Semua jerih payah ini tidak sia-sia, Anna menahan lengan saya saat berhenti di depan kamar super mewah ini untuk malam terakhir kami sebelum dia melahirkan."Kamu bener-bener menyewa kamar president's suite mas?" "Apa wajah saya bercanda?""Wajah kamu banyak pikiran mas. Salah, ralat, apa kamu nggak suka aku datang kesini pakai daster mas?" tanya Anna dengan mata menyipit.Hati kecil saya memang tidak terima Anna hanya menggunakan daster rumahan. Padahal dia bisa pakai gaun yang cantik, sepatu flatshoes yang aman di pakai waktu hamil, dan menata rambutnya."Saya ingin menangkis ucapanmu, Anna. Kamu membuat saya tersihir dengan daster ini." jawab saya dengan suara rendah. "Tersihir? Memang aku penyihir?" serunya lalu melepas tangannya dari lengan saya. "Jangan bilang aku penyihir yang bawa sapu, awas kamu!" Anna berkacak pinggang. Gila, energinya jam segini masih banyak. Sudah bisa saya pastikan siang tadi dia cuma tidur."Kamu penyihir yang membuat hati saya senang." kata saya."I
"Aku gila karena kamu mas, gimana? Enak nggak kegilaan ini?" sahut Anna, menatap saya dengan ekspresi wajah lega. Bahkan tubuhnya yang membengkak telanjang berkeringat itu terlalu nyaman merebah di sofa. Saya meringis, perutnya pasti mengencang hingga ia masih ingin merebahkan diri di sofa. "Terima kasih, kamu tidak memadamkan nyala dalam tubuh ini." Saya mengatur napas yang masih terasa kembang-kempis seraya beranjak, malu juga jika terus dalam keadaan seperti ini. "Kamu harus mandi sayang biar nyaman tidurnya. Saya siapkan air hangatnya, kamu mau?" tawar saya sambil beranjak dengan mata yang tak luput melihatnya."Mau. Terus makan." ucapnya dengan wajah malu. "Mas, udah. Jangan lihat aku kayak gitu, kamu seperti mau makan aku!"Saya membungkuk, meraup pakaian kami di lantai, tapi mata saya tercolok dengan g-string merah miliknya. "Kapan kamu beli ini, Anna?" tanya saya, ia tidak pernah memakai pakaian dalam senonoh seperti ini meski dia punya baju tidur yang tak kalah senonoh
"Hari perkiraan lahirnya aja masih lama lho mas, masa gara-gara kamu sodok sampai merem melek bisa pecah ketuban!" seru Anna yang telah berbaring di ranjang pasien rumah sakit ternama ibu dan anak satu jam lalu.Si botak dan Johan tertawa mendengar nada lugas pada suara Anna. Saya yang di rundung panik satu jam lalu di dalam kamar hotel kini masih duduk lemas di sofa."Kalian bisa diam tidak?" kata saya lelah, lelah sekali, dua ronde berakhir lahiran. Gokil, sayangnya Anna masih bukaan dua. Masih lama proses melahirkannya dan saya benar-benar menanti momen itu. "Itu tadi namanya pelepasan yang membara. Bukan salah saya juga, Alinka pasti sudah ingin ketemu dengan saya!""Boleh jadi, bos. Saya setuju, saya juga penasaran bagaimana putri bapak nanti." sahut si botak dengan ekspresi geli. "Kenapa seperti itu?" tanya saya ketus. "Karena–karena pasti Alinka bakal bikin bapak malas kerja." jawab botak. "Pembohong!" Saya mendengus, "Kalian pasti memiliki alasan lain." Botak yang sedang
Saya menimang Alinka sambil tersenyum-senyum sendiri. Dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Alinka sudah berhenti menangis setelah keluar dari rahim ibunya tadi.Kini ia memejamkan matanya dengan damai. Pipinya tembam, mata beningnya sungguh-sungguh menakjubkan dan menggetarkan hati saya. Bobotnya tiga kilogram, itu bisa saya pastikan kalau Anna sangat menjaga pola makannya."Maaf bapak, boleh saya ambil alih putrinya untuk melakukan inisiasi menyusui dini dengan ibunya." ujar seorang perawat sambil tersenyum sopan kepada saya.Tapi inisiasi menyusui dini membuat mata saya langsung melebar dan beralih pada perempuan yang sedang kelelahan di atas ranjang meski senyumnya tetap terjaga di setiap sudut bibirnya. "Umm..." Saya mendekap Alinka lebih erat dan mendekati Anna, saya keberatan karena ibu mawar berduriku dadanya penuh dengan bercak-bercak merah tanda percintaan kami semalam. Itu memalukan untuk di lihat perawat-perawat di sini karena sebelum menjadi pasien, dia menggan
