Hari telah berganti malam, hari ini sungguh sangat berat bagiku, karena aku harus mengahdapi Fitnah dari Leni. Untung saja istriku masih percaya. Kalau dia tak percaya juga, aku pasti akan membuktikan pada dia dengan cara memberinya nafkah batin. "Had, Basmah udah tidur?" tanya Shiena padaku setelah dia keluar dari kamar mandi. Kadang aku bingung juga, di kampus aku memanggilnya Lidya, kalau di rumah, aku memanggilnya Shiena. "Iya, ini udah merem," jawabku setengah berbisik. Basmah malam ini tidur di kamar kami. Setelah dia duduk di tepi ranjang, aku pun mendekatinya. "Bu, Basmah kan, udah tidur, bagaimana kalau malam ini, Ibu ... mmm," rayuku sembari mengerlingkan sudut mataku, hingga membuat dia terkekeh. "Kamu ini, nagih mulu," sahutnya di selah-selah tawanya. "Aku mau tanya soal Leni, kamu benar-benar gak melakukannya sama dia, kan?" tanyanya. Aku mendengkus kesal mendengar pertanyaan istriku ini. "Emangnya ibu gak percaya? demi Allah, Bu. Saya gak neglakuin itu.
Pov 3 Malam telah berganti pagi, azan fajar mulai bergema ke setiap penjuru langit. Hadi dan Shiena masih terlelap dalam mimpi, sementara Basmah, kini terlihat telah membuka matanya. Dia melirik ke kanan dan ke kiri. Sudut bibirnya melengkung ke atas mengukir sebuah senyuman yang sangat lucu dan menggemaskan. Basmah tertawa geli ketika di kepalanya terbersit sebuah ide untuk mengerjai Ibu dan ayah tirinya. " Ooom, banguun!" bisik gadis kecil itu di telinga Hadi sehingga membuat Hadi gelagapan. "Basmah, kamu kenapa, sayang?" tanya Hadi sambil mengucek matanya. "Hehe, gak ada apa-apa, Basmah cuma penen mamah dan Om bangun, kan, dah azan," jawab Basmah selengehan. "Oh, ya udah, ayo bangun. Mama kamu biarin aja, dia gak salat. kita aja yu!" Hadi menggendong Basmah kemudian membawanya keluar kamar. Dia menyerahkan Basmah pada pengasuhnya. Sementara dia sendiri pergi ke kamar mandi untuk berwudu dan salat. Usai salat, Hadi mengajak Basmah menemui Shiena yang masih terlelap
Pov 3 Leni makin tertunduk tak berani menatap kedua orang tuanya, sementara Shiena kini menatap gadis itu dengan tajam. "Jujurlah Leni, agar semuanya jelas, jangan memfitnah orang lain, dan jangan membuat kedua orang tuamu makin susah!" ujar Shiena tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Leni."Maaf, Bu. Saya gak bohong, saya memang hamil, dan anak ini anak Mas Hadi," jawab Leni diiringi tangisnya yang semakin deras sederas sungai CI Banten. Shiena terhenyak dengan kata-kata Leni. Kini dia bimbang entah harus percaya siapa? dia ingin mempercayai Hadi, tapi melihat kegigihan Leni, hati Shiena kembali dilanda kebimbangan.Sementara itu, kedua orang tua Leni terlihat tersentak kaget dengan pernyataan anak mereka. "Leni, apa yang kamu katakan tadi? kamu hamil?" tanya ayahnya Leni dengan suara berapi-api, tapi ditenangkan oleh istrinya yang kini menangìs."Sayang, apa yang kamu katakan, ibu gak percaya, kamu pasti mengada-ngada," sahut ibunya Leni.Leni tak menjawab dengan kata-kata
