti untuk melakukan pengobatan terapi atas saran dari Irvan sahabatnya. Kedua orang tuanya pun mendukung untuk melakukan terapi di Semarang agar keluarga bisa memantau.Selain itu, mamanya juga tidak lagi memaksa Abi segera menikah mengingat kondisi kesehatannya kurang stabil. Selama empat minggu, Abi baru selesai menjalani terapi dengan Irvan dan didampingi psikiater di RS kota Semarang, kini sedikit demi sedikit ingatannya mulai pulih. Tentang sosok gadis kecil di masa lalu, dia mulai bisa mengingatnya bahwa dulu pernah menolong seorang gadis dan mendampingi pemulihan psikisnya selama sebulan. Kini dia baru mengaktifkan kembali ponselnya setelah terapi selesai. Begitu ponsel diaktifkan, tak terhingga pesan masuk membuatnya menggelengkan kepala. Namun, ada satu pesan yan
Bab 37 di WörtherseeDisinilah Rania mengerucutkan bibir, duduk bersama Agha ditemani dua cangkir coklat panas di Lounge bandara. Aroma coklat yang menguar menggoyangkan lidah untuk dicicipi. Namun, ego Rania melarang menyentuh minuman lezat itu.Secangkir coklat menemani dalam keheningan. Asap mengepul, aroma menguar, mengundang kerinduan. "Aku rindu menyantapnya bersamamu, seperti saat di kafe dulu. Kurasa sebentar lagi coklat ini akan dingin, sedingin hatimu padaku akhir-akhir ini. Sudahi main petak umpetnya, kamu nggak bakat bersembunyi dariku, Ra.""Mas!" Agha tergelak, melihat ekspresi kesal Rania sungguh terlihat lucu."Baiklah, aku yang salah. Jangan menyalahkan Cika! Aku yang memaksanya. Aku hanya ingin...."Suara Agha terjeda saat melihat perubahan ekspresi Rania mulai memudar kesalnya."Aku ingin minta maaf, untukku, juga keluargaku. Kamu tidak seharusnya melakukan ini, Ra. Kamu nggak harus pergi jauh," bujuk Agha."Nggak, Mas. Aku tahu masalahnya sudah usai, tapi aku berja
Bab 36 Tak Terduga"Arif! Gimana, sudah beres tugasnya?""Ckk, bentar lagi ya. Aku lagi nyari teman, nih?" Arif menoleh karena panggilan seorang temannya dari belakang. Hingga Rania melintas, dia tidak mengetahuinya."Sayang banget kamu sama sahabat pacarmu, Rif.""Iyalah. Rania itu sahabat baik Cika."Beberapa menit berlalu, Arif menunggu Cika datang. Akhirnya yang ditunggu menampakkan batang hidungnya bersama laki-laki gagah, siapa lagi kalau bukan Agha."Gimana, Rif?" Cika masih berusaha menetralkan napasnya setelah berlari dari parkiran menuju tempat duduk si bawah pohon rindang. Semilir angin yang berhembus hampir saja menenggelamkan Arif ke alam mimpi. Tangannya mengucek kedua mata memaksa terbuka."Ketemu Nia, nggak?" Cika bisa melihat wajah kekasihnya lesu, pertanda kurang baik."Apa kamu ketemu, Rania?" timpal Agha memastikan."Udah menghilang, kata teman-teman belum ada sejam dia di sini. Pada ngasih selamat, tuh lihat aja. Namanya masuk koran lokal hari ini." Arif mengarahka
Bab 35 Petak UmpetBerjalan menyusuri koridor kampus, Rania menatap was-was suasana sekitarnya. Seakan takut beberapa pasang mata akan mengulitinya, mengingat kejadian heboh beberapa waktu yang lalu. Kejadian yang membuatnya terpapar gosip skandal dengan dosen senior, pun dengan laki-laki kaya tak lain bosnya.Raga berjalan, tetapi jiwa melayang entah kemana. Jari tiba-tiba gemetar saat melihat dari kejauhan ada rombongan teman-temannya sekelas. Namun, tidak ada Cika diantaranya. Sherly dan Manda masih sama, menatap sinis padanya. Dada terasa bergemuruh, niat hati ingin berlari menghindar sekencangnya. Apa daya, mereka sudah melihat keberadaannya. Mau tak mau Rania harus siap menerima cacian."Hai, Nia."Deg,Deru napas semakin memburu, jantung pun bertalu. Dia menoleh lemah."Selamat ya! Kamu memang mahasiswi yang patut dibanggakan.""Hah." Wajah Rania tercengang, mulut terasa kaku mendengar ucapan selamat bak mimpi di siang hari."Nia, Nia! Terima kasih ya. Kelompok kita dapat pengha
Bab 34 Berkumpul"Aargh!" pekik Rania saat tak sengaja seseorang menyenggolnya karena bus dalam keadaan penuh penumpang."Maaf, Mbak nggak papa?""Nggak apa-apa, Mas." Rania segera turun sebelum bus melaju kembali.Saat ingin menyeberang ke halte bus kota, tangan kanannya masuk ke saku jaket. "Ponselku?! Dimana ponselku?"Deg,"Aargh!"Seketika rasa pening menghantam kepalanya.Tubuh kecil nan rapuh itu terasa limbung menyadari ponselnya entah terjatuh atau diambil orang dengan sengaja. Seingat Rania, di dalam bus saat mau turun ada seseorang menyenggolnya. Bisa jadi laki-laki itu pencopet karena sedikit berdesakan sewaktu dia mau turun dari bus.Memilih bersandar sebentar di sebuah tiang dekat lampu merah, Rania menarik napas dalam berulang. Menepuk-nepuk dadanya beberapa kali, hingga sesaknya sedikit berkurang. Setelah dirasa tubuhnya nyaman, dia mula melangkahkan kaki kembali untuk menyeberang sampai halte bus kota. Tertunduk di pinggir jalan, Rania tergugu. Hari-harinya terasa