Puas menatap Anna dan menggoda Alinka di dalam rahim ibunya. Saya ikut merebahkan diri di sampingnya. Menatap remang-remang keadaan sambil termenung sendiri.Jeda yang ajaib, perempuan ini slalu berkata seperti itu tapi kata saya, “aku menemui satu persinggahan yang menerima sisi gelap ku, tanpa banyak cela dan pada harapan ini, perempuan ini, memegang rela janji untuk tetap bersama.”Saya memiringkan tubuh, memeluk si pemilik raga yang akan slalu berada di bawah kedudukan Farah, si apa adanya yang slalu tampil ceria di mana saja, saya yakin, dia akan slalu menjadi yang pengertian. "Ardi, Anna, Alinka. Harmonisasi nama yang indah, meski tidak seindah perjalanan yang akan kita lewati nanti bahkan hingga ujung waktu."•••Saya merasakan resah di penghujung mimpi, ketidaktenangan ini semakin lama semakin menjadi-jadi. Saya membuka sebelah mata tanpa benar-benar terbuka, hanya menyipit. Bisa saya saksikan samar-samar Anna duduk bersila sambil memandangi saya. Dia memasang muka datar mes
Anna mengangguk sambil menarik tangan saya buru-buru ke resort. Saya yang tahu pasti maksudnya apa menyunggingkan senyum lebar. Anna mau melepas pakaian saya, ajaib, akhirnya setelah berbulan-bulan saya menunggu dengan sabar untuk merasakan bagaimana mencicipi Anna dalam keadaan hamil terwujud. Akhirnya, bisa saya pastikan Anna kembali luluh dengan apa yang saya lakukan. Anna mendorong daun pintu lantas menutupnya sambil tersenyum lebar. "Jadi?" tawarnya sambil melaju ke kamar mandi, mengambil handuk.Saya tersenyum karena pertimbangannya yang baik. Cukup baik karena pergi ke pulau ini jadi tidak sia-sia. "Jadi, kamu tidak keberatan?" Anna menyampirkan handuknya di sofa, lalu mengangkat wajahnya. "Aku ambil bagianku hari ini mas, nanti malam kamu udah jadi bagian Mbak. Lagian aku tau, berbagi cinta emang akan nggak enak. Tapi lebih nggak enak jadi Mbak, jadi biarkan aku menjadi Anna. Tidak perlu jadi nyonya Ardi, bisa kan?" katanya dengan muram. "Kamu tau mas, ada bagian-bagian t
Setelah menyudahi harmonisasi percintaan yang tidak cukup memuaskan raga. Saya dan Anna keluar dari kamar mandi. Duduk-duduk santai di lantai sambil menyantap logistik yang Anna beli, membunuh waktu dengan bercengkrama tentang hari kemarin yang terlalui dengan banyak mengalihkan atensi, melebur dengan alam, berharap, setiap energi baik yang tercipta dari sang khalik bisa membuat dahaga akan perasaan ini membaik. "Kita pulang jam berapa, Anna?" tanya saya sembari memainkan ujung rambutnya yang sedikit lembab. Anna mengunyah roti croissant kemasan, menghabiskannya lalu meneguk susu ibu hamil kemasan. Saya menghela napas, tadi sudah habis satu buah apel, masih lanjut lagi sepertinya rasa lapar itu."Habis ini ada trip lihat terumbu karang mas, tapi aku nggak berani. Takut dikira anak gajah lagi berenang, takut membahayakan jantung semua orang yang lihat. Jadi aku nggak setega itu."Saya jadi menyunggingkan senyum, dia ini memang merepotkan, saya setuju kok kalau dia tidak perlu berena
Saya tersenyum lemah di hadapan Anna yang membersihkan bibir saya dengan tisu basah di pinggir dermaga setelah saya memuntahkan lagi isi perut untuk kesekian kali."Kayaknya jadi petualangan yang tak terlupakan nih, mas. Selamat ya, semoga jadi kenangan." Anna bersikap seperti ibu-ibu yang sedang memberi semangat pada anaknya setelah melakukan berbagai kegiatan out door dan pulang dengan badan meriang. Saya meneguk air rasa-rasa yang dia berikan sebelum menekan ulu hati yang terasa ngilu."Makan dulu sebelum pulang! Saya harus kembali berenergi."Sigap, semuanya langsung pergi ke tempat parkir. Naik ke kendaraan masing-masing dan bergerak keluar dari wilayah taman nasional ujung kulon ini.Saya menghela napas, tujuh jam paling cepat saya dan Anna akan kembali ke rumah. Bertemu Farah dan kembali harus menjalani kehidupan yang riil. Menjadi orang kantoran, padahal ternyata jalan-jalan seperti kemarin lumayan bikin saya enjoy dan melihat hal-hal baru. Anna menepuk pundaknya, "Sini sand
