Saya bangkit dari mimpi buruk semalam yang terasa segala beban masih berada di pundak. Membebani pagi ini hingga rasanya berjalan pun malas sekali. Satu hari sudah berlalu, tapi rasanya sudah seperti membiarkan beberapa kesempatan berbisnis tidak membuahkan hasil.Hancur dan resah.Saya keluar dari kamar, merasakan udara pagi di tempat asing. Tempat yang baru pertama saya menginjakkan kaki di sini. "Gimana bos, enak?" Si botak menyapa sambil membawa segelas kopi hitam di tangannya. "Tidak!" jawab saya jujur, semalam tidak enak. Pelepasan hormon testosteron yang tidak menyenangkan, saya bahkan harus mandi malam dan berakhir sepi sendiri di ranjang."Gelisah galau merana ya bos?" urai si botak, entah mengejek saya atau muka saya benar-benar terlihat merana, saya hanya mengangguk sambil mengikutinya bergabung dengan polisi-polisi dan pengawal saya.Sepiring pisang goreng dan kopi nampaknya sudah di nikmati mereka di gubuk bambu tempat di area parkir."Bagaimana, sudah ada titik terang
Tengah hari pun menjelang, setumpuk perdebatan yang saya lakukan dengan diri saya sendiri ternyata sangat mudah di tebak oleh si botak. Dia menawarkan diri ke kota mengambil uang, saya setuju, saya butuh uang tunai, bukan malah membeli logistik sebanyak-banyaknya yang ternyata sama sekali tidak saya minati.Saya bergeming di pinggir warung, merasakan tetesan air hujan yang turun dari atap seng. Tangan saya basah, tapi tidak sebasah air mata Farah dan Anna.Didesak kebutuhan hasrat yang menggelora, saya benar-benar tidak sanggup jika hanya memiliki Farah. Tapi Anna juga bukan hanya pelampiasan nafsu ini. Anna adalah variasi. "Apa gerimis begini masih aman untuk menyebrang?" tanya saya kepada awak kapal yang ikut berteduh waktu hujan meluluh lantakkan segala kelegaan saya. Si awak kapal menaruh tangannya di depan kedua alisnya yang melengkung sambil menyipitkan mata seakan memantau kondisi perairan. Saya memasang muka datar, tolonglah kali ini sejalan, jangan sampai dia bilang tidak
Mengalahkan gengsi yang mati-matian saya lakukan, si botak benar-benar memapah saya tanpa sungkan menuju resort terdekat dari bibir pantai. Resort itu berdinding bambu, ada yang berbentuk segitiga atau lingkaran yang seperti rumah-rumah jaman dulu. Terlihat asri dan sejuknya nuansa menjadi Sejenak, saya tertegun sewaktu berdiri di atas pasir putih yang menggelitik kaki saya. Saya membisu memandang rusa, monyet, bahkan babi hutan berkeliaran dengan santai di atas pasir putih yang sama.Anna, masih kurang ramai apa hidup kamu? Kau benar-benar mengambil risiko yang meminta saya untuk menekuk lutut di hadapanmu atau saya kurang memahami mu? Saya bergidik ngeri membayangkan kamu tergesa di kejar babi hutan, kesusahan membawa barang-barangmu, apalagi anak kita yang sudah membuat punggungmu ngilu, atau kamu sedang membohongi diri saya? Saya mengembuskan napas lelah. "Ayo, bos. Lihat-lihatnya nanti lagi ajalah keburu di samperin monyet! Aku males ribut sama hewan liar, ribet urusannya." c
"Kamu minta cinta kayak minta gorengan aja mas, gampang banget ngomongnya!" omel Anna sambil berbalik. Saya yang tidak ingin dia sendiri di pulau yang semakin gelap semakin terasa liar ini menahan tangannya. Anna terdiam."Aku menagih cinta sama seperti saat kamu menagih gelora di atas ranjang, Anna. Tidak berlebih, sama, saya meminta cinta kamu." kata saya sambil mendekat, menghirup aroma sampo kelapa dari rambutnya yang ikal lembut sebahu. "Kali ini saja, tolonglah, jangan membahayakan keselamatanmu dan anak kita, Anna. Izinkan saya menemanimu!" Anna menatap saya, berangsur-angsur matahari yang semakin menghilang di ufuk barat membuat saya tidak betah berlama-lama di pinggir pantai."Saya akan berdamai dengan omelanmu, saya akan mendengar semuanya, senang hati, tidak akan membantah, terserah apa katamu tentang saya. Saya akan menerima, tapi di sini, biar saya menemanimu sebagai suamimu!" kata saya penuh harap juga paksaan, sebab jika tidak begitu mana mempan ini perempuan hanya den
