Siang ini Safira sengaja menyempatkan waktu untuk memeriksakan diri ke rumah sakit karena kebetulan hari ini dia sedang off. Sebenarnya niat tersebut sudah dia rencanakan sejak lima hari yang lalu, tetapi Kai tidak sedetik pun meninggalkannya. Lelaki itu selalu menempel dan tidak membiarkan Safira pergi jauh barang sebentar. Dan, ketika ada kesempatan, Safira pun tak menyia-nyiakannya. Untuk sepekan ke depan, Safira bisa agak bebas dari keposesifan Kai sebab kekasih gelapnya itu sedang mengurus sesuatu hal di luar kota. Pekerjaan penting yang hingga saat ini Safira tidak tahu apa bisnis atau usaha yang dimiliki adik Arkana itu.Jujur, Safira kurang percaya diri ketika masuk di ruangan dokter spesialis kandungan ini. Ruangan yang sama sekali tak pernah terpikirkan olehnya. Memeriksakan kandungan yang hadirnya tak disangka-sangka dan dalam situasi yang cukup rumit, adalah suatu risiko yang harus dia terima. "Silakan duduk," pinta sang dokter perempuan dewasa dengan senyum ramahnya pad
"Mas, bisa agak cepetan dikit, gak?" Safira berkata pada tukang ojek online yang pagi ini mengantarnya pulang diam-diam dari apartemen Kai. Sejak keluar dari unit, jantungnya terus berpacu tak sabaran; ingin segera tiba di rumahnya."Iya, Mbak." Sang tukang ojek menginjak tuas gigi untuk menambah kecepatan dan bergerak lincah melesat dari kerumunan pengendara lain yang ada di hadapan. Jalanan pagi ini lumayan lengang, dan Safira merasa lega karena si tukang ojek mau diajak bekerja sama serta lihai dalam berkendara. Ide dadakan ini muncul setelah dia mendapat kabar bila Arkana akan ke rumahnya. Tentu Safira dibuat kalang kabut dan kelimpungan, sampai-sampai tidak sempat membangunkan Kai yang masih nyenyak di alam mimpi.Namun, karena tidak ingin membuat Kai merasa khawatir, Safira pun sudah meninggalkan pesan di secarik kertas yang dia taruh di atas nakas. Meminta maaf karena harus mendadak pulang tanpa berpamitan dengan layak.Tak sampai tiga puluh menit, motor bebek keluaran Jepang
Jam kerja Safira telah selesai tepat pada pukul delapan malam ini. Perempuan berseragam SPG warna hijau toska itu lekas berpamitan pada teman yang siang tadi satu sift dengannya. "Mbak, aku duluan, ya." Dia menyimpan nota hasil penjualan makeup hari ini ke dalam etalase. Teman Safira yang tengah sibuk mencatat di buku laporan pun menoleh. "Iya, Fir. Tinggal aja, gak pa-pa. Aku sedikit lagi juga mau selesai," sahutnya lalu tersenyum. "Hati-hati, ya." "Oke." Jempol Safira mengacung sambil mengerling. Usai berpamitan, Safira bergegas keluar dari pusat perbelanjaan milik keluarga Arkana. Sedikit kesibukan membuat perempuan yang tengah berbadan dua itu merasa senang. Daripada dia suntuk di rumah dan mager(malas gerak) justru tidak baik untuk kesehatan janinnya."Kuat-kuat, ya, Nak. Kamu di dalem sini. Maaf, belum bisa kasih tau papamu. Tapi, mama janji secepatnya akan kasih tau dia," ujar Safira, mengelus perutnya yang masih rata sambil berjalan menuju parkiran. Sementara, Kai yang ter
