Saya benar-benar tidak tahu cara berpikir Farah itu bagaimana. Dia sudah tidak bisa bekerja, tidak bisa melakukan apapun dengan sendiri, tapi kelakuannya bikin saya geram. Anna hanya saya bagi sedikit dari harta yang saya punya, itu bahkan belum termasuk saham dan penghasilan lainnya dari perusahaan yang saya miliki. Tapi kenapa secuil harta ini dia persulit sendiri dengan ketakutannya."Benar-benar tidak berubah!" maki saya dalam hati.Di ruang keluarga, saya memanggil anak-anaknya, meminta mereka untuk segera masuk ke dalam mobil."Papa beneran bisa lihat aku ikut turnamen futsal di sekolah?""Bisa, kenapa?"Di mobil, Naufal yang duduk di dekat saya menatap saya dengan tidak berani. "Kenapa begitu?" tanya saya, "kamu tidak percaya?" "Papa kelihatannya tidak senang!" balas Naufal dengan lirih. Saya menghela napas. Tidak mungkin saya menceritakan tentang ibunya, salah-salah saya cuma di kira hanya membandingkannya nanti dengan Anna. Saya mengulas senyum dengan terpaksa karena ana
Saya meninggalkan rumah Anna dengan senyuman geli."Pokoknya aku nggak mau datang ke hotel, mas udah nolak permintaanku kok!" teriaknya sewaktu saya masuk ke mobil. Saya menurunkan kaca mobil untuk memberikan senyuman yang katanya menyebalkan ini."Saya tunggu, Anna. Saya akan memberimu kelonggaran jika kamu mau datang nanti. Saya berjanji untuk itu jadi datanglah." kata saya dengan rona meyakinkan."Kamu bisa bersumpah untuk itu mas?" tanya Anna sambil mendekat. "Datanglah nanti, di atas jam sepuluh." Anna mengulurkan tangannya, mencium punggung tangan saya dengan bibirnya yang hangat."Awas aja kalo kelonggarannya nggak wajar, aku pastikan kamu nggak ketemu Alinka waktu lahiran mas." cibir Anna pelan. Dia benar-benar berusaha untuk mendapatkan izin kuliah, tapi untuk apa kuliah setelah melahirkan? Memangnya dia sanggup membagi waktunya? Apa Anna kira setelah punya Alinka seluruh benaknya tidak tersita oleh bayi mungil bernama Alinka. Dia belum memahami bagaimana rasanya menjadi o
Saya mengganti pakaian saya di kamar sambil menatap Farah yang telah terlelap. Kekacauan emosi yang kami rasakan membuat beberapa jam berlalu dalam hening. Antara kami tidak ada yang ingin berbicara terlebih dahulu, karena saya pun tidak meluangkan waktu untuknya.Saya meninggalkan rumah pukul sepuluh malam setelah memastikan anak-anak tidur di kamar masing-masing dengan nyenyak.Perjalanan dari rumah ke hotel di daerah SCBD tidak jauh, tapi belajar dewasa akan pilihan terasa begitu sunyi meski masih jelas saya ingat jam-jam segini dunia sisi gelap sedang bergeliat menampilkan eksistensinya dalam remang-remang kegelapan."Sudah kamu pastikan si botak sudah membawa Anna ke hotel itu?" tanya saya kepada pengawal yang mengemudi."Si botak tidak mengaktifkan ponselnya, pak. Kemungkinan itu ulah ibu Anna." Mata saya yang sudah lelah langsung melebar. Bisa-bisanya Anna menyuruh anak buah saya membuat rencana indah malam ini jadi kacau padahal saya sudah membawakan dia banyak makanan dan re
Semua jerih payah ini tidak sia-sia, Anna menahan lengan saya saat berhenti di depan kamar super mewah ini untuk malam terakhir kami sebelum dia melahirkan."Kamu bener-bener menyewa kamar president's suite mas?" "Apa wajah saya bercanda?""Wajah kamu banyak pikiran mas. Salah, ralat, apa kamu nggak suka aku datang kesini pakai daster mas?" tanya Anna dengan mata menyipit.Hati kecil saya memang tidak terima Anna hanya menggunakan daster rumahan. Padahal dia bisa pakai gaun yang cantik, sepatu flatshoes yang aman di pakai waktu hamil, dan menata rambutnya."Saya ingin menangkis ucapanmu, Anna. Kamu membuat saya tersihir dengan daster ini." jawab saya dengan suara rendah. "Tersihir? Memang aku penyihir?" serunya lalu melepas tangannya dari lengan saya. "Jangan bilang aku penyihir yang bawa sapu, awas kamu!" Anna berkacak pinggang. Gila, energinya jam segini masih banyak. Sudah bisa saya pastikan siang tadi dia cuma tidur."Kamu penyihir yang membuat hati saya senang." kata saya."I