"Gimana, enak?" tanya saya sewaktu Anna menyantap mi komplit itu dengan penuh penghayatan. Waktu saya coba tadi enak, cita rasa yang memang dari resep pabriknya begitu. Cuma perlu di garis bawahi, untuk ibu hamil yang istimewa seperti dia, rasa yang enak belum tentu enak. Begitu juga sebaliknya.Anna mengerucutkan bibir, meski semangkok mi komplit yang sudah tak bersisa itu ia habiskan. Saya menyipit. "Kenapa, kurang banyak?" tanya saya memastikan, saya sanggup memasaknya lagi, tapi masih ada sup buah yang belum dia sentuh, jadi apakah mi buatan saya tidak enak tapi lapar?Saya mendengar perut Anna berbunyi, bergerak lalu dia menutup mulutnya. Bersendawa dengan malu-malu."Banyak banget sih bikinnya, aku bilang komplit bukan berarti porsi dobel. Jadi kebanyakan kan!" Anna mendesis jengkel, "aku coba sup buahnya, awas kalo susunya nggak manis!"Saya menahan senyum, sambil duduk bersila, saya melihatnya kembali makan dengan penghayatan. Saya yakin enak, pasti, saya bisa masak, apapun,
Puas menatap Anna dan menggoda Alinka di dalam rahim ibunya. Saya ikut merebahkan diri di sampingnya. Menatap remang-remang keadaan sambil termenung sendiri.Jeda yang ajaib, perempuan ini slalu berkata seperti itu tapi kata saya, “aku menemui satu persinggahan yang menerima sisi gelap ku, tanpa banyak cela dan pada harapan ini, perempuan ini, memegang rela janji untuk tetap bersama.”Saya memiringkan tubuh, memeluk si pemilik raga yang akan slalu berada di bawah kedudukan Farah, si apa adanya yang slalu tampil ceria di mana saja, saya yakin, dia akan slalu menjadi yang pengertian. "Ardi, Anna, Alinka. Harmonisasi nama yang indah, meski tidak seindah perjalanan yang akan kita lewati nanti bahkan hingga ujung waktu."•••Saya merasakan resah di penghujung mimpi, ketidaktenangan ini semakin lama semakin menjadi-jadi. Saya membuka sebelah mata tanpa benar-benar terbuka, hanya menyipit. Bisa saya saksikan samar-samar Anna duduk bersila sambil memandangi saya. Dia memasang muka datar mes
Anna mengangguk sambil menarik tangan saya buru-buru ke resort. Saya yang tahu pasti maksudnya apa menyunggingkan senyum lebar. Anna mau melepas pakaian saya, ajaib, akhirnya setelah berbulan-bulan saya menunggu dengan sabar untuk merasakan bagaimana mencicipi Anna dalam keadaan hamil terwujud. Akhirnya, bisa saya pastikan Anna kembali luluh dengan apa yang saya lakukan. Anna mendorong daun pintu lantas menutupnya sambil tersenyum lebar. "Jadi?" tawarnya sambil melaju ke kamar mandi, mengambil handuk.Saya tersenyum karena pertimbangannya yang baik. Cukup baik karena pergi ke pulau ini jadi tidak sia-sia. "Jadi, kamu tidak keberatan?" Anna menyampirkan handuknya di sofa, lalu mengangkat wajahnya. "Aku ambil bagianku hari ini mas, nanti malam kamu udah jadi bagian Mbak. Lagian aku tau, berbagi cinta emang akan nggak enak. Tapi lebih nggak enak jadi Mbak, jadi biarkan aku menjadi Anna. Tidak perlu jadi nyonya Ardi, bisa kan?" katanya dengan muram. "Kamu tau mas, ada bagian-bagian t
Setelah menyudahi harmonisasi percintaan yang tidak cukup memuaskan raga. Saya dan Anna keluar dari kamar mandi. Duduk-duduk santai di lantai sambil menyantap logistik yang Anna beli, membunuh waktu dengan bercengkrama tentang hari kemarin yang terlalui dengan banyak mengalihkan atensi, melebur dengan alam, berharap, setiap energi baik yang tercipta dari sang khalik bisa membuat dahaga akan perasaan ini membaik. "Kita pulang jam berapa, Anna?" tanya saya sembari memainkan ujung rambutnya yang sedikit lembab. Anna mengunyah roti croissant kemasan, menghabiskannya lalu meneguk susu ibu hamil kemasan. Saya menghela napas, tadi sudah habis satu buah apel, masih lanjut lagi sepertinya rasa lapar itu."Habis ini ada trip lihat terumbu karang mas, tapi aku nggak berani. Takut dikira anak gajah lagi berenang, takut membahayakan jantung semua orang yang lihat. Jadi aku nggak setega itu."Saya jadi menyunggingkan senyum, dia ini memang merepotkan, saya setuju kok kalau dia tidak perlu berena