Share

Bab 7 Pernah Bertemu

"Sstt, jangan teriak-teriak, Ci. Malu-maluin aja, dikira orang nanti aku bawa motor curian."

"Hush, kamu malah ngomong jelek gitu, sih."

Rania memarkir motornya berjajar rapi dengan motor milik teman kos lainnya. Ada juga motor Cika tepat di sebelahnya.

"Gila, Nia! Motorku kalah bagus, nih."

"Hmm, ini bukan motorku, Ci. Aku cuma dipinjami. Nanti malam juga sudah diambil balik," ungkap Rania santai sembari mengangkat cooler bag berisi susu murni.

"Sini aku bantuin! Kamu sudah bawa tas punggung pasti berat." Rania mengulas senyum. Tak lupa berterima kasih pada teman kosnya sekaligus sahabat di kampusnya itu. Suka duka sudah mereka alami bersama selama hampir mau empat semester. Sahabat yang selalu mengingatkan supaya Rania tidak terlalu lelah bekerja part time dan lebih fokus dengan belajar. Namun Rania tak mengindahkan, dengan dalih dia sangat butuh uang untuk membayar hutang, terutama hutangnya pada sosok yang ditakutinya di kampus.

"Sebentar lagi aku berangkat, Nia. Mau aku anterin sekalian ke kafe?" tawar Cika pada Rania yang wajahnya terlihat mengantuk.

"Tidak perlu, Ci. Aku bisa berangkat sendiri pakai motor Mas Agha."

"Dih, jadi ini motornya pak polisi? Baru kali ini aku dengar ada cowok yang bisa mengambil hati sahabatku ini?" canda Cika. Dia tahu Rania tak mudah diluluhkan hatinya. Keinginannya mutlak tidak ingin menikah sebelum sukses membawa keluarganya bangkit dari keterpurukan. Bukan karena wajah yang tak laku, kesederhanaannya justru menambah pesonanya.

"Bukan siapa-siapa, Ci. Mas Agha tetanggaku yang baik dan senang membantu," terang Rania tak mau terjadi salah paham meskipun dia tak juga mengelak kalau terjadi yang sesungguhnya.

"Ya, ya. Tetangga dekat. Dari tetangga jadi suami. Dunia terasa tak selebar daun kelor," ucap Cika bak seorang sastrawan sedang beraksi di panggung. Rania pun memukul bahu sahabatnya.

"Aargh, sakit, Nia. Ayo jangan mengelak! Aku penasaran kayak gimana orangnya kalau lagi jalan sama kamu. Pasti dia alim, ya? Hmm kalem kayak ustadz."

"Astaga, Cika. Mas Agha itu seorang polisi cerewet." Rania mengucap lirih sambil mengedarkan pandangan manatahu ada anak kos mendengarnya bisa jadi gosip hangat.

"Apa?!" teriak Cika histeris.

"Sstt, jangan keras-keras!"

Reflek Cika menutup mulutnya dengan kedua tangan.

"Cerewetnya sama kamu doang, kan?" lirihnya diikuti kerjapan mata membuat Rania jengah.

"Aku nebeng dari rumah. Maunya turun di halte bus, tapi dia maksa nganter sampai Yogya."

Cika senyum-senyum mendengarnya.

"Itu modus biar dia bisa deket sama kamu, Nia."

"Ishh, nggak usah berlebihan, Ci."

"Serius, Nia. Mas Agha pangkatnya apa? Mungkin aku bisa tanyakan Arif, kakak sepupunya juga polisi di Yogya. Rumahnya sih satu desa sama aku di Magelang. Pas pulang bisa aku cari info tentang Mas Agha."

"Ya ampun, Ci. Ngapain jadi panjang amat ceritanya. Siapa yang mau cari infonya? Dia itu dipanggil Kapten sama temannya."

"Hah? Fix nih, nggak main-main, Nia. Mas Agha orang penting. Jangan ditolak kalau dia mau jadi pacar...., eh calon suamimu!"

"Udah ah, nggak usah ngajakin aku bermimpi!"

Rania nyelonong ke kamar dan menghempaskan badannya di kasur. Dia ingin istirahat barang sejam sebelum berangkat ke kafe. Cika berdecis kesal karena Rania tak sepakat dengan pendapatnya.

"Ya udah, Nia. Aku berangkat dulu ya! Kamu hati-hati bawa motornya, jangan sampai lecet kasian pemiliknya," kelakar Cika yang disambut lambaian tangan Rania dengan posisi badan telungkup.

Selesai salat Magrib, Rania bersiap ke kafe sekalian membawa cooler bag berisi susu. 

Dia shift malam hari ini. Melajukan motor milik Agha dengan hati-hati, Rania datang ke kafe penuh semangat. Harapannya, usaha menyalurkan produk susu dari daerahnya akan berhasil. Sebelumnya dia hanya kerja sebagai pelayan di kafe yang menyediakan minuman berbahan kopi dan susu serta aneka cemilan kawula muda. Sekarang dia dipercaya pemilik kafe untuk mensuplai susu dari daerahnya. 

"Selamat malam Pak Aldo," sapa Rania pada manajer kafe. Laki-laki berusia matang seorang duda dengan satu putri semata wayang sedang duduk di ruang kerjanya. Jika diperhatikan lekat, wajahnya begitu tegas dan berwibawa. Tak heran para karyawan sangat menghormatinya. Beberapa dari karyawan kadang menggosip tentang bosnya yang betah menduda.

"Masuk, Nia!"

"Ya, Pak. Ini saya bawakan produk susu murni dari daerah saya. Semoga kualitasnya memuaskan."

"Sip, Nia. Bagus ini barangnya, langsung masukkan lemari penyimpanan. Pastikan suhunya sesuai aturan, ya!"

"Siap, Pak!"

Rania kembali ke dapur untuk menuju ruang storage. Di sana sudah ada dua karyawan lain. Belum selesai memasukkan botol bening berisi susu, salah satu temannya bernama Budi meneriakkan namanya.

"Nia, tolong bantu bertugas di depan! Pengunjung mulai berdatangan!"

"Siap, Mas!"

"Sini, aku yang lanjutin! Kamu bantu di depan." Rania mengangguk, bergegas merapikan penampilannya serta pasmina yang diikat ke belakang.

"Selamat datang di kafe Ceria, kafe romantis untuk kawula muda."

Rania memasang senyum semanis madu dengan suara dibuat semerdu seruling, tetapi apa daya sedikit malu masih dirasanya.

"Hmm, sepertinya kita pernah bertemu Nona?"

"Eh." Rania gelagapan mendengarnya

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status