"Sorry, nunggu lama, ya?" Arkana berkata sambil mengusap lengan Safira yang ada di hadapannya. Beberapa menit yang lalu dia baru saja tiba di rumah sang calon istri. Penampilan lelaki tiga puluh tahun itu sangat rapi dan selalu memesona. Kemeja dan celana bahan selalu menjadi andalannya. Safira pun tak sengaja membanding-bandingkannya dengan Kai. Bila dilihat-lihat, kedua kakak beradik itu memang mempunyai selera fashion yang berbeda dan berbanding terbalik. Kai lebih suka memakai baju santai dan hobi menggunakan Hoodie serta topi. Sementara Arkana suka berpenampilan rapi dan terkadang terkesan formal. Calon suaminya ini jarang sekali memakai kaos santai seperti Kai. Melihat Safira yang tak menanggapi permintaan maafnya, dan justru malah melamun, membuat Arkana harus menegurnya. "Fir?" Dia juga mengibaskan tangan di depan mata kekasihnya. Safira tersentak dari lamunannya yang sangat berlebihan. Kenapa juga dia jadi membandingkan Arkana dan Kai? pikirnya. "Iya, Mas. Gak pa-pa," sah
"Kai?"Waktu seolah berhenti, saat Safira mendapati pacar gelapnya juga berada di rumah ini. Tetapi, bukannya itu wajar, sebab rumah ini juga milik ayahnya Kai?Lantas, kenapa Safira sepucat itu? Kai melangkah menghampiri Safira yang tak bergerak sama sekali mau pun bergeser dari tempatnya. "Hape lu kenapa gak aktif?" Kai bertanya setelah berdiri tepat di hadapan perempuan yang seharian ini sulit dihubungi, sambil menyelipkan rambut cokelat gelap itu ke belakang telinga Safira."Hah?" Safira mengerjap polos seperti orang linglung. "Elu ngapain ada di sini?" Pertanyaan Kai sudah ganti lagi. "A-aku. Hmm ... Mas Arkana ngajak makan malem bareng di sini," jawab Safira setelah bersusah payah menyingkirkan kegugupan, meski ucapannya masih terbata-bata. "K-kalo kamu sendiri ngapain?" Sudut mata Safira bergerak gelisah, memerhatikan keadaan sekitar yang bisa saja membuat keadaan menjadi kacau. Arkana bisa muncul kapan saja, bukan? Dan sialnya, Safira harus terjebak di rumah ini bersama du
"Tolong! Tolong! Darurat!" Kedatangan Arkana yang baru saja tiba di lobby Rumah Sakit langsung menyita perhatian seluruh orang-orang yang ada di sana. Pria yang bajunya sudah berlumuran darah itu berteriak meminta tolong kepada siapa saja yang berjaga di sana. Sementara Safira tak berhenti merintih kesakitan dalam gendongan Arkana. Dia sudah tak berdaya dan nyaris pingsan. "Mas, sakit ... A-aku gak kuat, Mas ... Sakit banget." Nyatanya, darah terus mengalir dari sela paha ke kaki jenjangnya. Nyawanya seakan ingin melayang detik itu juga. Kedua matanya sudah terasa sangat berat— tak kuat menahan siksaan di perutnya yang seperti dipelintir. Dua perawat laki-laki muncul sambil mendorong brankar kosong menghampiri Arkana yang panik bukan main. "Mari, Pak. Taruh pasien di sini. Kami akan segera membawanya ke IGD. Anda silakan mendaftar terlebih dahulu di bagian pendaftaran sebelah sana," ucap salah satu dari dua perawat pria itu, membantu Arkana merebahkan Safira di atas brankar. Sedang
Di lorong sepi itu langkah kaki Arkana begitu gontai. Bumi yang dipijak terasa mengambang. Hatinya hancur berkeping-keping ketika sebuah fakta terungkap hingga menyeretnya ke ujung jurang penyesalan. Menyesal? Apa yang patut dia sesali? Mencintai Safirakah? Atau terlalu memercayai perempuan itu? Arkana tak mengerti apa kesalahan yang dia perbuat pada Safira, hingga dia harus merasakan luka akibat pengkhianatan dari calon istrinya itu. Kepercayaan yang dia beri, nyatanya tak cukup membentengi hati Safira berpaling pada laki-laki lain. Cinta yang dia curahkan, nyatanya tak berarti apa-apa pun. "Kenapa kamu tega, Fir, sama aku? Kenapa? Apa kurangku? Apa? Kenapa kamu tega membohongiku selama ini? Siapa laki-laki itu, Fir? Siapa? Siapa ayah dari anak yang kamu kandung" Arkana duduk di bangku tunggu selasar rumah sakit yang tak ada satu orangpun berada di sana. Sepi. Sunyi. Pria itu menumpahkan segala pertanyaan-pertanyaan yang berjejalan di kepalanya, yang membuat dadanya nyaris mele
