"Tidur, Fir. Istirahat." Kai menyelimuti separuh badan Safira dengan selimut sampai sebatas dada. Selesai memasak yang diminta Safira dan menyuapinya makan, Kai membawa perempuan itu ke kamar untuk tidur. "Kamu gak tidur?" tanya Safira, melihat Kai yang nampaknya belum ingin ikut bergabung di ranjang bersamanya. Lelaki itu malah mengambil ponselnya dari nakas, lalu memasukkannya ke kantong celana. "Aku nanti," sahut Kai, terpaksa duduk di tepi kasur karena Safira menarik tangannya. "Apa?" Maniknya mengerling, seraya mengusap puncak kepala sang kekasih.Safira memeluk tangan Kai. "Temenin aku tidur dulu, ya? Aku pengen diusap-usap punggungnya. Mau 'kan?" pintanya dengan raut memohon. Tentu Kai tidak bisa menolak permintaan bumil cantik yang satu itu. "Iya. Aku temenin tidur dulu. Geser dikit." Kai lalu melepas sandal rumahannya, kemudian naik ke atas kasur dan bergabung masuk ke dalam satu selimut yang sama dengan Safira. "Sini aku peluk." Dia merengkuh tubuh Safira ke pelukannya.
Dalam keadaan masih memejamkan mata, tangan Safira meraba sisi kasurnya. Kosong. Tangannya tak memegang sosok yang biasanya selalu ada di sisinya setiap dia membuka mata. Mata Safira lantas terbuka, untuk memastikan jika benar-benar tidak ada Kai di sisinya. "Kai?" sebutnya lirih, dengan sorot mata kecewa, karena ini kali pertama semenjak dia kembali dari rumah sakit tak mendapati Kai berada di sisinya. "Tumbenan udah bangun duluan." Safira pun bangkit lalu terduduk dan bersandar ke kepala ranjang. Pagi-pagi begini biasanya dia dan Kai selalu bangun tidur bersama. Akan tetapi, pagi ini agak berbeda dan Safira merasa ada yang kurang. "Kai lagi mandi kali?" Safira pikir, Kai saat ini sedang berada di dalam kamar mandi. Karenanya, dia pun berinisiatif menyusul lelaki itu ke sana. Dengan senyum mengembang, perempuan cantik itu menyibak selimut lalu turun dari kasur. Tanpa memakai sandal dia berjalan menuju kamar mandi. Namun, pada saat membuka pintunya, Safira hanya bisa melongo sebab
Kekacauan di unit Kai, membuat Safira tak berhenti menghela napas panjang. Terakhir kali dia melihat kekacauan seperti ini beberapa bulan yang lalu. Namun, semenjak memiliki hubungan dengan Kai, Safira tak pernah lagi bertemu dengan para pembuat onar tersebut. CK, menyusahkan! Akan tetapi, yang jadi masalahnya saat ini ialah ; Apakah Kai tahu semua yang terjadi di unitnya? Apakah Kai juga ikut berpesta bersama dengan teman-temannya?"Kenapa dia gak ganti kodenya aja, sih? Biar orang-orang rese itu gak bisa main asal masuk ke tempat orang! Bener-bener!" Safira menggerutu, sambil melangkah ke kamar Kai. Dia masih berharap bila kekasihnya ada di sini. "Kamarnya aja tutupan. Gimana ngeceknya, coba?" Pintu kamar Kai memang selalu tertutup rapat. Dan saat ini Safira benar-benar kebingungan mencari cara untuk membukanya. "Coba aku ketok aja, deh." Tok! tok! Safira mengetuknya beberapa kali lalu memanggil nama kekasihnya. "Kai? Kai?" Hening. Tidak ada jawaban dari dalam kamar itu. Safi
