"Tolong! Tolong! Darurat!" Kedatangan Arkana yang baru saja tiba di lobby Rumah Sakit langsung menyita perhatian seluruh orang-orang yang ada di sana. Pria yang bajunya sudah berlumuran darah itu berteriak meminta tolong kepada siapa saja yang berjaga di sana. Sementara Safira tak berhenti merintih kesakitan dalam gendongan Arkana. Dia sudah tak berdaya dan nyaris pingsan. "Mas, sakit ... A-aku gak kuat, Mas ... Sakit banget." Nyatanya, darah terus mengalir dari sela paha ke kaki jenjangnya. Nyawanya seakan ingin melayang detik itu juga. Kedua matanya sudah terasa sangat berat— tak kuat menahan siksaan di perutnya yang seperti dipelintir. Dua perawat laki-laki muncul sambil mendorong brankar kosong menghampiri Arkana yang panik bukan main. "Mari, Pak. Taruh pasien di sini. Kami akan segera membawanya ke IGD. Anda silakan mendaftar terlebih dahulu di bagian pendaftaran sebelah sana," ucap salah satu dari dua perawat pria itu, membantu Arkana merebahkan Safira di atas brankar. Sedang
Di lorong sepi itu langkah kaki Arkana begitu gontai. Bumi yang dipijak terasa mengambang. Hatinya hancur berkeping-keping ketika sebuah fakta terungkap hingga menyeretnya ke ujung jurang penyesalan. Menyesal? Apa yang patut dia sesali? Mencintai Safirakah? Atau terlalu memercayai perempuan itu? Arkana tak mengerti apa kesalahan yang dia perbuat pada Safira, hingga dia harus merasakan luka akibat pengkhianatan dari calon istrinya itu. Kepercayaan yang dia beri, nyatanya tak cukup membentengi hati Safira berpaling pada laki-laki lain. Cinta yang dia curahkan, nyatanya tak berarti apa-apa pun. "Kenapa kamu tega, Fir, sama aku? Kenapa? Apa kurangku? Apa? Kenapa kamu tega membohongiku selama ini? Siapa laki-laki itu, Fir? Siapa? Siapa ayah dari anak yang kamu kandung" Arkana duduk di bangku tunggu selasar rumah sakit yang tak ada satu orangpun berada di sana. Sepi. Sunyi. Pria itu menumpahkan segala pertanyaan-pertanyaan yang berjejalan di kepalanya, yang membuat dadanya nyaris mele
Ponsel Arkana tiba-tiba berbunyi, dia bergegas mengambilnya dari saku celana. "Mami?" Sepasang alis dan keningnya mengerut bersamaan. Lantas, Arkana meminta izin pada Safira untuk mengangkatnya. "Fir, aku angkat telepon dulu bentar."Safira mengangguk. "Iya, Mas." Sementara Kai yang tidak ingin Arkana memergokinya tengah berada di balik pintu sejak tadi lekas pergi, dan berpura-pura duduk di bangku besi. Tak berselang lama, Arkana keluar dari ruangan Safira sambil menerima telepon. Lelaki itu melirik sekilas ke arah sang adik yang duduk di bangku tunggu seraya mengangguk. Kai menatap datar dan lekas berdiri lalu menghampiri Arkana. "Gue boleh masuk?" tanyanya meminta izin dan Arkana pun menganggukki. Sementara Kai masuk, Arkana yang berbicara dengan seseorang lewat telepon melangkah menjauh—mencari tempat yang agak nyaman. Safira seketika menoleh ketika mendengar suara langkah seseorang yang baru saja menutup pintu ruangannya. "Kai?" Terkejut. Dia bahkan tidak begitu ingat jika Ka
Hari ini genap dua belas hari Safira berada di Rumah Sakit untuk menjalani bettres sesuai anjuran dari Delia—selaku dokter kandungan yang menangani serta bertanggungjawab. Kondisi janin yang masih lemah merupakan salah satu faktor utama bagi perempuan dua puluh lima tahun itu harus benar-benar ekstra beristirahat. Dan, gara-gara kehamilannya ini pula, Safira kembali menjadi pengangguran abadi. Tanpa sepengetahuan Safira, Arkana rupanya telah memberitahu pada pihak perusahaan tempat bernaungnya selama ini. Safira diizinkan mengambil cuti dalam jangka waktu yang tak ditentukan. Karena yang meminta izin adalah pemilik dari pusat perbelanjaan itu sendiri. Mereka juga mengetahui hubungan antara Safira dan Arkana. Yang tak dimengerti oleh Safira ialah ; mengapa Arkana masih mau peduli padanya? Sementara dia sendiri telah menorehkan luka begitu besar di hidup lelaki itu. "Udah gak ada yang ketinggalan 'kan?" tanya Kai, yang baru saja kembali setelah menandatangani surat kepulangan Safira