Ponsel Arkana tiba-tiba berbunyi, dia bergegas mengambilnya dari saku celana. "Mami?" Sepasang alis dan keningnya mengerut bersamaan. Lantas, Arkana meminta izin pada Safira untuk mengangkatnya. "Fir, aku angkat telepon dulu bentar."Safira mengangguk. "Iya, Mas." Sementara Kai yang tidak ingin Arkana memergokinya tengah berada di balik pintu sejak tadi lekas pergi, dan berpura-pura duduk di bangku besi. Tak berselang lama, Arkana keluar dari ruangan Safira sambil menerima telepon. Lelaki itu melirik sekilas ke arah sang adik yang duduk di bangku tunggu seraya mengangguk. Kai menatap datar dan lekas berdiri lalu menghampiri Arkana. "Gue boleh masuk?" tanyanya meminta izin dan Arkana pun menganggukki. Sementara Kai masuk, Arkana yang berbicara dengan seseorang lewat telepon melangkah menjauh—mencari tempat yang agak nyaman. Safira seketika menoleh ketika mendengar suara langkah seseorang yang baru saja menutup pintu ruangannya. "Kai?" Terkejut. Dia bahkan tidak begitu ingat jika Ka
"Mama!" Seorang anak kecil memakai seragam sekolah taman Kanak-kanak langsung berlarian, ketika baru saja turun dari mobil sedan warna hitam. Nampaknya dia sudah tidak sabar ingin segera menemui sang ibu yang belakangan ini selalu sibuk dengan toko kosmetiknya. Sementara, di belakang bocah lima tahun itu ada pria yang selama ini dipanggilnya 'Papa', sedang berjalan mengikuti. Manik pria itu begitu teduh, menatap sang pujaan yang selama ini betah menyendiri.Safira menoleh ke sang anak yang kini sudah setinggi lututnya. Kaisar menjelma menjadi bocah laki-laki yang sangat tampan dan cerdas. Ternyata, waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa, kepergian Kai sudah memasuki di tahun ke lima. "Hati-hati, Sayang. Jangan lari!" Karena takut jika anaknya itu terjatuh saat menaiki tangga, Safira bergegas keluar dari toko kosmetiknya. Dia berdiri di depan pintu masuk toko itu. Kaisar hanya terkekeh melihat sang ibu yang selalu mengkhawatirkan dirinya. Bocah itu memeluk lutut Safira dengan erat.
Kemarin kabar mengenai pidana mati dari hakim atas nasib Kai, sangat mengguncang Safira. Sampai-sampai, perempuan itu tak sadarkan diri akibat terlalu syok, dan tertekan. Ditambah dengan kondisi yang memang sedang tidak fit, semakin memengaruhi mental Safira. Selama hampir lima belas bulan lebih, ujian demi ujian datang silih berganti ke kehidupan Safira. Dari mulai dia tahu kebenaran Kai yang seorang pecandu dan pengedar. Lalu, perpisahannya dengan Kai karena lelaki itu direhab. Kemudian, penangkapan Kai. Dan sekarang, pidana mati yang akan dilakukan dua hari lagi. Bagaimana Safira bisa bertahan dari segala terjangan ujian yang tak berhenti datang? Hukuman ini terlalu pedih. Dosa yang dia pikir manis, justru pahit di ujung kisah. Semesta seolah tak memberi restunya. Tuhan seakan mengutuk kisah cintanya bersama Kai. Bahkan, Kaisar yang masih sangat kecil harus ikut menanggung perbuatannya di masa lalu. Hari ini, Safira masih diberi kesempatan untuk bertemu dengan kekasihnya. Pengac