Kai semakin tergugu ketika kenangan-kenangan pahit harus kembali terlintas di ingatannya. Hidupnya sejak dulu memang tak pernah bahagia. Ayah yang dia pikir akan menerima kehadirannya dengan tangan terbuka justru menolaknya keras. Tak pernah sedikit pun Kai merasakan kasih sayang dari Barack kala itu. Dia ibarat pengemis yang meminta belas kasih kepada ayah kandungnya sendiri. Apa semua itu pantas dilakukan oleh seorang anak yang jelas-jelas darah dagingnya? Apakah pantas—jika seorang ayah tidak menginginkan keberadaan puteranya? Meskipun dia terlahir dari hubungan yang salah, tetapi tetap saja seorang anak pantas mendapatkan kasih sayang dari ayahnya secara utuh. "Kai ...." Air mata Safira pun ikut menetes. Tangisan Kai begitu menyayat hatinya. Lantas, dia berbalik dan memberikan pelukan. Bibirnya terasa kelu, tak dapat mengeluarkan kata-kata yang sekiranya dapat mengurangi beban di hati kekasihnya. Safira membiarkan lelaki ini menangis, menumpahkan segalanya. Kai sendiri tak ped
Kediaman Barack. Suara dentingan sendok yang beradu dengan piring menggema di ruang makan berukuran cukup luas. Meja persegi panjang yang berada di tengah-tengah terisi dengan penuh aneka macam menu. Ketiga orang yang tengah menikmati makan malam masing-masing fokus pada isi piring. Tak ada yang berbicara ketika sedang makan. Arkana meletakkan sendok dan garpu ke pinggir piring, lalu meraih gelas air yang sebelumnya sudah diisi oleh pelayan. Dia meneguk air tersebut perlahan sambil melirik Tuan Barack yang sudah terlihat sehat seperti dahulu kala. Perasaan lelaki itu sungguh tak bisa dijabarkan dengan kata-kata lagi. Ketika bisa melihat orang terkasih di hidupnya kembali ke rumah dalam kondisi baik-baik saja. "Ar, besok kalo bisa kamu bawa Safira kemari. Papi kangen sama calon istrimu itu. Apa kamu gak ngasih tau dia kalo kita udah kembali ke Jakarta?" Barack berkata dengan sang putra sulung dengan raut berseri. Wajahnya yang mirip Kai, tak lagi pucat atau kuyu seperti waktu masih
"Sekarang aku minta kamu ceritain semuanya sama aku, Kai. Gak ada yang perlu ditutup-tutupin lagi. Sebentar lagi kita mau nikah. Kamu sama aku akan hidup bareng. Gak cuma kita, Kai. Tapi ada anak kita juga. Aku gak mau ada kebohongan dalam rumah tangga kita. Gak mau." Safira berkata dengan berurai air mata dan Kai sigap menghapusnya. Setelah semua pertikaian yang baru saja terjadi, keduanya memutuskan untuk mengobrol dari hati ke hati. Tentunya setelah makanan yang dibeli Kai disantap oleh Safira, meski perempuan itu tak lagi berselera. Namun, demi bayi yang ada di dalam perutnya, Safira tidak bisa bertindak egois dan malah membahayakan calon anaknya. Di sofa ruang tamu, Kai tak melepaskan pelukannya pada Safira yang beberapa saat lalu terkena amarahnya. Menyesal sudah pasti sebab dia hampir saja membuat calon ibu dari anaknya itu terluka. Katakanlah, Kai memang lemah dalam mengendalikan emosi jika sudah menyangkut tentang masalah pribadinya. Satu yang pasti, bila menjadi seorang p
"Papi ...." Safira menggigit bibir bawah, lalu meringis ketika tiba-tiba rasa nyeri menghantam ulu hatinya. Sosok Barack yang selama ini menyayanginya berkelebat di ingatan. "Papi pasti udah sembuh karena itu Mas Arkana langsung bawa pulang ke Jakarta." Embusan napas berat keluar dari bibir Safira, seiring usapan di wajah cantiknya. Keinginan untuk melihat kondisi ayah dari Arkana dan Kai itu muncul dalam benak. Namun, ketakutan justru lebih besar. Safira takut membayangkan betapa kecewanya Barack bila mengetahui kebenarannya. Safira merasa belum siap."Gimana kalo Papi tanya ini?" gumam Safira seraya mengelus perutnya yang menyembul. "Aku gak bisa nutupin ini lebih lama lagi, bukan?" Pandangannya menunduk, menatap perutnya yang tertutup kaos. Pertanyaan Arkana pun membuat Safira lantas berpikir. "Kenapa Mas Arkana belum ngasih tau Papi?" Pikiran Safira campur aduk untuk saat ini. Bingung, ingin membalas pesan Arkana. Tetapi, dia tidak bisa mengabaikan begitu saja. Safira pun lekas
