Hari berganti hari, tak terasa sekarang sudah seminggu aku menjadi suami dari Shiena. Hari ini adalah hari pertama dia akan masuk kampus lagi untuk mengajar.Pagi ini dia terlihat sudah bersiap-siap, tapi kali ini penampilannya sungguh berbeda. Ya, biasanya dia kalau mengajar selalu memakai pakaian yang longgar dan kuno, gaya jilbabnya pun dia tidak meniru orang lain.Tapi hari ini dia memakai gamis kekiinian yang ia padu dengan pashmina. Ia juga memakai outer sebuah jas. Meski dia masih memakai kaca mata, ia tetap terlihat anggun dan cantik dengan gayanya itu."Had, boleh minta tolong, gak?" tanyanya padaku setelah ia selesai berpakaian."Apa itu? " tanyaku singkat. "Tolong anterin Basmah ke sekolahannya, ya! Aku hari ini harus segera berangkat karena akan ada rapat di kantor,"Usai berkata begitu, dia segera meraih tanganku dan menciumnya, kemudian pergi mengendarai mobilnya, sebuah mobil sedan berlogo bintang yang harganya di atas 700 juta. Entahlah, aku sendiri heran dari mana i
Pov 3Hadi tersenyum tipis melihat Shiena duduk di tepi ranjang sambil membaca buku. Ada kedamaian di hatinya saat melihat wajah manis istrinya itu."Dia memang gak cantik, tapi sangat manis ternyata. Meski di usianya yang sudah lebih dari 30, ternyata dia masih terlihat menggemaskan. Kemana saja aku selama ini. Ah, sepertinya rasa ini bukan hal yang baru. Apa selama ini aku sudah mencintai dia, tapi karena gengsiku saja aku tak mampu mengungkapkan rasa," batin Hadi. Dia terlihat bahagia sampai-sampai dia tak sadar saat Shiena bangkit dan menepuk tangannya.Plak!"Ngapain kamu bengong? Hmm aku tahu, kamu lagi merhatiin aku ya?" tanya Shiena."Aduh! Hehe Ibu, ngagetin aja. Kok, gak tidur?" tanyanya mengalihkan perhatian Shiena."Aku masih baca novel. Kamu sendiri ngapain senyam-senyum gitu ngelihatin aku? Ouh, ketahuan, kamu mulai naksir sama istri kamu ini, iya, kan?" ledek Shiena sambil berjalan mengitari tubuh suaminya. "Makanya, jangan sok ngomong aku janda buluk، sekarang malah
Pov HadiMarina dan Leni kini berhadap-hadapan, yang satu menyingsingkan lengan bajunya, yang satu melempar tas jinjingnya ke sembarang arah bersiap untuk menyerang."Wah, kayaknya seru nih, ada tontonan geratis, ayo lihat!" seru salah satu dari para pengunjung Mall yang kemudian diikuti yang lainnya. Mereka mengelilingi kami, sementara itu Shiena tellihat mengulum senyum. Dengan penuh kekesalan, aku mendekatinya. "Bu, ini apa-apa an sih? Ibu kan dosen, kenapa ibu malah ngompori mereka buat tarung begini?" protesku pada istriku."Sembarangan kamu, aku cuma ngajak Leni ke sini, katanya kamu mau putus?" balasnya sewot.Aakhlhlgh, perempuan memang aneh."Putus, sih putus, gak kaya gini-gini juga, kali!" sewotku merasa pusing. Aku mengacak rambutku sendiri.Leni kini mulai akan menjambak Marina."Rasakan ini perempuan plakor!" teriak Leni sambil melompat menerkam Marina. Marina tak terima, dia pun membalasnya."Kamu yang pelakor, akhkh!" Marina berteriak sambil menjambak rambut Leni.
