Jemari lentik bercat kuku merah darah itu menyusup ke kemeja warna putih yang kancingnya telah terbuka seluruhnya. Meraba permukaan kulit putih dari dada bidang sang pria, yang berukir tatto gambar kepala macan di sisi kanan, berdampingan dengan tokoh kartun animasi samurai X serta coretan empat angka Romawi di sisi kiri. Tatapan sang pria yang tajam tak menunjukkan bila dia terpengaruh dengan belaian lembut dari jemari sang wanitanya yang sudah setengah telanjang. Perempuan yang selalu dia akui kehebatannya di ranjang, sedang mencoba membangkitkan gairahnya yang sudah hampir tiga pekan tak tersalurkan. Eve lantas memberi kecupan di dada Kai yang tak bergeming sedikitpun di kursinya. Jemarinya telah melorot turun ke tempat di mana pusat para lelaki. Sentuhan itu sedikit memengaruhi Kai yang sejak tadi tak merespon. Mulut lelaki itu mengerang, sampai mendongakkan kepala dan memejamkan mata. Di bawah sana, Eve menyeringai karena merasa berhasil memancing hasrat Kai yang sejak lama ta
Safira lekas masuk ke rumah dan mengunci pintu sekembalinya dia dari apotek terdekat yang berada tidak jauh dari perkampungannya. Malam ini dia tidak ingin tidur dalam rasa penasaran karena menebak-nebak hal yang belum tentu benar adanya. Ketidaksabarannya membuat perempuan cantik itu bertekad untuk segera mencari jawaban atas pertanyaannya. Kantung kresek warna putih bertuliskan logo apotek, Safira bawa masuk ke kamar mandi. Dia membukanya lalu mengeluarkan isinya. Ada tiga buah alat tes kehamilan yang dibelinya dari apotek, dengan merk berbeda-beda beserta tabung kecil bening untuk tempat menampung urine. "Harusnya kalo mau lebih efektif ngetesnya pas baru bangun tidur. Tapi, aku udah gak sabar. Aku pengen cepet-cepet tau hasilnya. Dan semoga, dugaanku salah." Safira menatap nanar tiga alat tes kehamilan di tangannya dengan jantung berdebar kencang. Ini kali pertama dia menggunakan alat tersebut.Rasanya sangat aneh dan tidak pantas. Namun, Safira sadar akan konsekuensi yang harus
Safira terbangun dari tidurnya dalam dekapan posesif sosok lelaki yang harusnya menjadi adik iparnya. Di dalam kamar dan di atas ranjang yang menjadi saksi bisu percintaan panasnya semalam bersama Kai. Safira tidak pernah bisa menolak mau pun menghindar dari jerat gairah yang Kai berikan. Setiap sentuhannya begitu candu dan memabukkan. Safira tak menampik bila dirinya memang sangat merindukan sentuhan Kai pada setiap jengkal tubuhnya. Dan pergumulan semalam adalah bukti nyata jika Safira teramat sangat menggilai Kai. Bercinta dengan calon adik iparnya tentu hal yang tak pernah dia bayangkan. Bahkan sampai menumbuhkan benih di rahimnya saat ini adalah suatu hal yang sama sekali tidak dia duga.Pandangan perempuan cantik itu tak berkedip menyusuri wajah Kai yang masih tenang dalam lelapnya. Wajah putih bersih yang kini tak lagi berhias anting tindik itu memang terlihat sangat tampan. Kai memiliki alis yang sangat tebal dan rapi, juga hidung yang sangat mancung serta bibir yang sangat s
Siang ini Safira sengaja menyempatkan waktu untuk memeriksakan diri ke rumah sakit karena kebetulan hari ini dia sedang off. Sebenarnya niat tersebut sudah dia rencanakan sejak lima hari yang lalu, tetapi Kai tidak sedetik pun meninggalkannya. Lelaki itu selalu menempel dan tidak membiarkan Safira pergi jauh barang sebentar. Dan, ketika ada kesempatan, Safira pun tak menyia-nyiakannya. Untuk sepekan ke depan, Safira bisa agak bebas dari keposesifan Kai sebab kekasih gelapnya itu sedang mengurus sesuatu hal di luar kota. Pekerjaan penting yang hingga saat ini Safira tidak tahu apa bisnis atau usaha yang dimiliki adik Arkana itu.Jujur, Safira kurang percaya diri ketika masuk di ruangan dokter spesialis kandungan ini. Ruangan yang sama sekali tak pernah terpikirkan olehnya. Memeriksakan kandungan yang hadirnya tak disangka-sangka dan dalam situasi yang cukup rumit, adalah suatu risiko yang harus dia terima. "Silakan duduk," pinta sang dokter perempuan dewasa dengan senyum ramahnya pad
