Kedua orang yang dulu pernah menjalin hubungan itu kini saling duduk berhadapan di sofa. Safira terus menundukkan pandangan, sementara Arkana menatapnya sendu. Keterkejutan nampaknya masih dirasakan kakak tiri Kai itu. Melihat Safira yang berada di apartemen adiknya, tentu Arkana menjadi bertanya-tanya. Mengapa Safira bisa ada di sini? Apa ada hal yang tidak dia ketahui, pikir Arkana. Bi Erna muncul sambil membawakan minum. "Minumnya, Tuan." Dia meletakkan dua gelas jus jeruk di meja, dan melirik Arkana yang belum pernah dilihat sebelumnya. "Makasih, Bi." Arkana tersenyum ramah, kemudian bertanya, "Bibi kerja di sini udah lama?" Pertanyaan Arkana pada Bi Erna sontak membuat Safira mengangkat pandangannya. Rasanya, amat sangat menegangkan situasinya. "Belum lama, Tuan. Baru jalan dua bulan," jawab Bi Erna sambil melirik Safira yang nampak tegang. "Saya permisi ke—" "Bibi tau siapa saya?" Arkana menatap bergantian Bi Erna dan Safira. "Maaf, Tuan. Saya gak tau." Bi Erna menggeleng
Tubuh Arkana membeku di tempat, sesaat Kai mengklaim jika anak yang dikandung Safira adalah anaknya. Pernyataan Kai terus berputar-putar di kepala Arkana seperti kaset. Dia tidak menyangka akan mendengar kenyataan paling pahit serta menyakitkan ini. 'Kai dan Safira punya hubungan? Sejak kapan?' Kepalan tangan Arkana di sisi tubuh semakin menguat, seiring pertanyaan-pertanyaan yang berjejalan di kepalanya. Kebekuan Arkana tentu tak luput dari pandangan Safira, yang masih berada dalam rengkuhan lengan Kai. Perempuan itu sungguh merasa sangat menyesal atas apa yang terjadi pada mantan calon suaminya itu. 'Maafin aku, Mas. Maafin ... Aku sungguh-sungguh minta maaf.' Seruan itu nyatanya hanya mampu terucap dalam benak Safira. Sepasang matanya yang terpejam erat melelahkan cairan hangat. Kenelangsaan Arkana jelas membuat hati Kai merasa sangat puas bukan main. Melihat Kakak tirinya yang selalu menjadi kebanggaan papinya itu tak dapat berkata-kata di depan matanya. "Elu udah denger 'kan
Debaran jantung Safira terus berpacu hingga berkali-kali lipat, begitu kaki jenjangnya yang beralaskan flatshoes menapaki lantai bagian teras rumah Barack yang sangat luas. Andai saja tidak ada Kai di sisinya yang setia menggenggam tangannya, mungkin sejak lama Safira sudah kabur dari rumah itu. "Fir." Kai memanggil sang kekasih yang tengah gugup dengan lembut, serta tatapan penuh cinta.Safira menoleh, sepasang alisnya yang tidak terlalu tebal naik perlahan. "Hmm?" "Gak usah tegang. Oke? Aku ada di sini." Perkataan menenangkan yang terlontar dari mulut Kai cukup menghibur Safira yang dilanda kecemasan sejak tadi. Lelaki itu merangkul pundak Safira lalu mengecup pelipisnya. "Tenang aja. Serahin semuanya sama aku." Kata-kata tersebut berhasil membuat senyum di bibir Safira terukir yang hanya dipoles lip balm. "Aku percaya sama kamu." Pintu utama terbuka, lalu muncul Aima—asisten rumah. "Silakan masuk, Den. Tuan dan Nyonya udah nungguin daritadi." Perempuan paruh baya itu bergeser d
'Mom, gak usah ungkit-ungkit masalah yang udah terlanjur terjadi. Ini bukan saat yang tepat nyalahin Safira atau siapapun.'Sederet kalimat pembelaan itu masih terngiang dengan jelas di pendengaran Safira hingga detik ini, meskipun pertemuan mendebarkan itu sudah sepekan berlalu."Kenapa Mas Arkana masih mau belain aku?" gumam Safira, mendesah panjang lantaran tak berhenti memikirkan Arkana yang masih sudi membelanya di depan Mami Ruth. "Kalo kamu kayak gitu, aku semakin ngerasa bersalah, Mas."Kepala Safira terantuk lesu, dan tanpa permisi cairan hangat luruh satu persatu membasahi dress rumahannya. Menu makan siang di meja pun jadi tak menarik baginya. Selera makan Safira menguap.Setelah Kai mengungkapkan hubungan mereka di hadapan Barack dan Ruth, Safira masih belum merasa tenang sepenuhnya. Kekecewaan calon mertuanya itu tentu bisa dimengerti oleh Safira.'Baiklah. Pernikahan akan tetap berlangsung. Papi akan merestui kalian. Bagaimana pun anak yang dikandung Safira juga cucu pap
