Hari ini genap dua belas hari Safira berada di Rumah Sakit untuk menjalani bettres sesuai anjuran dari Delia—selaku dokter kandungan yang menangani serta bertanggungjawab. Kondisi janin yang masih lemah merupakan salah satu faktor utama bagi perempuan dua puluh lima tahun itu harus benar-benar ekstra beristirahat. Dan, gara-gara kehamilannya ini pula, Safira kembali menjadi pengangguran abadi. Tanpa sepengetahuan Safira, Arkana rupanya telah memberitahu pada pihak perusahaan tempat bernaungnya selama ini. Safira diizinkan mengambil cuti dalam jangka waktu yang tak ditentukan. Karena yang meminta izin adalah pemilik dari pusat perbelanjaan itu sendiri. Mereka juga mengetahui hubungan antara Safira dan Arkana. Yang tak dimengerti oleh Safira ialah ; mengapa Arkana masih mau peduli padanya? Sementara dia sendiri telah menorehkan luka begitu besar di hidup lelaki itu. "Udah gak ada yang ketinggalan 'kan?" tanya Kai, yang baru saja kembali setelah menandatangani surat kepulangan Safira
"Hah, apa! Fira hamil? Fira hamil anak lu!?" Danis berteriak seakan-akan kabar yang dia dengar dari mulut Kai barusan adalah sebuah kabar berita yang sangat-sangat mengejutkan. Bahkan, pria bermata sipit itu sampai bangkit dari duduknya, dan langsung menghampiri sahabatnya. Kai memutar malas bola matanya. "Biasa aja kali? Gak gitu juga reaksinya. Lebay lu!" sungutnya tak terima, melirik Danis yang sudah duduk di sebelahnya dengan tatapan mengintimidasi. "Apa? Mau ceramahin gue? Mau ngatain gue adik durhaka karena udah rebut calon istri abangnya, CK!" Kai menghela besar seraya bersandar ke sofa. Danis berdecak. "Ckckck ... Laga lu, dulu ngomong gak bakal kecantol! Eh, tau-tau sekarang malah dibikin bunting. Sarap lu! Kalo gue jadi Arkana, udah gue mutilasi, tuh, muka lu yang ganteng. Terus, gue buang ke kandang buaya," cicit Danis seraya menggeleng berkali-kali. "Sialan! Enak aja!" Kai berdecak keras, kemudian tersenyum miring. "Sayangnya, tuh, orang gak tau kalo gue yang bikin hami
Obrolan Safira dan teman-temannya cukup berlangsung lama. Mereka bahkan berjanji siap membantu perempuan itu jika sewaktu-waktu membutuhkan sesuatu. Mengingat, bila Safira tak memiliki saudara kandung dan ayahnya sudah mempunyai kehidupannya sendiri. Karena jam kerja sudah dimulai, satu persatu dari mereka pergi untuk memulai pekerjaan masing-masing. Kini, yang tersisa di ruangan itu hanyalah Safira dan Lolita. "Kamu lagi pengen makan apa, Fir? Nanti biar aku yang pesenin. Biasanya, bumil itu suka ngidam yang aneh-aneh," kata Lolita, terkekeh. Mengambil ponsel, dan membuka aplikasi pesan makanan online. "Aku lagi gak pengen makan apa-apa, Lit," sahut Safira lesu. "Lit ...." panggil Safira dengan helaan napas panjang, dan menatap langit-langit ruangan ganti tersebut. Kedua tangannya mengusap perut yang mulai agak mengeras. Lolita menoleh, "Apa?" tanyanya sambil meletakkan ponsel ke meja. Dia lalu mencondongkan sedikit tubuhnya menghadap Safira sambil menekuk kedua lututnya ke atas
"Tidur, Fir. Istirahat." Kai menyelimuti separuh badan Safira dengan selimut sampai sebatas dada. Selesai memasak yang diminta Safira dan menyuapinya makan, Kai membawa perempuan itu ke kamar untuk tidur. "Kamu gak tidur?" tanya Safira, melihat Kai yang nampaknya belum ingin ikut bergabung di ranjang bersamanya. Lelaki itu malah mengambil ponselnya dari nakas, lalu memasukkannya ke kantong celana. "Aku nanti," sahut Kai, terpaksa duduk di tepi kasur karena Safira menarik tangannya. "Apa?" Maniknya mengerling, seraya mengusap puncak kepala sang kekasih.Safira memeluk tangan Kai. "Temenin aku tidur dulu, ya? Aku pengen diusap-usap punggungnya. Mau 'kan?" pintanya dengan raut memohon. Tentu Kai tidak bisa menolak permintaan bumil cantik yang satu itu. "Iya. Aku temenin tidur dulu. Geser dikit." Kai lalu melepas sandal rumahannya, kemudian naik ke atas kasur dan bergabung masuk ke dalam satu selimut yang sama dengan Safira. "Sini aku peluk." Dia merengkuh tubuh Safira ke pelukannya.