Basmah menoleh ke arah ibunya, dia langsung berlonjak gembira menyambut kedatangan ibunya. "Mamah," teriak Basmah sambil berlari ke arah Shiena dan langsung memeluknya."Hmm, katanya mau jadi muslimah yang taat, masuk rumah kok, salam dulu," sindirku pada wanita yang kini terlihat melotot dan mendengkus kesal."Bentar ya sayang, Basmah pergi sama Bi Susi ya , mama mau salim dulu," ucapnya sambil berjalan ke arahku. Dia mengulurkan tangannya kemudian meraih tanganku dan menyalamiku. "Kamu marah sama aku, ya?" tanyanya sembari mengerlingkan sudut matanya. Manis, sih, tapi ... ah membuatku jengkel.Aku tak menjawabnya, rasa kesal di hati ini belum hilang karena aku dipermalukan di Mall tadi. "Shiena, Hadi, kalian udah datang?" tanya mamaku yang baru keluar dari arah dapur. Aku dan Shiena berjalan ke depan mama dan menyalaminya secara bersamaan. Shiena mau menyalami Mama, tapi aku merebut tangan Mama dan akan menyalaminya, tapi barusan aku mau mencium tangan Mama, Shiena malah merebutny
Pov ShienaAku tertawa geli melihat Hadi terlihat jengkel karena mendengar suara pintu diketuk. "Iya, sayang. Tunggu sebentar!" teriakku menjawab Basmah. "Had, ayo buka pintu!" Wajah Hadi terlihat memelas, "Iya, Bu, tapi ini kapan kita lanjut?" tanyanya. Aku terkekeh melihat ekspresinya yang menggemaskan. "Iya, tapi sekarang buka pintunya, nanti Basmah nangis," Hadi bergegas bangun dan membuka pintu."Hai sayang, hehe Ma," Hadi terlihat selengehan ."Maaf, Had. Ini Basmahnya nangis, jadi mama anterin," kata ibu mertuaku. Setelah ibunya pergi, Hadi menggendong Basmah sambil menutup pintu. Aku memakai kimono dan menyambut Basmah."Sayang, kenapa nangis?" tanyaku sambil merentangkan tangan meraih Basmah dan mendudukkannya di pangkuanku."Basmah takut, Basmah mimpi dikejal olang jahat," ungkap Basmah dengan located cadelnya."Hmm itu pasti gara-gara Basmah gak baca doa sebelum bobo, iya kan?" "Hehe ... ya Basmah lupa. Ma, Om, Basmah mau boo dipeluk mama sma Om, bial kaya yang di gamba
Aku terduduk lesu kala melihat garis dua terpampang di alat Test kehamilan itu. Pak Dekan yang kebetulan ada di situ segera memerintahkan agar Hadi datang ke kantor. "Hadi, kamu sudah meminta Lena agar test kehamilan, dan ternyata dia benar-benar hamil, lihat ini!" ujar Pak Dekan seraya mekempar alat Test pack itu ke depan Hadi. Sementara Hadi sendiri melotot melihat ke arah Test pack itu. Dengan wajah geram, dia melirik ke arah Leni. "Leni, jelaskan padaku, kenapa ini jadi begini?" tanya Hadi dengan wajah memerah sepertinya menahan amarah. "Sudahlah, Hadi! kamu akui saja perbuatan kamu, itu bujtinya sudah jelas, kamu mau nyangkal bagaimana lagi?" ucap Pak Andika, salah satu dosen di fakultas ekonomi ini. Hadi menoleh dan tersenyum sinis. "Bagaimana Bapak bisa mengatakan bahwa alat ini adalah bukti kesalhan saya? Test pack ini bukti bahwa dia hamil, tapi ini bukan bukti bahwa Leni hamil karena saya," tegas Hadi dengan suara lantang hingga membuat para dosen tak berkutik. Hat
Hari telah berganti malam, hari ini sungguh sangat berat bagiku, karena aku harus mengahdapi Fitnah dari Leni. Untung saja istriku masih percaya. Kalau dia tak percaya juga, aku pasti akan membuktikan pada dia dengan cara memberinya nafkah batin. "Had, Basmah udah tidur?" tanya Shiena padaku setelah dia keluar dari kamar mandi. Kadang aku bingung juga, di kampus aku memanggilnya Lidya, kalau di rumah, aku memanggilnya Shiena. "Iya, ini udah merem," jawabku setengah berbisik. Basmah malam ini tidur di kamar kami. Setelah dia duduk di tepi ranjang, aku pun mendekatinya. "Bu, Basmah kan, udah tidur, bagaimana kalau malam ini, Ibu ... mmm," rayuku sembari mengerlingkan sudut mataku, hingga membuat dia terkekeh. "Kamu ini, nagih mulu," sahutnya di selah-selah tawanya. "Aku mau tanya soal Leni, kamu benar-benar gak melakukannya sama dia, kan?" tanyanya. Aku mendengkus kesal mendengar pertanyaan istriku ini. "Emangnya ibu gak percaya? demi Allah, Bu. Saya gak neglakuin itu.