"Ini tuh semua gara-gara mas Ardi mama, bukan aku yang minta. Dia itu–" Anna mendesah sambil susah payah menarik selimut, "Bantuin kenapa mas, keburu gak punya muka ini aku!" serunya panik. Saya meraih ujung selimut dan menutupi wajahnya sambil tetap membiarkan Alinka tidur di dadanya."Sudah kan? Saya yakin sekarang kamu sudah sembuh karena sudah ngegas lagi." "Enak aja," sahut Anna. "Aku mau tidur, mas jagain aku sama Alinka ya. Aku udah tenang dan nyaman banget ini buat merem." akunya, menghindar dari protesnya mama dan ibu yang benar-benar mengutuk keras kelakuan kami semalam. Mereka bilang saya kurang ajar dan tidak tahu diri. Saya jelas menyangkalnya, itu kan tidak apa-apa, kami menikmatinya sementara Anna tidak protes, lagian kami kira melahirkannya tidak hari ini jadi kami melakukan apa yang ingin kami lakukan dengan senang sebagai malam terakhir."Ma, minta tolong jagain Anna dan Alinka. Aku mau mandi." kata saya sambil membuka selimut lagi, Anna melotot. "Tutup wajahku ma
Saya memandangi riuhnya pertandingan turnamen futsal di bawah terik matahari. Naufal tampak begitu antusias menggiring bola ke sana kemari dalam melawan rivalnya.Saya tersenyum melihatnya. Sejak kecil dia memang menyukai bola dan pertemuan dengan Anna di perusahaan sampai perempuan itu memecahkan vas keramik yang terpajang dan membuat perusahaan cukup ramai setelahnya itu akan saya ingat sebagai kali pertama riuhnya hidup saya. "Papa, gol, papa..." teriak Naufal dari lapangan sebelum selebrasi bersama teman-temannya.Saya berdiri sambil mengacungkan jempol dan tersenyum bangga. Namun dalam benak apa dia akan tetap tersenyum terhadap saya jika tahu adiknya dari mama Anna sudah lahir.Naufal kembali melanjutkan pertandingan sampai akhir dengan durasi 2x20menit. Setelah ia sudah berisitirahat di pinggir lapangan untuk menyaksikan pertandingan lanjutan. Saya menghampirinya."Hei jagoan, selamat." Saya mengambil handuk kecil untuk mengeringkan keringatnya. Tapi bocah ini menariknya perla
Entah apa yang akan Farah lakukan di galeri lukisan sekarang selain hanya melihat dan diam. Sedaritadi saya hanya mendorong kursi rodanya sambil melihat-lihat setiap lukisan di dinding. Entah ada makna di balik setiap lukisan itu atau tidak, saya tidak bisa menikmatinya baik secara visualisasi atau rasa karena kepala saya sudah penuh riuh tangis Alinka dan kondisi Anna."Ada yang ingin kamu beli, Fa?" tanya saya. Pindah ke depannya seraya berjongkok.Farah menggeleng perlahan, di tangannya tergenggam lukisan yang ia buat tadi di tepi kolam. Cat hitam yang belum mengering ikut menempel di telapak tangannya. "Kau ingin menikmatinya tanpa gangguan?" tanya saya lagi, sebab diantara kami berdua, ada satu pelayan pribadi Farah dan dua pengawal kami, juga para pengunjung lainnya.Meski cenderung tidak terlalu ramai, bagi Farah yang kini menjadi seorang penyendiri dan pemalu kondisi seperti ini tidak menyenangkan."Aku mau kamu menaruh lukisanku di antara lukisan yang lain mas." Saya langsu
"Aku harus pergi ke Singapura untuk perjalanan bisnis, Fa. Jadi maaf gak bisa nemenin kamu untuk kontrol besok." kata saya setelah membersihkan diri. Dengan cepat saya memakai kemeja dan jaket. "Hanya tiga hari, setelah itu aku harus mengurus proses aqiqah Alinka di rumah satunya. Aku harap kamu maklum." Saya berbalik, mendekati Farah yang berbaring sambil mengelus perutnya. Dengan sisir yang masih saya bawa, saya merapikan rambutnya dengan hati-hati."Kamu punya anak sambung sekarang, Fa. Dan aku pernah membayangkan, bisakah kamu memperlakukannya seperti Anna memperlakukan anak kita dengan baik." Saya tersenyum pedih, tidak mungkin, tidak akan. Farah masih terluka, meski sebenarnya saya hanya mengutarakan keinginan saya tanpa berminat untuk berharap lebih banyak. "Aku hanya berharap suatu saat nanti bisa menerimanya, tapi tidak sekarang." jawab Farah. "Aku mungkin salah dan semuanya sudah terlambat untuk memperbaikinya, tapi bukan seperti ini balasan yang aku dapat. Ini jauh sang