Leni memandang Shiena dan Hadi secara bergantian, seakan mencari kepastian di dalam ucapan Hadi dan Shiena. Dalam otaknya tentu dia tak percaya, bagaimana mungkin Hadi dan Shiena adalah suami istri. "Mas. tolong katakan sekali lagi, apa benar Bu Lidya adalah istri kamu?" tanya Leni memperjelas.Hadi kembali mengangguk, dia kembali berkata, Ia, Bu Shiena Maulidyah adalah istriku," tegas Hadi memperjelas kata-katanya. Dia kali ini berbicara sunguh-sungguh.Mendengar jawaban Hadi, ayahnya Leni bertambah emosi, "Dasar laki-laki tak bertanggung jawab, jad kamu memacari anak saya, padahal kamu sudah beristri, sekarang setelah anak saya hamil, kamu mau lari dari tanggung jawab, hah?" teriak ayahnya Leni. Dia bermaksud memberi bogem mentah pada Hadi, tapi Basmah menjerit histeris. "Mamaaa, Basmah takuut!" teriaknya sambil menyembunyikan wajahnya ke dada ibunya. Jeritan Basmah itu membuat Shiena segera menghentikan ayahnya Leni. "Pak, tolong jangan emosi, kasihani anak saya!" mohon Shiena p
Ternyata beginikah rasanya punya istri, meski Shiena adalah dosenku, tapi dia tetap melayaniku dengan baik. Seperti saat ini, dia membantuku menyiapkan segala keperluanku yang akan kubawa ke tempat KKN. "Om, mau ke mana?" tanya Basmah ketika melihat kami memasukkan baju ke dalam koper. "Om mau pergi ke kampung, nanti Basmah jangan nakal, ya!" ujarku sambil mengelus rambutnya dengan lembut. Basmah duduk di pangkuanku sambil bergelayut manja. Setelah selesai memasukkan semua barang-barangku, aku mulai bersiap memakai baju. "Bu, pasangin kancing bajuku dong!" pintaku manja. Rasanya sangat menyenangkan dimanja oleh wanita yang kini menjadi istriku itu. "Idih, Dasar, kaya anak kecil aja," gerutu Shiena sambil mencebik manja, tetapi dia tetap berjalan ke arahku dan mulai memasangkan kancingku. Aku susah payah menelan ludah ketika melihat bibir sensual yang kini tersenyum manis di depanku. Ingin sekali aku mereguk manisnya bibir perempuan yang dulu sangat menyebalkan ini. Aku ham
Beberapa hari berlalu, tak terasa sudah tiga hari aku di sini, Shiena belum juga ke sini. Ada rasa rindu yang makin menggebu kala mengingat wanita itu."Bu Lidya datang, Ilman, ayo jemput Bu Lidya, beliau ada di pangkalan ojek!" seru salah seorang mahasiswi. Mendengar itu, aku terlonjak gembira hingga tanpa sadar, aku malah menawarkan diri untuk menjemputnya."Man, biar gue aja, yang jemput Bu Lidya," ucapku sambil menuju tempat motor terparkir. Semua teman-temanku kini saling pandang. Sepertinya mereka baru menyaksikan kejadian spektakuler. Duh, gimana kalau mereka tahu bahwa aku dan Shiena suami istri, bisa hhabis aku dibully mereka."Tumben, lu, Had? elu habis kejedot pintu atau gimana ni, mendadak baik sama Bu Lidya?" ledek Ilman. Tanpa menghiraukan tatapan aneh mereka, aku gegas mengendarai speda motor itu bermaksud pergi pangkalan ojek. Namun, baru saja aku akan menstarter motor itu, dari arah jalan terlihat Pak Dika datang dengan membonceng seseorang."Eh, itu Bu Lidyany
"Hadi, Ilman, kalian mau ke mana?" tanya Pak Andika pada kami ketika kami akan berangkat ke pasar malam. "Itu Pak, kami mau pergi ke pasar malam," jawabku sambil tersenyum manis. Ya, maklum lah, namanya juga bicara dengan dosen, kali aja dapat nilai tambahan. "Ouh, kebetulan kalau gitu, Bapak nitip ya? Tolong beliin martabak special, nanti tolong bungkus yang rapih. Bapak mau ngasih Bu Lidya," sahut Pak Dika sembari tersenyum layaknya laki-laki yang sedang kasmarah. Akhh, apa tadi? dia bilang buat Bu Lidya. Kampret ni dosen, istriku mau dia embat. Eh, dia kan tak tahu kalau Lidya istriku. "Chieee, si Bapak, lagi kasmaran, nih rupanya," goda si Ilman, sungguh pemandangan yang membuatku kesal, karena Pak Dika terlihat terkekeh malu-malu. "Ya udah, kami pergi dulu ya, Pak. Kalau kita ngobrol terus, nanti gak jadi beli deh, hehe." Aku berpamitan tanpa menunggu jawaban Si Ilman. Melihatku pergi, Ilman pun ikut bergegas pergi karena kami akan berboncengan. Aku melajukan mot
