Obrolan Safira dan teman-temannya cukup berlangsung lama. Mereka bahkan berjanji siap membantu perempuan itu jika sewaktu-waktu membutuhkan sesuatu. Mengingat, bila Safira tak memiliki saudara kandung dan ayahnya sudah mempunyai kehidupannya sendiri. Karena jam kerja sudah dimulai, satu persatu dari mereka pergi untuk memulai pekerjaan masing-masing. Kini, yang tersisa di ruangan itu hanyalah Safira dan Lolita. "Kamu lagi pengen makan apa, Fir? Nanti biar aku yang pesenin. Biasanya, bumil itu suka ngidam yang aneh-aneh," kata Lolita, terkekeh. Mengambil ponsel, dan membuka aplikasi pesan makanan online. "Aku lagi gak pengen makan apa-apa, Lit," sahut Safira lesu. "Lit ...." panggil Safira dengan helaan napas panjang, dan menatap langit-langit ruangan ganti tersebut. Kedua tangannya mengusap perut yang mulai agak mengeras. Lolita menoleh, "Apa?" tanyanya sambil meletakkan ponsel ke meja. Dia lalu mencondongkan sedikit tubuhnya menghadap Safira sambil menekuk kedua lututnya ke atas
"Tidur, Fir. Istirahat." Kai menyelimuti separuh badan Safira dengan selimut sampai sebatas dada. Selesai memasak yang diminta Safira dan menyuapinya makan, Kai membawa perempuan itu ke kamar untuk tidur. "Kamu gak tidur?" tanya Safira, melihat Kai yang nampaknya belum ingin ikut bergabung di ranjang bersamanya. Lelaki itu malah mengambil ponselnya dari nakas, lalu memasukkannya ke kantong celana. "Aku nanti," sahut Kai, terpaksa duduk di tepi kasur karena Safira menarik tangannya. "Apa?" Maniknya mengerling, seraya mengusap puncak kepala sang kekasih.Safira memeluk tangan Kai. "Temenin aku tidur dulu, ya? Aku pengen diusap-usap punggungnya. Mau 'kan?" pintanya dengan raut memohon. Tentu Kai tidak bisa menolak permintaan bumil cantik yang satu itu. "Iya. Aku temenin tidur dulu. Geser dikit." Kai lalu melepas sandal rumahannya, kemudian naik ke atas kasur dan bergabung masuk ke dalam satu selimut yang sama dengan Safira. "Sini aku peluk." Dia merengkuh tubuh Safira ke pelukannya.
Dalam keadaan masih memejamkan mata, tangan Safira meraba sisi kasurnya. Kosong. Tangannya tak memegang sosok yang biasanya selalu ada di sisinya setiap dia membuka mata. Mata Safira lantas terbuka, untuk memastikan jika benar-benar tidak ada Kai di sisinya. "Kai?" sebutnya lirih, dengan sorot mata kecewa, karena ini kali pertama semenjak dia kembali dari rumah sakit tak mendapati Kai berada di sisinya. "Tumbenan udah bangun duluan." Safira pun bangkit lalu terduduk dan bersandar ke kepala ranjang. Pagi-pagi begini biasanya dia dan Kai selalu bangun tidur bersama. Akan tetapi, pagi ini agak berbeda dan Safira merasa ada yang kurang. "Kai lagi mandi kali?" Safira pikir, Kai saat ini sedang berada di dalam kamar mandi. Karenanya, dia pun berinisiatif menyusul lelaki itu ke sana. Dengan senyum mengembang, perempuan cantik itu menyibak selimut lalu turun dari kasur. Tanpa memakai sandal dia berjalan menuju kamar mandi. Namun, pada saat membuka pintunya, Safira hanya bisa melongo sebab
Kekacauan di unit Kai, membuat Safira tak berhenti menghela napas panjang. Terakhir kali dia melihat kekacauan seperti ini beberapa bulan yang lalu. Namun, semenjak memiliki hubungan dengan Kai, Safira tak pernah lagi bertemu dengan para pembuat onar tersebut. CK, menyusahkan! Akan tetapi, yang jadi masalahnya saat ini ialah ; Apakah Kai tahu semua yang terjadi di unitnya? Apakah Kai juga ikut berpesta bersama dengan teman-temannya?"Kenapa dia gak ganti kodenya aja, sih? Biar orang-orang rese itu gak bisa main asal masuk ke tempat orang! Bener-bener!" Safira menggerutu, sambil melangkah ke kamar Kai. Dia masih berharap bila kekasihnya ada di sini. "Kamarnya aja tutupan. Gimana ngeceknya, coba?" Pintu kamar Kai memang selalu tertutup rapat. Dan saat ini Safira benar-benar kebingungan mencari cara untuk membukanya. "Coba aku ketok aja, deh." Tok! tok! Safira mengetuknya beberapa kali lalu memanggil nama kekasihnya. "Kai? Kai?" Hening. Tidak ada jawaban dari dalam kamar itu. Safi
