Safira terbangun dari tidurnya dalam dekapan posesif sosok lelaki yang harusnya menjadi adik iparnya. Di dalam kamar dan di atas ranjang yang menjadi saksi bisu percintaan panasnya semalam bersama Kai. Safira tidak pernah bisa menolak mau pun menghindar dari jerat gairah yang Kai berikan. Setiap sentuhannya begitu candu dan memabukkan. Safira tak menampik bila dirinya memang sangat merindukan sentuhan Kai pada setiap jengkal tubuhnya. Dan pergumulan semalam adalah bukti nyata jika Safira teramat sangat menggilai Kai. Bercinta dengan calon adik iparnya tentu hal yang tak pernah dia bayangkan. Bahkan sampai menumbuhkan benih di rahimnya saat ini adalah suatu hal yang sama sekali tidak dia duga.Pandangan perempuan cantik itu tak berkedip menyusuri wajah Kai yang masih tenang dalam lelapnya. Wajah putih bersih yang kini tak lagi berhias anting tindik itu memang terlihat sangat tampan. Kai memiliki alis yang sangat tebal dan rapi, juga hidung yang sangat mancung serta bibir yang sangat s
Siang ini Safira sengaja menyempatkan waktu untuk memeriksakan diri ke rumah sakit karena kebetulan hari ini dia sedang off. Sebenarnya niat tersebut sudah dia rencanakan sejak lima hari yang lalu, tetapi Kai tidak sedetik pun meninggalkannya. Lelaki itu selalu menempel dan tidak membiarkan Safira pergi jauh barang sebentar. Dan, ketika ada kesempatan, Safira pun tak menyia-nyiakannya. Untuk sepekan ke depan, Safira bisa agak bebas dari keposesifan Kai sebab kekasih gelapnya itu sedang mengurus sesuatu hal di luar kota. Pekerjaan penting yang hingga saat ini Safira tidak tahu apa bisnis atau usaha yang dimiliki adik Arkana itu.Jujur, Safira kurang percaya diri ketika masuk di ruangan dokter spesialis kandungan ini. Ruangan yang sama sekali tak pernah terpikirkan olehnya. Memeriksakan kandungan yang hadirnya tak disangka-sangka dan dalam situasi yang cukup rumit, adalah suatu risiko yang harus dia terima. "Silakan duduk," pinta sang dokter perempuan dewasa dengan senyum ramahnya pad
"Mas, bisa agak cepetan dikit, gak?" Safira berkata pada tukang ojek online yang pagi ini mengantarnya pulang diam-diam dari apartemen Kai. Sejak keluar dari unit, jantungnya terus berpacu tak sabaran; ingin segera tiba di rumahnya."Iya, Mbak." Sang tukang ojek menginjak tuas gigi untuk menambah kecepatan dan bergerak lincah melesat dari kerumunan pengendara lain yang ada di hadapan. Jalanan pagi ini lumayan lengang, dan Safira merasa lega karena si tukang ojek mau diajak bekerja sama serta lihai dalam berkendara. Ide dadakan ini muncul setelah dia mendapat kabar bila Arkana akan ke rumahnya. Tentu Safira dibuat kalang kabut dan kelimpungan, sampai-sampai tidak sempat membangunkan Kai yang masih nyenyak di alam mimpi.Namun, karena tidak ingin membuat Kai merasa khawatir, Safira pun sudah meninggalkan pesan di secarik kertas yang dia taruh di atas nakas. Meminta maaf karena harus mendadak pulang tanpa berpamitan dengan layak.Tak sampai tiga puluh menit, motor bebek keluaran Jepang
Jam kerja Safira telah selesai tepat pada pukul delapan malam ini. Perempuan berseragam SPG warna hijau toska itu lekas berpamitan pada teman yang siang tadi satu sift dengannya. "Mbak, aku duluan, ya." Dia menyimpan nota hasil penjualan makeup hari ini ke dalam etalase. Teman Safira yang tengah sibuk mencatat di buku laporan pun menoleh. "Iya, Fir. Tinggal aja, gak pa-pa. Aku sedikit lagi juga mau selesai," sahutnya lalu tersenyum. "Hati-hati, ya." "Oke." Jempol Safira mengacung sambil mengerling. Usai berpamitan, Safira bergegas keluar dari pusat perbelanjaan milik keluarga Arkana. Sedikit kesibukan membuat perempuan yang tengah berbadan dua itu merasa senang. Daripada dia suntuk di rumah dan mager(malas gerak) justru tidak baik untuk kesehatan janinnya."Kuat-kuat, ya, Nak. Kamu di dalem sini. Maaf, belum bisa kasih tau papamu. Tapi, mama janji secepatnya akan kasih tau dia," ujar Safira, mengelus perutnya yang masih rata sambil berjalan menuju parkiran. Sementara, Kai yang ter