Dalam keadaan masih memejamkan mata, tangan Safira meraba sisi kasurnya. Kosong. Tangannya tak memegang sosok yang biasanya selalu ada di sisinya setiap dia membuka mata. Mata Safira lantas terbuka, untuk memastikan jika benar-benar tidak ada Kai di sisinya. "Kai?" sebutnya lirih, dengan sorot mata kecewa, karena ini kali pertama semenjak dia kembali dari rumah sakit tak mendapati Kai berada di sisinya. "Tumbenan udah bangun duluan." Safira pun bangkit lalu terduduk dan bersandar ke kepala ranjang. Pagi-pagi begini biasanya dia dan Kai selalu bangun tidur bersama. Akan tetapi, pagi ini agak berbeda dan Safira merasa ada yang kurang. "Kai lagi mandi kali?" Safira pikir, Kai saat ini sedang berada di dalam kamar mandi. Karenanya, dia pun berinisiatif menyusul lelaki itu ke sana. Dengan senyum mengembang, perempuan cantik itu menyibak selimut lalu turun dari kasur. Tanpa memakai sandal dia berjalan menuju kamar mandi. Namun, pada saat membuka pintunya, Safira hanya bisa melongo sebab
Kekacauan di unit Kai, membuat Safira tak berhenti menghela napas panjang. Terakhir kali dia melihat kekacauan seperti ini beberapa bulan yang lalu. Namun, semenjak memiliki hubungan dengan Kai, Safira tak pernah lagi bertemu dengan para pembuat onar tersebut. CK, menyusahkan! Akan tetapi, yang jadi masalahnya saat ini ialah ; Apakah Kai tahu semua yang terjadi di unitnya? Apakah Kai juga ikut berpesta bersama dengan teman-temannya?"Kenapa dia gak ganti kodenya aja, sih? Biar orang-orang rese itu gak bisa main asal masuk ke tempat orang! Bener-bener!" Safira menggerutu, sambil melangkah ke kamar Kai. Dia masih berharap bila kekasihnya ada di sini. "Kamarnya aja tutupan. Gimana ngeceknya, coba?" Pintu kamar Kai memang selalu tertutup rapat. Dan saat ini Safira benar-benar kebingungan mencari cara untuk membukanya. "Coba aku ketok aja, deh." Tok! tok! Safira mengetuknya beberapa kali lalu memanggil nama kekasihnya. "Kai? Kai?" Hening. Tidak ada jawaban dari dalam kamar itu. Safi
Kai semakin tergugu ketika kenangan-kenangan pahit harus kembali terlintas di ingatannya. Hidupnya sejak dulu memang tak pernah bahagia. Ayah yang dia pikir akan menerima kehadirannya dengan tangan terbuka justru menolaknya keras. Tak pernah sedikit pun Kai merasakan kasih sayang dari Barack kala itu. Dia ibarat pengemis yang meminta belas kasih kepada ayah kandungnya sendiri. Apa semua itu pantas dilakukan oleh seorang anak yang jelas-jelas darah dagingnya? Apakah pantas—jika seorang ayah tidak menginginkan keberadaan puteranya? Meskipun dia terlahir dari hubungan yang salah, tetapi tetap saja seorang anak pantas mendapatkan kasih sayang dari ayahnya secara utuh. "Kai ...." Air mata Safira pun ikut menetes. Tangisan Kai begitu menyayat hatinya. Lantas, dia berbalik dan memberikan pelukan. Bibirnya terasa kelu, tak dapat mengeluarkan kata-kata yang sekiranya dapat mengurangi beban di hati kekasihnya. Safira membiarkan lelaki ini menangis, menumpahkan segalanya. Kai sendiri tak ped
Kediaman Barack. Suara dentingan sendok yang beradu dengan piring menggema di ruang makan berukuran cukup luas. Meja persegi panjang yang berada di tengah-tengah terisi dengan penuh aneka macam menu. Ketiga orang yang tengah menikmati makan malam masing-masing fokus pada isi piring. Tak ada yang berbicara ketika sedang makan. Arkana meletakkan sendok dan garpu ke pinggir piring, lalu meraih gelas air yang sebelumnya sudah diisi oleh pelayan. Dia meneguk air tersebut perlahan sambil melirik Tuan Barack yang sudah terlihat sehat seperti dahulu kala. Perasaan lelaki itu sungguh tak bisa dijabarkan dengan kata-kata lagi. Ketika bisa melihat orang terkasih di hidupnya kembali ke rumah dalam kondisi baik-baik saja. "Ar, besok kalo bisa kamu bawa Safira kemari. Papi kangen sama calon istrimu itu. Apa kamu gak ngasih tau dia kalo kita udah kembali ke Jakarta?" Barack berkata dengan sang putra sulung dengan raut berseri. Wajahnya yang mirip Kai, tak lagi pucat atau kuyu seperti waktu masih