Kai semakin tergugu ketika kenangan-kenangan pahit harus kembali terlintas di ingatannya. Hidupnya sejak dulu memang tak pernah bahagia. Ayah yang dia pikir akan menerima kehadirannya dengan tangan terbuka justru menolaknya keras. Tak pernah sedikit pun Kai merasakan kasih sayang dari Barack kala itu. Dia ibarat pengemis yang meminta belas kasih kepada ayah kandungnya sendiri. Apa semua itu pantas dilakukan oleh seorang anak yang jelas-jelas darah dagingnya? Apakah pantas—jika seorang ayah tidak menginginkan keberadaan puteranya? Meskipun dia terlahir dari hubungan yang salah, tetapi tetap saja seorang anak pantas mendapatkan kasih sayang dari ayahnya secara utuh. "Kai ...." Air mata Safira pun ikut menetes. Tangisan Kai begitu menyayat hatinya. Lantas, dia berbalik dan memberikan pelukan. Bibirnya terasa kelu, tak dapat mengeluarkan kata-kata yang sekiranya dapat mengurangi beban di hati kekasihnya. Safira membiarkan lelaki ini menangis, menumpahkan segalanya. Kai sendiri tak ped
Kediaman Barack. Suara dentingan sendok yang beradu dengan piring menggema di ruang makan berukuran cukup luas. Meja persegi panjang yang berada di tengah-tengah terisi dengan penuh aneka macam menu. Ketiga orang yang tengah menikmati makan malam masing-masing fokus pada isi piring. Tak ada yang berbicara ketika sedang makan. Arkana meletakkan sendok dan garpu ke pinggir piring, lalu meraih gelas air yang sebelumnya sudah diisi oleh pelayan. Dia meneguk air tersebut perlahan sambil melirik Tuan Barack yang sudah terlihat sehat seperti dahulu kala. Perasaan lelaki itu sungguh tak bisa dijabarkan dengan kata-kata lagi. Ketika bisa melihat orang terkasih di hidupnya kembali ke rumah dalam kondisi baik-baik saja. "Ar, besok kalo bisa kamu bawa Safira kemari. Papi kangen sama calon istrimu itu. Apa kamu gak ngasih tau dia kalo kita udah kembali ke Jakarta?" Barack berkata dengan sang putra sulung dengan raut berseri. Wajahnya yang mirip Kai, tak lagi pucat atau kuyu seperti waktu masih
"Sekarang aku minta kamu ceritain semuanya sama aku, Kai. Gak ada yang perlu ditutup-tutupin lagi. Sebentar lagi kita mau nikah. Kamu sama aku akan hidup bareng. Gak cuma kita, Kai. Tapi ada anak kita juga. Aku gak mau ada kebohongan dalam rumah tangga kita. Gak mau." Safira berkata dengan berurai air mata dan Kai sigap menghapusnya. Setelah semua pertikaian yang baru saja terjadi, keduanya memutuskan untuk mengobrol dari hati ke hati. Tentunya setelah makanan yang dibeli Kai disantap oleh Safira, meski perempuan itu tak lagi berselera. Namun, demi bayi yang ada di dalam perutnya, Safira tidak bisa bertindak egois dan malah membahayakan calon anaknya. Di sofa ruang tamu, Kai tak melepaskan pelukannya pada Safira yang beberapa saat lalu terkena amarahnya. Menyesal sudah pasti sebab dia hampir saja membuat calon ibu dari anaknya itu terluka. Katakanlah, Kai memang lemah dalam mengendalikan emosi jika sudah menyangkut tentang masalah pribadinya. Satu yang pasti, bila menjadi seorang p
"Papi ...." Safira menggigit bibir bawah, lalu meringis ketika tiba-tiba rasa nyeri menghantam ulu hatinya. Sosok Barack yang selama ini menyayanginya berkelebat di ingatan. "Papi pasti udah sembuh karena itu Mas Arkana langsung bawa pulang ke Jakarta." Embusan napas berat keluar dari bibir Safira, seiring usapan di wajah cantiknya. Keinginan untuk melihat kondisi ayah dari Arkana dan Kai itu muncul dalam benak. Namun, ketakutan justru lebih besar. Safira takut membayangkan betapa kecewanya Barack bila mengetahui kebenarannya. Safira merasa belum siap."Gimana kalo Papi tanya ini?" gumam Safira seraya mengelus perutnya yang menyembul. "Aku gak bisa nutupin ini lebih lama lagi, bukan?" Pandangannya menunduk, menatap perutnya yang tertutup kaos. Pertanyaan Arkana pun membuat Safira lantas berpikir. "Kenapa Mas Arkana belum ngasih tau Papi?" Pikiran Safira campur aduk untuk saat ini. Bingung, ingin membalas pesan Arkana. Tetapi, dia tidak bisa mengabaikan begitu saja. Safira pun lekas