enjoy reading. Kasih Gem yuk🥰
Bab 21"Kamu ada usulan tempat?""Vila atau hotel, boleh kita coba, Pak," usul Rania."Kamu yakin?" Rania tersentak, ada setitik keraguan untuk menjawab. Namun tidak ada salahnya mencoba hal baru, Rania pun mengiyakan. Setelah menyepakati waktu dan tempat yang diusulkan Pak Aldo, Rania bergegas berpamitan. Hari ini dia tidak menginap, karena mau pulang ke kampungnya. Setidaknya ada alasan utama juga yaitu mengambil stok susu untuk disetorkan ke kafe milik Pak Aldo.Rania naik bus kota menuju sebuah hotel di kawasan jalan lingkar utara kota Yogya sesuai yang diperintahkan Pak Herman. Setelah dosen seniornya membalas pesan melalui ponsel bahwa hari ini ada seminar di hotel tersebut. Tanpa menaruh curiga, Rania mengiyakan. Dia akan menyerahkan berkas tugas revisi ke Pak Herman di sana.Benar saja, beberapa sosok akademisi yang dikenalnya ada di sana. Termasuk Pak Abi. Namun, Rania sebisa mungkin tidak menampakkan wajah di depan laki-laki itu supaya tidak terkena masalah.Sesekali dia guna
Bab 22Mobil yang dikendarai Abi berhenti di depan sebuah ruko yang difungsikan sebagai kantor konsultan. Entah apa profesi dari Irvan teman dari dosennya itu, Rania tidak ingin sok tahu meski jiwa penasarannya meronta. Pakaian Irvan terlihat rapi pun sering memberi tatapan tajam penuh selidik. Bisa saja profesinya adalah dokter kalau dilihat dari jasnya. Namun Rania ragu karena tidak ada nametag yang tersemat di bajunya."Bi, kenapa ada dia bersamamu?" tanya laki-laki itu heran. Dia mendaratkan pant*tnya ke kursi belakang, lalu Abi melajukan kembali mobilnya."Sudah, naik aja kenapa? Pakai nanya yang nggak penting," jawab Abi tak acuh."Ckkk, jangan main-main, Bi. Urusannya dengan polisi, lho." Irvan memberi ancaman, tetapi diabaikan oleh Abi. Sementara itu, Rania yang paham maksud ucapan penumpang di belakang hanya melirik sekilas dari spion, lalu beralih melirik pengemudi yang tengah fokus dengan jalanan di depannya.Hening, suasana tak menggambarkan bahwa ada tiga orang di dalam mo
Bab 23"Siapa yang mulai bicara tentang gosip itu, Ri?" Rania bisa menduga siapa orangnya, tetapi dia ingin memastikan apa yang asa di pikirannya sama dengan kondisi nyata."Bu Sastro, Mbak," ucap Sari lirih."Ada yang nggak percaya, tapi ada juga yang memperpanjang obrolan dengan bicara keburukan Mbak. Aku jadi kasian kalau bapak dan ibu sampai mendengarnya." Rania menarik napas panjang, lalu membuangnya kasar.Di tempat lain, sebuah mobil tengah berhenti di pinggir jalan. Mesin yang tak menyala mengundang perhatian seorang pengendara motor lewat.Terdengar bunyi ketukan pada jendela kaca sopir."Ada yang bisa dibantu, Mas? Saya Ardi, sepertinya Mas bukan warga sini?" Abi terkejut mendapat pertanyaan yang lebih tepatnya semacam interogasi. Dia berusaha tenang dalam menjawab agar tidak terkesan memata-matai orang yang tak lain adalah mahasiswinya. Bisa jadi Ardi tetangga Rania, Abi jelas tidak mau tertangkap basah."Maaf sepertinya kami salah jalan, Mas. Kami hendak balik ke Semarang.