"Aku gila karena kamu mas, gimana? Enak nggak kegilaan ini?" sahut Anna, menatap saya dengan ekspresi wajah lega. Bahkan tubuhnya yang membengkak telanjang berkeringat itu terlalu nyaman merebah di sofa. Saya meringis, perutnya pasti mengencang hingga ia masih ingin merebahkan diri di sofa. "Terima kasih, kamu tidak memadamkan nyala dalam tubuh ini." Saya mengatur napas yang masih terasa kembang-kempis seraya beranjak, malu juga jika terus dalam keadaan seperti ini. "Kamu harus mandi sayang biar nyaman tidurnya. Saya siapkan air hangatnya, kamu mau?" tawar saya sambil beranjak dengan mata yang tak luput melihatnya."Mau. Terus makan." ucapnya dengan wajah malu. "Mas, udah. Jangan lihat aku kayak gitu, kamu seperti mau makan aku!"Saya membungkuk, meraup pakaian kami di lantai, tapi mata saya tercolok dengan g-string merah miliknya. "Kapan kamu beli ini, Anna?" tanya saya, ia tidak pernah memakai pakaian dalam senonoh seperti ini meski dia punya baju tidur yang tak kalah senonoh
"Hari perkiraan lahirnya aja masih lama lho mas, masa gara-gara kamu sodok sampai merem melek bisa pecah ketuban!" seru Anna yang telah berbaring di ranjang pasien rumah sakit ternama ibu dan anak satu jam lalu.Si botak dan Johan tertawa mendengar nada lugas pada suara Anna. Saya yang di rundung panik satu jam lalu di dalam kamar hotel kini masih duduk lemas di sofa."Kalian bisa diam tidak?" kata saya lelah, lelah sekali, dua ronde berakhir lahiran. Gokil, sayangnya Anna masih bukaan dua. Masih lama proses melahirkannya dan saya benar-benar menanti momen itu. "Itu tadi namanya pelepasan yang membara. Bukan salah saya juga, Alinka pasti sudah ingin ketemu dengan saya!""Boleh jadi, bos. Saya setuju, saya juga penasaran bagaimana putri bapak nanti." sahut si botak dengan ekspresi geli. "Kenapa seperti itu?" tanya saya ketus. "Karena–karena pasti Alinka bakal bikin bapak malas kerja." jawab botak. "Pembohong!" Saya mendengus, "Kalian pasti memiliki alasan lain." Botak yang sedang
Saya menimang Alinka sambil tersenyum-senyum sendiri. Dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Alinka sudah berhenti menangis setelah keluar dari rahim ibunya tadi.Kini ia memejamkan matanya dengan damai. Pipinya tembam, mata beningnya sungguh-sungguh menakjubkan dan menggetarkan hati saya. Bobotnya tiga kilogram, itu bisa saya pastikan kalau Anna sangat menjaga pola makannya."Maaf bapak, boleh saya ambil alih putrinya untuk melakukan inisiasi menyusui dini dengan ibunya." ujar seorang perawat sambil tersenyum sopan kepada saya.Tapi inisiasi menyusui dini membuat mata saya langsung melebar dan beralih pada perempuan yang sedang kelelahan di atas ranjang meski senyumnya tetap terjaga di setiap sudut bibirnya. "Umm..." Saya mendekap Alinka lebih erat dan mendekati Anna, saya keberatan karena ibu mawar berduriku dadanya penuh dengan bercak-bercak merah tanda percintaan kami semalam. Itu memalukan untuk di lihat perawat-perawat di sini karena sebelum menjadi pasien, dia menggan
"Ini tuh semua gara-gara mas Ardi mama, bukan aku yang minta. Dia itu–" Anna mendesah sambil susah payah menarik selimut, "Bantuin kenapa mas, keburu gak punya muka ini aku!" serunya panik. Saya meraih ujung selimut dan menutupi wajahnya sambil tetap membiarkan Alinka tidur di dadanya."Sudah kan? Saya yakin sekarang kamu sudah sembuh karena sudah ngegas lagi." "Enak aja," sahut Anna. "Aku mau tidur, mas jagain aku sama Alinka ya. Aku udah tenang dan nyaman banget ini buat merem." akunya, menghindar dari protesnya mama dan ibu yang benar-benar mengutuk keras kelakuan kami semalam. Mereka bilang saya kurang ajar dan tidak tahu diri. Saya jelas menyangkalnya, itu kan tidak apa-apa, kami menikmatinya sementara Anna tidak protes, lagian kami kira melahirkannya tidak hari ini jadi kami melakukan apa yang ingin kami lakukan dengan senang sebagai malam terakhir."Ma, minta tolong jagain Anna dan Alinka. Aku mau mandi." kata saya sambil membuka selimut lagi, Anna melotot. "Tutup wajahku ma