Suara riuh para tamu menyambut pengantin wanita yang baru saja keluar dari kamar, membuat suasana pernikahan yang sebentar lagi akan dilangsungkan itu semakin ramai. Safira melangkah sambil tersenyum lebar, menatap para tamu yang hadir untuk menjadi saksi pernikahannya dengan Kai. Gaun pengantin modern, dengan model sangat sederhana membalut tubuhnya yang ramping. Riasan di wajahnya tak begitu mencolok, flawless tetapi tetap memancarkan aura kebahagiaan tak terhingga. 'Takdir itu ... adalah misteri Tuhan. Siapa yang menyangka jika aku akhirnya menikah dengan Kai bukannya dengan Arkana.' Safira berkata dalam hati, masih tak percaya bila semua ini nyata adanya. Dia menikah dengan Kai—adik dari calon suaminya—Arkana."Wah, kamu cantik banget, Fir." Ruth memuji calon menantunya yang malam itu terlihat sangat cantik. "Makasih, Mom." Safira tersipu, sambil tak berhenti mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruang tamu yang sudah disulap mirip gedung pernikahan. Ruth yang menyadari bila
"Kenapa kamu gak mau ngajuin banding, Kai? Kenapa?" Ruth bertanya serak, mengguncang pundak Kai dengan sisa-sisa tangisan. Setelah mendengar putusan yang dijatuhkan Hakim untuk Kai, Ruth jatuh pingsan, dan baru tersadar dua puluh menit kemudian. Dari ruangan sidang, Arkana membawa sang ibu tiri ke poliklinik yang tersedia di Kejaksaan Negeri tersebut. Barack terlihat duduk di salah satu kursi yang tersedia di kamar rawat Ruth. Dia juga sempat syok mendengar keputusan pengadilan untuk sang anak. Raut tuanya tak bisa menyembunyikan perasaan sedih yang mendalam. Sudut matanya terus meneteskan cairan hangat. Kenapa nasib anak laki-laki yang terlambat dia akui keberadaannya sangat mengenaskan, pikir Barack. "Iya, Kai. Harusnya kamu ajuin banding, karena itu sudah menjadi hak setiap terdakwa. Pengacara kita bisa mengurusnya untukmu." Danish turut mengeluarkan pendapat, dan merasa kecewa dengan keputusan Kai yang tidak mau mengajukan banding. Arkana tak mau ketinggalan. "Kamu gak mikirin
Setelah tiga bulan lebih sepuluh hari, Kai berada di penjara. Hari ini, keluarganya pergi menjenguknya. Jika hari-hari lalu, hanya pengacara dan Danish yang datang ke tempat tersebut. Kini seluruh keluarga datang, termasuk bayi yang sedang lucu-lucunya itu. Di sebuah ruangan khusus, mereka semua berkumpul. Kaisar yang baru bangun tidur tengah berada di gendongan Ruth. Barack yang kesehatannya makin membaik, duduk di samping istrinya sambil bercanda-canda kecil dengan cucunya. Tepat di seberang meja, Safira dan Arkana memandangi Kaisar yang tertawa-tawa kecil."Kaisar gak rewel," ujar Arkana, yang mengira keponakannya akan rewel dan tidak betah berada di sana. Bayi tiga bulan lebih itu nampak biasa-biasa saja, dan justru terlihat sangat nyaman. Safira pun setuju dengan ucapan Arkana. " Kaisar mungkin udah tau, Mas, kalo mau ketemu papanya." Senyum haru tersungging di bibir Safira. Untuk pertama kalinya, Kaisar akan bertemu langsung dengan papanya. Biasanya, hanya lewat sambungan tele
Di ruang tamu saat ini ada empat orang saling duduk berhadapan, tetapi tak ada satu dari mereka yang memulai pembicaraan. Safira duduk bersebelahan dengan Arkana, sementara Januar, duduk berdampingan dengan Danish. Awalnya, Safira enggan menemui sang ayah, yang hampir setahun sama sekali tak ada kabar. Baginya, untuk apa menemui pria yang tidak bertanggung jawab seperti ayahnya itu. Rasa kecewa Safira begitu membekas hingga sekarang. Berkat bujukan Arkana-lah, keengganan itu berubah menjadi keingintahuan yang besar, ketika Danish turut bertamu ke rumah itu. Semenjak duduk dan bersitatap dengan putri satu-satunya, Januar tak memiliki keberanian untuk memulainya. Dia sadar jika apa yang sudah dilakukannya tidak pantas untuk dimaafkan. Safira berhak marah. Safira berhak membencinya. Januar sendiri sudah mendapatkan karmanya. Istri barunya menipunya dan membawa kabur uangnya. "Fir, maaf sebelumnya. Mungkin kamu bertanya-tanya kenapa saya mendampingi Pak Januar ketemu sama kamu." Danish