Bab 24"Rania, jangan melakukan hal bodoh di tempat itu! Pergi dari situ! Aku akan pulang sekarang juga!" Rania menjauhkan ponsel dari telinganya. Suara teriakan tak lain dari Agha membuatnya tergugu. Memilih menundukkan kepalanya di atas kedua lutut yang ditekuk, Rania menumpahkan beban masalah yang dipikulnya saat ini.Hampir setengah jam, dia menikmati udara sejuk dan pemandangan air terjun. Sampai ada salah satu warga menyapanya."Eh, Mbak Ara kok tumben sendirian di sini? Lagi liburan, ya?"Rania tersenyum getir, liburan? Ya, sejatinya dia ingin liburan. Menjauhkan diri dari hiruk pikuk dan omongan orang tentangnya. Sepertinya bapak yang menyapanya tidak tahu gosip yang menimpa dirinya."Iya, nih, Pak. Saya kangen main di sini?""Mbak Ara kapan-kapan anak saya diajari gimana caranya biar bisa kuliah seperti Mbak. Bapaknya ini memang bodoh cuma lulusan SD, tetapi punya mimpi anak-anaknya sukses dengan pendidikan setinggi-tingginya." Seketika air mata Rania tak terbendung teringat b
Bab 25Brakk.Pintu ditutup kasar, mobil melaju pesat dengan kecepatan tinggi.Rania hanya mampu menelan ludahnya kasar seakan ada duri yang menancap di tenggorokan."Maafkan aku, Mas!" Luka tak kasat mata kini telah hadir. Bulir bening pun setia menyambutnya.Beberapa menit kemudian bus yang ditunggu Rania datang. Dia duduk di kursi bagian tengah samping kiri sopir. Memandang jauh keluar jendela, Rania meratapi nasibnya. Sikapnya barusan amat menyakitkan tidak hanya untuknya, tetapi juga untuk Agha.Ya, laki-laki itu tampak emosi. Rania tak menyangka sebegitu marahnya Agha hanya dengan beberapa patah kata yang diucapkannya. Reflek Rania bergidik ngeri sendiri. Selama ini dia membayangkan Agha sosok penyayang dan lemah lembut, dibalik itu ternyata menakutkan saat emosinya mencuat.Mengusap cairan bening yang mengumpul di pelupuk mata, Rania malu beberapa pasang mata penumpang memergoki tingkahnya."Ah, sudah seperti orang yang sedang diputus pacarnya. Mengenaskan sekali nasibku."Jauh
Bab 26Tidak ada kelanjutan lagi obrolan mereka karena beberapa menit kemudian Rania sudah tertidur pulas. Sudut bibir Agha melengkung membentuk bulan sabit saat melirik gadis yang tertidur di sampingnya.Mengambil ponsel, Agha menghubungi seseorang."Tolong bukakan pintu kamar saya! Kunci di tempat biasa.""Siap, Kapten."Suara deru mobil memasuki pelataran asrama putra tempat tinggal prajurit keamanan di wilayah Yogya. Agha mematikan mesin, lantas mengitari mobil dan membuka pintu samping. Melihatnya menggendong ala bridal style, para bawahannya yang sedang duduk di teras hanya berbisik-bisik."Selamat datang, Kapten!" Seorang bawahan yang tadi dihubungi dengan ponselnya sudah berdiri menyambut."Hmm. Gimana perintahku tadi?" tanyanya dengan wajah datar."Siap sudah laksanakan tugas.""Bagus." Agha melangkahkan kakinya menuju kamar diikuti orang tadi yang siap membukakan pintu. Agha meletakkan dengan hati-hati tubuh Rania di ranjang."Ada lagi, Kapten?""Sudah, terima kasih. Pergilah
Bab 27Rania memutuskan berjalan kaki menyusuri gang pintas menuju jalan besar. Setelah berjalan menyusuri gang yang senyap, Rania tersentak merasakan tepukan dari belakang."Aargh," pekiknya."Mas Adam!""Ayo naik! Aku antar pulang." Rania menunduk ragu. Adam pun mengulang ucapannya meyakinkan."Aku antar pulang ke kos." Rania mengangguk, lalu menaiki jok motor seraya mengenakan helm. Pikirannya carut marut sejak melangkahkan kaki keluar asrama. Pun hatinya terkoyak mendapati Agha tega melakukan hal buruk padanya."Rania, tolong jangan membenci Agha! Dia sangat mencintaimu sejak dulu. Aku yakin dia tidak melakukan hal buruk padamu semalam."Rania sanksi dengan ucapan Adam."Aku tahu itu. Tapi dia tidak menyangkalnya sama sekali. Dia sudah menyakiti aku, Mas. Biarkan kami menjaga jarak, itu lebih baik untuknya dan juga untukku. Terima kasih sudah mengantarku, Mas."Adam mengangguk lalu membiarkan Rania berjalan menuju gang dekat kosnya.Dia jelas mengenakan masker agar tidak dikenali
