"Sepuluh panggilan tak terjawab? Dari Mas Arkana?" Safira bergumam dengan mata melebar saat membaca notifikasi di ponsel yang semalaman tak dia jamah. "Gimana ini? Mas Arkana pasti khawatir banget sama aku ..." gerutunya sambil mengetuk-ngetuk kening dengan ponsel dan berjalan mondar-mandir. Niat berganti baju pun terlupakan. Harusnya Safira tidak boleh ceroboh seperti ini. Bagaimana jika Arkana memang betul-betul mencemaskannya? Semalam karena sibuk dengan urusan ranjang, dia sampai tak melirik ponsel sama sekali. Keasyikan bercinta malah membuat segalanya menjadi berantakan. ck! "Aku harus telepon Mas Arkana. Biar dia gak kepikiran terus," putus Safira setelah beberapa saat menenangkan pikiran dan menata perasaan yang tidak menentu. Ada banyak hal yang sedang menantinya di depan. Safira harus siap menanggung segala risiko karena telah mencoba bermain api di belakang Arkana. "Gak diangkat?" Kening Safira mengernyit lalu menggigiti kuku-kukunya sambil berjalan mondar-mandir. "Ayo,
Setelah memastikan mobil Kai menjauh dari pandangan, Safira lantas bergegas menuju ke rumahnya yang hanya membutuhkan dua menit untuk sampai ke sana. Akan tetapi, penampakan mobil yang dia hapal sekali membuat langkahnya berhenti dan sempat tertegun sejenak. "Mas Arkana?" gumam Safira. Perasaan yang pertama kali dia rasakan adalah takut. Ketakutan lebih mendominasi perempuan bercelena jeans panjang dan memakai Hoodie itu. "Tenang, Fir ... Tenang ...." Dia mengelus dada sambil menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan. Lekas-lekas Safira melanjutkan langkah menuju ke teras rumahnya, meski rasa nyeri di antara pangkal paha masih terasa. Semoga tidak ada yang memerhatikan cara berjalannya yang agak sedikit aneh, pikirnya.Sementara Arkana yang sedari tadi entah melamunkan apa, seketika mengalihkan pandangannya pada sosok perempuan yang semalaman membuatnya tak bisa tidur nyenyak.Arkana bergegas berdiri, dan menghampiri Safira yang berjalan mendekat. "Fir." Lega rasanya melih
Pandangan mereka saling mengunci satu sama lain. Kai menatap Safira dengan tatapan berkabut gairah, begitu juga perempuan yang masih duduk di meja kitchen island. Telapak tangan pria berjaket hitam itu perlahan menyusuri punggung Safira, merayap sampai ke tengkuk. Kai lantas menekan tengkuk Safira seraya memangkas jarak yang ada, hingga napas mereka saling menerpa permukaan kulit wajah lalu bibir keduanya pun sudah saling menempel. Bibir Kai lebih dulu terbuka, menelusupkan lidah ke dalam rongga mulut Safira yang masih malu-malu. "Buka bibir lu, Fir. Bales ciuman gue," bisik Kai sambil tak membiarkan sang calon kakak iparnya menghindar. Telapak tangan kanannya masih menekan tengkuk, sementara tangan kirinya sudah berada di atas hot pants yang dipakai Safira. Sekujur tubuh Safira pun mulai bereaksi, setelah telapak tangan Kai yang hangat mengelus kulit pahanya, dan bibir lelaki itu terus melumat bibir Safira tanpa jeda. Memagut hingga terdengar bunyi decapan yang menggema di seluruh
Kai keluar kamar setelah meyakinkan Safira jika semuanya akan baik-baik dan aman-aman saja. Padahal, di dalam hatinya, Kai ingin sekali mengatakan pada Arkana bahwa saat ini dia memiliki hubungan dengan calon istri kakak tirinya itu. Dan sangat ingin merebutnya. Kai ingin memiliki Safira seutuhnya. Kai juga ingin menikahi calon kakak iparnya itu. Namun, dia sendiri sudah terlanjur menyanggupi permintaan Safira sebelumnya. Kai juga tidak keberatan apabila harus menjadi yang kedua. Dia tidak mempermasalahkan hal tersebut—asalkan tetap bisa berada di sisi perempuan yang dia sayang. Kai akui, Safira telah mencuri separuh hatinya yang dia pikir tidak akan pernah mengenal cinta lagi. Yang tak dia habis pikir adalah 'kenapa dia harus kembali bersaing dengan Arkana?' ck!"Gue cuma punya ini." Kai meletakkan kaleng bir non alkohol ke hadapan Arkana yang duduk santai di sofa. Lantas, dia menyusul duduk dan membuka kaleng yang dipegangnya. Meneguknya sambil melirik Arkana yang juga melakukan h