"Mas, bisa agak cepetan dikit, gak?" Safira berkata pada tukang ojek online yang pagi ini mengantarnya pulang diam-diam dari apartemen Kai. Sejak keluar dari unit, jantungnya terus berpacu tak sabaran; ingin segera tiba di rumahnya."Iya, Mbak." Sang tukang ojek menginjak tuas gigi untuk menambah kecepatan dan bergerak lincah melesat dari kerumunan pengendara lain yang ada di hadapan. Jalanan pagi ini lumayan lengang, dan Safira merasa lega karena si tukang ojek mau diajak bekerja sama serta lihai dalam berkendara. Ide dadakan ini muncul setelah dia mendapat kabar bila Arkana akan ke rumahnya. Tentu Safira dibuat kalang kabut dan kelimpungan, sampai-sampai tidak sempat membangunkan Kai yang masih nyenyak di alam mimpi.Namun, karena tidak ingin membuat Kai merasa khawatir, Safira pun sudah meninggalkan pesan di secarik kertas yang dia taruh di atas nakas. Meminta maaf karena harus mendadak pulang tanpa berpamitan dengan layak.Tak sampai tiga puluh menit, motor bebek keluaran Jepang
Jam kerja Safira telah selesai tepat pada pukul delapan malam ini. Perempuan berseragam SPG warna hijau toska itu lekas berpamitan pada teman yang siang tadi satu sift dengannya. "Mbak, aku duluan, ya." Dia menyimpan nota hasil penjualan makeup hari ini ke dalam etalase. Teman Safira yang tengah sibuk mencatat di buku laporan pun menoleh. "Iya, Fir. Tinggal aja, gak pa-pa. Aku sedikit lagi juga mau selesai," sahutnya lalu tersenyum. "Hati-hati, ya." "Oke." Jempol Safira mengacung sambil mengerling. Usai berpamitan, Safira bergegas keluar dari pusat perbelanjaan milik keluarga Arkana. Sedikit kesibukan membuat perempuan yang tengah berbadan dua itu merasa senang. Daripada dia suntuk di rumah dan mager(malas gerak) justru tidak baik untuk kesehatan janinnya."Kuat-kuat, ya, Nak. Kamu di dalem sini. Maaf, belum bisa kasih tau papamu. Tapi, mama janji secepatnya akan kasih tau dia," ujar Safira, mengelus perutnya yang masih rata sambil berjalan menuju parkiran. Sementara, Kai yang ter
"Sorry, nunggu lama, ya?" Arkana berkata sambil mengusap lengan Safira yang ada di hadapannya. Beberapa menit yang lalu dia baru saja tiba di rumah sang calon istri. Penampilan lelaki tiga puluh tahun itu sangat rapi dan selalu memesona. Kemeja dan celana bahan selalu menjadi andalannya. Safira pun tak sengaja membanding-bandingkannya dengan Kai. Bila dilihat-lihat, kedua kakak beradik itu memang mempunyai selera fashion yang berbeda dan berbanding terbalik. Kai lebih suka memakai baju santai dan hobi menggunakan Hoodie serta topi. Sementara Arkana suka berpenampilan rapi dan terkadang terkesan formal. Calon suaminya ini jarang sekali memakai kaos santai seperti Kai. Melihat Safira yang tak menanggapi permintaan maafnya, dan justru malah melamun, membuat Arkana harus menegurnya. "Fir?" Dia juga mengibaskan tangan di depan mata kekasihnya. Safira tersentak dari lamunannya yang sangat berlebihan. Kenapa juga dia jadi membandingkan Arkana dan Kai? pikirnya. "Iya, Mas. Gak pa-pa," sah
"Kai?"Waktu seolah berhenti, saat Safira mendapati pacar gelapnya juga berada di rumah ini. Tetapi, bukannya itu wajar, sebab rumah ini juga milik ayahnya Kai?Lantas, kenapa Safira sepucat itu? Kai melangkah menghampiri Safira yang tak bergerak sama sekali mau pun bergeser dari tempatnya. "Hape lu kenapa gak aktif?" Kai bertanya setelah berdiri tepat di hadapan perempuan yang seharian ini sulit dihubungi, sambil menyelipkan rambut cokelat gelap itu ke belakang telinga Safira."Hah?" Safira mengerjap polos seperti orang linglung. "Elu ngapain ada di sini?" Pertanyaan Kai sudah ganti lagi. "A-aku. Hmm ... Mas Arkana ngajak makan malem bareng di sini," jawab Safira setelah bersusah payah menyingkirkan kegugupan, meski ucapannya masih terbata-bata. "K-kalo kamu sendiri ngapain?" Sudut mata Safira bergerak gelisah, memerhatikan keadaan sekitar yang bisa saja membuat keadaan menjadi kacau. Arkana bisa muncul kapan saja, bukan? Dan sialnya, Safira harus terjebak di rumah ini bersama du