POv Shiena Hari berganti malam, sungguh ini sangat tidak nyaman bagiku karena harus berada di situasi begini. Aku bukannya lupa membawa peralatan kewanitaanku, tapi semuanya kutinggal di dalam mobil yang kebetulan tak bisa masuk ke area perkampungan ini. Karenanya aku terpaksa mencari Hadi untuk membelikan semuanya. Kalau saja cuma pemb@lut, mungkin aku masih bisa minta pada mahasiswiku, tapi tentu tidak mungkin aku meminjam pakaian dalam pada mereka. "Bu, ada si Hadi bawain sesuatu buat Ibu," seru salah satu mahasiswiku. Aku pun bergegas menghampiri. Ternyata dia sudah pergi, dia hanya menitipkan pesananku pada salah seorang mahasiswi. "Bu, ini martabaknya, katanya dapat dari Pak Dika," kata si Hani, salah satu mahasiswiku. Aku pun terbengong, aku kira itu adalah pemberian Hadi, ternyata malah pemberian Pak Dika. "Ouh, si Hadi gak nitip barang lain, selain ini?" tanyaku pada mereka. "Enggak, Bu. Cuma ini aja," jawab Hani. Aku pun menngkus kesal. Sungguh menjengkelkan
Tubuhku terhuyung mendengar perkataan Resepsionis hotel tempatku menginap ini. Aku sungguh tak menyangka bahwa Nisa mampu melakukan hal ini padaku. "Mbak, istri saya membawa kabur semua milik saya, termasuk dompet bahkan ponsel saya juga. Jadi, bagaimana saya membayar uang sewa kamar?" tanyaku pada wanita cantik yang kini terlihat melongo. "Mas gak bohong?" Dia balik bertanya. Aku sungguh kesal karena tak dipercaya tapi aku paham, tak mungkin ada orang asing yang mempercayaiku begitu saja. "Ya kalau Mbak gak percaya, ayo ikut saya ke kamar dan cari barang saya. Silakan lihat cctv juga," jawabku tegas. 'Baiklah, kalau begitu saya akan mengatakan ini pada manager. Untuk sementara Anda duduk saja si situ!" lanjut resepsionis. Kemudian dia menelepon Manager hotel. Lama menunggu, akhirnya dia mau menemuiku. "Baiklah Pak Hadi, kalau memang gak mampu bayar. Mas bisa kerja di sini dan nanti gaji Mas dipotong untuk bayar sewa kamar kemaren," "Apa saya bisa bekerja di sini tanpa ijaza
"Aa, kenapa mereka bilang kita harus pergi dari rumah ini, bukannya ini rumah warisan kedua orang tua aa?'' tanya Nisa saat mereka sudah pergi. Aku mendengus kasar mendengar pertanyaan istriku itu. Entah kenapa dia sama sekali tak memperdulikan mamaku. "Mama sudah menjual rumah ini," jawabku datar tanpa melirik ke arahnya. "Apa, jadi rumah ini sudah dijual? lalu bagaimana dengan kita, di mana kita akan tinggal. Apa aa sudah membeli yang baru buat kita?" Lagi-lagi Nisa menanyakan tentang rumah dan uang, membuatku semakin kesal padanya. "Kita akan ngontrak lagi," ''Apa, ngontrak, Aa itu tega banget. Kenapa harus ngontrak lagi? Anak kita nanti bagaimana?" Nisa terus nyerocos meluapkan kekesalannya padaku. Sedangkan aku, aku segera mengemasi barang-barang yang aku punya. Aku pergi ke kamar yang ditempati Shiena. Ada rasa yang bercampur aduk, ketika kuedarkan pandanganku ke setiap inci kamar ini. Aku terus melangkah menuju tempat duduk di atas ranjang yang dulu pernah menjadi sa
