"Aku harus pergi ke Singapura untuk perjalanan bisnis, Fa. Jadi maaf gak bisa nemenin kamu untuk kontrol besok." kata saya setelah membersihkan diri. Dengan cepat saya memakai kemeja dan jaket. "Hanya tiga hari, setelah itu aku harus mengurus proses aqiqah Alinka di rumah satunya. Aku harap kamu maklum." Saya berbalik, mendekati Farah yang berbaring sambil mengelus perutnya. Dengan sisir yang masih saya bawa, saya merapikan rambutnya dengan hati-hati."Kamu punya anak sambung sekarang, Fa. Dan aku pernah membayangkan, bisakah kamu memperlakukannya seperti Anna memperlakukan anak kita dengan baik." Saya tersenyum pedih, tidak mungkin, tidak akan. Farah masih terluka, meski sebenarnya saya hanya mengutarakan keinginan saya tanpa berminat untuk berharap lebih banyak. "Aku hanya berharap suatu saat nanti bisa menerimanya, tapi tidak sekarang." jawab Farah. "Aku mungkin salah dan semuanya sudah terlambat untuk memperbaikinya, tapi bukan seperti ini balasan yang aku dapat. Ini jauh sang
Butuh tiga hari untuk menyelesaikan semua pekerjaan saya di Singapura. Semua sudah tuntas dengan pembahasan kerja sama antar perusahaan kami. Di hari keempat, saya menemui presiden direktur Albert untuk berpamitan dengannya. Dia yang tahu saya buru-buru pulang kampung karena memiliki istri baru melahirkan menyewakan pesawat jet. Kami pergi ke atas gedung perusahaannya yang memiliki landasan helipad, helikopter sudah menunggu dan akan mengantar aku dan Johan ke bandara.Presiden direktur Albert memeluk saya dengan sikap gentleman, "Take care Mr. Ardi, sooner or later i will come to your country.""Siap." Saya menyunggingkan senyum. "Sampai jumpa, Albert. Terima kasih untuk kerja samanya."Pria setengah baya dengan mata biru yang slalu mengingatkan saya akan pantai ujung kulon dan Anna yang berdiri di tepi pantai sambil menendang pasir putih itu mengerjap jenaka. Saya cuma bisa mengangguk dan kembali memeluk pria itu karena baling-baling helikopter sudah berputar. Kebisingan dan terpaa
Saya memandangi Farah yang melihat kedatangan saya dari depan lemari besarnya yang menyimpan koleksi tas mewah miliknya. Dia tersenyum lebih lega dari biasanya. Senyuman yang tidak saya lihat sejak kecelakaan menimpanya.Saya balas senyuman itu sama lebih lega meski di kepala tersirat banyak pertanyaan atas dasar keputusan yang telah dia buat hari ini. Saya menekuk lutut di depan kursi roda, saya serahkan beragam obat dan vitamin yang saya diskusikan bersama dokter yang menanganinya selama menjalani terapi dan pengobatan di Singapura. "Oleh-oleh untukmu, Fa." kata saya sambil mematri tatapannya yang kadang kosong dan muram itu sekarang terlihat lebih menyala. Ada apa selama empat hari ini? Ajaib sekali, batin saya. Tidak mungkin Farah dengan sikap rendah hati menerima Anna begitu saja, secuil hati saya mengatakan jika ini seperti ada apa-apanya. Farah membuka pouch putih bertuliskan nama rumah sakit yang biasa kami kunjungi seraya tersenyum. "Kamu mikirin aku, mas?" tanyanya sambi
Saya memicingkan mata, meneliti raut wajah dua wanita yang kini duduk di depan saya. Anna yang mengerutkan kening dan Farah yang meringis geli. Saya jadi berpikir, di otak Anna sekarang pasti sedang memiliki banyak kalimat omelan yang sedang ingin dia ledakkan ketika ia yang baru menyusui Alinka melotot ketika saya memintanya untuk bergabung dengan saya dan Farah di ruang kerja. Rasanya sekarang malah seperti sedang ingin melakukan meeting dengan orang-orang hebat yang sangat berpengaruh bagi kehidupan saya."Sudah siap?""Apanya?" sahut Anna. "Yang sopan, dengar dulu mas Ardi ngomong." timpal Farah. Anna memutar bola matanya dengan sengaja. Pasti sekarang dia berpikir, Farah mulai sama seperti saya. Penuh tuntutan. "Iya, Mbak. Sorry, lagian kenapa sih suasananya mencekam gini. Aku gak tenang, ada apa? Tumben-tumben juga ini gak ada perang waktu ada aku." Kedua mata Anna mengernyit. Dia pernah bilang, ajari apapun yang kamu mas, tapi jangan mengekangku. Sekarang demi menjadikanny