"Ya ampun, Annaaaaaa...." teriak mama sambil mencubit lengan Anna dengan gemas. "Anak nakal, bisa-bisanya pergi ke ujung kulon sendirian, bisa-bisanya pergi ke sana waktu hamil besar. Ar-Ar, rasanya mama mau pingsan."Tubuh mama berayun mundur, membetur pintu, Anna yang di cubit tetap memasang wajah cengengesan sambil mengipasi wajah mama dengan mengibaskan tangannya."Mama jangan pingsan, nanti Alinka sedih." kata Anna, "Alinka siapa?" tanya mama sambil memegang dadanya."Alinka cucu mama. Kata mas Ardi artinya berharga." Anna menjelaskan sambil menggandeng tangan mama, "masuk yuk, ma. Aku mau rebahan di kasur. Punggungku capek."Mama menatap Anna tak berdaya. Dari wajahnya seperti terjadi pergulatan batin yang kuat."Ayo, ma. Alinka udah puas jalan-jalan." aku Anna dengan muka datar.Mama kemudian berjalan lemah ke dalam rumah dan ambruk di sofa."Ya Tuhan, kalian ke ujung kulon hanya untuk membicarakan nama anak. Ardi! Apa kamu tidak bisa mengatur istrimu? Kalo tidak bisa mama aka
"Memang pemandangan yang menyenangkan, paling tidak itu yang saya lihat karena Bian cukup memperhatikan Anna." balas saya dengan tenang. Tidak akan pernah saya tunjukkan rasa keterkejutan ini di depan Farah. "Bukannya sekali pembohong tetap pembohong mas?" urainya dengan santai. "Betul sekali sayangku Farah, bukannya kamu juga pernah begitu, arisan sosialita puluhan juta berhadiah kencan dengan berondong sewaan juga?" Ah iya, sambil bercerita tentang kesalahannya. Saya menarik mundur kursi roda yang ia pakai. Membawa Farah ke dapur, memasak masakan kesukaannya. Walau sebenarnya saya tidak berminat sekali membicarakan hal itu, saya sudah menerima dia menghabiskan ratusan juta demi arisan sialan pembawa petaka rumah tangga saya. "Biar aku suapi." tawar saya sewaktu semua sudah masak dan menjadi hangat. Saya akan menuruti perintah Anna untuk tetap mengasihi Farah tanpa cela agar Anna juga mampu ia terima. Namun jika Farah tetap bersikukuh pada keegoisannya, persetan dengan perintah
Seminggu setelah pembagian harta gono-gini, pengacara saya menemui saya di rumah tengah malam. Saya melonggarkan dasi setelah menyampirkan jas di kursi."Bagaimana hasilnya?" tanya saya di ruangan pribadi saya di lantai dua. "Farah terima dengan hasilnya?" Pengacara saya hanya tersenyum, dia mengangkat tas kulitnya yang slalu dia bawa kemana-mana. Mengeluarkan berbagai surat-surat."Ibu Farah menerimanya dengan senang, itu karena bapak juga menambahkan sebidang tanah untuknya beliau."Usai berucap, pengacara saya nampak membaca surat-surat penting itu dengan teliti. Menumpuknya sesuai nama saya dan Farah di meja kayu jati klasik yang saya beli waktu jalan-jalan di toko mebel klasik. Cinta sekali saya dengan meja ini, sentuhannya halus, dan kokoh."Untuk Anna yang sudah saya katakan, apa kamu sudah mengurusnya?" tanya saya sambil bersedekap."Sudah, pasti, pak. Bagian untuk ibu Anna saya ambil dari milik bapak. Mungkin bapak akan memeriksanya?" tawar pengacara saya sambil mengulurkan
Saya benar-benar tidak tahu cara berpikir Farah itu bagaimana. Dia sudah tidak bisa bekerja, tidak bisa melakukan apapun dengan sendiri, tapi kelakuannya bikin saya geram. Anna hanya saya bagi sedikit dari harta yang saya punya, itu bahkan belum termasuk saham dan penghasilan lainnya dari perusahaan yang saya miliki. Tapi kenapa secuil harta ini dia persulit sendiri dengan ketakutannya."Benar-benar tidak berubah!" maki saya dalam hati.Di ruang keluarga, saya memanggil anak-anaknya, meminta mereka untuk segera masuk ke dalam mobil."Papa beneran bisa lihat aku ikut turnamen futsal di sekolah?""Bisa, kenapa?"Di mobil, Naufal yang duduk di dekat saya menatap saya dengan tidak berani. "Kenapa begitu?" tanya saya, "kamu tidak percaya?" "Papa kelihatannya tidak senang!" balas Naufal dengan lirih. Saya menghela napas. Tidak mungkin saya menceritakan tentang ibunya, salah-salah saya cuma di kira hanya membandingkannya nanti dengan Anna. Saya mengulas senyum dengan terpaksa karena ana