Pov 3 Malam telah berganti pagi, azan fajar mulai bergema ke setiap penjuru langit. Hadi dan Shiena masih terlelap dalam mimpi, sementara Basmah, kini terlihat telah membuka matanya. Dia melirik ke kanan dan ke kiri. Sudut bibirnya melengkung ke atas mengukir sebuah senyuman yang sangat lucu dan menggemaskan. Basmah tertawa geli ketika di kepalanya terbersit sebuah ide untuk mengerjai Ibu dan ayah tirinya. " Ooom, banguun!" bisik gadis kecil itu di telinga Hadi sehingga membuat Hadi gelagapan. "Basmah, kamu kenapa, sayang?" tanya Hadi sambil mengucek matanya. "Hehe, gak ada apa-apa, Basmah cuma penen mamah dan Om bangun, kan, dah azan," jawab Basmah selengehan. "Oh, ya udah, ayo bangun. Mama kamu biarin aja, dia gak salat. kita aja yu!" Hadi menggendong Basmah kemudian membawanya keluar kamar. Dia menyerahkan Basmah pada pengasuhnya. Sementara dia sendiri pergi ke kamar mandi untuk berwudu dan salat. Usai salat, Hadi mengajak Basmah menemui Shiena yang masih terlelap
Tubuhku terhuyung mendengar perkataan Resepsionis hotel tempatku menginap ini. Aku sungguh tak menyangka bahwa Nisa mampu melakukan hal ini padaku. "Mbak, istri saya membawa kabur semua milik saya, termasuk dompet bahkan ponsel saya juga. Jadi, bagaimana saya membayar uang sewa kamar?" tanyaku pada wanita cantik yang kini terlihat melongo. "Mas gak bohong?" Dia balik bertanya. Aku sungguh kesal karena tak dipercaya tapi aku paham, tak mungkin ada orang asing yang mempercayaiku begitu saja. "Ya kalau Mbak gak percaya, ayo ikut saya ke kamar dan cari barang saya. Silakan lihat cctv juga," jawabku tegas. 'Baiklah, kalau begitu saya akan mengatakan ini pada manager. Untuk sementara Anda duduk saja si situ!" lanjut resepsionis. Kemudian dia menelepon Manager hotel. Lama menunggu, akhirnya dia mau menemuiku. "Baiklah Pak Hadi, kalau memang gak mampu bayar. Mas bisa kerja di sini dan nanti gaji Mas dipotong untuk bayar sewa kamar kemaren," "Apa saya bisa bekerja di sini tanpa ijaza
"Aa, kenapa mereka bilang kita harus pergi dari rumah ini, bukannya ini rumah warisan kedua orang tua aa?'' tanya Nisa saat mereka sudah pergi. Aku mendengus kasar mendengar pertanyaan istriku itu. Entah kenapa dia sama sekali tak memperdulikan mamaku. "Mama sudah menjual rumah ini," jawabku datar tanpa melirik ke arahnya. "Apa, jadi rumah ini sudah dijual? lalu bagaimana dengan kita, di mana kita akan tinggal. Apa aa sudah membeli yang baru buat kita?" Lagi-lagi Nisa menanyakan tentang rumah dan uang, membuatku semakin kesal padanya. "Kita akan ngontrak lagi," ''Apa, ngontrak, Aa itu tega banget. Kenapa harus ngontrak lagi? Anak kita nanti bagaimana?" Nisa terus nyerocos meluapkan kekesalannya padaku. Sedangkan aku, aku segera mengemasi barang-barang yang aku punya. Aku pergi ke kamar yang ditempati Shiena. Ada rasa yang bercampur aduk, ketika kuedarkan pandanganku ke setiap inci kamar ini. Aku terus melangkah menuju tempat duduk di atas ranjang yang dulu pernah menjadi sa