Kedua orang yang dulu pernah menjalin hubungan itu kini saling duduk berhadapan di sofa. Safira terus menundukkan pandangan, sementara Arkana menatapnya sendu. Keterkejutan nampaknya masih dirasakan kakak tiri Kai itu. Melihat Safira yang berada di apartemen adiknya, tentu Arkana menjadi bertanya-tanya. Mengapa Safira bisa ada di sini? Apa ada hal yang tidak dia ketahui, pikir Arkana. Bi Erna muncul sambil membawakan minum. "Minumnya, Tuan." Dia meletakkan dua gelas jus jeruk di meja, dan melirik Arkana yang belum pernah dilihat sebelumnya. "Makasih, Bi." Arkana tersenyum ramah, kemudian bertanya, "Bibi kerja di sini udah lama?" Pertanyaan Arkana pada Bi Erna sontak membuat Safira mengangkat pandangannya. Rasanya, amat sangat menegangkan situasinya. "Belum lama, Tuan. Baru jalan dua bulan," jawab Bi Erna sambil melirik Safira yang nampak tegang. "Saya permisi ke—" "Bibi tau siapa saya?" Arkana menatap bergantian Bi Erna dan Safira. "Maaf, Tuan. Saya gak tau." Bi Erna menggeleng
"Mama!" Seorang anak kecil memakai seragam sekolah taman Kanak-kanak langsung berlarian, ketika baru saja turun dari mobil sedan warna hitam. Nampaknya dia sudah tidak sabar ingin segera menemui sang ibu yang belakangan ini selalu sibuk dengan toko kosmetiknya. Sementara, di belakang bocah lima tahun itu ada pria yang selama ini dipanggilnya 'Papa', sedang berjalan mengikuti. Manik pria itu begitu teduh, menatap sang pujaan yang selama ini betah menyendiri.Safira menoleh ke sang anak yang kini sudah setinggi lututnya. Kaisar menjelma menjadi bocah laki-laki yang sangat tampan dan cerdas. Ternyata, waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa, kepergian Kai sudah memasuki di tahun ke lima. "Hati-hati, Sayang. Jangan lari!" Karena takut jika anaknya itu terjatuh saat menaiki tangga, Safira bergegas keluar dari toko kosmetiknya. Dia berdiri di depan pintu masuk toko itu. Kaisar hanya terkekeh melihat sang ibu yang selalu mengkhawatirkan dirinya. Bocah itu memeluk lutut Safira dengan erat.
Kemarin kabar mengenai pidana mati dari hakim atas nasib Kai, sangat mengguncang Safira. Sampai-sampai, perempuan itu tak sadarkan diri akibat terlalu syok, dan tertekan. Ditambah dengan kondisi yang memang sedang tidak fit, semakin memengaruhi mental Safira. Selama hampir lima belas bulan lebih, ujian demi ujian datang silih berganti ke kehidupan Safira. Dari mulai dia tahu kebenaran Kai yang seorang pecandu dan pengedar. Lalu, perpisahannya dengan Kai karena lelaki itu direhab. Kemudian, penangkapan Kai. Dan sekarang, pidana mati yang akan dilakukan dua hari lagi. Bagaimana Safira bisa bertahan dari segala terjangan ujian yang tak berhenti datang? Hukuman ini terlalu pedih. Dosa yang dia pikir manis, justru pahit di ujung kisah. Semesta seolah tak memberi restunya. Tuhan seakan mengutuk kisah cintanya bersama Kai. Bahkan, Kaisar yang masih sangat kecil harus ikut menanggung perbuatannya di masa lalu. Hari ini, Safira masih diberi kesempatan untuk bertemu dengan kekasihnya. Pengac