Seorang perempuan yang baru sebulan melahirkan itu nampak tak memiliki gairah hidup sama sekali. Hari-harinya kini hanya diisi dengan lamunan dan tangisan. Bayangan kebahagiaan yang dulu dia impikan nyatanya sekadar khayalan semata. Seakan Tuhan tengah menghukumnya habis-habisan sampai ke titik terendah. Menyesali pun dirasa percuma, karena pada akhirnya dirinyalah yang menjadi penyebab semua kemalangan ini. Hukum karma sepertinya memang ada, dan berlaku untuk orang-orang yang tidak pernah bersyukur. Dan kini Safira merasakannya sendiri. Pengkhianatannya pada sang kekasih telah mendapatkan balasan setimpal. Hamil di luar nikah, lantas melahirkan tanpa seorang pendamping di sisinya. Lelaki yang dia kira akan memberikan kebahagiaan serta membersamainya dalam mengurus sang buah hati kini mendekam di penjara, atas kesalahannya. "Oek ... oek ...." Suara tangisan bayi laki-laki yang terbangun menggema di kamar itu. Safira yang sedang tenggelam dalam rasa penyesalan sampai tak mendengar
Beberapa saat yang lalu, dua perawat baru saja selesai membantu Safira. Dari mulai metode skin to skin dengan bayinya, hingga mendampingi menyusui untuk yang pertama kali. Safira begitu bahagia, sebab bayi laki-lakinya yang sangat mirip dengan Kai itu sudah pintar menyusu. Dia lega serta bangga pada dirinya sendiri. "Bu, dedeknya kami bawa ke ruang bayi dulu. Nanti kalau waktunya menyusui kami akan bawa kemari." Salah satu perawat berkata sambil menidurkan bayi laki-laki Safira ke box bayi. "Dedeknya ganteng, mirip ayahnya," celetuk sang perawat. Telinga Safira yang mendengar celetukan itu sontak tersenyum. Dia hampir lupa kalau Kai belum kembali lagi setelah pamit ke kamar mandi. "Oh, iya, Sus. Laki-laki yang tadi dampingin saya belum masuk lagi, ya? Kira-kira ke mana, ya? Suster tau gak?" Safira bertanya sambil menatap dua suster yang seketika saling pandang. Salah satu dari mereka mendekati ranjang Safira. Berdiri di samping, dan bertanya, "Maaf, apa tadi ibu gak denger, waktu a
Kebahagiaan kini tengah menyelimuti Ruth dan Arkana yang baru saja mendengar tangisan bayi, yang melengking nyaring dari dalam sana. Raut keduanya penuh rasa haru serta tak berhenti mengucap syukur. Cucu laki-laki pertama telah lahir di keluarga besar Barack. "Ar, kamu telepon Papimu. Bilang, kalo cucunya udah lahir," titah Ruth dengan mata berkaca-kaca. "Soalnya tadi Papimu khawatir banget." Ruth menyeka sudut mata dengan tisu."Iya, Mom." Arkana bergegas menghubungi Barack yang tidak bisa ikut menemani di sini. Dia melangkah beberapa meter dari Ruth yang berdiri di depan pintu ruangan. Danish mendekati Ruth. "Selamat, Tante. Cucunya udah lahir," ucapnya seraya mengulurkan tangan di depan Ruth. Ruth tersenyum dan membalas jabatan Danish. "Makasih, ya. Semua juga berkat kamu yang selama ini udah mau bantuin Kai." Jabatan tangan mereka terburai. Danish tersenyum canggung. "Sama-sama, Tante. Kai itu sahabat saya. Sebagai orang yang deket sama dia, saya cuma ngasih dukungan," ujarnya