Bab 28 Gugup"Pak Abi vicall,Ci.""Angkat, angkat Nia!""Kerudung, mana kerudungku?"Cika melompat dari kasur meraih jilbab instan yang tergantung di dinding dekat almari. Rania sedikit kesal oleh ulah dosennya."Ya, Pak.""Kenapa lama angkatnya?""Bapak kenapa vicall segala, saya kan harus pakai jilbab dulu.""Iya, maaf. Saya hanya memastikan kamu sehat."Tiba-tiba wajah Rania bersemu merah, sementara Cika terkekeh dengan tangan menutup mulutnya."Nilaimu sudah dikeluarkan Pak Herman, Nia.""Serius, Pak?""Iya. Tapi kamu masih berhutang sama saya.""Hah." Rania bengong, melirik ke arah Cika yang mengedikkan bahu."Nanti malam ketemu di kafe aja, saya ceritakan.""Sore ini saja bisa nggak, Pak? Nanti malam saya ada kerjaan penting.""Oke. Nanti saya share tempatnya."Tepat selesai Asar, Rania berangkat menuju restoran yang alamatnya ditunjukkan Pak Abi lewat pesan di ponsel.Kali ini tunik kaos dan celana denim yang dipakai, serta pasmina floral menutupi mahkotanya. Perpaduan warnanya
Bab 42 Surprise (Tamat) "Mas Agha, kenapa beliau yang datang?""Hah, aku juga nggak tahu, Ra.""Ishh, bohong kamu, Mas."Agha berusaha lari ke dapur untuk menghindar sebelum kena timpuk Rania.Di sinilah saat ini, dua keluarga yang saling bersua untuk satu tujuan baik yakni menyatukan dua insan yang awalnya bersepakat dengan sebuah perjanjian. Ruang tamu berisi keluarga Abi dan juga Pak Joko sebagai tuan rumah. Sementara itu, Rania duduk dengan kursi terpisah, karena kursi kayu yang mengisi ruang tamu terbatas.Setelah basa-basi perkenalan, papa Abi mengutarakan maksud kedatangan keluarganya untuk melamar Rania.Seketika Rania tersentak, sekilas beradu pandang dengan Abi, lalu memutus kontak dengan mengalihkan netra kearah sang bapak. "Maaf, izinkan saya berbicara berdua dengan Pak Abi," mohon Rania dengan menangkupkan kedua tangannya.Mama Abi yang semula berbinar wajahnya sedikit meredup. Ada sorot khawatir jika Rania akan menolak. Namun, Rania memberikan senyuman sekilas membuat h
Bab 41 Mengejutkan Netranya menangkap sosok laki-laki berperawakan tinggi memakai topi dan kaca mata hitam sedang melambaikan tangan ke arahnya. "Mas Ares. Benarkah itu Mas Ares?" lirihnya.Jantung Rania berdegup kencang. Namun, sedetik kemudian dia menyadari bahwa laki-laki itu bukan Ares, melainkan Agha.Ya, Agha memang berjanji menjemputnya bersamaan dengan Ares yang mengirimkan pesan akan menjemput juga. Alhasil, Rania tidak menolak keinginan satupun dari mereka."Mas Agha?" sapa Rania dengan memasang wajah ceria, meskipun sedikit kaku. Dia tak mau ketahuan sedang memikirkan seseorang yang ditunggunya. Agha menjawab salam dari Rania lalu mengulas senyum yang mengembang."Apa kabar? Kamu tambah cantik, Ra.""Ishh, nggak usah nggombal." Agha pun tergelak."Lama nggak ketemu. Mas apa kabar?""Baik. Ayo, masuk mobil dulu! Nanti ceritanya dilanjutkan lagi sambil jalan.""Ya, Mas." Rania tidak fokus dengan obrolan Agha selanjutnya, justru pandangannya berkeliaran sibuk mencari Ares. Pe