Suara riuh para tamu menyambut pengantin wanita yang baru saja keluar dari kamar, membuat suasana pernikahan yang sebentar lagi akan dilangsungkan itu semakin ramai. Safira melangkah sambil tersenyum lebar, menatap para tamu yang hadir untuk menjadi saksi pernikahannya dengan Kai. Gaun pengantin modern, dengan model sangat sederhana membalut tubuhnya yang ramping. Riasan di wajahnya tak begitu mencolok, flawless tetapi tetap memancarkan aura kebahagiaan tak terhingga. 'Takdir itu ... adalah misteri Tuhan. Siapa yang menyangka jika aku akhirnya menikah dengan Kai bukannya dengan Arkana.' Safira berkata dalam hati, masih tak percaya bila semua ini nyata adanya. Dia menikah dengan Kai—adik dari calon suaminya—Arkana."Wah, kamu cantik banget, Fir." Ruth memuji calon menantunya yang malam itu terlihat sangat cantik. "Makasih, Mom." Safira tersipu, sambil tak berhenti mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruang tamu yang sudah disulap mirip gedung pernikahan. Ruth yang menyadari bila
"Kenapa kamu gak mau ngajuin banding, Kai? Kenapa?" Ruth bertanya serak, mengguncang pundak Kai dengan sisa-sisa tangisan. Setelah mendengar putusan yang dijatuhkan Hakim untuk Kai, Ruth jatuh pingsan, dan baru tersadar dua puluh menit kemudian. Dari ruangan sidang, Arkana membawa sang ibu tiri ke poliklinik yang tersedia di Kejaksaan Negeri tersebut. Barack terlihat duduk di salah satu kursi yang tersedia di kamar rawat Ruth. Dia juga sempat syok mendengar keputusan pengadilan untuk sang anak. Raut tuanya tak bisa menyembunyikan perasaan sedih yang mendalam. Sudut matanya terus meneteskan cairan hangat. Kenapa nasib anak laki-laki yang terlambat dia akui keberadaannya sangat mengenaskan, pikir Barack. "Iya, Kai. Harusnya kamu ajuin banding, karena itu sudah menjadi hak setiap terdakwa. Pengacara kita bisa mengurusnya untukmu." Danish turut mengeluarkan pendapat, dan merasa kecewa dengan keputusan Kai yang tidak mau mengajukan banding. Arkana tak mau ketinggalan. "Kamu gak mikirin
Setelah tiga bulan lebih sepuluh hari, Kai berada di penjara. Hari ini, keluarganya pergi menjenguknya. Jika hari-hari lalu, hanya pengacara dan Danish yang datang ke tempat tersebut. Kini seluruh keluarga datang, termasuk bayi yang sedang lucu-lucunya itu. Di sebuah ruangan khusus, mereka semua berkumpul. Kaisar yang baru bangun tidur tengah berada di gendongan Ruth. Barack yang kesehatannya makin membaik, duduk di samping istrinya sambil bercanda-canda kecil dengan cucunya. Tepat di seberang meja, Safira dan Arkana memandangi Kaisar yang tertawa-tawa kecil."Kaisar gak rewel," ujar Arkana, yang mengira keponakannya akan rewel dan tidak betah berada di sana. Bayi tiga bulan lebih itu nampak biasa-biasa saja, dan justru terlihat sangat nyaman. Safira pun setuju dengan ucapan Arkana. " Kaisar mungkin udah tau, Mas, kalo mau ketemu papanya." Senyum haru tersungging di bibir Safira. Untuk pertama kalinya, Kaisar akan bertemu langsung dengan papanya. Biasanya, hanya lewat sambungan tele
Di ruang tamu saat ini ada empat orang saling duduk berhadapan, tetapi tak ada satu dari mereka yang memulai pembicaraan. Safira duduk bersebelahan dengan Arkana, sementara Januar, duduk berdampingan dengan Danish. Awalnya, Safira enggan menemui sang ayah, yang hampir setahun sama sekali tak ada kabar. Baginya, untuk apa menemui pria yang tidak bertanggung jawab seperti ayahnya itu. Rasa kecewa Safira begitu membekas hingga sekarang. Berkat bujukan Arkana-lah, keengganan itu berubah menjadi keingintahuan yang besar, ketika Danish turut bertamu ke rumah itu. Semenjak duduk dan bersitatap dengan putri satu-satunya, Januar tak memiliki keberanian untuk memulainya. Dia sadar jika apa yang sudah dilakukannya tidak pantas untuk dimaafkan. Safira berhak marah. Safira berhak membencinya. Januar sendiri sudah mendapatkan karmanya. Istri barunya menipunya dan membawa kabur uangnya. "Fir, maaf sebelumnya. Mungkin kamu bertanya-tanya kenapa saya mendampingi Pak Januar ketemu sama kamu." Danish