"Jadi maksud kamu, kamu mau aku pergi dari sini?" Bu Shiena bertanya sekali lagi. Kumendongak ke arahnya, aku tak mampu menjawab pertanyaan itu. Sungguh, hati ini serasa sakit sekali harus mengatakan hal yang seharusnya tidak aku katakan. Dia memalingkan wajahnya, aku tahu dia mencoba menepis amarahnya dan mencoba bersikap tenang di depanku. ''Baik, jika itu maumu, aku akan pergi.'' "Siapa yang akan pergi?" Tiba-tiba mamaku masuk ke kamar tamu dan bertanya pada kami dengan nada keras. Aku sungguh gugup antara harus jujur atau pura-pura tak dengar. "Hadi, kenapa kamu tak menjawab?'' Mama kembali bertanya, tapi aku tak mampu menjawab, akhirnya aku berpamitan dan pergi ke rumah sakit lagi. "Maaf, Ma. Nisa hampir keguguran, jadi Hadi harus ke rumah sakit," pamitku pada Mamah. Setelahnya aku bersiap pergi. Sebelum pergi, kupandangi kamarku, ada rasa berat yang luar biasa mengganjal di hati, tapi aku tak mampu menghindari dan menolak kemauan Nisa. "Bu Shiena, maafkan Hadi. Semoga Bu
Keesokan harinya, aku kembali bekerja di Restoran Mama, Nisa meminta diantar ke Mall, tapi setelah pulang, aku tak mendapati Nisa di rumah. "Bu, apa ibu melihat Nisa?" tanyaku pada Shiena yang kebetulan masih di rumah mamah karena Mamah yang meminta."Dari sejak kamu antar dia, dia tak pulang lagi," jawab Shiena. Aku benar-benar terkejut mendengar perkataannya, kemana Nisa, kenapa dia belum pulang. Aku sudah menghubungi nomornya, tapi tak aktif. Aku sungguh pusing dibuatnya.Sampai tengah malam, aku terus menghubunginya, aku juga menghubungi teman-temannya, tapi tak ada yang melihat. Hingga hampir subuh, aku baru mendapat panggilan dari nomor yang tak kukenal."Hallo, selamat pagi, ini nomornya Pak Hadi? saya cuma mau memberi tahu, istri bapak ada di rumah sakit," ucap orang di seberang sana."Iya, saya Hadi, tolong beri alamatnya, Pak!" sahutku kemudian. Setelah mendapatkan alamat dari orang itu, aku bergegas ke rumah sakit."Dok, apa yang terjadi pada istri saya?" tanyaku pada dokte
Pov HadiDug! Dug! Dug! "Buka pintunya, dasar wanita murahan, udah cerai masih sekamar!" seru Nisa dari luar kamar. Aku dan Bu Shiena saling pandang tak paham dengan apa yang dikatakan oleh Nisa. "Kalau kalian tak mau keluar, kami akan mendobrak pintu.Kami bertambah bingung ketika mendengar suara dari luar, bukan cuma suara Nisa, tapi ada suara beberapa orang lagi, yang lebih membuatku heran, itu adalah suara laki-laki. "Ibu tunggu di sini, biar Hadi yang tengkok," ucapku sembari bergegas membuka pintu. Baru saja aku membukanya, aku sudah disambut oleh tangan Nisa yang menyeretku keluar."Nisa, apa-apaan sih kamu. Pak RT, Pak Hansip, dan Bapak-bapak, kenapa kalian malam-malam ke rumah saya?" tanyaku bertubi-bi pada rombongan Pak RT yanh kini berdiri di depan kamar. Entah siapa yang memanggil mereka."Halah, Mas Hadi jangan pura-pura, kami dengar kamu berz1na dengan mantan kamu, dan ternyata benar. Kalian sudah bercerai tapi masih sekamar," sahut salah seorang warga.Aku benar-benar
Pov: HadiAku sungguh sangat malu sekali dengan Shiena, ternyata Nisa menerima uang dari Hisyam atas namaku. "Kenapa kamu lakukan itu padaku? kenapa kamu bikin suamimu malu?" bentakku pada Nisa, tapi dia tak terima disalahkan."Ini semua salah aa, kalau saja Aa ngasih aku uang banyak, aku gak bakal nerima uang dari laki-laki itu," sahut Nisa tak kalah lantang denganku."Astagfirullah, memangnya aku harus memberi kamu uang berapa banyak. Aku sudah banting tulang, dan sekarang aku sudah mulai bekerja di restoran mama, aku ngasih kamu uang 100 ribu perhari dan makan pun kamu gak perlu mikirin lagi, karena sudah tersedia. Lalu apa lagi yang kamu mau?" Aku kembali membentaknya. Aku sungguh kecewa dengan sikap boros dan serakah yang dia miliki. Ahhkh, kenapa duly aku bisa mencintai wanita ini selama bertahun-tahun. Benar kata ceramah Ustadz yang kudengar, "Dalam pernikahan itu tak boleh mengandalkan cinta, cinta saja tak cukup untuk menjalani sebuah pernikahan. Cinta bisa berubah kapan
