"Sorry, nunggu lama, ya?" Arkana berkata sambil mengusap lengan Safira yang ada di hadapannya. Beberapa menit yang lalu dia baru saja tiba di rumah sang calon istri. Penampilan lelaki tiga puluh tahun itu sangat rapi dan selalu memesona. Kemeja dan celana bahan selalu menjadi andalannya. Safira pun tak sengaja membanding-bandingkannya dengan Kai. Bila dilihat-lihat, kedua kakak beradik itu memang mempunyai selera fashion yang berbeda dan berbanding terbalik. Kai lebih suka memakai baju santai dan hobi menggunakan Hoodie serta topi. Sementara Arkana suka berpenampilan rapi dan terkadang terkesan formal. Calon suaminya ini jarang sekali memakai kaos santai seperti Kai. Melihat Safira yang tak menanggapi permintaan maafnya, dan justru malah melamun, membuat Arkana harus menegurnya. "Fir?" Dia juga mengibaskan tangan di depan mata kekasihnya. Safira tersentak dari lamunannya yang sangat berlebihan. Kenapa juga dia jadi membandingkan Arkana dan Kai? pikirnya. "Iya, Mas. Gak pa-pa," sah
"Kai?"Waktu seolah berhenti, saat Safira mendapati pacar gelapnya juga berada di rumah ini. Tetapi, bukannya itu wajar, sebab rumah ini juga milik ayahnya Kai?Lantas, kenapa Safira sepucat itu? Kai melangkah menghampiri Safira yang tak bergerak sama sekali mau pun bergeser dari tempatnya. "Hape lu kenapa gak aktif?" Kai bertanya setelah berdiri tepat di hadapan perempuan yang seharian ini sulit dihubungi, sambil menyelipkan rambut cokelat gelap itu ke belakang telinga Safira."Hah?" Safira mengerjap polos seperti orang linglung. "Elu ngapain ada di sini?" Pertanyaan Kai sudah ganti lagi. "A-aku. Hmm ... Mas Arkana ngajak makan malem bareng di sini," jawab Safira setelah bersusah payah menyingkirkan kegugupan, meski ucapannya masih terbata-bata. "K-kalo kamu sendiri ngapain?" Sudut mata Safira bergerak gelisah, memerhatikan keadaan sekitar yang bisa saja membuat keadaan menjadi kacau. Arkana bisa muncul kapan saja, bukan? Dan sialnya, Safira harus terjebak di rumah ini bersama du
"Tolong! Tolong! Darurat!" Kedatangan Arkana yang baru saja tiba di lobby Rumah Sakit langsung menyita perhatian seluruh orang-orang yang ada di sana. Pria yang bajunya sudah berlumuran darah itu berteriak meminta tolong kepada siapa saja yang berjaga di sana. Sementara Safira tak berhenti merintih kesakitan dalam gendongan Arkana. Dia sudah tak berdaya dan nyaris pingsan. "Mas, sakit ... A-aku gak kuat, Mas ... Sakit banget." Nyatanya, darah terus mengalir dari sela paha ke kaki jenjangnya. Nyawanya seakan ingin melayang detik itu juga. Kedua matanya sudah terasa sangat berat— tak kuat menahan siksaan di perutnya yang seperti dipelintir. Dua perawat laki-laki muncul sambil mendorong brankar kosong menghampiri Arkana yang panik bukan main. "Mari, Pak. Taruh pasien di sini. Kami akan segera membawanya ke IGD. Anda silakan mendaftar terlebih dahulu di bagian pendaftaran sebelah sana," ucap salah satu dari dua perawat pria itu, membantu Arkana merebahkan Safira di atas brankar. Sedang
Di lorong sepi itu langkah kaki Arkana begitu gontai. Bumi yang dipijak terasa mengambang. Hatinya hancur berkeping-keping ketika sebuah fakta terungkap hingga menyeretnya ke ujung jurang penyesalan. Menyesal? Apa yang patut dia sesali? Mencintai Safirakah? Atau terlalu memercayai perempuan itu? Arkana tak mengerti apa kesalahan yang dia perbuat pada Safira, hingga dia harus merasakan luka akibat pengkhianatan dari calon istrinya itu. Kepercayaan yang dia beri, nyatanya tak cukup membentengi hati Safira berpaling pada laki-laki lain. Cinta yang dia curahkan, nyatanya tak berarti apa-apa pun. "Kenapa kamu tega, Fir, sama aku? Kenapa? Apa kurangku? Apa? Kenapa kamu tega membohongiku selama ini? Siapa laki-laki itu, Fir? Siapa? Siapa ayah dari anak yang kamu kandung" Arkana duduk di bangku tunggu selasar rumah sakit yang tak ada satu orangpun berada di sana. Sepi. Sunyi. Pria itu menumpahkan segala pertanyaan-pertanyaan yang berjejalan di kepalanya, yang membuat dadanya nyaris mele