Seorang perempuan yang baru sebulan melahirkan itu nampak tak memiliki gairah hidup sama sekali. Hari-harinya kini hanya diisi dengan lamunan dan tangisan. Bayangan kebahagiaan yang dulu dia impikan nyatanya sekadar khayalan semata. Seakan Tuhan tengah menghukumnya habis-habisan sampai ke titik terendah. Menyesali pun dirasa percuma, karena pada akhirnya dirinyalah yang menjadi penyebab semua kemalangan ini. Hukum karma sepertinya memang ada, dan berlaku untuk orang-orang yang tidak pernah bersyukur. Dan kini Safira merasakannya sendiri. Pengkhianatannya pada sang kekasih telah mendapatkan balasan setimpal. Hamil di luar nikah, lantas melahirkan tanpa seorang pendamping di sisinya. Lelaki yang dia kira akan memberikan kebahagiaan serta membersamainya dalam mengurus sang buah hati kini mendekam di penjara, atas kesalahannya. "Oek ... oek ...." Suara tangisan bayi laki-laki yang terbangun menggema di kamar itu. Safira yang sedang tenggelam dalam rasa penyesalan sampai tak mendengar
Beberapa saat yang lalu, dua perawat baru saja selesai membantu Safira. Dari mulai metode skin to skin dengan bayinya, hingga mendampingi menyusui untuk yang pertama kali. Safira begitu bahagia, sebab bayi laki-lakinya yang sangat mirip dengan Kai itu sudah pintar menyusu. Dia lega serta bangga pada dirinya sendiri. "Bu, dedeknya kami bawa ke ruang bayi dulu. Nanti kalau waktunya menyusui kami akan bawa kemari." Salah satu perawat berkata sambil menidurkan bayi laki-laki Safira ke box bayi. "Dedeknya ganteng, mirip ayahnya," celetuk sang perawat. Telinga Safira yang mendengar celetukan itu sontak tersenyum. Dia hampir lupa kalau Kai belum kembali lagi setelah pamit ke kamar mandi. "Oh, iya, Sus. Laki-laki yang tadi dampingin saya belum masuk lagi, ya? Kira-kira ke mana, ya? Suster tau gak?" Safira bertanya sambil menatap dua suster yang seketika saling pandang. Salah satu dari mereka mendekati ranjang Safira. Berdiri di samping, dan bertanya, "Maaf, apa tadi ibu gak denger, waktu a
Kebahagiaan kini tengah menyelimuti Ruth dan Arkana yang baru saja mendengar tangisan bayi, yang melengking nyaring dari dalam sana. Raut keduanya penuh rasa haru serta tak berhenti mengucap syukur. Cucu laki-laki pertama telah lahir di keluarga besar Barack. "Ar, kamu telepon Papimu. Bilang, kalo cucunya udah lahir," titah Ruth dengan mata berkaca-kaca. "Soalnya tadi Papimu khawatir banget." Ruth menyeka sudut mata dengan tisu."Iya, Mom." Arkana bergegas menghubungi Barack yang tidak bisa ikut menemani di sini. Dia melangkah beberapa meter dari Ruth yang berdiri di depan pintu ruangan. Danish mendekati Ruth. "Selamat, Tante. Cucunya udah lahir," ucapnya seraya mengulurkan tangan di depan Ruth. Ruth tersenyum dan membalas jabatan Danish. "Makasih, ya. Semua juga berkat kamu yang selama ini udah mau bantuin Kai." Jabatan tangan mereka terburai. Danish tersenyum canggung. "Sama-sama, Tante. Kai itu sahabat saya. Sebagai orang yang deket sama dia, saya cuma ngasih dukungan," ujarnya