Dua bulan kemudian. Saya menuruni anak tangga dengan cepat setelah mendengar Naufal berteriak dari bawah memanggil nama saya dan mengatakan mama-nya menyuruh saya turun."Iya, papa turun. Papa turun sayang." kata saya menggebu-gebu.Naufal berkacak pinggang di depan anak tangga paling bawah. Ia mengerut marah, saya tersenyum kanak-kanak. Aturan main di rumah ini sudah berjalan selama dua bulan setelah saya dengan berani dan bertanggung jawab mengatakan pada semua keluarga, rekan bisnis, teman nongkrong, dan media jika saya memiliki dua istri dan bayi mungil. Meski sempat terjadi gonjang-ganjing gosip yang makin lama di gosok makin sip saya percaya waktu akan menjawab semua getir dan getar yang ada. "Papa tadi baru ganti popok adikmu, Fal. Maaf lama, adikmu bawel." seloroh saya, Naufal menutup telinganya. Dia sering begitu jika saya membicarakan Alinka, berbeda dengan Kenzo. Oh anakku yang satu itu memang anak pintar, dia menjadi kakak yang baik dan sering tidur bersama Anna karena b
Entah berapa lama waktu yang saya habiskan untuk menunggu Farah di rumah sakit, keadaannya yang belum stabil mengharuskan Farah mendapatkan perawatan intensif yang lebih dari apa yang saya perkirakan."Makan dulu mas." Anna mengusap kedua bahu saya dari belakang seraya mengecup puncak kepala saya. "Semuanya akan membaik mas, percayalah." bisiknya sambil merangkul pundak saya. "Kamu yang kuat, banyak orang yang membutuhkanmu hari ini dan selamanya sampai waktu berhenti."Saya menelengkan kepala untuk mengecup pipinya yang masih terlihat tembam meski Alinka sudah berusia nyaris tiga bulan. "Terima kasih, makanlah lebih dulu Anna." pinta saya, dia mengasihi dua bayi, Alinka dan Alinskie sekarang, selama seminggu kami di rumah sakit. Anna butuh banyak makan, sementara saya, saya tidak tahu kenapa akhir-akhir ini rasanya energi dalam tubuh saya tidak sekuat dan seegois biasanya. Pikiran saya hanya tersita untuk kepulihan Farah.Saya hanya kerja sebentar lalu ke sini, tidur di sofa dan me
Dalam keremangan lampu kamar rumah sakit, saya membelai rambut Farah yang terasa kusut dan lembab. Ia masih terlelap seperti tak punya beban apapun. Wajahnya tenang, napasnya teratur, air susu ibu yang seharusnya keluar sebagai insting terkuat seorang ibu menyusui hanya merembes sesekali dan sangat jarang seakan tubuhnya berhenti beroperasi dalam tenang yang menegangkan. "Sepertinya kamu ingin menjadi putri tidur, Fa. Mimpimu bagus?" tanya saya seraya membelai wajahnya. "Kamu mimpi apa? Apa seindah waktu kencan pertama kita di kebun teh Cisarua Bogor? Seindah itu, ah... Kamu membuatku iri jadinya."Saya tersenyum sendiri, entah kenapa ingatan akan masa kencan pertama kami, pendekatan yang lucu itu menggelikan dan menyenangkan."Aku ingat, kamu mengeluh kedinginan dan tidak mau aku peluk. Katamu aku simpanse bonobo yang tidak cukup punya satu pasangan dan kamu yakin itu walaupun kamu mencintaku dengan tulus. Dan kamu tau, itu kata-kata paling kejam yang aku dengar selain buaya darat,
Saya merenung, meyakini diri sekuat mungkin dengan apa terjadi di dalam sana bahwa Anna memang berbicara dari hati ke hati kepada Farah, mengungkap segalanya yang terpendam dan meyakinkan Farah jika ia mampu menjadi yang terakhir, mengalah dan menjadi ibu sambung yang mumpuni. Saya yakin itu, saya yakin karena kerap kali Anna berkata bahwa ia tidak ingin mengambil lebih dari haknya. Walau sejujurnya dengan amat sangat, banyak ragu yang menyapa silih berganti di dalam dada saya. Saya kalut. Bagaimana jika Farah tiada? Tapi logika berkata, jangan Tuhan, jangan dulu. Jangan sekarang, jangan Tuhan. Dia harus kembali padaku, harus kembali bagaimanapun kondisinya. Saya harus memperbaiki kesalahan ini, saya harus memperbaikinya dulu dan akan saya serahkan perhatian lebih.Saya membenturkan kepala belakang di tembok berkali-kali dengan frustrasi seraya mengusap wajah dan tertunduk.•••Derap langkah sepatu yang tergesa-gesa dari ujung koridor yang senyap membuat saya beranjak dan tertegun me