"Sorry, nunggu lama, ya?" Arkana berkata sambil mengusap lengan Safira yang ada di hadapannya. Beberapa menit yang lalu dia baru saja tiba di rumah sang calon istri. Penampilan lelaki tiga puluh tahun itu sangat rapi dan selalu memesona. Kemeja dan celana bahan selalu menjadi andalannya. Safira pun tak sengaja membanding-bandingkannya dengan Kai. Bila dilihat-lihat, kedua kakak beradik itu memang mempunyai selera fashion yang berbeda dan berbanding terbalik. Kai lebih suka memakai baju santai dan hobi menggunakan Hoodie serta topi. Sementara Arkana suka berpenampilan rapi dan terkadang terkesan formal. Calon suaminya ini jarang sekali memakai kaos santai seperti Kai. Melihat Safira yang tak menanggapi permintaan maafnya, dan justru malah melamun, membuat Arkana harus menegurnya. "Fir?" Dia juga mengibaskan tangan di depan mata kekasihnya. Safira tersentak dari lamunannya yang sangat berlebihan. Kenapa juga dia jadi membandingkan Arkana dan Kai? pikirnya. "Iya, Mas. Gak pa-pa," sah
"Kai?"Waktu seolah berhenti, saat Safira mendapati pacar gelapnya juga berada di rumah ini. Tetapi, bukannya itu wajar, sebab rumah ini juga milik ayahnya Kai?Lantas, kenapa Safira sepucat itu? Kai melangkah menghampiri Safira yang tak bergerak sama sekali mau pun bergeser dari tempatnya. "Hape lu kenapa gak aktif?" Kai bertanya setelah berdiri tepat di hadapan perempuan yang seharian ini sulit dihubungi, sambil menyelipkan rambut cokelat gelap itu ke belakang telinga Safira."Hah?" Safira mengerjap polos seperti orang linglung. "Elu ngapain ada di sini?" Pertanyaan Kai sudah ganti lagi. "A-aku. Hmm ... Mas Arkana ngajak makan malem bareng di sini," jawab Safira setelah bersusah payah menyingkirkan kegugupan, meski ucapannya masih terbata-bata. "K-kalo kamu sendiri ngapain?" Sudut mata Safira bergerak gelisah, memerhatikan keadaan sekitar yang bisa saja membuat keadaan menjadi kacau. Arkana bisa muncul kapan saja, bukan? Dan sialnya, Safira harus terjebak di rumah ini bersama du
"Tolong! Tolong! Darurat!" Kedatangan Arkana yang baru saja tiba di lobby Rumah Sakit langsung menyita perhatian seluruh orang-orang yang ada di sana. Pria yang bajunya sudah berlumuran darah itu berteriak meminta tolong kepada siapa saja yang berjaga di sana. Sementara Safira tak berhenti merintih kesakitan dalam gendongan Arkana. Dia sudah tak berdaya dan nyaris pingsan. "Mas, sakit ... A-aku gak kuat, Mas ... Sakit banget." Nyatanya, darah terus mengalir dari sela paha ke kaki jenjangnya. Nyawanya seakan ingin melayang detik itu juga. Kedua matanya sudah terasa sangat berat— tak kuat menahan siksaan di perutnya yang seperti dipelintir. Dua perawat laki-laki muncul sambil mendorong brankar kosong menghampiri Arkana yang panik bukan main. "Mari, Pak. Taruh pasien di sini. Kami akan segera membawanya ke IGD. Anda silakan mendaftar terlebih dahulu di bagian pendaftaran sebelah sana," ucap salah satu dari dua perawat pria itu, membantu Arkana merebahkan Safira di atas brankar. Sedang
Di lorong sepi itu langkah kaki Arkana begitu gontai. Bumi yang dipijak terasa mengambang. Hatinya hancur berkeping-keping ketika sebuah fakta terungkap hingga menyeretnya ke ujung jurang penyesalan. Menyesal? Apa yang patut dia sesali? Mencintai Safirakah? Atau terlalu memercayai perempuan itu? Arkana tak mengerti apa kesalahan yang dia perbuat pada Safira, hingga dia harus merasakan luka akibat pengkhianatan dari calon istrinya itu. Kepercayaan yang dia beri, nyatanya tak cukup membentengi hati Safira berpaling pada laki-laki lain. Cinta yang dia curahkan, nyatanya tak berarti apa-apa pun. "Kenapa kamu tega, Fir, sama aku? Kenapa? Apa kurangku? Apa? Kenapa kamu tega membohongiku selama ini? Siapa laki-laki itu, Fir? Siapa? Siapa ayah dari anak yang kamu kandung" Arkana duduk di bangku tunggu selasar rumah sakit yang tak ada satu orangpun berada di sana. Sepi. Sunyi. Pria itu menumpahkan segala pertanyaan-pertanyaan yang berjejalan di kepalanya, yang membuat dadanya nyaris mele