'Kai selama ini memang sudah salah pergaulan. Dia melampiaskannya ke obat-obatan itu. Mas tau, Kai bahkan belum bisa maafin Papi sampe sekarang. Dia tertekan karena cemoohan orang-orang sekitar. Dia ngerasa sendirian, Mas.' Pernyataan Safira terus terngiang di telinga Arkana. Mengenai apa yang dia ketahui beberapa jam yang lalu, jika adiknya saat ini tengah menjalani rehabilitasi. Arkana seketika merasa gagal menjadi seorang kakak yang harusnya mendampingi. Dia juga sudah gagal melindungi Kai selama ini. "Kenapa kamu sampe terjerumus sama barang terlarang itu, Kai? Kenapa?" Arkana tak berhenti memikirkan alasan di balik kelamnya kehidupan Kai selama tiga tahun terakhir. Meskipun Safira sudah menceritakan semuanya, tetapi Arkana ingin mendengarnya sendiri dari mulut Kai. 'Kai udah seminggu di panti rehabilitasi, Mas. Dia lagi jalanin beberapa serangkaian tes. Untuk sementara ini Kai gak diizinin dijenguk. Kata dokter yang nanganin dia, itu akan lebih baik demi proses penyembuhan. Ka
Sore ini Safira ada janji dengan dokter kandungan yang selama ini memantau kehamilannya. Kebetulan, hari ini adalah jadwal Safira untuk melakukan USG. Perempuan itu merasa tak bersemangat sama sekali sebab tidak ada satu orangpun yang mendampinginya ke tempat ini. Sejak dari rumah saja, Safira terlihat murung. Kesedihan nampak begitu jelas di maniknya yang bulat. Jika melihat pasangan-pasangan suami istri yang turut mengantre, hatinya malah semakin iri. Harusnya, saat ini ada Kai yang menemani. Harusnya, dia seperti para pasangan-pasangan itu. Namun, Safira harus tetap tegar menjalani kehamilannya tersebut meski tanpa Kai di sisinya. Dia pun harus semangat dan tidak boleh menyerah begitu saja. Kai tengah berjuang dengan perawatannya di sana. Begitu pun sebaliknya dia. "Fir." Safira tersentak ketika ada seseorang yang menyentuh pundaknya. Kesedihannya seketika berubah menjadi keterkejutan. Dia mendongak, dengan kening mengernyit dalam. "Mas?" 'Kenapa bisa ada Mas Arkana di sini?'
Ketakutan serta kekhawatiran seketika menggayuti pikiran Safira, sesaat Danish memperingatkan perihal kemungkinan yang terjadi pada Kai. Dia jelas sangat merasa takut jika Kai benar-benar tidak mengingatnya. Kenapa semuanya menjadi semakin rumit? Kenapa Safira dan Kai harus dihadapkan dengan situasi seperti sekarang? Sampai kapan ujian ini akan berakhir? "Fir." Langkah Arkana berhenti tepat di pintu masuk, di mana Kai saat ini berada. Safira terhenyak lantas menoleh. Tanpa sepatah katapun dia mengangguk. Kemudian menyentuh handle pintu dan mendorongnya. Sementara Safira masuk terlebih dahulu, Arkana memilih menunggu di luar. Duduk pada bangku besi di dampingi Danish. 'Tunggu Kai kenalin kamu, Fir. Kamu jangan deketin dia duluan.' Sambil melangkah masuk, Safira terus mengingat perkataan Danish beberapa saat yang lalu. Pintu dia tutup kembali dan hal pertama yang dilihatnya adalah suasana ruangan yang cukup ramai. Ada sekitar belasan orang di dalam, mereka sibuk dengan urusannya ma
"Ssshh ...." Arkana mendesis saat Safira mengolesi salep di sudut bibirnya yang robek dan berdarah. Luka akibat pukulan Kai cukup membuat lelaki itu merasa keheranan. Namun, dia juga merasa lega karena muncul tepat waktu. Seandainya saja dia terlambat sedikit saja, mungkin Safiralah yang menjadi korban. "Udah, Mas." Safira membereskan kotak obat. "Kai tadi nakutin banget. Aku gak nyangka dia bakal semarah itu," ucap Safira, membuang napas panjang, lalu memandang Arkana. "Kamu sampe jadi sasaran tinjunya." Rautnya menyendu.Kemarahan Kai sungguh mengerikan bagi Safira. Dia nyaris pingsan kalau saja Arkana dan Danish tidak muncul tiba-tiba. Namun, yang sangat disayangkan adalah 'Kenapa Kai sampai harus memukul Arkana.' Arkana mengusap pipinya yang berdenyut. Pukulan Kai yang mendadak dan begitu keras seakan-akan masih meninggalkan jejak. Sakit dan panas. "Luka ini gak ada apa-apanya, Fir. Kalau seandainya tadi aku terlambat masuk, mungkin Kai bisa lakuin hal yang sama ke kamu." "Aku