"Hah, apa! Fira hamil? Fira hamil anak lu!?" Danis berteriak seakan-akan kabar yang dia dengar dari mulut Kai barusan adalah sebuah kabar berita yang sangat-sangat mengejutkan. Bahkan, pria bermata sipit itu sampai bangkit dari duduknya, dan langsung menghampiri sahabatnya. Kai memutar malas bola matanya. "Biasa aja kali? Gak gitu juga reaksinya. Lebay lu!" sungutnya tak terima, melirik Danis yang sudah duduk di sebelahnya dengan tatapan mengintimidasi. "Apa? Mau ceramahin gue? Mau ngatain gue adik durhaka karena udah rebut calon istri abangnya, CK!" Kai menghela besar seraya bersandar ke sofa. Danis berdecak. "Ckckck ... Laga lu, dulu ngomong gak bakal kecantol! Eh, tau-tau sekarang malah dibikin bunting. Sarap lu! Kalo gue jadi Arkana, udah gue mutilasi, tuh, muka lu yang ganteng. Terus, gue buang ke kandang buaya," cicit Danis seraya menggeleng berkali-kali. "Sialan! Enak aja!" Kai berdecak keras, kemudian tersenyum miring. "Sayangnya, tuh, orang gak tau kalo gue yang bikin hami
Obrolan Safira dan teman-temannya cukup berlangsung lama. Mereka bahkan berjanji siap membantu perempuan itu jika sewaktu-waktu membutuhkan sesuatu. Mengingat, bila Safira tak memiliki saudara kandung dan ayahnya sudah mempunyai kehidupannya sendiri. Karena jam kerja sudah dimulai, satu persatu dari mereka pergi untuk memulai pekerjaan masing-masing. Kini, yang tersisa di ruangan itu hanyalah Safira dan Lolita. "Kamu lagi pengen makan apa, Fir? Nanti biar aku yang pesenin. Biasanya, bumil itu suka ngidam yang aneh-aneh," kata Lolita, terkekeh. Mengambil ponsel, dan membuka aplikasi pesan makanan online. "Aku lagi gak pengen makan apa-apa, Lit," sahut Safira lesu. "Lit ...." panggil Safira dengan helaan napas panjang, dan menatap langit-langit ruangan ganti tersebut. Kedua tangannya mengusap perut yang mulai agak mengeras. Lolita menoleh, "Apa?" tanyanya sambil meletakkan ponsel ke meja. Dia lalu mencondongkan sedikit tubuhnya menghadap Safira sambil menekuk kedua lututnya ke atas
"Tidur, Fir. Istirahat." Kai menyelimuti separuh badan Safira dengan selimut sampai sebatas dada. Selesai memasak yang diminta Safira dan menyuapinya makan, Kai membawa perempuan itu ke kamar untuk tidur. "Kamu gak tidur?" tanya Safira, melihat Kai yang nampaknya belum ingin ikut bergabung di ranjang bersamanya. Lelaki itu malah mengambil ponselnya dari nakas, lalu memasukkannya ke kantong celana. "Aku nanti," sahut Kai, terpaksa duduk di tepi kasur karena Safira menarik tangannya. "Apa?" Maniknya mengerling, seraya mengusap puncak kepala sang kekasih.Safira memeluk tangan Kai. "Temenin aku tidur dulu, ya? Aku pengen diusap-usap punggungnya. Mau 'kan?" pintanya dengan raut memohon. Tentu Kai tidak bisa menolak permintaan bumil cantik yang satu itu. "Iya. Aku temenin tidur dulu. Geser dikit." Kai lalu melepas sandal rumahannya, kemudian naik ke atas kasur dan bergabung masuk ke dalam satu selimut yang sama dengan Safira. "Sini aku peluk." Dia merengkuh tubuh Safira ke pelukannya.
Dalam keadaan masih memejamkan mata, tangan Safira meraba sisi kasurnya. Kosong. Tangannya tak memegang sosok yang biasanya selalu ada di sisinya setiap dia membuka mata. Mata Safira lantas terbuka, untuk memastikan jika benar-benar tidak ada Kai di sisinya. "Kai?" sebutnya lirih, dengan sorot mata kecewa, karena ini kali pertama semenjak dia kembali dari rumah sakit tak mendapati Kai berada di sisinya. "Tumbenan udah bangun duluan." Safira pun bangkit lalu terduduk dan bersandar ke kepala ranjang. Pagi-pagi begini biasanya dia dan Kai selalu bangun tidur bersama. Akan tetapi, pagi ini agak berbeda dan Safira merasa ada yang kurang. "Kai lagi mandi kali?" Safira pikir, Kai saat ini sedang berada di dalam kamar mandi. Karenanya, dia pun berinisiatif menyusul lelaki itu ke sana. Dengan senyum mengembang, perempuan cantik itu menyibak selimut lalu turun dari kasur. Tanpa memakai sandal dia berjalan menuju kamar mandi. Namun, pada saat membuka pintunya, Safira hanya bisa melongo sebab