"Mas Arkana udah pulang?" Safira langsung loncat dari tempat tidur dan menghampiri Kai yang baru saja masuk ke kamarnya. Jangan ditanya lagi, bagaimana paniknya dia ketika tahu bahwa calon suaminyalah yang datang mengunjungi Kai.Kai menyeringai, menutup pintu kamar Safira lalu merengkuh pinggang ramping yang hanya berbalut kamisol warna maroon. Dia lantas memagut bibir Safira sebentar lalu menjawab, " Udah." Sambil mengusapkan ibu jarinya di bibir merah alami itu. "Elu tegang banget, sih, Fir." Safira mencebikkan bibir yang masih terasa kebas karena pagutan Kai yang selalu terburu-buru. Sementara kedua tangannya melingkar di pundak Kai. "Kamu itu, ya. Gak tau gimana jadi aku selama empat hari ini. Aku, tuh, berusaha biar Mas Arkana gak curiga. Aku kemaren sore bilangnya sama dia mau nginep di rumah Tanteku dua hari. Gara-gara kamu juga yang minta aku suruh nginep sini," ujarnya panjang lebar yang tak terima Kai meledeknya.Kai terkekeh lalu mengangkat bokong Safira dan menggendongnya
Sesuai janjinya kemarin yang akan mengajak Safira nge-mall dan berbelanja apa yang disukai perempuan itu. Malam ini Kai dan calon istri kakaknya itu tengah berada di dalam sebuah mall yang letaknya agak jauh dari apartemen. Mereka terlihat seperti pasangan yang serasi dan membuat orang lain merasa iri. Bagaimana tidak? Sepanjang di dalam Mall, Kai tidak pernah melepaskan tangan Safira. Waktu yang dihabiskan untuk berbelanja sekitar dua jam lamanya. Safira yang tidak hobi shopping, sebenarnya enggan membeli barang-barang yang menurutnya tidaklah penting. Namun, Kai memaksa perempuan yang selalu tampil cantik tanpa makeup berlebihan itu agar mau membeli sesuatu yang diinginkan. Dan, ketika Kai mengajak Safira masuk ke salah satu toko perhiasan terkenal. Mau tidak mau Safira memilih salah satu diantara barang mewah dan mahal itu. Harga yang fantastis membuat Safira agak ragu sebenarnya. Untuk sepasang cincin couple saja harganya bisa mencapai tiga puluh juta rupiah. Dan itu baru cinc
"Jiaaah! Lemes banget, sih, lu? Obat lu abis? Kalo mau, gue ada, nih!" Danis mencibir Kai yang nampak tak bergairah sama sekali semenjak mendaratkan bokongnya di salah satu sofa yang berada di ruangannya. Pria berkemeja hitam itu membuka laci meja kerja dan hendak mengambil sesuatu dari sana. "Gak usah. Gue juga masih punya banyak, kali!" Kai menyergah Danis, dan membuat pria pemilik Bar tersebut mengurungkan niatnya mengambil apa yang dia punya. "Gue cuma lagi pusing," keluhnya kemudian. Lelaki berlengan panjang itu lalu menyandarkan kepalanya yang terasa berat ke tepi sofa dan mengembuskan napas lelah. Sepasang maniknya menatap langit-langit ruangan yang didominasi warna abu tersebut. Danis meninggalkan meja kerjanya lalu menghampiri Kai. "Tumbenan banget sih, lu. Biasanya gak pernah lemes begini. Belum ngecas?" ejeknya sebab Kai jarang sekali terlihat seperti itu. Danis duduk di samping Kai yang kini memejamkan mata. Dia pikir, Kai kurang jatah dari pacarnya. Kai sendiri beberap
Jemari lentik bercat kuku merah darah itu menyusup ke kemeja warna putih yang kancingnya telah terbuka seluruhnya. Meraba permukaan kulit putih dari dada bidang sang pria, yang berukir tatto gambar kepala macan di sisi kanan, berdampingan dengan tokoh kartun animasi samurai X serta coretan empat angka Romawi di sisi kiri. Tatapan sang pria yang tajam tak menunjukkan bila dia terpengaruh dengan belaian lembut dari jemari sang wanitanya yang sudah setengah telanjang. Perempuan yang selalu dia akui kehebatannya di ranjang, sedang mencoba membangkitkan gairahnya yang sudah hampir tiga pekan tak tersalurkan. Eve lantas memberi kecupan di dada Kai yang tak bergeming sedikitpun di kursinya. Jemarinya telah melorot turun ke tempat di mana pusat para lelaki. Sentuhan itu sedikit memengaruhi Kai yang sejak tadi tak merespon. Mulut lelaki itu mengerang, sampai mendongakkan kepala dan memejamkan mata. Di bawah sana, Eve menyeringai karena merasa berhasil memancing hasrat Kai yang sejak lama ta