Bab 40 Aku Pulang, Pak, Bu.Waktu tak terasa bergulir begitu cepat, hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan. Terhitung sudah hampir 11 bulan Rania dan teman-temannya mengabdi di Austria. Rania hanya sekali berkirim pesan pada Ares dan mendapat balasan panjang lebar enam bulan lalu. Dia urung mengirim kembali, setelah melihat ares berganti profil WA dengan foto gadis kecil. Rania mengira pasti itu foto anaknya. Setitik nyeri itu hadir, dia harus menelan pil pahit. Seseorang yang diharapkan merengkuhnya kembali untuk bangkit ternyata sudah punya keluarga kecil. "Ah, payahnya diriku. Kenapa harus berharap pada manusia. Pada akhirnya kecewa yang kurasa." Hari ini, dia harus menghadiri acara perpisahan dengan pihak kampus yang mengadakan progam mengajar untuk anak WNI di Klagenfurt dan Vienna. Dalam acara nanti, panitia akan memberikan penghargaan pada mahasiswa yang telah sukarela melaksanakan tugasnya.Malam tiba, sambutan dari ketua panitia membuka acara pelepasan tim sukarela
Bab 39 Kontak"Ya, Mas. Sini nomernya kasih catatan di sini ya!""Kenapa nggak langsung diketik di ponsel?""Hmm, saya nggak bawa ponsel," kilahnya.Menggenggam secarik kertas, Rania sedikit gemetar membukanya sesaat setelah sampai di dorm. Dia memastikan teman satu kamarnya tidak melihat karena memang belum pulang dari bertugas mengajar. Gegas Rania menyalin nomer itu di buku catatan kecilnya.Kata hatinya menyuruh demikian, karena bisa jadi mahasiswa yang tadi menemuinya tidak akan mengulang hal yang sama. Rania berniat membeli ponsel akhir pekan ini. Dia perlu menghubungi dosen dikampusnya terkait mata kuliah yang dikerjakannya secara daring. Merebahkan badan di ranjang, Rania menatap langit-langit kamar. Pendingin ruangan segera dinyalakannya untuk mengurangi udara yang semakin terasa panas."Bapak, Ibu, Sari. Kalian apa kabar di sana? Semoga sehat-sehat semua. Kenapa beberapa hari ini mimpiku selalu tentang bapak. Mas Agha juga lagi bertugas, aku nggak bisa mendapat informasi lag
Bab 38 Kenangan ituSejak mengetahui berita skandal yang dialami Rania, Abi diserang sakit kepala yang amat sering. Sepertinya, sakit itu terkait dengan ingatannya yang sempat hilang pasca kecelakaan. Dia memutuskan cuti untuk melakukan pengobatan terapi atas saran dari Irvan sahabatnya. Kedua orang tuanya pun mendukung untuk melakukan terapi di Semarang agar keluarga bisa memantau.Selain itu, mamanya juga tidak lagi memaksa Abi segera menikah mengingat kondisi kesehatannya kurang stabil. Selama empat minggu, Abi baru selesai menjalani terapi dengan Irvan dan didampingi psikiater di RS kota Semarang, kini sedikit demi sedikit ingatannya mulai pulih. Tentang sosok gadis kecil di masa lalu, dia mulai bisa mengingatnya bahwa dulu pernah menolong seorang gadis dan mendampingi pemulihan psikisnya selama sebulan. Kini dia baru mengaktifkan kembali ponselnya setelah terapi selesai. Begitu ponsel diaktifkan, tak terhingga pesan masuk membuatnya menggelengkan kepala. Namun, ada satu pesan yan