Ponsel Arkana tiba-tiba berbunyi, dia bergegas mengambilnya dari saku celana. "Mami?" Sepasang alis dan keningnya mengerut bersamaan. Lantas, Arkana meminta izin pada Safira untuk mengangkatnya. "Fir, aku angkat telepon dulu bentar."Safira mengangguk. "Iya, Mas." Sementara Kai yang tidak ingin Arkana memergokinya tengah berada di balik pintu sejak tadi lekas pergi, dan berpura-pura duduk di bangku besi. Tak berselang lama, Arkana keluar dari ruangan Safira sambil menerima telepon. Lelaki itu melirik sekilas ke arah sang adik yang duduk di bangku tunggu seraya mengangguk. Kai menatap datar dan lekas berdiri lalu menghampiri Arkana. "Gue boleh masuk?" tanyanya meminta izin dan Arkana pun menganggukki. Sementara Kai masuk, Arkana yang berbicara dengan seseorang lewat telepon melangkah menjauh—mencari tempat yang agak nyaman. Safira seketika menoleh ketika mendengar suara langkah seseorang yang baru saja menutup pintu ruangannya. "Kai?" Terkejut. Dia bahkan tidak begitu ingat jika Ka
Hari ini genap dua belas hari Safira berada di Rumah Sakit untuk menjalani bettres sesuai anjuran dari Delia—selaku dokter kandungan yang menangani serta bertanggungjawab. Kondisi janin yang masih lemah merupakan salah satu faktor utama bagi perempuan dua puluh lima tahun itu harus benar-benar ekstra beristirahat. Dan, gara-gara kehamilannya ini pula, Safira kembali menjadi pengangguran abadi. Tanpa sepengetahuan Safira, Arkana rupanya telah memberitahu pada pihak perusahaan tempat bernaungnya selama ini. Safira diizinkan mengambil cuti dalam jangka waktu yang tak ditentukan. Karena yang meminta izin adalah pemilik dari pusat perbelanjaan itu sendiri. Mereka juga mengetahui hubungan antara Safira dan Arkana. Yang tak dimengerti oleh Safira ialah ; mengapa Arkana masih mau peduli padanya? Sementara dia sendiri telah menorehkan luka begitu besar di hidup lelaki itu. "Udah gak ada yang ketinggalan 'kan?" tanya Kai, yang baru saja kembali setelah menandatangani surat kepulangan Safira
"Hah, apa! Fira hamil? Fira hamil anak lu!?" Danis berteriak seakan-akan kabar yang dia dengar dari mulut Kai barusan adalah sebuah kabar berita yang sangat-sangat mengejutkan. Bahkan, pria bermata sipit itu sampai bangkit dari duduknya, dan langsung menghampiri sahabatnya. Kai memutar malas bola matanya. "Biasa aja kali? Gak gitu juga reaksinya. Lebay lu!" sungutnya tak terima, melirik Danis yang sudah duduk di sebelahnya dengan tatapan mengintimidasi. "Apa? Mau ceramahin gue? Mau ngatain gue adik durhaka karena udah rebut calon istri abangnya, CK!" Kai menghela besar seraya bersandar ke sofa. Danis berdecak. "Ckckck ... Laga lu, dulu ngomong gak bakal kecantol! Eh, tau-tau sekarang malah dibikin bunting. Sarap lu! Kalo gue jadi Arkana, udah gue mutilasi, tuh, muka lu yang ganteng. Terus, gue buang ke kandang buaya," cicit Danis seraya menggeleng berkali-kali. "Sialan! Enak aja!" Kai berdecak keras, kemudian tersenyum miring. "Sayangnya, tuh, orang gak tau kalo gue yang bikin hami
Obrolan Safira dan teman-temannya cukup berlangsung lama. Mereka bahkan berjanji siap membantu perempuan itu jika sewaktu-waktu membutuhkan sesuatu. Mengingat, bila Safira tak memiliki saudara kandung dan ayahnya sudah mempunyai kehidupannya sendiri. Karena jam kerja sudah dimulai, satu persatu dari mereka pergi untuk memulai pekerjaan masing-masing. Kini, yang tersisa di ruangan itu hanyalah Safira dan Lolita. "Kamu lagi pengen makan apa, Fir? Nanti biar aku yang pesenin. Biasanya, bumil itu suka ngidam yang aneh-aneh," kata Lolita, terkekeh. Mengambil ponsel, dan membuka aplikasi pesan makanan online. "Aku lagi gak pengen makan apa-apa, Lit," sahut Safira lesu. "Lit ...." panggil Safira dengan helaan napas panjang, dan menatap langit-langit ruangan ganti tersebut. Kedua tangannya mengusap perut yang mulai agak mengeras. Lolita menoleh, "Apa?" tanyanya sambil meletakkan ponsel ke meja. Dia lalu mencondongkan sedikit tubuhnya menghadap Safira sambil menekuk kedua lututnya ke atas