"Jadi maksud kamu, kamu mau aku pergi dari sini?" Bu Shiena bertanya sekali lagi. Kumendongak ke arahnya, aku tak mampu menjawab pertanyaan itu. Sungguh, hati ini serasa sakit sekali harus mengatakan hal yang seharusnya tidak aku katakan. Dia memalingkan wajahnya, aku tahu dia mencoba menepis amarahnya dan mencoba bersikap tenang di depanku. ''Baik, jika itu maumu, aku akan pergi.'' "Siapa yang akan pergi?" Tiba-tiba mamaku masuk ke kamar tamu dan bertanya pada kami dengan nada keras. Aku sungguh gugup antara harus jujur atau pura-pura tak dengar. "Hadi, kenapa kamu tak menjawab?'' Mama kembali bertanya, tapi aku tak mampu menjawab, akhirnya aku berpamitan dan pergi ke rumah sakit lagi. "Maaf, Ma. Nisa hampir keguguran, jadi Hadi harus ke rumah sakit," pamitku pada Mamah. Setelahnya aku bersiap pergi. Sebelum pergi, kupandangi kamarku, ada rasa berat yang luar biasa mengganjal di hati, tapi aku tak mampu menghindari dan menolak kemauan Nisa. "Bu Shiena, maafkan Hadi. Semoga Bu
Keesokan harinya, aku kembali bekerja di Restoran Mama, Nisa meminta diantar ke Mall, tapi setelah pulang, aku tak mendapati Nisa di rumah. "Bu, apa ibu melihat Nisa?" tanyaku pada Shiena yang kebetulan masih di rumah mamah karena Mamah yang meminta."Dari sejak kamu antar dia, dia tak pulang lagi," jawab Shiena. Aku benar-benar terkejut mendengar perkataannya, kemana Nisa, kenapa dia belum pulang. Aku sudah menghubungi nomornya, tapi tak aktif. Aku sungguh pusing dibuatnya.Sampai tengah malam, aku terus menghubunginya, aku juga menghubungi teman-temannya, tapi tak ada yang melihat. Hingga hampir subuh, aku baru mendapat panggilan dari nomor yang tak kukenal."Hallo, selamat pagi, ini nomornya Pak Hadi? saya cuma mau memberi tahu, istri bapak ada di rumah sakit," ucap orang di seberang sana."Iya, saya Hadi, tolong beri alamatnya, Pak!" sahutku kemudian. Setelah mendapatkan alamat dari orang itu, aku bergegas ke rumah sakit."Dok, apa yang terjadi pada istri saya?" tanyaku pada dokte
Pov HadiDug! Dug! Dug! "Buka pintunya, dasar wanita murahan, udah cerai masih sekamar!" seru Nisa dari luar kamar. Aku dan Bu Shiena saling pandang tak paham dengan apa yang dikatakan oleh Nisa. "Kalau kalian tak mau keluar, kami akan mendobrak pintu.Kami bertambah bingung ketika mendengar suara dari luar, bukan cuma suara Nisa, tapi ada suara beberapa orang lagi, yang lebih membuatku heran, itu adalah suara laki-laki. "Ibu tunggu di sini, biar Hadi yang tengkok," ucapku sembari bergegas membuka pintu. Baru saja aku membukanya, aku sudah disambut oleh tangan Nisa yang menyeretku keluar."Nisa, apa-apaan sih kamu. Pak RT, Pak Hansip, dan Bapak-bapak, kenapa kalian malam-malam ke rumah saya?" tanyaku bertubi-bi pada rombongan Pak RT yanh kini berdiri di depan kamar. Entah siapa yang memanggil mereka."Halah, Mas Hadi jangan pura-pura, kami dengar kamu berz1na dengan mantan kamu, dan ternyata benar. Kalian sudah bercerai tapi masih sekamar," sahut salah seorang warga.Aku benar-benar
Pov: HadiAku sungguh sangat malu sekali dengan Shiena, ternyata Nisa menerima uang dari Hisyam atas namaku. "Kenapa kamu lakukan itu padaku? kenapa kamu bikin suamimu malu?" bentakku pada Nisa, tapi dia tak terima disalahkan."Ini semua salah aa, kalau saja Aa ngasih aku uang banyak, aku gak bakal nerima uang dari laki-laki itu," sahut Nisa tak kalah lantang denganku."Astagfirullah, memangnya aku harus memberi kamu uang berapa banyak. Aku sudah banting tulang, dan sekarang aku sudah mulai bekerja di restoran mama, aku ngasih kamu uang 100 ribu perhari dan makan pun kamu gak perlu mikirin lagi, karena sudah tersedia. Lalu apa lagi yang kamu mau?" Aku kembali membentaknya. Aku sungguh kecewa dengan sikap boros dan serakah yang dia miliki. Ahhkh, kenapa duly aku bisa mencintai wanita ini selama bertahun-tahun. Benar kata ceramah Ustadz yang kudengar, "Dalam pernikahan itu tak boleh mengandalkan cinta, cinta saja tak cukup untuk menjalani sebuah pernikahan. Cinta bisa berubah kapan