Aku melepas Basmah dengan derai air mata yang terus menderas ke pipi ini. Hatiku sungguh berat melihat putri sulungku pergi dari sisiku. Usai dari Bandara, aku bermaksud pergi ke kampung, tapi mama mertuaku memintaku untuk datang ke rumahnya. Karena tak mau mengecewakannya, aku pun terpaksa mengikuti permintaan mama keduaku itu. Setibanya di sana, aku langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Gigiku dibuat gemeletuk karena menyaksikan kelakuan menantu kedua mama. "Nisa, kamu mau apa?" tanya Mama Marnah penuh ketakutan. Sementara Nisa terlihat tersenyum menyeringai. Aku bisa melihat dengan jelas karena karena Nisa menghadap cermin. "Mama sebaiknya bekerja sama denganku. Buat aa Hadi kerja lagi di restoran mama, kalau tidak, mama akan tahu apa yang akan lakukan pada Mama. Mama masih ingat kan, kejadian waktu itu?" jawab Nisa disertai senyum mengerikannya. Entah apa yang dia maksud. "Assalamualaikum," sapaku pada mereka. Mereka terlihat kaget, meski ekspresi mereka berdua setelahnya sang
Hari berganti, seminggu sudah Hisyam berada di negara ini, dia tetap membujukku pergi bersamanya, "Shiena kalau kamu tak mau rujuk, ok, aku tak akan memaksa, tapi aku mohon ikutlah denganku," bujuk Hisyam. Laki-laki ini memang pantang menyerah kalau belum dituruti. "Aku sudah berapa kali mengatakan? aku tak mau ikut denganmu. Untuk apa kamu memaksa?" "Kalau kamu tak mau ikut, kamu emangnya mau apa? apa kamu mau kembali pada laki-laki yang suah mencampakkan kamu demi uang!" Mata ini seketika membola mendengar ucapan Hisyam. "Apa maksud kamu?" Hisyam tak menjawab pertanyaanku, dia malah memberikan selembar kertas. Aku mengambil kertas itu dan betapa terkejutnya aku, saat aku melihat surat perjanjian antara Hadi dan Hisyam. Yang mana tertulis di situ? Hisyam memberikan uang senilai 1 M, sebagai imbaalannya, Hadi harus rela melepasku selamanya?" Tubuhku terasa tak mampu lagi untuk berdiri. Aku benar-benar tak menyangka, Hadi dan Hisyam mempermainkanku, seolah aku ini hanya benda ya
Aku sungguh tak paham dengan pemikiran Hadi. Dia sama sekali tak peduli dengan perasaanku. Dia menceraikanku dan meminta rujuk seenaknya. Entah apa yang ada dalam pikirannya.. Setelah beberapa lama menunggui mama mertuaku, Hisyam menghubungiku, akhirnya aku memintanya untuk membawa Basmah dan Ibuku ke rumah sakit agar menjenguk mama Marnah. "Assalamualaikum, Bu Marnah, bagaimana keadaan Bu Marnah?" sapa Mamaku ketika berada di ruang rawat Mama Marnah. Dia bergegas menyalami Mama mertuaku itu. "Alaikum salam, Bu." sambut Mama mertua sembari menyambut mamaku. Mereka berdua pun berpelukan. Mama Marnah terlihat berkaca-kaca memandang ke arah mamaku. Mungkin hati beliau masih dipenuhi rasa bersalah karena kelakuan Hadi. "Maafkan kami ya Bu, karena kami sudah membuat Shiena menderita. Sekali lagi maafkan kami!" ungkap Mama mertua dengan penuh ketulusan. "Ibu gak usah minta maaf, karena itu bukan salah ibu. Jodoh dan rezeki kan sudah diatur. Mungkin memang jodoh Shiena dan Amar hany