Bab 37 di WörtherseeDisinilah Rania mengerucutkan bibir, duduk bersama Agha ditemani dua cangkir coklat panas di Lounge bandara. Aroma coklat yang menguar menggoyangkan lidah untuk dicicipi. Namun, ego Rania melarang menyentuh minuman lezat itu.Secangkir coklat menemani dalam keheningan. Asap mengepul, aroma menguar, mengundang kerinduan. "Aku rindu menyantapnya bersamamu, seperti saat di kafe dulu. Kurasa sebentar lagi coklat ini akan dingin, sedingin hatimu padaku akhir-akhir ini. Sudahi main petak umpetnya, kamu nggak bakat bersembunyi dariku, Ra.""Mas!" Agha tergelak, melihat ekspresi kesal Rania sungguh terlihat lucu."Baiklah, aku yang salah. Jangan menyalahkan Cika! Aku yang memaksanya. Aku hanya ingin...."Suara Agha terjeda saat melihat perubahan ekspresi Rania mulai memudar kesalnya."Aku ingin minta maaf, untukku, juga keluargaku. Kamu tidak seharusnya melakukan ini, Ra. Kamu nggak harus pergi jauh," bujuk Agha."Nggak, Mas. Aku tahu masalahnya sudah usai, tapi aku berja
Bab 36 Tak Terduga"Arif! Gimana, sudah beres tugasnya?""Ckk, bentar lagi ya. Aku lagi nyari teman, nih?" Arif menoleh karena panggilan seorang temannya dari belakang. Hingga Rania melintas, dia tidak mengetahuinya."Sayang banget kamu sama sahabat pacarmu, Rif.""Iyalah. Rania itu sahabat baik Cika."Beberapa menit berlalu, Arif menunggu Cika datang. Akhirnya yang ditunggu menampakkan batang hidungnya bersama laki-laki gagah, siapa lagi kalau bukan Agha."Gimana, Rif?" Cika masih berusaha menetralkan napasnya setelah berlari dari parkiran menuju tempat duduk si bawah pohon rindang. Semilir angin yang berhembus hampir saja menenggelamkan Arif ke alam mimpi. Tangannya mengucek kedua mata memaksa terbuka."Ketemu Nia, nggak?" Cika bisa melihat wajah kekasihnya lesu, pertanda kurang baik."Apa kamu ketemu, Rania?" timpal Agha memastikan."Udah menghilang, kata teman-teman belum ada sejam dia di sini. Pada ngasih selamat, tuh lihat aja. Namanya masuk koran lokal hari ini." Arif mengarahka
Bab 35 Petak UmpetBerjalan menyusuri koridor kampus, Rania menatap was-was suasana sekitarnya. Seakan takut beberapa pasang mata akan mengulitinya, mengingat kejadian heboh beberapa waktu yang lalu. Kejadian yang membuatnya terpapar gosip skandal dengan dosen senior, pun dengan laki-laki kaya tak lain bosnya.Raga berjalan, tetapi jiwa melayang entah kemana. Jari tiba-tiba gemetar saat melihat dari kejauhan ada rombongan teman-temannya sekelas. Namun, tidak ada Cika diantaranya. Sherly dan Manda masih sama, menatap sinis padanya. Dada terasa bergemuruh, niat hati ingin berlari menghindar sekencangnya. Apa daya, mereka sudah melihat keberadaannya. Mau tak mau Rania harus siap menerima cacian."Hai, Nia."Deg,Deru napas semakin memburu, jantung pun bertalu. Dia menoleh lemah."Selamat ya! Kamu memang mahasiswi yang patut dibanggakan.""Hah." Wajah Rania tercengang, mulut terasa kaku mendengar ucapan selamat bak mimpi di siang hari."Nia, Nia! Terima kasih ya. Kelompok kita dapat pengha
Bab 34 Berkumpul"Aargh!" pekik Rania saat tak sengaja seseorang menyenggolnya karena bus dalam keadaan penuh penumpang."Maaf, Mbak nggak papa?""Nggak apa-apa, Mas." Rania segera turun sebelum bus melaju kembali.Saat ingin menyeberang ke halte bus kota, tangan kanannya masuk ke saku jaket. "Ponselku?! Dimana ponselku?"Deg,"Aargh!"Seketika rasa pening menghantam kepalanya.Tubuh kecil nan rapuh itu terasa limbung menyadari ponselnya entah terjatuh atau diambil orang dengan sengaja. Seingat Rania, di dalam bus saat mau turun ada seseorang menyenggolnya. Bisa jadi laki-laki itu pencopet karena sedikit berdesakan sewaktu dia mau turun dari bus.Memilih bersandar sebentar di sebuah tiang dekat lampu merah, Rania menarik napas dalam berulang. Menepuk-nepuk dadanya beberapa kali, hingga sesaknya sedikit berkurang. Setelah dirasa tubuhnya nyaman, dia mula melangkahkan kaki kembali untuk menyeberang sampai halte bus kota. Tertunduk di pinggir jalan, Rania tergugu. Hari-harinya terasa