Aku melepas Basmah dengan derai air mata yang terus menderas ke pipi ini. Hatiku sungguh berat melihat putri sulungku pergi dari sisiku. Usai dari Bandara, aku bermaksud pergi ke kampung, tapi mama mertuaku memintaku untuk datang ke rumahnya. Karena tak mau mengecewakannya, aku pun terpaksa mengikuti permintaan mama keduaku itu. Setibanya di sana, aku langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Gigiku dibuat gemeletuk karena menyaksikan kelakuan menantu kedua mama. "Nisa, kamu mau apa?" tanya Mama Marnah penuh ketakutan. Sementara Nisa terlihat tersenyum menyeringai. Aku bisa melihat dengan jelas karena karena Nisa menghadap cermin. "Mama sebaiknya bekerja sama denganku. Buat aa Hadi kerja lagi di restoran mama, kalau tidak, mama akan tahu apa yang akan lakukan pada Mama. Mama masih ingat kan, kejadian waktu itu?" jawab Nisa disertai senyum mengerikannya. Entah apa yang dia maksud. "Assalamualaikum," sapaku pada mereka. Mereka terlihat kaget, meski ekspresi mereka berdua setelahnya sang
Hari berganti, seminggu sudah Hisyam berada di negara ini, dia tetap membujukku pergi bersamanya, "Shiena kalau kamu tak mau rujuk, ok, aku tak akan memaksa, tapi aku mohon ikutlah denganku," bujuk Hisyam. Laki-laki ini memang pantang menyerah kalau belum dituruti. "Aku sudah berapa kali mengatakan? aku tak mau ikut denganmu. Untuk apa kamu memaksa?" "Kalau kamu tak mau ikut, kamu emangnya mau apa? apa kamu mau kembali pada laki-laki yang suah mencampakkan kamu demi uang!" Mata ini seketika membola mendengar ucapan Hisyam. "Apa maksud kamu?" Hisyam tak menjawab pertanyaanku, dia malah memberikan selembar kertas. Aku mengambil kertas itu dan betapa terkejutnya aku, saat aku melihat surat perjanjian antara Hadi dan Hisyam. Yang mana tertulis di situ? Hisyam memberikan uang senilai 1 M, sebagai imbaalannya, Hadi harus rela melepasku selamanya?" Tubuhku terasa tak mampu lagi untuk berdiri. Aku benar-benar tak menyangka, Hadi dan Hisyam mempermainkanku, seolah aku ini hanya benda ya
Aku sungguh tak paham dengan pemikiran Hadi. Dia sama sekali tak peduli dengan perasaanku. Dia menceraikanku dan meminta rujuk seenaknya. Entah apa yang ada dalam pikirannya.. Setelah beberapa lama menunggui mama mertuaku, Hisyam menghubungiku, akhirnya aku memintanya untuk membawa Basmah dan Ibuku ke rumah sakit agar menjenguk mama Marnah. "Assalamualaikum, Bu Marnah, bagaimana keadaan Bu Marnah?" sapa Mamaku ketika berada di ruang rawat Mama Marnah. Dia bergegas menyalami Mama mertuaku itu. "Alaikum salam, Bu." sambut Mama mertua sembari menyambut mamaku. Mereka berdua pun berpelukan. Mama Marnah terlihat berkaca-kaca memandang ke arah mamaku. Mungkin hati beliau masih dipenuhi rasa bersalah karena kelakuan Hadi. "Maafkan kami ya Bu, karena kami sudah membuat Shiena menderita. Sekali lagi maafkan kami!" ungkap Mama mertua dengan penuh ketulusan. "Ibu gak usah minta maaf, karena itu bukan salah ibu. Jodoh dan rezeki kan sudah diatur. Mungkin memang jodoh Shiena dan Amar hany